BAB I PENDAHULUAN. Karena tidak ada satupun aktivitas orang badan hukum dalam kegiatan pembangunan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dari Tuhan Yang Maha Esa. Ketersediaan tanah sebagai sebagai sumber

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang

KEPASTIAN HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DAN SUMBERDAYA ALAM

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanahan Nasional juga mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi masyarakat agraris selain sebagai faktor produksi yang sangat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

LAND REFORM INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A.

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan mereka sehari-hari begitu juga penduduk yang bertempat tinggal di

KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh)

BAB I PENDAHULUAN. fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

HUKUM AGRARIA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian sangat memerlukan tanah pertanian. Dalam perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. sebut tanah, selain memberikan manfaat namun juga melahirkan masalah lintas sektoral

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat

BAB I PENDAHULUAN. dapat bermanfaat bagi pemilik tanah maupun bagi masyarakat dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah.

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dari Negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah. menurut Undang-Undang Pokok Agraria yang individualistic komunalistik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan bagian yang paling penting dan sangat erat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Selaras dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

BAB I PENDAHULUAN. dengan tanah, dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara

BAB I PENDAHULUAN. (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkeb unan,

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1 Fokus Media UUD 1945 dan Amandemennya. Bandung: Fokus Media

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan bahwa, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan. Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

BAB I PENDAHULUAN. Agraria berasal dari bahasa latin ager yang berarti tanah dan agrarius

BAB I PENDAHULUAN. pangan dalam kehidupannya, yaitu dengan mengolah dan mengusahakan

BAB I A. LATAR BELAKANG

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga, dipelihara, dan

BAB I PENDAHULAN. digunakan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan dasar manusia seperti untuk

BAB I PENDAHULUAN. musibah. Manusia dalam menjalankan kehidupannya selalu dihadapkan

BAB I PENDAHULUAN. besar guna melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. suatu badan hukum ataupun Pemerintah pasti melibatkan soal tanah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. tanah sebagai lahan untuk memperoleh pangan. untuk pertanian, maupun perkebunan untuk memperoleh penghasilan

BAB 1 PENDAHULUAN. Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Djambatan, 2005), hal

BAB I PENDAHULUAN. empat untuk menyuplai pasokan barang kebutuhan dalam jumlah yang banyak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat hukum adat

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB I PENDAHULUAN. aktifitasnya yang berupa tanah. Tanah dapat berfungsi tidak saja sebagai lahan

BAB I PENDAHULUAN. prasarana penunjang kehidupan manusia yang semakin meningkat. Tolak ukur kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. tempat tinggal yang turun temurun untuk melanjutkan kelangsungan generasi. sangat erat antara manusia dengan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia dan mengingat susunan kehidupan dan pola perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat investasi yang sangat menguntungkan. Keadaan seperti itu yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Tanah. tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah.

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

BAB I PENDAHULUAN. tangan terhadap hubungan hukum antara manusia dengan tanah di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), Negara Indonesia. kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.

PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KAMPUNG ADAT DI KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang

BAB I PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan

PELAKSANAAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG DITERLANTARKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. diusahakan atau digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang nyata. perlindungan hukum bagi rakyat banyak.

BAB 1 PENDAHULUAN. vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa, pendukung negara yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB II. ASAS- ASAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT dan MASYARAKAT ADAT

BAB I PENDAHULUAN. penduduk, sementara disisi lain luas tanah tidak bertambah. 1 Tanah dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif (normative legal

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri daerahnya. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Menurut Soerjono Soekanto bahwa : 103. asas sesuatu (inquiry) secara sistematis dengan adanya penekanan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. kematian, perkawinan, perceraian, pengesahan anak dan pengakuan anak.

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kekayaan alam yang tersedia di dalam bumi ini. Salah satu sumber daya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap orang maupun badan hukum membutuhkan tanah. Karena tidak ada satupun aktivitas orang badan hukum dalam kegiatan pembangunan yang tidak membutuhkan tanah. Tanah merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Ketersediaan tanah sebagai sebagai sumber daya alam relatif tidak berubah dan statis, sedangkan pertumbuhan penduduk atau populasi manusia diatas permukaan bumi ini terus berkembang atau semakin bertambah banyak. Tanah merupakan kebutuhan pokok manusia, manusia bertindak secara sedikit demi sedikit untuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam pada tanah untuk memenuhi tututan hidupnya yang utama, yaitu pangan, sandang dan papan (kebutuhan primer), sehingga tanah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia begitu pula sebaliknya. Begitu pula bagi masyarakat hukum adat, sumber rezeki terbesar mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup dominannya bersumber diatas tanah. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga perlu adanya suatu peraturan yang mengatur tentang pertanahan, Baik itu tentang penggunaan, peruntukan, penguasaan dan kepemilikan dari tanah tersebut. Oleh karena itu dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang merupakan suatu pencerahan dalam sistem pertanahan di Indonesia, selain itu adanya dualisme dalam bidang hukum pertanahan yaitu berlakunya hukum adat disamping hukum 1

