IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

HADITS SUMBER AJARAN ISLAM KEDUA. Oleh Drs. H. Aceng Kosasih, M. Ag

Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I ânah ath- Thalibin, I/12).

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan

FIQHUL IKHTILAF (MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN) Oleh : Ahmad Mudzoffar Jufri

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

KHILAFAH DAN KESATUAN UMAT

Pendidikan Agama Islam

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

Pendidikan Agama Islam

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

SUMBER AJARAN ISLAM. Erni Kurnianingsih ( ) Nanang Budi Nugroho ( ) Nia Kurniawati ( ) Tarmizi ( )

Al-Qur an Al hadist Ijtihad

SEBAB-SEBAB PARA ULAMA BERBEDA PENDAPAT. (Dirangkum dari kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Raf ul Malaam an Aimatil A laam )

ILMU QIRO AT DAN ILMU TAFSIR Oleh: Rahmat Hanna BAB I PENDAHULUAN. Al-Qur an sebagai kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman Rasulullah SAW, hadis belumlah dibukukan, beliau tidak sempat

Ushul Fiqh SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan

KELOMPOK 1 : AHMAD AHMAD FUAD HASAN DEDDY SHOLIHIN

HUKUM MENGENAKAN SANDAL DI PEKUBURAN

A. Pengertian Fiqih. A.1. Pengertian Fiqih Menurut Bahasa:

RISALAH KEDUDUKAN AL- ADAH WA AL- URF DALAM BANGUNAN HUKUM ISLAM

SILABUS PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNISNU JEPARA TAHUN 2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

Fidyah. "Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makanan seorang miskin." (Al Baqarah : 184)

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG

BAB IV ANALISIS HEDGING TERHADAP KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK-BBM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Membaca Sebagian Al-Quran Dalam Khutbah Jum'at

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

MADZHAB SYAFI I. Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ilmu Fiqh Dosen: Kurnia Muhajarah,M.S.I

Al Wajibu La Yutraku Illa Liwajibin

Ditulis oleh administrator Senin, 15 Desember :29 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 20 Mei :36

HUKUM BERBUKA PUASA BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD4013 USUL FIQH (Minggu 1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

KISI-KISI SOAL UAMBN MADRASAH IBTIDAIYAH TAHUN PELAJARAN 2011/2012

IJTIHAD SEBAGAI JALAN PEMECAHAN KASUS HUKUM

Ji a>lah menurut masyarakat Desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan

$! " # %& ' ( ) * &+, -. /0 1 & ! "#$

Pengertian Hadits. Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi.

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan

BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan

BAGAIMANA MEMILIH PENDAPAT DALAM BERAGAMA LIQA 23 JUNE Oleh Erwin Mazwardi

Memperbaiki Kesalahan dalam Bulan Ramadhan

Pengertian Ijma. Pengertian Ijma secara terminologi اتفاق جمیع المجتھدین من المسلمین في عصر من العصور بعد وفاة رسول الله صلعم على حكم شرعي 7/15/2011

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV KUALITAS MUFASIR DAN PENAFSIRAN TABARRUJ. DALAM SURAT al-ahzab AYAT 33

Perdagangan Perantara

RESUME. MATA KULIAH STUDI ISLAM BAB I s.d. BAB VI. oleh: Muhammad Zidny Naf an ( / TI 1C)

KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB EMPAT

BAB VI PENUTUP. Universitas Indonesia Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

TEORI MUSHAWWIBAT MUKHATHTHIA'T DALAM BERIJTIHAD. Oleh : E. Mulya S 1

Hukum Selamatan Kematian (Tahlilan)

HUKUM DAN HAM DALAM ISLAM

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT YUSUF QARDHAWI TENTANG ZAKAT INVESTASI

BAB II KONSEPSI DASAR TENTANG JUAL BELI DALAM ISLAM.. yang berarti jual atau menjual. 1. Sedangkan kata beli berasal dari terjemahan Bahasa Arab

BAB II ULAMA FIQIH KLASIK DAN KONTEMPORER. pemahaman yang diperoleh melalui persepsi berfikir yang mendalam bukan

