BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Makna Hidup Pada Orang Ateis 1. Pengertian Makna Hidup Chaplin dalam Kamus Psikologi (2006) mengatakan bahwa makna mempunyai arti: a.) sesuatu yang dimaksudkan atau diharapkan, b.) sesuatu yang menunjukkan satu istilah atau simbol tertentu. Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah sesuatu yang dimaksudkan atau diharapkan dalam hidup sehingga menunjukkan satu istilah atau simbol tertentu. Dalam kamus filsafat (Bagus, 2002), arti makna (meaning) tidak satu, diantaranya adalah definisi, makna sebuah kalimat atau pernyataan, dan signifikansi, sesuatu yang ditunjukkan atau dimaksud untuk diekspresikan. Istilah makna hidup tertuang ke dalam teori tentang logoterapi yang dikemukakan oleh Viktor Frankl. Logoterapi berasal dari bahasa Yunani, yaitu logos yang berarti makna dan rohani serta terapi yang berarti penyembuhan. Logoterapi menganggap bahwa makna hidup dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia untuk meraih kehidupan bermakna (the meaningful life) yang diinginkan (Bastaman, 2007). Menurut Yalom (dalam Bastaman, 2007) pengertian makna hidup sama artinya dengan tujuan hidup yaitu segala sesuatu yang ingin dicapai 9
dan dipenuhi. Sejalan dengan definisi tersebut Bastaman (2007) mengartikan makna hidup sebagai sesuatu yang dianggap penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Individu harus memiliki komitmen untuk menjawab tantangan hidup agar dapat mencapai makna hidupnya. Apabila makna berhasil ditemukan baik dari pengalaman hidup yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, maka, individu akan merasa berguna, berharga serta berarti (meaningful). Namun, bila tidak berhasil ditemukan, hidup akan terasa tidak bermakna (meaningless) (Bastaman, 2007). Makna hidup adalah manner, suatu cara atau gaya yang digunakan untuk menghadapi kehidupan, untuk menunjukkan eksistensi, dan cara pendekatan individu terhadap kehidupannya sendiri berbeda-beda dan unik. Apabila individu telah mencapai tingkat kesadaran yang lebih dalam dimana kesadarannya lebih tertuju untuk pencarian makna-makna, maka dapat dipastikan bahwa pemaknaan seorang individu terhadap kehidupan dengan individu lain akan berbeda satu sama lain (Kruger, 1979). Makna hidup menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007) harus dilihat sebagai sesuatu yang sangat subjektif karena berkaitan dengan hubungan individu dengan pengalaman hidupnya. Keberhasilaan dicapai dengan jalan berusaha mempertahankan dan mengembangkan kehendak untuk hidup secara bermakna (the will to meaning) meskipun mengalami penderitaan yang luar biasa. 10
Menurut Frankl (Schultz, 2005) meskipun manusia tunduk pada kondisi-kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupannya, tetapi manusia memiliki kebebasan untuk memilih reaksi terhadap kondisi-kondisi tersebut. Bastaman (1996) menambahkan bahwa manusia memiliki kebebasan yang sifatnya tidak mutlak dan bukan tidak terbatas, Karena manusia memang makhluk yang terbatas. Kebebasan yag dimaksud bukan merupakan kebebasan kondisi biologis manusia, psikologis dan sosiokultural, tetapi yang dimaksud adalah kebebasan dalam menentukan sikap. Frankl (dalam Bastaman, 2007) membagi dua peringkat makna hidup yaitu makna hidup paripurna dan makna hidup pribadi. Makna hidup paripurna bersifat universal dan mutlak serta dapat dijadikan makna pribadi. Namun bagi ateis dan apresiasi terhadap Tuhan dan agama kurang mungkin beranggapan bahwa alam semesta, ekosistem, pandangan falsafah dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai tujuan-tujuan yang jelas. Kemudian bagi orang beragama Tuhan merupakan perwujudan tuntunannya berbeda dengan makna hidup paripurna yang universal mutlak, maka makna hidup bersifat unik, personal dan spesifik yang berbeda-beda untuk setiap orang dan berbeda dari waktu ke waktu. Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah tujuan hidup individu secara pribadi yang dapat menunjukkan eksistensinya. 11