agraria yang didasarkan atas hukum barat. Oleh karena itulah dirasakan perlunya Hukum Agraria yang seragam dan bersifat nasional dalam hal ini UUPA. Pengertian tanah yang berkembang di tengah masyarakat tidak sama sebagaimana yang ditetapkan di dalam undang-undang. Tanah menurut UUPA adalah permukaan bumi. Bumi itu sendiri terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu permukaan bumi, tubuh bumi, dan yang berada di bawah air. Dari ketiga unsur itu yang dimaksudkan dengan tanah hanyalah permukaan bumi saja. Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA sebagai berikut: Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Masalah pertanahan mendapat perhatian serius dari negara, perhatian tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bahwa : Bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi landasan konstitusional dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau disingkat dengan UUPA. Dalam pasal tersebut arti menguasai dalam hal ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan atas tanah bagi tiap warga negara

Indonesia, melainkan menguasai dalam arti mengatur dan mengawasi sedemikian rupa dalam tiap-tiap pendayagunaan tanah-tanah tersebut agar para pemilik tanah atau pemegang hak-hak lainnya (hak pakai, hak guna usaha, penyewa dan lain sebagainya) : a. Tidak melakukan kerusakan-kerusakan atas tanah. b. Tidak menelantarkan tanah; c. Tidak melakukan pemerasan-pemerasan atas tanah atau pendayagunaan (exploitation) yang melebihi batas; d. Tidak menjadikan tanah sebagai alat untuk pemerasan keringat dan pemerasan lainnya terhadap orang lain (exploitation des I Homme par L.Homme). 1 Hukum Agraria di Indonesia sejak zaman penjajahan bersifat dualisme hal ini terjadi dengan tujuan bangsa asing untuk menjajah ke Indonesia adalah untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dari bumi Indonesia. 2 Keadaan seperti ini tidak lepas dari campur tangan Pemerintahan Hindia Belanda yang lebih mengutamakan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu serta lebih berfikir rasional yang dipengaruhi oleh perkembangan negara tersebut. Setelah Indonesia merdeka ketentuan-ketentuan agraria Hindia Belanda secara berangsur-angsur dihapuskan karena dirasakan tidak sesuai lagi, maka dilakukanlah 1 Kartasapoetra G dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985, Hal.9. 2 Chadidjah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah, Yayasan Pencerahan Mandailing, Medan, 2008, Hal.4

perombakan atas hukum agraria. Karena perombakan hukum secara total tidak memungkinkan, maka perombakan hukum agraria di Indonesia dilakukan secara sporadis yang berarti secara berangsur-angsur satu demi satu peraturan yang bertentangan dengan alam nasional Indonesia dihapuskan dan diganti dengan peraturan agraria yang baru yang berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di Indonesia penegakan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum yang masih berpegang teguh pada hukum adat dan masih menghargai adat itu sendiri. Didalam masyarakat, hukum yang berlaku adalah hukum adat, sebab hukum adat dapat disebut juga hukum kebiasaan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat terdapat tingkah laku manusia yang sudah ada dari zaman nenek moyang, karena masih begitu kuatnya adat istiadat peninggalan nenek moyang yang dianggap masih harus terus dipertahankan walaupun kehidupan manusia terus berkembang sesuai perkembangan zaman. Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk. Hal ini dapat dilihat pada penamaan masyarakat-masyarakat tersebut dengan nama DESA yang berasal dari daerah-daerah tertentu di Indonesia. Desa merupakan spesies sebagai halnya dengan kuria, marga, nagari dan seterusnya. Demikian juga halnya dengan pemerintah desa, serta pengangkatan kepala desa yang didasarkan kepada pemilihan. Banyak masyarakat hukum adat di Indonesia ini yang sekaligus