BENARKAH KHUTBAH SHOLAT DUA HARI RAYA DUA KALI

BAB IV ANALISIS METODE ISTINBA<T} HUKUM FATWA MUI TENTANG JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI

TINJAUAN UMUM Tentang HUKUM ISLAM SYARIAH, FIKIH, DAN USHUL FIKIH. Dr. Marzuki, M.Ag. PKnH-FIS-UNY 2015

Surat Untuk Kaum Muslimin

BAB I PENDAHULUAN. Imam Ahmad bin Hanbal merupakan salah satu dari tokoh madzab dalam Agama

BAB III PENGGUNAAN QIYAS SEBAGAI MANHAJ YANG DIGUNAKAN. Permasalahan tentang status kemahraman anak hasil in-vitro fertilization

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid

Bab 34 Bagaimana Cara Dicabutnya Ilmu

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL Nomor: 55/DSN-MUI/V/2007 Tentang PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARIAH MUSYARAKAH

Hukum Berkabung Atas Kematian Raja dan Pemimpin

Adab Membaca Al-Quran, Membaca Sayyidina dalam Shalat, Menjelaskan Hadis dengan Al-Quran

BAB IV ANALISIS A. ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IMAM AHMAD BIN HANBAL TENTANG WAKAF TANPA IKRAR WAKAF

JABAT TANGAN ANTARA PRIA DAN WANITA

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 24 Tahun 2012 Tentang PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN

`BAB I A. LATAR BELAKANG

Definisi sombong. PENGERTIAN SOMBONG Definisi sombong sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah J dalam sebuah hadits:

SUMBER HUKUM ISLAM 1

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

AWAS!!! JANGAN SEPELEKAN PERKARA DALAM AGAMA ISLAM Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Hari ini adalah hari Asyura, dan saya puasa pada hari tersebut, siapa yang suka maka hendaklah dia puasa dan siapa yang suka dia berbuka

KONSEP & KAEDAH DASAR FIQIH MUAMMALAH MAALIYAH SESI II : ACHMAD ZAKY

E٤٨٤ J٤٧٧ W F : :

ULANGAN HARIAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KELAS XI

Soal Jawab Agama Dr Yusuf Al-Qardhawi - KAEDAH TOLERANSI DALAM MASALAH (2/2)

4. Firman Allah SWT QS. al-baqarah [2]: 275: &$!%#*#$ 234 +#,-.,(/01 '() )5'(2%6.789:;<= & #AB7CDE3" Orang yang makan (mengambil) riba ti

Khitan. 1. Sejarah Khitan

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

UCAPAN SELAMAT HARI RAYA

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG HAK WARIS SESEORANG YANG MASUK ISLAM SEBELUM HARTA WARIS DIBAGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

studipemikiranislam.wordpress.com RUANG LINGKUP AJARAN ISLAM

BAB V PENUTUP. di Desa Saka Paun dengan tujuan agar dalam pelaksanaan haulan yang tiap

BAB IV ANALISIS DATA

Transkripsi:

NO. 6'7/XIll/19971.....,.,. '.-...,,,,'t..,... ;.,,... Ors. Zakaria Syafe'i IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (Kajian tentang Kehujjahan Ijma' dan Pengingkarannya) I. PENDAHULUAN Sebagai sebuah ajaran, Islam memiliki keistimewaan tersendiri dibanding dengan agama lain yang ada di dunia ini. Keistimew.aan itu paling tidak dapat dilihat dari fenomena yang terjadi pada masyarakat dunia penghuni bumi ini, yaitu suatu realitas akan kebenaran Islam sebagai ajaran yang dapat diterima sepanjang zaman dan di tempat manapun ]uga. Fenomena ini ada, boleh jadi karena Islam memiliki dua karakter yang menarik, yaitu orisinil dalam konsepsi dan kondisional dalam aplikasi. Hal ini dapat terlihat empat sumber hukum dalam Islam. Yaitu qur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Yang kesemuanya banya:k memberikan kontribusi bagi umat Islam. Khusus pada permasalahan ljma' yang akan banyak diuraikan pada makalah ini, juga memiliki fungsi guna memenuhi dua karakter Islam di atas. Di mana ke- beradaan Ijma' sebagai sumber hukum Islam, menjadi demikian penting bahkan kekuatan hujjahnya satu tingkat di bawah Qur' an dan Hadits. Ijma' sebagaimana didefinisikan oleh sebagian besar ulama Ushul adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa sesudah wafat Rasulullah SAW atas suatu hukum syara' pada suatu kejadian (lihat Khalaf, 1994 : 64). Dari definisi ini kemudian banyak lahir permasalahan Ijma' ini yaitu menyangkut pada perkembangan pemikiran tentang ljma', rukun-rukun, kedudukan, kemungkinan terjadinya, macammacam serta hukum mengingkarinya. Yang kesemuanya ini nanti akan diuraikan. Sebagian orang memperdebatkan akan layak tidaknya Ijma' dijadikan hujjah bagi permasalahan hul =- Hal ini didasarkan atas qoth'i atau tidaknya Ijma' itu sendiri. Tetapi yang jelas bah- 28

