BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.1 Telaah Hasil Penelitian Sebelumnya Peneltian sebelumnya dilakukan oleh Adikampana (2012) yang berjudul Desa Wisata Berbasis Masyarakat Sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat atau komunitas lokal merupakan paradigma yang sangat penting dalam kerangka pengembangan kepariwisataan. Pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan tersebut yang dikutip oleh Murphy, 1987 dalam Adikampana (2012) dikatakan bahwa pariwisata sebagai community industry, sehingga keberlanjutan pembangunan pariwisata sangat tergantung dan ditentukan oleh dukungan, penerimaan, dan toleransi terutama dari masyarakat di sekitar kegiatan pariwisata (lokal). Memastikan bahwa pengembangan pariwisata di Desa Wisata Pinge dapat berkelanjutan, maka hal mendasar yang harus diwujudkan adalah memfasilitasi keterlibatan luas masyarakat lokal dalam proses pengembangan dan mengoptimalkan manfaat sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dari kegiatan desa wisata tersebut. Dalam rangka memfasilitasi keterlibatan dan optimalisasi manfaat Desa Wisata Pinge bagi masyarakat lokal, maka model pemberdayaan masyarakat yang akan dirumuskan dalam pengembangan Desa Wisata Pinge diarahkan pada: 1. Penguatan kapasitas dan peran masyarakat Desa Pinge untuk turut serta aktif dalam kegiatan dan proses pembangunan desa wisata.
2. Penguatan akses dan kesempatan berusaha bagi masyarakat Desa Pinge untuk meningkatkan manfaat ekonomi desa wisata. Persamaaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah terletak pada fokus penelitian yaitu sama-sama berfokus pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. Perbedaannya terletak pada lokus penelitian yaitu penelitian sebelumnya lokusnya di Desa Pinge sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti berlokasi di Kampung Tradisional Bena, Kabupaten Ngada tentang bentuk partisipasi masyarakat dalam praktik ekowisata. Penelitian terkait dengan fokus penelitian juga dilakukan oleh Karsudi dkk, (2010) dengan judul Strategi Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Hasil penelitian ini adalah sebagian besar objek wisata di Kabupaten KepulauanYapen baik objek wisata laut, perairan, maupun daratan layak dikembangkan sebagai objek daya tarik ekowisata. Namun, terdapat beberapa potensi objek wisata yang belum layak dikembangkan sebagai objek daya tarik ekowisata karena memiliki hambatan dan kendala untuk dikembangkan yang antara lain berupa potensi pasar yang belum mendukung, lokasi objek yang jauh, dan adanya kesulitan dalam hal aksesibilitas, pengelolaan dan pelayanan belum sesuai dengan standar, akomodasi belum memenuhi syarat, dan hubungan dengan objek sejenis lainnya yang cukup tinggi. Untuk mengembangkan daerah yang belum berpotensi menjadi daerah berpotensi sebagai DTW diperlukan upaya-upaya promosi dan pemasaran guna menarik potensi pasar, memperkecil kendala aksesibilitas melalui penyediaan sarana prasarana model transportasi, meningkatkan pengelolaan dan pelayanan sesuai standar pelayanan, melakukan pemenuhan
terhadap standar akomodasi yang diperlukan, dan meningkatkan diversifikasi atraksi wisata. Berdasarkan kondisi objektif pengembangan ekowisata saat ini maka strategi pengembangan yang dapat diterapkan yaitu strategi pesimis melalui upaya penataan ruang wisata, pengembangan manajemen atraksi, pengembangan promosi dan pemasaran, pengembangan regulasi dan organisasi pengelola ekowisata, dan menciptakan situasi keamanan yang kondusif baik di dalam maupun luar kawasan wisata. Persamaan penelitian ini dengan peneliti yang akan dilakukan adalah terletak pada fokusnya yaitu sama-sama mengkaji tentang ekowisata sedangkan perbedaannya terletak pada lokus penelitian yang mana penelitian sebelumnya dilakukan di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua sedangkan penelitian yang akan dilakukan berlokasi di Kampung Tradisional Bena, Kabupaten Ngada. 2.2 Landasan Konsep 2.2.1 Konsep Ekowisata Deklarasi Quebec dalam Arida (2009) secara spesifik menyebutkan bahwa ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan (suistanable tourism) yang membedakannya dengan bentuk wisata lain. Dalam praktik, hal itu terlihat dalam bentuk kegiatan wisata sebagai berikut : 1. Secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya. 2. Melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pengembangan, pengelolaan wisata, serta memberikan sumbangan positif terhadap tingkat kesejahtraan masyarakat lokal.