2. Sumber-Sumber Makna Hidup Frankl (dalam Bastaman, 2007) mengemukakan bahwa makna hidup bisa ditemukan melalui tiga cara yang disebut juga sebagai tri nilai makna hidup, yaitu: a. Nilai-nilai Kreatif (Creative Values) Nilai kreatif dapat diperoleh melalui berbagai kegiatan berkarya. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Pada dasarnya seorang bisa mengalami stress jika terlalu banyak beban pekerjaan, namun ternyata seseorang akan merasa hampa dan stress pula jika tidak ada kegiatan yang dilakukannya. Kegiatan yang dimaksud bukan semata-mata kegiatan yang mencari uang, namun pekerjaan yang membuat seorang dapat merealisasikan potensi-potensinya sebagai sesuatu yang dinilainya berharga bagi dirinya sendiri atau orang lain maupun kepada Tuhan. Pekerjaan menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007) merepresentasikan keunikan keberadaan individu dalam hubungannya dengan masyarakat dan karenanya memperoleh nilai dan makna. Nilai dan makna ini berhubungan dengan pekerjaan seseorang sebagai kontribusinya terhadap masyarakat dan bukan sesungguhnya pekerjaannya yang akan dinilai. b. Nilai-nilai Penghayatan (Experiential Values) Berlainan dengan pendalaman nilai-nilai kreatif yang memberikan sesuatu yang berharga kepada lingkungan, pendalaman 12
nilai-nilai penghayatan berarti mengambil sesuatu yang bermakna dari lingkungan luar dan mendalaminya. Realisasi nilai-nilai penghayatan dapat dicapai dengan berbagai macam bentuk penghayatan terhadap keindahan, kebajikan, menyakini kebenaran ayat-ayat dalam kitab suci, merasakan keakraban dalam keluarga, cinta kasih, serta bentuk penghayatan lainnya. Menghayati dan menyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Seperti halnya cinta kasih yang dapat menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan pengalaman hidup yang membahagiakan. Menurut Fromm (dalam Bastaman, 2007), menyebutkan ada empat unsur dari cinta kasih yang murni, yakni perhatian (care), tanggungjawab (responsibility), rasa hormat (respect), dan pengertian (understanding). c. Nilai-nilai Bersikap (Attitudinal Values) Nilai ini sering dianggap paling tinggi di dalam sumber makna hidup. Nilai-nilai bersikap teraktualisasi ketika individu dihadapkan pada sesuatu yang sudah menjadi takdirnya. Dalam menghadapi masalah, seseorang bisa menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal. 13
Penderitaan dapat membuat manusia merasakan hidup yang sesungguhnya. Dalam penderitaan dikatakan bahwa manusia dapat menjadi matang, karena melalui penderitaan itulah manusia belajar dan semakin memperkaya hidupnya dan juga dapat memberikan makna bagi dirinya. 3. Sifat-Sifat Makna Hidup Menurut Frankl (dalam Bastaman, 1996) ada beberapa karakteristik dari makna hidup, yaitu: a. Sifatnya unik dan personal artinya apa yang dianggap bermakna dan penting bagi individu belum tentu menjadi sesuatu yang bermakna dan penting bagi individu lain. b. Makna hidup sifatnya konkrit dan spesifik maksudnya, dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari. Tidak selalu dalam renungan-renungan filosofis. c. Makna hidup bersifat memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakanakan menantang (chalenging) dan mengundang (inviting) individu untuk memenuhinya. 4. Aspek-Aspek Makna Hidup Crumbaugh dan Maholick (Koeswara, 1992) menemukan alat ukur kebermaknaan hidup yaitu The Purpose in Life Test (PIL Test). PIL Test merupakan petunjuk seberapa tinggi makna hidup seseorang. Adapun komponen yang diukur berkaitan dengan maksud atau makna hidup tersebut antara lain : 14