NO. 67/XIIl/19971 wa jumhur ulama berpendapat, keberadaan Ijma' sebagai sumber hukum Islam setelah Qur'an dan Hadits tidak diragukan lagi. II. IJMA' DAN PERMASALAH ANNYA Ijma' adalah salah satu dalil syara' yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (al- Qur'an dan al-hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah al- Qur'an dan al-hadits, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukumhukum syara' (Abu Zahroh, 1994 : 307). Ijma' ditinjau dari segi bahasa berarti sepakat, setuju, sependapat (Abd. Aziz, 1988 : 28). Adapun menurut istilah, Ijma' ialah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah Saw atas suatu hukum syara' (Az Zuhaili, 1986 ; 490). Menurut Khallaf (1994 : 64) Ijma' adalah kesepakatan semua mujtahidin di antara ummat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW atas hukum syar'i mengenai suatu kejadian/kasus. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Ijma' ialah berkumpul segala ulama atas suatu hukum. Apabila telah tsabit ijma' ummat (seluruh mujtahidin) atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi seseorangpun untuk keluar dari ijma' itu, karena ummat itu (para mujtahidin) tidaklah bersepakat dalam kesesatan (Hasbi Ash Shiddieqy, 1980: 203). Dari beberapa pendapat mengenai definisi ijma', pada prinsipnya mereka sependapat bahwa: 1. Ijma' dapat terjadi dengan kesepakatan para mujtahid 2. Adanya permasalahan yang tidak terdapat dalam nash qoth'i. 3. Terjadi pada masa tertentu. Dengan demikian, Ijma' dipandang tidak sah, jika: 1. Ada yang tidak menyetujui 2. Hanya ada seorang mujtahid 3. Tidak ada kebulatan yang nyata 4. Sudah jelas terdapat dalam nash. Tetapi persoalannya sekarang adalah siapakah ulama mujtahidin yang berhak menetapkan ijma'. Madzhab Syi'ah berpendapat bahwa ijma' para imam dan mujtahid dari madzhab Syi'ah saja yang dapat dijadikan hujjah/argumentasi. Sementara itu menurut pendapat Jumhur Ulama, Ijma' yang dapat dijadikan argumentasi adalah ijma' para ulama jumhur (lihat Az Zuhaili, 1986: 539). 29