3. Dilakukan dalam bentuk wisata independen atau organisasi dalam skala kecil. Dengan kata lain ekowisata adalah bentuk industri pariwisata berbasis lingkungan yang memberikan dampak kecil bagi kerusakan alam dan budaya lokal sekaligus menciptakan peluang kerja dan pendapatan, serta membantu kegiatan konservasi alam itu sendiri (Panos, dikutip oleh Ward, 1997 dalam Arida, 2009). 4. Ekowisata merupakan wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak negatif paling rendah terhadap lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan berorientasi pada lokal (dalam hal kontrol, manfaat yang dapat diambil dari kegiatan usaha), (Fennel, dalam Arida, 2009). Konsep ekowisata dalam Deklarasi Quebec dan Fennel akan menjadi acuan dalam mendeskripsikan rumusan masalah pertama tentang praktik ekowisata di Kampung Tradisional Bena. 2.2.2 Konsep Partisipasi Masyarakat Menurut Achmad Wazir (1999) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan
dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991) sebagai berikut: 1) Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. 2) Bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. 3) Bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. 2.2.3 Konsep Interaksi Mack menjelaskan bahwa interaksi adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan-hubungan antar individu, baik antara individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas sosial dan merupakan hubungan yang dinamis yang menyangkut hubungan antarindividu, antarkelompok dan antara individu dan kelompok (Soekanto, 2009). Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat (Soerjono Soekanto, 2009) yaitu: adanya kontak sosial, dan adanya komunikasi. a. Kontak Sosial
Secara harfiah kontak adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah. Sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena orang dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya dengan cara berbicara dengan orang yang bersangkutan. Dengan berkembangnya teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama lain dengan melalui telepon, telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu memerlukan sentuhan badaniah. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk (Soerjono Soekanto,2009) yaitu sebagai berikut : 1. Antara orang perorangan 2. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya. 3. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontak sosial positif dan kontak sosial negatif. Kontak sosial positif adalah kontak sosial yang mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negatif mengarah kepada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan kontak sosial. Selain itu kontak sosial juga memiliki sifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung seperti bertemu dan berhadapan muka, sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara. b. Komunikasi Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang
bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan. Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui olek kelompok lain atau orang lain. Hal ini kemudian merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya. Dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Seulas senyum misalnya, dapat ditafsirkan sebagai keramah tamahan, sikap bersahabat atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap ingin menunjukan kemenangan. Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerja sama antar perorangan dan atau antar kelompok. Tetapi disamping itu juga komunikasi bisa menghasilkan pertikaian yang terjadi karena salah paham yang masing-masing tidak mau mengalah. Konsep interaksi sosial menurut Mack ini akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama terkait dengan sudah sejauh mana interaksi masyarakat dengan wisatawan yang ada di lokasi penelitian. 2.2.4 Konsep Masyarakat Masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama manusia yang mempunyai ciri-ciri pokok, yaitu: manusia hidup bersama, bercampur atau bersama-sama untuk jangka waktu yang lama, menyadari bahwa mereka merupakan suatu kesatuan, mematuhi norma-norma peraturan yang menjadi kesepakatan bersama, menyadari bahwa mereka bersanma-sama diikat oleh perasaan diantara para anggota yang lainnya, menghasilkan kebudayaan tertentu.