a. Tujuan hidup Merupakan segala sesuatu yang dipandang penting dan beharga oleh seseorang serta memberi nilai khusus. b. Kepuasan hidup Penilaian seseorang terhadap hidupnya. Sejauh mana ia bisa merasakan dan menikmati kepuasan dalam hidup dan aktivitasaktivitas yang dijalaninya. c. Kebebasan berkehendak Perasaan bahwa ia mampu mengendalikan kebebasan hidupnya secara bertanggung jawab yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. d. Sikap terhadap kematian Bagaimana seseorang berpandangan dan kesiapan menghadapi kematian. Orang yang mempunyai kebermaknaan hidup akan membekali dirinya dengan berbuat kebaikan, sehingga dalam memandang kematian akan merasa siap untuk menghadapinya. e. Pikiran untuk bunuh diri Bagi seseorang yang mempunyai makna hidup akan berusaha menghindari keinginan untuk melakukan bunuh diri atau bahkan tidak memikirkannya. Sebaliknya orang yang tidak memiliki makna hidup akan selalu berpikiran untuk mengakhiri hidupnya sebagai upaya penyelesaian masalah hidupnya. 15
f. Kepantasan hidup Pandangan seseorang terhadap kepantaasan hidupnya. Apakah ia merasa bahwa sesuatu yang dialaminya pantas atau tidak. 5. Dimensi Makna Hidup Bastaman (1996) mengatakan bahwa terdapat komponen-komponen yang potensial yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan mengembangkan kehidupan bermakna sejauh hal tersebut diaktualisasikan. Komponen ini ternyata cukup banyak ragamnya, tetapi semuanya dapat dikategorikan dalam menjadi tiga dimensi yaitu : a. Dimensi personal Unsur-unsur yang merupakan Dimensi personal adalah : 1) Pemahaman diri (self insight), yakni meninggkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik. 2) Pengubahan sikap (changing attitude), dari semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup dan musibah yang terelakkan. b. Dimensi sosial Unsur yang merupakan dimensi sosial adalah dukungan sosial (social support), yakni hdirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia memberikan bantuan pada saat-saat diperlukan. c. Dimensi Nilai-nilai Adapun unsur-unsur dari Dimensi nilai-nilai meliputi : 16
1) Makna hidup (the meaning of live), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan mengarah kegiatan-kegiatanya. 2) Keikatan diri (self commitment), terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan. 3) Kegiatan terarah (directed activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-poteni pribadi (bakat, kemampuan, keterampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup. 6. Pengertian Ateis Secara etimologis, kata ateis berasal dari bahasa inggris yaitu atheism. Istilah ini sendiri diambil dari bahasa Yunani yaitu atheos yang berarti tanpa Tuhan. Kata tersebut berasal dari a yang berarti tidak dan theos yang berarti Tuhan (Bagus, 2002). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ateis adalah orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Le Poidevin (dalam Cliteur, 2009) mengatakan bahwa Ateis adalah orang yang menolak keberadaan pencipta semesta, bukan semata-mata hanya hidup tanpa mengacu pada pencipta tetapi juga memilik kesadaran dan posisi yang tegas. Mereka mengangap bahwa kepercayaan pada Tuhan adalah irasional sehingga harus ditolak. Sesorang yang memiliki ketiadaan belief teistik yang disebabkan oleh adanya kesadaran untuk menolak hal 17