Dalam pada itu, sejak periode sahabat hingga masa-masa imam mujtahid, pemikiran ijma' telah berkembang melalui periodesasi sebagai berikut: 1. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi, Khalifah Umar bin Khattab misalnya selalu mengump an para sahabat untuh. berdiskusi dan bertukar pikiran dalam menetapkan hukum beberapa masalah yang mereka hadapi. Jika mereka telah bersepakat pada suatu hukum, maka dia menjalankan pemerintahannya berdasarkan hukum yang telah disepakati tersebut. Teta pi bila mereka belum menemu.kan titik temu (kon 'Sensus), maka mereka mengkaji.kembali, hingga mencapai pada hukum yang diputuskan -0leh kalangan fuqoha di anta.ra kalangan sahabat itu. Dengan demikian hukum ter 'Sebut telah disepakati para mujtahid yang tentunya mempunyru kedudukan yang lebih ]mat dari pendapat peribadi. Na.mun pada umumnya, hukum-hukum yang disepakati adalah hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh nash al- Qur'an dan Hadits. 2. Pada masa ijtihad, para imam mujtahid berusaha agar pendapatnya tidak menyimpang dari apa yang telah ditetapkan oleh para fuqoha di negerinya, sehingga imam mujtahid tersebut tidak dipandang menyimpang dalam pola. pikirnya. Imam Abu Hanifah misalnya berusaha keras untuk mengilrnti hukum yang telah disepakati oleh ulama Kufah yang hidup sebelumnya. Sedang Imam Malik menganggap bahwa Ijma' ahli Madinah dapat dijadikan argumentasi. 3. Para fuqoha berusaha keras untuk mengetahui ijma' dari sahabat untuk diikuti, agar mereka tidak menyimpang dari hukum yang telah disepakati oleh para sahabat. Bahkan ketika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, maka mereka berusaha agar pendapatnya tidak menyimpang dari pendapat-pendapat para sahabat (Muhammad Abu Zahroh, 1994 : 309). Dengan kecenderungan demikian, nampak bahwa ijma' dari sahabat mempunyai kedudukan yang penting dalam ijtihad. Suatu hukum dapat ditetap- 30

kan berdasarkan ijma', dan kehujjahannya dapat dipandang sah, manaka1a ijma' itu telah memenuhi rukun-rukunnya, sebagai berikut: Pertama, pada saat terjadinya peristiwa itu, mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang. Seluruh pendapat itu setuju terhadap keputusan yang diambil itu. Artinya jika hanya seorang mujtahid saja yang mengambil keputusan, maka hal itu tidak dapat disebut ijma'. Kedua, kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat direalisasikan. Terjadinya kesepakatan sebagian besar ulama, tidaklah berarti ijma' itu terjadi. Ketiga, adanya kesepakatan seinua mujtahid ummat Islam atas suatu hukum syar'i tentang suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaannya atau kelompoknya. Maka jika ada kesepakatan ulama Makkah saja atau Madinah saja, atau Irak saja, atau dan lain-lain, maka tidaklah dikatakan ijma' menurut syara'. Keempat, adanya kesepa-, katan mereka itu dengan menampilkan pendapat masing-masing mereka secara transparan dan jelas mengenai suatu kejadian, baik dalam bentuk ucapan misalnya dengan memberi fatwa, atau dalam bentuk perbuatan misalnya suatu keputusan (lihat Az Zahaili, 1986 : 537). III. IJMA' SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM Apabila rukun ijma' yang empat itu telah terealisir maka hukum yang telah disepakati itu menjadi undang-undang syara yang harus diikuti dan tidak boleh ditentang. Ia merupakan hujjah atau dalil dalam pembinaan hukum Islam. Bagi mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan keputusan itu sebagai objek ijtihadnya, karena hukum yang telah ditetapkan mengenai suatu kejadian dengan ijma' adalah hukum syara secara pasti, tidak ada jalan untuk menentangnya atau menghapusnya. Bukti kehujjahan ijma' adalah: Pertama, dalam al Qur'an Surat an-nisa ayat 59 Allah niemerintahkan untuk taat kepada ulil amri. Lafadz Amri adalah hal-hal keadaan dan ia adalah umum. Ulil Aron duniawi adalah para raja, pemimpin dan penguasa. Sedang Ulil Amri agamawi adalah para mujtahid atau ahli fatwa agama. Ibnu Abbas menafsiri ulil amri dengan ulama. Yang jelas Ijma' memiliki kekuatan hukum. Artinya ayat di atas menunjukkan wajib mematuhi hukum yang di- 31