Menurut Koentjaraningrat tahun 2011, masyarakat didefinisikan sebagai berikut: "merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terkait oleh suatu rasa identitas bersama". Melihat definisi tersebut di atas, maka tidak semua kesatuan manusia yang saling berinteraksi merupakan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat harus memiliki ikatan/ persyaratan khusus seperti tersebut di atas, maka makin besar dan kompleks masyarakat, makin banyak jumlah kelompok dan perkumpulan yang ada didalamnya. Koentjaraningrat juga mengistilahkan masyarakat sebagai komunitas. Sifat dari komunitas adalah adanya wilayah, cinta (keterikatan) terhadap wilayah, serta keterikatan itu merupakan dasar dari perasaan patriotisme, nasionalisme, dan lain-lain. 1.3 Teori Analisis 2.3.1 Tipologi Partisipasi Masyarakat Bentuk partisipasi masyarakat lokal dalam sektor pariwisata dapat dibedakan ke dalam beberapa tipe sebagaimana yang dikemukakan oleh Tosun dalam Tosun s typology of participation. Tipologi partisipasi ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1999 yang didesain khusus untuk mengkaji partisipasi masyarakat dalam sektor pariwisata karena mengelaborasikan tiap tipe partisipasi masyarakatnya dengan referensi khusus terkait industri pariwisata (Tosun, 2006). Tosun membagi bentuk partisipasi masyarakat tersbut ke dalam tiga tipe partisipasi beserta karakteristiknya masing-masing yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.1 Karakteristik dari Masing-Masing Tipe dalam Tosun s typology of participation No. Tipe Karakteristik 1. Partisipasi Paksaan (Coercive Participation) a. Partisipasi bersifat top-down, partisipasi pasif, dimanipulasi dan dibuat-buat yang diciptakan sebagai pengganti partisipasi yang sesungguhnya. b. Partisipasi yang terjadi umumnya secara tidak langsung. c. Tidak ada pembagian keuntungan bagi masyarakat lokalnya. d. Masyarakat sering dihadapkan hanya pada satu pilihan sehingga cenderung menerima segala keputusan. e. Sangat terasa dominasi pihak luar dibandingkan masyarakat lokal setempat (paternalisme). 2. Partisipasi Terdorong (Induced a. Partisipasi yang muncul masih bersifat top-down, partisipasi pasif, dan Participation) termasuk (partisipasi semu). pseudo-participation
b. Partisipasi yang terjadi umumnya secara tidak langsung. c. Masyarakat lokal mendapat kesempatan mendengarkan dan didengarkan tetapi belum tentu pandangan mereka dipertimbangkan oleh pengambil keputusan (tokenisme). d. Masyarakat mulai memperoleh hak dalam pembagian keuntungan. e. Terdapat alternatif pilihan dari suatu usulan yang ditawarkan dan terdapat pula feedback dari masyarakat. 3. Partisipasi Spontan (Spontaneous Participation) a. Partisipasi yang muncul telah bersifat bottom-up, partisipasi aktif, dan termasuk partisipasi asli. b. Partisipasi dilakukan secara langsung. c. Masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan. d. Masyarakat memiliki kesempatan untuk melakukan perencanaan sendiri, diberikan tanggung jawab manajerial,
serta wewenang yang sepenuhnya. Sumber: Tosun, 2006. Tipologi partisipasi masyarakat menurut Tosun akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah ketiga. Tipologi partisipasi masyarakat menurut Tosun ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah ketiga dimana konsep partisipasi menurut Tosun ini untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat lokal dalam praktik ekowisata di kampung tradisional Bena. Berbagai hasil temuan dilapangan akan dianalisis untuk kemudian dicocokan dengan karakteristik dari tiga tipe yang ada. Karakteristik yang paling mendekati dengan keadaan dilapangan akan menunjukan tingkat partisipasi masyarakat di lokasi penelitian.