mempunyai dasar genealogis dan teritorial, apakah kenyataan tersebut akan dihapuskan atau lebih baik dikembangkan. Mengenai masyarakat hukum adat, telah terjadi penguasaan dan pengambilalihan terhadap tanah hak masyarakat adat. Pada awalnya kasus-kasus pelanggaran terhadap hak atas tanah ulayat memang hanya dalam skala kecil, seperti bentuk pelanggaran hak ekonomi dan sosial, namun dalam skala lebih besar terkadang malah terjadi pelanggaran hak-hak sipil dan politik yang terkadang disertai dengan kekerasan hingga sampai memakan korban jiwa dan harta benda yang apabila tidak dapat ditangani dengan baik akan meluas dan berkembang menjadi pelanggaran terhadap hak azasi manusia. Hal seperti inilah yang menyebabkan masyarakat berada dalam kondisi yang tidak berdaya untuk melindungi kepentingan sendiri, yang pada akhirnya masyarakat selalu melakukan pengorbanan-pengorbanan baik perasaan sedih maupun kecewa karena harus melepaskan tanah peninggalan leluhur nenek moyang mereka, yang menjadi sumber penghidupan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum tertentu.hak atas tanah ulayat ialah bersifat kolektif, dan bukan merupakan hak yang bersifat individual sebagaimana hak atas tanah yang dikenal dalam sistem hukum barat, dimana adanya suatu hubungan struktural yang erat antara masyarakat yang bersangkutan dengan lingkungan tempat

menggantungkan hidupnya, yang memiliki implikasi bahwa hak atas tanah ulayat tidak dapat ditangani dan dipahami terpisah dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Dalam ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA di undangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, sedangkan penjelasan UUPA dimuat dalam Tambahan Negara Tahun 1960 Nomor 2043. Undang-undang tersebut menentukan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara. Arti menguasai dalam hal ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan atas tanah bagi tiap warga negara Indonesia, akan tetapi negara memiliki kewenangan untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah, karena berdasarkan Pasal 33 ayat (3) tersebut terkandung makna adanya hubungan penguasaan, yang artinya bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai negara, sedangkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya akan melahirkan hak ulayat, dan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan ketiga hal tersebut

(hak menguasai tanah oleh negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia memberi kekuasaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Akibatnya terjadi dominasi hak menguasai tanah oleh negara terhadap hak ulayat dan perorangan atas tanah, sehingga memberi peluang kepada negara untuk bertindak sewenang-wenang dan berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah. 3 Kewenangan negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah termasuk juga masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya, serta pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum tersebut, sehingga dalam hal ini hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak ulayatnya tidak dilanggar oleh siapapun, sehingga hubungan negara dengan tanah tersebut tidak terlepas dari hubungan masyarakat adat dengan tanah ulayatnya. Maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. 2008 tentang 3 Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media, Jakarta, 2007, Hal. 7.

Pemerintahan Daerah dan dikaitkan dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, kewenangan mengatur tanah dan hak ulayat itu berada pada Pemerintahan Kabupaten/Kota. Meskipun demikian sangat kecil kemungkinan keluarnya Perda oleh Pemda tanpa adanya permohonan hak atas tanah ulayat. Permohonan hak ulayat tersebut juga harus dimulai dari pembuktian apakah masyarakat hukum adat di daerah yang bersangkutan masih ada atau tidak. Undang-Undang Otonomi Daerah 2004 jo. 2008 memberikan tanda-tanda yang membingungkan pada masyarakat adat. Tingkat otonomi yang masih bisa diperdebatkan diberikan kepada masyarakat adat di tingkat desa. Disini, penggunaan kata-kata yang kurang jelas bisa membuat salah pengertian. Misalnya, dalam hukum yang dibuat untuk mengubah pemerintahan tingkat desa, desa didefinisikan "kesatuan hukum masyarakat yang secara hukum diakui dan mempunyai otoritas untuk mengendalikan dan memperhatikan kebutuhan masyarakat setempat sesuai dengan asal muasal dan kebudayaannya.'' Hal ini membesarkan hati jika punya implikasi pembentukan ulang sistim pemerintahanan desa yang beragam, yang dulu pernah ada sebelum penyeragaman yang sangat merugikan pada tahun 1979. Walaupun demikian perbedaan makna yang diberikan kepada definisi hukum desa sebagai ''bagian dari sistim pemerintahan nasional telah menimbulkan perdebatan mengenai sejauh mana

masyarakat desa dapat menikmati otonomi dalam menyelesaikan permasalahan mereka. 4 Tanpa terbukti adanya masyarakat adat, jangan diharapkan tanah ulayat masih exist, karena tanah tersebut dikuasai oleh negara. Negaralah yang berwenang menentukan ada tidaknya tanah hak ulayat yang bersangkutan. Tanah ulayat berawal dari adanya subyeknya, yaitu masyarakat hukum adat di daerah yang bersangkutan, apabila memang masih ada, tidaklah terlalu sulit untuk menjalankan proses permohonan status tanah ulayat yang diinginkan di daerah yang bersangkutan Suku Sakai adalah komunitas asli/pedalaman yang hidup di daratan Riau. Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindahpindah di hutan. Suku Sakai merupakan salah satu suku asli Propinsi Riau yang memiliki wilayah hak ulayat dan hutan ulayat yang masih alami atau masih sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku, yang menempati beberapa daerah di Propinsi Riau, salah satunya di Kabupaten Bengkalis, yang kian hari kian terdesak saja keberadaannya karena hilangnya hak ulayat yang diantaranya berupa hutan ulayat yang berada diatas tanah ulayat masyarakat adat akibat pembukaan hutan untuk perkebunan yang telah mendapatkan izin dari pemerintah. Orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. 4 http// Ire-Pemberdayaan Masyarakat Adat, diakses tanggal 9 september 2008.

Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus orang orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai ditepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai. Suku Sakai menjadi tersingkir di wilayah sendiri, karena sosial ekonomi mereka tidak dapat bersaing dengan kemajuan zaman, tanah ulayat yang mereka miliki, yang membentang luas dari Minas hingga Dumai yang didalamnya mengandung cadangan minyak terbesar di nusantara tidak membuat lebih makmur kehidupan mereka. Berdasarkan peta yang dibuat oleh Moszkowski, seorang antropolog Jerman yang melakukan penelitian tentang Sakai Tahun 1911, wilayah Suku Sakai meliputi Minas, Belutu, Tingaran, Sinangan, Semunai, Panaso dan Borumban. 5 Akan tetapi wilayah yang masih memiliki tanah ulayat yang masih benar-benar alami dan masih terlihat eksistensinya,dan masih terjaga hutan adatnya berada di Kecamatan Mandau Desa Kesumbo Ampai. 14 5 Ahmad Arif dan Agnes Rita, Sayap Patah Para Sakai, Koran Kompas, 24 April 2007, Hal.

Hutan Ulayat berada diatas hak ulayat masyarakat Sakai juga telah berpindah tangan kepada pengusaha-pengusaha pemegang HPH (Hak Pengasahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang menyebabkan masyarakat Suku Sakai tidak punya lagi tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga hal ini tentu berdampak pada taraf perekonomian masyarakat Sakai, sehingga dengan terpaksa masyarakat menjual tanah-tanah mereka kepada pihak luar dengan harga yang murah karena pada dasarnya masyarakat Suku Sakai tidak memiliki sertifikat kepemilikan, serta dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah tentu tidak mengetahui harga pasar tanah. Penjualan tanah dengan harga murah dilakukan karena hasil hutan semakin berkurang, sedangkan kebutuhan warga semakin bertambah. Padahal ada larangan menjual tanah ulayat, tetapi karena warga terdesak ekonomi sehingga mudah dibujuk. Fenomena tersebut jelas merupakan masalah pertanahan yang terus berlangsung di Riau khususnya pada masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis, dimana masih berlangsungnya peralihan hak penguasaan atas tanah dari masyarakat yang jelas-jelas menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup pada tanah kepada pihak luar yang bukan anggota komunitas masyarakat Suku Sakai untuk dikelola sendiri maupun kepada pengusaha yang diberikan hak untuk itu. Keadaan seperti ini jelas memperlihatkan tetap berlangsungnya proses pengalihan hak atas tanah ulayat masyarakat adat yang sebenarnya dilindungi oleh undang-undang.

Pengambilalihan tanah tersebut yang sebagian dijual sendiri oleh masyarakat Suku Sakai, atau sebagian diambil begitu saja dengan ganti rugi yang sangat rendah atau bahkan tanpa ganti rugi, padahal untuk mendapatkan kembali tanah yang telah dilepas hampir tidak mungkin karena tingkat kenaikannya harga tanah jelas akan menyulitkan masyarakat Sakai untuk memperoleh kembali, yang jelas tidak seimbang dengan tingkat penghasilan masyarakat tersebut. Sementara untuk mempertahankan sendiri haknya masyarakat Sakai tidak mempunyai patokan, karena tanah ulayat tidak memiliki sertifikat tanda bukti tertulis sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sehingga memang mudah menimbulkan konflik pertanahan, dan yang menjadi masalah adalah bagaimana peran negara dalam hal ini, karena undang-undang sendiri telah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya. Harus disadari bahwa masyarakat hukum adat sering berada dalam posisi yang lemah dalam mempertahankan hak-haknya, ditengah-tengah kekuatan modal dalam mengeksploitasi lahan dan sumber daya alam. Padahal masyarakat hukum adat telah banyak memberikan kontribusi dalam melindungi dan mengelola sumber daya alam serta telah mampu mempertahankan kelestarian lingkungan. Sebagaimana telah diketahui bahwa telah sejak zaman dahulu berabad-abad lamanya masyarakat hukum adat memanfaatkan sumber daya alam tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan bencana seperti sering terjadi sekarang ini. Hal