AL-QAIAM sepakati oleh seluruh ulama mujtahid atau masa. Kedua, bahwasanya suatu hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid ummat Islam, pada hakekatnya hukum ummat Islam. Hal ini sebagaimana had.its nabi sebagai berikut Lb,:. I --J Artinya: "Tidaklah berkumpul ummatku untuk melakukkan kesalahan". 0-1 c,i ) Lo' J11.>.-s- Artinya: "Apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin baik, maka ia baik (pula) di sisi Allah". (lihat Az Zahaili, 1986 : 542-543). Menurut adat, merealisasikan rukun-rukun ijma' seperti yang telah diuraikan di atas, nampaknya ijma' tersebut sulit untuk diwujudkan, karena tidak adanya ukuran, m.isalnya karena perbedaan bangsa atau marga. Artinya, jika ijma' didefinisikan dengan "kesepakatan para m ujtahid da - lam setiap masa terhadap hukumhukum.syara'", maka ijma' tersebut tidak akan terjadi. Karena para mujtahid berdomisili di berbagai negara dan kota yang tidak mungkin semua dipertemukan dalam suatu tempat. Kalaupun memang terjadi masing-masing mujtahid dapat memperhatikan pendapatnya dengan sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan, maka persoalannya adalah apa yang dapat menjamin bahwa mujtahid yang menampilkan pendapatnya itu akan tetap berpegang pada pendapatnya itu sampai diambil pendapat-pendapat yang lain? Padahal mutlak diperlukan dalam mewujudkan ijma, ketetapan kata mufakat para mujtahidin semuanya, pada suatu waktu atas satu hukum mengenai suatu peristiwa. Ringkasnya, bahwa ijma' tidak mungkin diwujudkan. Jika ijma' itu diwujudkan, maka ia harus disandarkan kepada dalil. Dan bila dalil yang menjadi sandaran itu qoth'i, maka hal yang mustahil menurut adat, jika dalil itu disembunyikan. Karena bagi ummat Islam tidaklah tersembunyi bagi mereka dalil syar'i yang qoth'i sampai mereka memerlukan kembali kepada mujtahid. Dan jika ijma'nya adalah berupa dalil dzonni, tentu mustahil menurut adat (kebiasaan) Ijma', karena dalil dzonni tidak bisa tidak, tentu menjadi objek pertentangan. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: Siapa yang mengaku adanya ijma', dia itu adalah pendusta (lihat Khalaf, 1994 : 70-71). Tetapi jika yang dimaksud 32

ijma' adalah kesepakatan para mujtahid terhadap hukum-hukum syara' yang telah ditetapkan berdasarkan dalil nash yang qoth'i, maka hal itu mungkin terjadi. Bahkan dalam hal ini, yang menjadi hujjah bukan ijma', melainkan dalil- dalil nash yang qoth'i. Adapun mengenai kriteria mujtahid, Imam Syafe'i membuka dialog dalam kitab Jima'ul Ilmi sebagai berikut: Siapakah di antara ulama yang ijma'nya dapat dijadikan hujjah ialah orang-orang yang diakui (diangkat) oleh penduduk suatu negara sebagai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya dapat diterima oleh penduduk tersebut dengan senang hati (Abu Zahroh, 1994: 310). Kemudian pada bagian yang lain, Abu Zahroh (1994: 311) mengatakan, bahwa pendapat seorang mujtahid di suatu tempat tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya kritik dan penolakan dari sebagian penduduknya. Setiap pendapat para ulama pasti memiliki cacat yang menjadi bahan kritik bagi ulama lain senegaranya; Imam Syafe'i cenderung menolak terjadinya ijma' dengan alasan- alasan sebagai berikut: I. Para Fuqoha berdomisili di berbagai tempat yang her- jauhan, sehingga mereka tidak mungkin dipertemukan. 2. Terjadinya perbedaan pendapat di antara para fuqoha yang tersebar di berbagai daerah. 3. Tidak ada kesepakatan ulama tentang orang-orang yang diterima ijma'nya. 4. Tidak adanya kesepakatan para ulama tentang kriteria ulama yang berhak untuk berpendapat dalam masalah-masalah fiqih. Meskipun Imam Syafe'i cenderung menolak kemurigkinan ter jadinya ijma', akan tetapi dalam kitab Ar-Risalah dia telah menetapkan bahwa ijma' dapat terjadi dalam masalah-masalah yang diperde-batkan (Abu Zahroh, 1994: 311-312). Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' itu bisa wujud menurut adat. Mereka berkata: Sesungguhnya pendapat yang dinyatakan orang penentang akan kem ungkinan terjadinya ijma' adalah merupakan hal yang nyata. Sekalipun dikem ukakan dalil atas kemungkinan terjadinya. Contoh ijma' menurut mereka adalah kekhalifahan Abu Bakar, keharaman lemak babi, bagian warisan seperenam bagi anak perempuan, tertutupnya ibnul ibni dari pewar- isan sebab adanya ibni, dan lain 33

