I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Unggas merupakan ternak yang sangat populer di Indonesia sebagai sumber protein hewani daging dan telur. Hal tersebut disebabkan karena ternak unggas harganya relatif murah dan produksinya lebih cepat dibandingkan ternak lain seperti sapi dan domba. Puyuh merupakan unggas yang memegang peranan penting dalam penyediaan protein hewani bagi manusia sehingga pengembangannya harus benar-benar diperhatikan dan ditingkatkan. Seiring dengan perkembangan jaman, puyuh telah mengalami domestikasi dan telah di ternakan oleh manusia secara komersil untuk menghasilkan daging dan telurnya. Rasa khas burung ini menjadikan daging puyuh memiliki penggemar tersendiri, begitu pula rasa telurnya yang tidak dapat disamakan dengan telur ayam biasa. Namun, ada beberapa jenis burung puyuh yang memiliki karakteristik berbeda dimana burung puyuh ini tidak begitu banyak menghasilkan telur tetapi memiliki bulu atau suara yang indah sehingga burung puyuh ini dipelihara sebagai hewan kesayangan atau sebagai hewan fancy. Jenis puyuh yang banyak dipelihara di Indonesia adalah puyuh Jepang (Coturnix coturnix Japonica). Puyuh ini memiliki kelebihan seperti pertumbuhan yang cepat dan produksi telur yang tinggi. Puyuh Jepang dapat memproduksi telur sebanyak 300 butir/tahun. Puyuh ini telah dipelihara di Indonesia sejak tahun 1979 sehingga dapat dikategorikan sebagai puyuh lokal. Pertambahan jumlah penduduk yang semakin pesat di Indonesia dewasa ini menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan akan konsumsi makanan. Oleh sebab itu perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai seleksi terhadap
2 puyuh yang bertujuan untuk mendapatkan bibit-bibit puyuh yang baik dan unggul yang kelak dapat meningkatkan produksi dari segi kuantitas. Puyuh jantan terutamanya yang dominan di jadikan sebagai puyuh pedaging merupakan alternatif lain sebagi kebutuhan protein hewani dan konsumsi makanan, karena puyuh jantan memiliki bobot badan yang berbeda dengan puyuh betina yang dominan di jadikan sebagi penghasil telur, daging burung puyuh mengandung protein yang tidak kalah bergizinya dengan daging hewan lainya seperti ayam, domba dan sapi. Maka dari itu pengaruh seleksi di gunakan untuk memilih puyuh jantan lokal unggul dan puyuh jantan lokal yang memiliki perbedaan genetik yang menjelaskan suatu perubahan antargenetik yang linier, yang diikuti dengan penurunan respon samapai batas seleksi tercapai. Perbandingan antara puyuh lokal non seleksi dan puyuh lokal hasil seleksi merupakan perbandingan untuk membedakan kualitas dan kuantitas pada setiap burung puyuh. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan pengamatan tentang pengukuran sifat kuantitatif terhadap puyuh Coturnix coturnix Japonica jantan lokal dan puyuh Coturnix coturnix Japonica jantan hasil seleksi, sehingga diperoleh karakteristik dari masing masing puyuh tersebut. 1.2 Identifikasi masalah Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang dapat diidentifikasi adalah puyuh mana yang memiliki sifat kuantitatif yang lebih baik diantara puyuh jantan lokal dan puyuh jantan hasil seleksi.
3 1.3 Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat kuantitatif yang lebih baik diantara puyuh jantan lokal dan puyuh jantan hasil seleksi. 1.4 Keguanaan penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan mengenai karakteristik sifat-sifat kuantitatif puyuh Coturnix coturnix Japonica jantan lokal dan puyuh Coturnix coturnix Japonica jantan hasil seleksi. Selain itu dapat dijadikan sebagai informasi untuk melakukan program penyeleksian. 1.5 Kerangka pemikiran Puyuh domestika merupakan puyuh hasil seleksi dari puyuh liar yang dipilih sifat-sifat unggulnya, diantaranya ukuran-ukuran tubuh. Secara genetis puyuh domestikasi memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan puyuh liar (Nugroho,1981). Selain itu terdapat cara hidup dan pemeliharaan yang berbeda antara puyuh domestikasi dan puyuh liar, sehingga mempengaruhi perbedaan bentuk dan ukuran tubuh. Puyuh domestikasi telah mengalami perlakuan dan campur tangan manusia secara langsung di dalam budidayanya, sedangkan puyuh liar sebagian besar masih hidup sendiri di alam bebas (Listiyowati dan Roospitasari, 1992). Burung puyuh adalah jenis unggas yang dimasukan dalam aneka ternak. Burung puyuh sudah sejak lama dikenal masyarakat (Progressio, 2000). Untuk jenis puyuh Coturnix dikenal di masyarakat dan di kembangbiakan sebagai penghasil telur dan daging, akan tetapi untuk puyuh jenis Turnix masih belum