tersebut yang dilakukan dengan sengaja diistilahkan sebagai Ateis eksplisit oleh Smith (2003). Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa ateis adalah bentuk penolakan atau tidak percaya akan adanya Tuhan. 7. Tipologi (Jenis-Jenis) Ateis Menurut Silver (2013), ada 6 tipologi atau jenis ateis yaitu intellectual atheist/agnostic (IAA), activist atheist/agnostic (AAA), seekeragnostic (SA), anti-theist, non-theist, dan ritual atheist/agnostic (RAA). a. Intellectual atheist/agnostic (IAA) adalah tipe atheist yang individu yang proaktif berusaha mendidik diri sendiri lewat asosiasi intelektual, dan proaktif untuk memperoleh pengetahuan tentang berbagai topik yang berkaitan dengan ontologi dan non-keyakinan. Activist atheist (AAA) adalah individu yang tidak puas dengan menjadi non-kepercayaan; mereka berusaha untuk menjadi baik, menjadi vokal dan proaktif mengenai isu-isu di ateis / agnostik lingkup sosial-politik. b. Seeker-agnostic (SA) adalah individu-individu yang menyesuaikan diri dengan kemungkinan metafisik menghalangi keberadaan metafisik, atau setidaknya mengakui kesulitan filosofis dan kompleksitas dalam membuat afirmasi pribadi tentang keyakinan ideologis. sebagai SA tidak bisa memastikan keberadaan Tuhan atau yang ilahi. Mereka tetap berpikiran terbuka dalam kaitannya dengan perdebatan antara unsurunsur agama, spiritual, dan antiteisme dalam masyarakat. Seeker- Agnostik mengakui keterbatasan pengetahuan dan pengalaman manusia. 18
c. Anti-theist adalah bertentangan dengan ideologi agama. Dengan demikian, tegas anti-theist baik secara proaktif dan agresif menegaskan pandangan mereka terhadap orang lain jika sesuai, berusaha untuk mendidik teis dalam sifat ketinggalan jaman kepercayaan dan teologi. Dengan kata lain, antitheists melihat agama sebagai kebodohan dan melihat setiap individu atau lembaga yang terkait dengan itu sebagai terbelakang dan sosial merugikan. d. Non-Theist adalah mereka memiliki pengalaman dengan orang lain yang ditunjukkan diri sebagai non-teis. Untuk Non-teis, penyelarasan diri dengan agama, atau sebaliknya posisi epistemologis terhadap agama dapat tampil cukup konvensional dari sudut pandang mereka. Namun, beberapa hal mungkin terbaik menangkap sentimen dari non-theist. Salah satunya adalah apatis, sementara yang lain mungkin tertarik. Nontheist adalah non-aktif dalam hal melibatkan diri dalam kegiatan sosial atau intelektual yang berkaitan dengan agama atau anti-agama. A nonteis hanya tidak menyangkut dirinya sendiri dengan agama. Agama tidak memainkan peran atau masalah dalam kesadaran atau pandangan dunia seseorang; juga tidak nontheist suatu memiliki kepedulian terhadap ateis atau gerakan agnostic e. Ritual Atheist/Agnostic (RAA) adalah mereka yang dapat menemukan utilitas dalam ajaran beberapa tradisi keagamaan. Mereka melihat ini sebagai ajaran kurang lebih filosofis bagaimana menjalani hidup dan mencapai kebahagiaan dari sebuah jalan ke pembebasan transendental. Ritual Atheist/Agnostic menemukan utilitas dalam tradisi dan ritual. 19
Misalnya, orang-orang dapat berpartisipasi dalam ritual tertentu, upacara, peluang musik, meditasi, kelas yoga, atau tradisi liburan. partisipasi tersebut mungkin terkait dengan identitas etnis (misalnya Yahudi) atau utilitas yang dirasakan dari praktek-praktek tersebut dalam membuat individu orang yang lebih baik. 8. Tahapan Menjadi Ateis Krueger (dalam Sulistiadi) mengungkapkan terdapat 5 tahapan seseorang menjadi seorang ateis, yaitu: a. Detachment Pada fase ini, individu mengalami dua gejala, pertama dan yang paling penting, secara emosional, individu tidak menanamkan