AL QALMI sebagainya dari hukum-hukum juz'iyah dan kulliyah (Khalaf, 1994: 72). Adapun Khalaf (1994: 72) menyatakan pendapatnya bahwa ijma' tidak akan terwujud secara adat tanpa campur tangan pemerintah Islam. Artinya setiap pemerintahan Islam bisa menentukan syarat- syarat seorang mujtahid. Dan hukum yang telah disepakati menjadi hukum syara' yang harus diikuti oleh ummat Islam seluruhnya. Adapun ijma' secara realitas sekarang ini tidaklah terjadi yang ada hanyalah kesepakatan para ilmuwan atau hukum yang dihasilkan dari musyawarah jama'ah. Terlepas dari hal itu semua, maka pada hakekatnya benarlah pendapat ulama yang mengatakan, bahwa tidak ada ijma' yang disepakati dan diterima oleh semua ulama, kecuali ijma'nya sahabat. Di dalam mengomentari masalah-masalah yang dianggap telah terjadi ijma', Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, "kami tidak melihat pertentangan ulama dalam masalah tersebut" (Abu Zahroh : 1994 : 314). Adapun ijma' ditinjau dari sudut cara menghasilkannya, ada dua macam yaitu: Pertama; Ijma' Shorih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada NO. 67/XIll/19971 suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qodho' (memberi putusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya. Ijma' ini termasuk katagori haqiqi, ijma' yang dijadikan hujah syar'iyah menurut madzhab jumhur. Kedua; Ijma' Sukuti, yaitu sebahagian mujtahid suatu masa menampilkan pendapatnya secara jelas mengenai suatu peristiwa dengan sistem fatwa atau qodho', sedang sebahagian mujtahid tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokannya atau perbedaannya. Ijma' mi termasuk pada katagori ijma' i'tibari (dianggap ada ijma'), karena seorang mujtahid yang diam belum tentu setuju. Oleh karenanya kehujjahannya dipertentangkan, ia hanya pendapat sebagian mujtahid. Sedang ulama Hanafiyah menilai ijma' sukuti adalah sebagai hujjah. Diam menurut Hanafiyah berarti setuju (lihat Az Zuhaili, 1986: 552-553 ). Sedangkan Khalaf (1994 75) menyatakan, bahwa pendapat yang saya anggap utama adalah pendapat jumhur. 34