4 populer di masyarakat karena puyuh jenis Turnix merupakan puyuh liar yang keberadaannya di hutan dan pegunungan sehingga sangat sulit untuk di temukan pada saat ini, berbeda jauh dengan zaman dahulu jenis Turnix ini bisa di temukan di daerah pesawahan. Burung puyuh Turnix adalah salah satu puyuh yang hidup secara liar dan keberadaannya di alam bebas dan terbuka. Burung ini biasanya ditemukan dengan cara di buru di hutan-hutan pedalaman. Puyuh liar biasanya hidup di semak-semak pinggir hutan padang rumput (Insani, 2007). Terdapat tiga marga burung puyuh, yaitu marga Turnix yang berasal dari keluarga Turnicidae serta marga Arborophila dan Coturnix yang berasal dari keluarga Phasianidae. Sepintas, akan sulit membedakan puyuh keluarga Turnicidae dengan Phasianidae. Namun, jika di amati lebih teliti, akan tampak perbedaan yang nyata. Keluarga Turnicidae memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil. Jari kakinya berjumlah tiga dan semuanya mengarah ke depan. Keluarga Phasianidae jumlah jarinya empat, tiga menghadap ke depan, satu jari lainnya ke belakang. Contoh keluarga Turnicidae adalah Turnix suscitator atau puyuh tegalan, Turnix sylvatica atau puyuh kuning, dan puyuh Turnix maculosha atau puyuh punggung hitam. Sementara itu, yang termasuk keluarga Phasianidae antara lain Arborophila Javonica atau puyuh gonggong, Arborophila orientalis, Arborophila rubrirostris atau puyuh paruh merah, rolullus roulroul atau puyuh mahkota, Coturnix japonica dan Coturnix chinensis (agus, 2002). Dalam performa individu suatu ternak dapat dibedakan menjadi sifat kualitatif dan kuantitatif. Sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur tetapi dapat dibedakan dan dikelompokkan secara tegas, misalnya warna bulu, bentuk jengger dan sebagainya. Sifat ini dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dan sedikit atau tidak sama sekali dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sifat kuantitatif
5 adalah sifat yang dapat diukur dimana sifat ini dikendalikan oleh banyak gen dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Hadjosubroto,1994). Sifat kuantitatif ini menunjukkan potensi-potensi yang dapat dimanfaatkan pada suatu individu ternak. Sifat kuantitatif pada unggas dapat diketahui melalui pengukuran bobot badan atau pengukuran bagian-bagian tubuh. Sifat kuantitatif juga dapat menjadi tolak ukur dalam sifat ekonomis suatu ternak karena memiliki ciri-ciri fenotipik secara kuantitaf pada ternak seperti produksi telur dan daging. Ternak yang memiliki nilai ukuran tubuh diatas rata rata populasi biasanya dipertahankan dan diseleksi untuk mendapatkan keturunan yang lebih baik, atau digunakan sebagai bibit. Bobot badan merupakan ukuran sederhana untuk mengukur pertumbuhan yaitu merupakan penjumlahan total dari peningkatan ukuran komponenkomponen pembentuk tubuh (Ibe dan Nwakalor, 1987). Ukuran tubuh yang berhubungan dengan produksi unggas yaitu panjang Shank dan betis, panjang paha dan dada, lingkar Tarsometatarsus, lingkar dada dan bobot badan (Mansjoer, 1981). Beberapa sifat kuantitatif atau ukuran-ukuran tertentu pada unggas mempunyai hubungan dengan produktivitas, seperti panjang dan lingkar Shank, panjang dan lingkar dada serta panjang paha. Panjang Femur, panjang Tibia, panjang Tarsometatarsus, lebar Tarsometatarsus, panjang tulang jari ketiga, panjang sayap, panjang Maxilla atas dan tinggi jengger merupakan variabel ukuran linear permukaan tubuh yang digunakan untuk menentukan ukuran dan bentuk tubuh pada ayam kampung Indonesia (Nishida dkk., 1980). Ukuran badan dapat digunakan untuk menduga bobot badan. Ukuran badan yang mencirikan bobot badan di antaranya adalah lingkar dada. Sifat morfologi yang terbesar korelasinya dengan bobot badan adalah lingkar dada baik
6 pada jantan maupun betina (Tanudimadja dkk., 1983). Ukuran kaki juga dapat dijadikan acuan untuk menduga produksi daging, khususnya pada bagian panjang paha. Perkembangan dari panjang paha bawah dan paha atas dapat menunjukkan produksi daging karena merupakan peletakan daging (Mansjoer, 1981). Selain itu lingkar Tarsometatarsus juga dapat dijadikan acuan untuk mengetahui produksi daging dari bobot badan. Lingkar Tarsometatarsus merupakan keliling dari Shank, dapat dijadikan patokan untuk mengetahui bentuk kerampingan dari Shank. Bentuk dari kaki menunjukkan kemampuan dari kaki untuk dapat menunjang bobot badan (Mansjoer, 1981). Ukuran paruh merupakan sifat kuantitatif yang dapat mempengaruhi kemampuan dalam mengambil pakan yang tersedia. Semakin lebar paruh, peluang untuk mengambil makanan akan semakin banyak, sementara panjang paruh akan berpengaruh dalam menjangkau makanan yang terhalang (Suparyanto, dkk., 2004). Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa sifat-sifat kuantitatif pada puyuh yang dapat diukur adalah bobot badan, panjang dada, lebar dada, lingkar dada, panjang paha atas, panjang paha bawah, panjang shank, serta diameter shank. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur sifat-sifat kuantitatif seperti bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh dari puyuh Coturnix-coturnix Japonica jantan lokal dan puyuh Coturnix-coturnix Japonica jantan. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan proses penyeleksian dengan tujuan untuk mendapatkan puyuh dengan produktivitas yang tinggi.
7 1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan selama 1 minggu, pada bulan November tahun 2015, bertempat di Slamet Quail Farm, Desa Cilangkap, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.