tersebut karena masyarakat adat percaya bahwa adanya hubungan antara manusia, alam sekitar serta tuhannya, sehingga keseimbangan itu harus tetap dijaga agar tidak terjadi murka dari Tuhan. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 4 ayat (1) menjelaskan bahwa penguasaan bidang-bidang tanah ulayat oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dilakukan dengan tata cara hukum adat yang berlaku. Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) menjelaskan pula bahwa pelepasan tanah ulayat masyarakat hukum adat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan hak guna usaha atau hak pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu. Begitu pula mengenai mekanisme penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang melibatkan masyarakat adat juga diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Akan tetapi pada kenyataannya pemerintah dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap tanah ulayat masyarakat adat tempat masyarakat menompang kelangsungan hidup serta yang menjaga keseimbangan alam. Sedangkan seperti yang telah diketahui sejalan dengan apa yang telah disebut dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria pada Pasal 3 menyatakan bahwa : Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Dari Pasal 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa negara secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, maksudnya yaitu di daerah-daerah dimana hak ulayat itu tidak ada lagi maka tidak akan dihidupkan kembali. Demikian juga daerahdaerah yang tidak pernah ada hak ulayat maka tidak akan dihidupkan hak ulayat baru. Begitu juga pada era otonomi daerah saat ini dimana telah terjadi perubahan paradigma kekuasaan negara yang semula bersifat desentralistis dan demokratis, demikian pula dalam hal hak menguasai tanah oleh negara pun telah berubah juga menjadi desentralistis, sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemerintah daerah, kabupaten serta kota merupakan lini pertama untuk melindungi hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis merasa tertarik untuk mengadakan suatu penelitian yang penulis beri judul Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau.

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah pada masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau? 2. Apakah penyerahan hak ulayat atas tanah oleh masyarakat Suku Sakai kepada pihak lain sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor. 5 Tahun 1999? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi pada masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. 2. Untuk mengetahui penyerahan hak ulayat atas tanah oleh masyarakat Suku Sakai kepada pihak lain sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor. 5 Tahun 1999.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Secara Teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai Hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah ini, maka pembaca dapat semakin mengetahui tentang perkembangan tanah adat dalam ilmu hukum agraria. 2. Secara Praktis Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat memperkaya bahan pustaka mengenai hukum pertanahan, menjadi masukan bagi kalangan praktisi yang berkepentingan terutama mengenai hak ulayat dalam hukum pertanahan Indonesia, dan juga diharapkan menjadi bahan bagi mereka yang akan mendalami atau meneliti masalah eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Pada Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau belum pernah dilakukan. Sepengetahuan penulis ada tesis yang berjudul : 1. Pelaksanaan Hak Ulayat Nagari Untuk Kepentingan Umum (Studi Pengadaan Tanah Dari Hak Ulayat Untuk Bandar Udara Internasional

Minangkabau). Oleh Yuselina pada tahun 2008, akan tetapi penelitian tersebut menitikberatkan pada pelaksanaan pengadaan tanah hak ulayat untuk Bandar Udara Internasional Minangkabau. 2. Beberapa Kendala Yuridis Dan Sosilogis Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Ulayat Masyarakat Minangkabau Di Kabupaten Tanah Datar. Oleh Ririn Agustin pada tahun 2005, yang lebih menitikberatkan pada pendaftaran tanah ulayat masyarakat Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar. Sedangkan penelitian penulis lebih menitikberatkan pada eksistensi hak ulayat masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau dalam era otonomi daerah. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian. 6 Hal. 80. 6 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Cetakan Ke I, 1994,

Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasian dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu. 7 Adapun teori yang dipakai dalam pembuatan tesis ini adalah teori pembaharuan hukum. Istilah pembaharuan hukum sebenarnya mengandung makna yang luas, mencangkup sistem hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure), substansi / materi hukum (substance). Dan budaya hukum (legal culture). 8 Sehingga, ketika bicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksud adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi struktur hukum, materi hukum dan budaya hukum. Roscoe pound mengatakan bahwa hukum itu sebagai suatu unsur dalam hidup masyarakat harus memajukan kepentingan umum. 9 Artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa. Ia harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dari pandangan Pound dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio) dan empiris (pengalaman) dalam suatu peraturan hukum harus ada. Artinya, hukum yang pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian 7 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Ke II, 2003, Hal.23. 8 Lawrence M.Freidman, American Law, (New York : W.W.Norton & Company, 1930), pg.5-6 Dalam Mulhadi : Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Di Indonesia, 2005, USU, Responsitory @ 2006. 9 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisuius, Yogyakarta, 2001, Hal.180.