NO. G7/XIII)I997 ljma' bila ditinjau dari segi dalalahnya terbagi kepada dua, yaitu: Pertama, Ijma' yang qoth'i dalalahnya atas hukum (yang dihasilkan), yaitu ijma' shorih, dengan artian bahwa hukumnya telah dipastikan, dan tidak ada jalan mengeluarkan hukum lain yang bertentangan. Tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad mengenai suatu kejadian setelah terjadinya ijma' shorih atas hukum syara' mengenai kejadian itu. Kedua, ijma' yang dhonni dalalahnya atas hukum ( yang dihasilakan ), yaitu ijma' sukuti, dengan artian bahwa hukum itu didugakan menurut dugaan yang kuat, dan tidak bisa dilepas bila kejadian itu terlepas dari usaha ijtihad. Karena ia adalah hasil pencerminan pendapat jama'ah mujtahidin yang bukan keseluruhan (Khalaf, 1994 : 75-76). Berdasarkan uraian di atas, menurut golongan Hanafiyah kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya. Sedangkan menurut imam Syafe'i hanya ijma' shorih saja yang disebut ijma' sebenarnya. Mengenai kedudukan hukum orang yang mengingkari hukum hasil ijma', menurut sebagian ulama, bahwa mengingkari hasil ijma' shorih adalah kufur. Misalnya mengingkari ijma' sahabat. Hal ini disebabkan karena ijma' para sahabat terhadap hukum-hukum syar'i telah ditetapkan secara mutawatir. Dengan demikian sanad dari ijma' ini adalah qoth'i, sebagaimana hukum yang disepakati juga bersifat qoth'i. Imam Fakhrurrozi dan mayoritas fuqoha berkata: ljma' yang diriwayatkan secara perseorangan (ahad) tidak dapat dijadikan hujjah. Sebagai alasan, faktor yang menyebabkan ijma' dapat dijadikan hujjah adalah terletak pada sifatnya yang qoth'i, yaitu bahwa ijma' tersebut disandarkan pada para ulama yang membentuknya. Jika ijma' di atas telah kehilangan sifatnya yang qoth'i, lantaran diriwayatkan oleh perseorangan (ahad) sehingga sanadnya menjadi dzonni, maka ia telah kehilangan fungsinya. Dengan demikian hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma' tergantung pada nash yang dijadikan landasan oleh ijma' tersebut (Abu Zahroh, 1994 : 327). Oleh karena itu, mengingkari ijma' berati mengingkari dalil qoth'i dan selanjutnya mengandung pengertian mengingkari kebenaran Rasulullah Saw, yang demikian itu adalah kufur. Sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa mengingkari hukum ijma' itu tidaklah kufur, ka- 35

L-QALAltl. rena dalil kehujjahan ijma' adalah dalil dzonni bukan qoth'i. Kiranya yang kuat adalah apa yang dikatakan oleh Muhammad Khudhari Beyk (1988 : 288). Mengatakan kafir secara mutlak kepada orang yang mengingkari hukum hasil ijma' adalah tidak betul. Imam Haramain berkata: Telah masyhur di kalangan ulama fiqih bahwa orang yang mengingkari hukum hasil ijma' itu kafir, hal itu pasti tidak benar. Karena mengingkari kehujjahan ijma' saja tidak kafir, mengatakan seseorang itu kafir atau bukan tidak mudah. Adapun mengingkari hukum hasil ijma' dhonni, para ulama sependapat bahwa hal itu tidak sampai mengakibatkan seseorang menjadi kafir. VI. KESIMPULAN Dari uaraian tentang ijma' di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sebagian besar ulama sepakat, Ijma' adalah merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah al-qur'an dan al-hadits. Eksistensinya dapat dijadikan hujjah bagi permasalahan hukum yang tidak terdapat nash atau terdapat nash yang nilainya dzonni, sehingga dengan telah di ijma'kannya, maka berubahlah kedudukkan nash yang dzonni itu menjadi qoth'i. NO. 67 /XIIl/1997i Ijma' tidak dipandang sah kecuali apabila ada sandarannya, sebab ijma' bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Fatwa ulama atau keputusan hukum berdasarkan ijma' tanpa sandaran adalah keliru. Ijma memiliki rukun dan masih mungkin untuk dilakukan jika terdapat beberapa faktor pendukung. Namun demikian umumnya sulit untuk diwujudkan, kecuali ijma' sahabat yang para fuqoha tidak meragukannya lagi. Adapun hukum orang yang mengingkari ijma' terdapat dua pendapat, yaitu sebagian mengkafirkan dan sebagian lagi tidak menganggap kafir. Hal ini tergantung daripada kualitas ijma' itu sendiri. DAFTAR PUSAKA Abdul Aziz, I/mu Ushul Fiqih, Bineka Cipta, Jakarta, 1995 Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, jld I, Bulan Bintang, Jakarta, 1980. Khudhari Beyk, Ushul Fiqih, Dar el Fikri, Bairut. 1988. Abu Zahroh, Muhammad, Ushut Fiqih, alih bahasa Saifullah Ma'shum, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994. Khalaf, Abdul Wahab, I/mu Ushul Fiqih, alih bahasa Tholhah Mansur dkk, Kaidahkaidah Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1994. Az Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqih /slami, Dar el Fikri, Bairut, 1986. 36