ide agama manapun. Yang kedua dia tidak bisa memberikan alasan mengenai keraguannya atau mengidentifikasi keraguan terhadap suatu kepercayaan. b. Doubt Pada tahap kedua, individu menentukan apa yang membuat mereka tidak nyaman atau tidak puas terhadap agama. Ketika keraguan mereka sebelumnya yang tidak pasti, sekarang mereka dapat dengan jelas mengidentifikasikan dan mampu mengeluarkan pikirannya mengapa mereka skeptis (ragu-ragu). Individu juga dapat menunjukkan kejadian yang spesifik dalam hidup mereka atau informasi yang akurat untuk menjelaskan keraguan mereka. Pada tahap ini kebanyakan berfokus pada logika dan alasan tanpa mengutamakan emosi. Akhir pada fase ini, individu dapat memposisikan diri mereka dan memperkuat semua 20
keraguannya. Ketidakpuasan pada fase detachment digantikan dengan kepercayaan bahwa dia tidak termasuk dalam agama yang dianutnya sebelumnya. c. Dissociation Pada tahap ini individu memisahkan diri dari agama yang dianut sebelumnya. Mereka menolak kepercayaan dan kebiasaan yang dilakukan agama itu. d. Transition Pada tahap ini individu mencoba untuk mencari identitas alternative yang menjembatani jarak antara identitas agama dan yang tidak. Fase transisi dapat membantu individu untuk mendapatkan identitas barunya. Pada akhir tahap ini, individu akan menyadari identitas mana yang sesuai dengan dirinya. e. Declaration Pada akhirnya individu tidak lagi mempercayai bentuk atau kebiasaan agama manapun. Mereka meninggalkan kepercayaannya untuk mejalankan hidup dengan cara pandang duniawi. Akhirnya mereka mengenali bahwa mereka tidak lagi percaya pada yang kuasa. Mereka menemukan identitas yang sesuai yang dapat menggambarkan kepercayaan mereka. Sproul (1974) menjelaskan dengan perspektif yang sekuler dan ilmiah tentang tahap awal respons manusia terhadap pengetahuan tentang Tuhan. Kita dapat melihat disini bahwa pernyataan ini sangat berbau ateisme sebab Tuhan dipandang dalam sebuah hubungan eksistensi yang 21
murni dengan manusia layaknya sebuah subjek, tanpa adanya asumsi dasar atas keilahian dan kesempurnaan sifat-sifat Tuhan. Hal ini menurut Sproul telah dikoreksi berdasarkan pengalaman bawah sadar manusia. Adapun hal tersebut dapat diformulasikan dengan pengkategorian atas : a. Trauma Tuhan menyatakan suatu ancaman terhadap standar moral manusia. Suatu ancaman terhadap pertanyaan manusia akan otonomi manusia dan suatu ancaman terhadap hasratnya atau keingintahuan manusia atas kerahasiannya. Pada akhirnya ateisme menjadi suatu pilihan dimana manusia memiliki sesuatu hal untuk dapat merasa bebas menentukan sikap dan nilai-nilainya sendiri dari suatu bentuk kekuatan yang mengerikan dan mengekang kebebasan tersebut. Serta suatu bentuk pemutusan hubungan dari sesuatu hal yang memiliki kekuatan mutlak dimana seseorang merasa terancam oleh keberadaan hal tersebut. b. Represi (tekanan) Dalam kasus penyingkapan Tuhan, manusia menemukan suatu tanda-tanda ancaman yang menimbulkan trauma. Ingatan atas kesadaran pengetahuan akan trauma tidak dipertahankan dalam suatu pernyataan jelas yang mengancam ini, melainkan ditekan agar tidak muncul. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menyangkal keberadaan Tuhan sebagai suatu simbol atas kekuasan serta kekuatan mutlak yang akhirnya diasumsikan sebagai suatu bentuk yang dapat mengancam eksistensi manusia. 22