dikonkretarisasi menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli sebagai hasil kerjanya ratio, yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh negara. Dari teori dan pandangan tersebut dapat dipahami bahwa pembaharuan hukum di Indonesia utamanya di tujukan untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil dan sejahtera, tentram dan damai serta membawa perubahan-perubahan yang baik pada struktur kehidupan. Tanpa harus merugikan pihak lain tetapi memberikan suatu pemecahan atas suatu permasalahan. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) yang merupakan payung hukum tertinggi terhadap pengakuan hak-hak masyarakat dalam mempergunakan berbagai sumber kekayaan yang ada di bumi, seperti hutan dan tanah atau lahan yang tujuannya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 menyebutkan hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan lainnya segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama. Pasal ini memberikan kejelasan kepada kita bahwa hukum adat yang berlaku di dalam ketentuan ini bukanlah merupakan hukum adat yang murni akan tetapi

hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang telah beradaptasi dengan situasi dan keadaan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga tidak dimungkinkan dikembangkan hukum adat yang murni. Dalam lingkungan hukum adat, tanah memiliki fungsi yang sangat fundamental, tidak semata-mata sebagai benda mati yang dapat dibentuk sedemikian rupa melainkan juga sebagai tempat untuk mempertahankan hidup atau modal esensial yang mengikat masyarakat dan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, selalu terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara hak-hak seseorang sebagai anggota masyarakat dengan hak-hak masyarakat secara umum atas tanah yang ditempati. Satu hal yang menarik dan perlu mendapat perhatian serius bahwa hukum tanah sekarang telah mengalami unifikasi melalui UUPA. Undang-undang ini disebut sebagai peraturan yang bersandarkan pada hukum adat. 10 Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa pengertian hukum adat dalam UUPA adalah identik dengan hukum yang asli, yang diartikan secara sempit dan tradisional sehingga kedudukan dan peranannya dikembalikan pada masa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia. 11 Berbeda dengan Soerjono Soekanto, Otje Salman Soemadiningrat cenderung untuk mengatakan bahwa undang-undang ini telah 10 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT. Alumni, Bandung, 2002, Hal. 160. 11 Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1984, Hal.44

merombak hukum tanah adat dengan hanya memberlakukan hal-hal tertentu saja dari padanya. Pereduksian hukum tanah adat dapat dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan negara atas tanah-tanah yang berada di wilayah Indonesia dan timbulnya hak milik yang diatur pemerintah. 12 Hukum tanah adat pada pokoknya tidak terlepas dari tata susunan hukumkeluarga-adat serta hukum-tatanegara-adat, terutama apa yang dikatakan rechtsgemeenschappen ( persekutuan hukum ). 13 Masyarakat hukum adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dulu sampai saat ini. Sedangkan pengakuan terhadap hukum adat oleh UUD 1945 terdapat dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: Negara menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang tercantum dalam pasal 2 ayat (9) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Sehingga demikian keberadaan masyarakat hukum adat memang tidak boleh dipungkiri dan harus diakui, sebagaimana Undang-Undang Nomor 4 12 Otje Salman Soemadiningrat, Op Cit, Hal. 161. 13 Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pemberdayaan Pancasila Bagian Pertama, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, Hal.25

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengakuinya, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya sosial dan wilayah sendiri. 14 Masyarakat hukum adat atau yang dikenal dengan istilah lain seperti masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau indigenious people yaitu suatu komunitas antropologi yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar berasal dari satu nenek moyang yang sama dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan, serta tidak punya posisi yang dominan dalam struktur dan posisi politik yang ada. Menurut Hazairin sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto memberikan uraian mengenai masyarakat hukum adat sebagai berikut : Masyarakat-masyarakat seperti hukum adat Desa di Jawa, Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal atau bilateral) mempengaruhi 14 Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat.

sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan pemburuan binatang liar, pertanbangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasi dan selalu punya peranan yang besar. 15 Pada hukum adat yang berlaku dimasing-masing daerah di Indonesia dikenal hak ulayat atau dengan nama lain yang berbeda sesuai dengan sebutan di daerahnya, yaitu hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah hutan belukar yang ada di sekitar desanya untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya seperti mengambil hasil hutan, berburu, menangkap ikan bahkan membuka tanah untuk melakukan pertanian baik yang berpindah maupun yang menetap. Berdasarkan pendapat pakar hukum adat tersebut maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut : 1. Terdapat masyarakat yang teratur. 2. Menempati suatu tempat tertentu. 3. Ada kelembagaan. 4. Memiliki kekayaan bersama. 5. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan lingkungan daerah; 6. Hidup secara komunal dan gotong royong. Hal.93. 15 Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,

Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu maka dalam masyarakat hukum tersebut harus memiliki struktur pemerintahan atau kepemimpinan. Dalam hal ini dipimpin oleh seorang pimpinan (ketua adat). Masyarakat hukum ini mempunyai kedaulatan penuh (soverign) atas wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai kewenangan (authority) penuh untuk mengelola, mengatur dan menata hubungan-hubungan antara warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk mencari keseimbangan hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang menjadi tujuan tersebut terwujud. Hak ulayat merupakan asal dan akhir dari hak perseorangan dalam persekutuan hukum. Hak perseorangan berada dibawah naungan hak ulayat. Semakin intensif hubungan seseorangan dengan tanah di lingkungan hak ulayat, semakin kuat hak yang dipunyainya, dan semakin lemah pembatasan hak ulayat terhadapnya. Sebaliknya semakin lemah hubungan hukum seseorang dengan tanah itu, semakin lemah haknya dan semakin kuatlah hak ulayat, inilah yang disebut oleh Ter Haar dengan menguncup/mengempis mengembang bertimbal balik tiada hentinya. 16 16 Ramli Zein dalam Tunas Effendi dkk, Hutan Tanah Ulayat dan Permasalahannya, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan, Pekanbaru, 2005, Hal. 12

Menurut Budi Harsono, Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenangwewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. 17 Menurut Ramli Zein, secara objektif subtansi masalah pertanahan berpangkal pada ketidakserasian pandangan terhadap dua faktor yaitu, faktor manusia dan faktor tanah. Hukum adat sebagai hukum asli telah menata hubungan manusia dengan tanah dengan suasana tradisional berdasarkan pandangan itu. Akan tetapi kemudian bangsa kita hampir gagal mengoperasikan pada masa pasca tradisional. 18 UUPA pada dasarnya juga memberikan pengakuan terhadap hak ulayat tersebut sepanjang memang menurut kenyataannya masih ada, dan dalam hal ini pun pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Penjelasan Umum II angka 3 UUPA). Selanjutnya pada Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa : Hak ulayat dan hakhak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataannya masih ada. Pengertian lain tentang Hak Ulayat ialah Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu, atas wilayah tertentu yang 1996. 17 Kumpulan-Kumpulan Seminar Tanah Adat, Atma Jaya & B.P.N di Puncak, September, 18 Ibid, Hal. 11.

merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun-temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 19 Adapun kriteria hak ulayat adalah : 1. Harus ada lingkungan daripada masyarakat hukum adat itu sendiri. 2. Adanya orang tang diangkat sebagai pengetua adat. 3. Masih didapati adanya tatanan hukum adat itu sendiri yang mengenal adanya suatu lingkungan hidup dan yang berada dalam persekutuan hukum adat. 20 Wujud hak ulayat tersebut berciri sebagai berikut : a. Masyarakat hukum adat dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam lingkungan wilayah dengan bebas yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil, berburu, mengambil ikan, mengembala ternak dan lain sebagainya. b. Bagi yang bukan anggota masyarakat hukum adat tersebut dapat pula mempergunakan hak-hak itu hanya saja harus mendapatkan izin lebih dahulu dari kepala masyarakat hukum adat dan membayar uang pengakuan atau recognitie (diakui setelah memenuhi kewajibannya). 19 Affan Mukti, Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria, USU Press, Medan, 2006, Hal. 23 20 Ibid, Hal. 23

c. Masyarakat hukum adat bertangung jawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal. d. Masyarakat hukum adat tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat itu untuk selama-lamanya kepada siapa saja. e. Masyarakat hukum adat mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli dan lain sebagainya. 21 Dalam hak ulayat mengandung dua unsur /aspek, yaitu aspek hukum perdata dan aspek hukum publik. Aspek hukum perdata yaitu merupakan hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, sedangkan aspek hukum publik yaitu sebagai kewenangan mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang yang bukan warga atau orang luar. 2. Kerangka Konsepsi Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. 22 Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang kongkrit. 21 Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik Medan, Medan, 2005, Hal. 11.