c. Subsitusi Dalam khazanah psikologi apa yang dihasilkan dari penekanan atau pembungkaman mengenai konsep Tuhan adalah pernyataan ateisme baik dalam bentuk yang militan atupun yang kurang militan (seperti agnotisme), atau bentuk lainnya yang membuat Tuhan terlihat tidak terlalu menakutkan dibandingkan dengan gambaran umum yang sebenarnya berlaku. Baik pilihan, ateisme ataupun menganut agama tertentu, memerlukan satu pertukaran kebenaran dengan kebohongan. Hal ini terjadi karena kebohongan jauh lebih mudah untuk dilalui dalam hidup. 9. Makna Hidup Pada Orang Ateis Seluruh sejarah umat manusia adalah wujud dari rentetan usahanya menemukan hakikat diri dan makna hidup. Sebab dalam adanya rasa dan kesadaran akan makna hidup, kebahagiaan dapat terwujud. Kesadaran hidup bermakna dan bertujuan diperoleh orang hampir semata-mata karena dia mempunyai tujuan yang diyakini cukup berharga untuk diperjuangkan, kalau perlu dengan pengorbanan (Madjid, 1996). Bagi orang beragama makna hidup dapat dipelajari dan dihayati lewat pelajaran moral dalam agama yang dianutnya. Pelajaran-pelajaran dan nilai moral dalam agama seperti kitab suci, buku spiritualitas, maupun nasehat dari orang bijak dan pemimpin atau pemuka agama menjadi dasar pedoman hidup bagi umat beragama. Eksistensi manusia hidup didunia pada dasarnya sudah ditentukan oleh agama, namun bagi orang ateis hal tersebut tidak berlaku. Hal ini dikarenakan ateis memiliki pandangan hidup sendiri 23
yang setiap individu berbeda-beda tentang keberadaannya tanpa adanya campur tangan dari orang lain yang mengikat kebebasan mereka. (Harris, 2006). Bagi ateis mereka tidak menerapkan prinsip-prinsip makna hidup yang di ajarkan oleh agama (Bastaman 1996). Makna hidup tidak harus selalu berasal dari agama (Frankl dalam Bastaman, 1996). Hal ini sesuai dengan salah satu aspek-aspek makna hidup yang dikemukakan oleh Crumbaugh dan Maholick yaitu tentnag kebebesan berkehendak. Ateis mampu untuk mengendalikan kebebasan hidupnya namun tetap bertanggung jawab dan didasari pada nilai-nilai kebenaran. Setidaknya ada 6 aspek dalam makna hidup, yaitu : 1). Tujuan hidup, 2). Kepuasan hidup, 3). Kebebasan berkehendak, 4). Sikap terhadap kematian, 5). Pikiran untuk bunuh diri dan, 6). Kepantasan hidup (Crumbaugh dan Maholick dalam Koeswara, 1992) Istmi dalam blognya mengatakan bahwa, untuk orang yang beragama semua pertanyaan jelas sudah terjawab sedangkan untuk ateis pertanyaan-pertanyaan seperti di atas itu dipikirkan oleh diri sendiri juga mempercayai pada penilaian moral sendiri. Ateis selalu ingin berpikir dengan cara mandiri, meneliti, menilai dan membandingkan dari pada menerima apa yang dikatakan oleh Imam, Pastor atau orangtua bagaimana kita harus memikirkannya. Seorang atheis ingin/mau diyakinkan secara rasional, dengan berpikir sacara logis seperti membandingkan mythologi dari kitab suci dengan hasil penelitian dari sains, mengenai keindahan dunia ini (http://baltyra.com/2014/01/16/kehidupan-seorangatheis/#ixzz4uzwr66ij, diakses tanggal 20 November 2016). Frankl 24
(dalam Koeswara, 1987) menyatakan bahwa makna hidup tidak harus merupakan soal agama, tapi juga dapat dan sering merupakan persoalan filsafat hidup yang sifatnya sekuler. Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan bahwa ada 3 sumber untuk menemukan makna hidup yaitu 1). Nilai-nilai kreatif, 2). Nilai-nilai penghayatan dan, 3). Nilai-nilai bersikap. Memilih menjalani hidup sebagai ateis bukanlah suatu halangan untuk memiliki makna hidup. Dengan kebebasan yang tetap memegang teguh pada nilai-nilai kebenaran dan moralitas, orang ateis pun masih tetap bisa untuk memiliki dan mencapai makna hidupnya walaupun tidak ada pedoman hidup seperti yang dimiliki oleh umat beragama. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian diatas pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana gambaran makna hidup pada orang ateis? 25