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut : Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dengan nama yang berbedabeda. Merupakan penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. 23 Tanah sebagai sumber utama bagi kehidupan manusia yang telah dikaruniakan tuhan kepada bangsa Indonesia harus dapat dikelola dan didayagunakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dipergunakan secara seimbang antara hak dan kewajiban terhadap tanah tersebut. 24 Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004) defenisi Otonomi Daerah sebagai berikut : Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Perundang-undangan. 22 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1,Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal.7. 23 Rosdinar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Masyarakat Adat Simalungun, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, Hal. 70 24 Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit, Hal. 2

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 juga mendefenisikan daerah otonom sebagai berikut : Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di era sekarang ini, otonomi daerah sudah dianggap sebagai obat mujarab segala penyakit pemerintahan Di Indonesia, otonomi hampir dimitoskan sebagai dewa kemajuan pemerintahan. Otonomi daerah seakan harus merupakan bagian dari reformasi pemerintahan dan bagian tak terpisahkan dari upaya demokrasi Dengan kata lain tak ada reformasi tanpa ada otonomi dan tak akan ada demokrasi tanpa otonomi daerah. 25 Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, K- ampung, A-nak, I-kan. Hal tersebut mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di kampung, ditepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup airnya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian besar orang melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi merendahkan dan menghina karena kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari kemajuan. 26 25 M.Mas ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, UMM Press, Malang, 2008, Hal.2. 26 Pemberdayaan Masyarakat Suku Sakai, Artikel, Didownload dari http://www.katcenter.info/, diakses tanggal 2 Januari 2009.

G. Metode Penelitian Kata Metode berasal dari bahasa Yunani methods tang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode ini menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. 27 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Artinya penelitian ini merupakan penelitian yang memaparkan, secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok, atau keadaan), dan untuk menentukan frekwensi sesuatu yang terjadi. 28 Yaitu untuk melukiskan fakta-fakta berupa data dengan bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yaitu kamus hukum atau ensiklopedia, untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai eksistensi hak ulayat dalam era otonomi daerah pada masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. 2. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan menitikberatkan pada penelitian hukum normatif. Adapun data yang 27 Koentjaraningrat, Op.Cit, Hal.16 28 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004, Hal. 58

digunakan dalam menyusun tulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya ilmiah, makalah, artikel-artikel, media massa, serta sumber data sekunder lainnya yang dibahas peneliti. Pendekatan yuridis normatif digunakan karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan perundangan yang satu dengan peraturan perundangan yang lainnya yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat. 3. Lokasi Penelitian Adapun yang menjadi tempat lokasi penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu: (1) Data sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan yang terdiri dari Perpustakaan Fakultas Hukum, perpustakaan, Pasca Sarjana, Universitas Islam Riau Pekanbaru, Perpustakan Lembaga Adat Melayu Riau serta Badan perpustakaan dan arsip Propinsi Riau. (2) penelitian lapangan dilakukan di instansi-instansi yang terkait dengan masalah hak ulayat atas tanah seperti Kantor Badan Pertanahan, Badan Pusat Statistik terletak di Kabupaten Bengkalis, kepala desa, kepala adat, masyarakat Suku Sakai Kecamatan Mandau tepatnya di kota Duri.

5. Sumber Data Dalam penulisan ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah menggunakan data sekunder, yang terdiri dari : A. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang terdiri Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dan Peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan tanah. B. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer seperti doktrin (pendapat para ahli), buku-buku, jurnal hukum, makalah, media cetak dan elektronik. C. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, majalah dan internet serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data.

6. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu : 1. Studi Kepustakaan Studi Kepustakaan dilakukan dengan menelaah semua literatur yang berhubungan dengan topik penelitian yang sedang dilakukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dokumen-dokumen perundangundangan yang ada kaitannya dengan penelitian ini. 2. Studi Lapangan Data atau materi pokok dalam penelitian diperoleh langsung melalui penelitian dengan melakukan wawancara kepada beberapa sumber antara lain instansi-instansi terkait dengan masalah hak ulayat atas tanah seperti Kantor Pertanahan Wilayah Kabupten Bengkalis, Lembaga Adat Melayu Riau, serta masyarakat Suku Sakai itu sendiri sebagai informan. 7. Alat Pengumpulan Data Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat penelitian : a. Studi Dokumen yaitu mempelajari serta menganalisa bahan pustaka ( data sekunder).

34 b. Wawancara, yaitu kepada para pihak yang dianggap berkompeten dalam bidang pertanahan dan berwenang untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan materi yang menjadi objek penelitian. 8. Analisis Data Analisa data merupakan upaya penyusunan dan telah terdapat data yang telah diolah untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yang merupakan analisa data yang tidak menggunakan angka-angka, analisa data ini dilakukan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, ketentuan-ketentuan hukum adat, cerdik pandai, serta para pemuka adat, sedangkan penggunaan tabel dan angka-angka dalam penelitian ini hanya bersifat pendukung dari analisa data yang dilakukan, sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat induktif-deduktif sebagai jawaban dari segala permasalahan dalam penulisan tesis ini.