BAB I PENDAHULUAN. Pondok Pesantren Daar el-qolam merupakan salah satu pondok pesantren

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. laporan kinerja BNN pada tahun 2015 dimana terjadi peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Al-Qur an. Oleh karena itu, beruntunglah bagi orang-orang yang dapat menjaga

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan perbedaan persepsi dan sikap terhadap pengalaman, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kualitas sumber daya manusia sangat diperlukan untuk menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dari mulai lahir sampai dengan meninggal dunia. Dari semua fase

BAB I PENDAHULUAN. 2013) adalah suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan medis (McGuire, Hasskarl, Bode, Klingmann, & Zahn, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. santri yang dengan awalan pe didepan dan akhiran an berarti tempat tinggal para

BAB I PENDAHULUAN hingga (Unicef Indonesia, 2012). Menurut Departemen Sosial

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Esa unggul merupakan salah satu Universitas swasta yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan-kegiatan dan peraturan yang berlaku di

BAB I PENDAHULUAN. mahasiswa lulus dari mata kuliah tersebut. selalu menilai negatif, tidak mengikuti ujian, belum mengambil mata kuliah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. individu untuk dapat bersaing di zaman yang semakin maju. Pendidikan juga

2015 STUDI TENTANG PERAN PONDOK PESANTREN DALAM MENINGKATKAN KEDISIPLINAN SANTRI AGAR MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. masa anak-anak ke masa dewasa di mana pada masa-masa tersebut. sebagai masa-masa penuh tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berasal dari kata bahasa inggis move yang artinya pindah. Moving diartikan dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Keindahan Seni Pendatang Baru

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. dan individu yang telah lulus dari perguruan tinggi disebut sebagai Sarjana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari tahapan demi tahapan perkembangan yang harus dilalui. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. adalah kemampuan berpikir analitik. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan

erkenalkan, namaku Chanira. Aku lulusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya Malang. Kampus yang luar biasa. Empat tahun jadi bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi semakin diperbaharui dan sumber daya manusia dituntut untuk

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas perkembangan yang sangat penting yaitu mencapai status

PENDAHULUAN. Mahasiswa yang menjalani kuliah di kampus ada yang merasa kurang

BAB I PENDAHULUAN. diselaraskan dengan tuntutan dari lingkungan, sehingga perubahan-perubahan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pakaian yang ketinggalan zaman, bahkan saat ini hijab sudah layak

BAB I PENDAHULUAN. membangun kehidupan sosial dan kehidupan bermasyarakat secara luas bagi seorang anak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. kondisi perekonomian yang cukup sulit bagi sebagian lapisan masyarakat mendorong mahasiswa

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PAKET C DI PKBM NEGERI 17

Aku dan adik kelasku.

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai warga masyarakat. Meskipun manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pada era globalisasi saat ini, pendidikan menjadi sesuatu yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi merupakan istilah yang digunakan di Indonesia untuk mengilustrasikan

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI AKADEMIK DENGAN PENYESUAIAN DIRI AKADEMIK PADA MAHASISWA RANTAU DARI INDONESIA BAGIAN TIMUR DI SEMARANG

2015 POLA ADAPTASI SOSIAL BUDAYA KEHIDUPAN SANTRI PONDOK PESANTREN NURUL BAROKAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. lingkungan (Semiun, 2006). Penyesuaian diri diistilahkan sebagai adjustment.

LAPORAN KONSELING INDIVIDUAL

PERTEMUAN 3 MENGEMBANGKAN DIRI

5. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Strategi Pembentukan Jiwa Kewirausahaan Santri di Pondok Pesantren Al-Ittifaq

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul merupakan salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan, baik dalam

PERBEDAAN KATEGORI ADVERSITY INTELLIGENCE

BAB I PENDAHULUAN. (punishment) sebagai ganjaran atau balasan terhadap ketidakpatuhan agar

Transkrip Wawancara dengan Anak Korban Broken Home

LEMBAR HASIL WAWANCARA (INFORMAN)

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

PETERPAN AND CINDERELLA SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

Pertemuan 3 MENGEMBANGKAN DIRI

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pendidikan merupakan dasar dalam memajukan suatu negara. Majunya suatu negara tercermin dari pendidikan yang

Menurut sekolah, saya sudah lulus. Menurut Tuhan, belon. :p Justru di saat-saat China, Tuhan mendidik saya dengan berbagai macam hal.

BAB I PENDAHULUAN. individual yang bisa hidup sendiri tanpa menjalin hubungan apapun dengan individu

Transkrip Wawancara dengan Suami Broken Home

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Negara-negara maju seperti Amerika, Inggris dan Jerman menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Hurlock (1980) bahwa salah satu tugas perkembangan masa

JOURNEY. Life is a journey that everyone must have

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

BAB I PENDAHULUAN. PT. Jasa Marga (Persero) adalah Perusahaan yang bersifat terbuka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia harus melewati tahap-tahap perkembangan di dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia melalui kegiatan pengajaran, kegiatan pengajaran ini

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan yang sama. Jenis kelamin dari anak kembar ini bisa sama, tapi bisa

BAB II. 1. Pasangan WE dan ET (Mahasiswa perantauan asal Riau)

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. yang menghasilkan produk velg sepeda motor. Visi dari PT. Batavia Alumindo

BAB I PENDAHULUAN. mereka, yaitu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan yang

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. emosional. Salah satu tahap yang akan dihadapi individu jika sudah melewati. masa anak-anak akhir yaitu masa remaja.

LAMPIRAN. 4. Menurut kamu sudah baik kah pelayanan humas? Ya mereka sudah bekerja dengan baik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB I PENDAHULUAN. adalah kualitas guru dan siswa yang mesing-masing memberi peran serta

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau sekolah dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien (Zamroni,

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadikannya sebagai insal kamil, manusia utuh atau kaffah. Hal ini dapat terwujud

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pondok Pesantren Daar el-qolam merupakan salah satu pondok pesantren yang menerapkan sistem pendidikan pondok modern (khalafi). Sistem pendidikan pondok pesantren modern (khalafi) merupakan sistem pendidikan yang mengkombinasikan antara sistem pendidikan tradisional seperti pembelajaran ilmu-ilmu agama dengan sistem pendidikan pembelajaran di sekolah umum. Dengan demikian, santri yang menempuh pendidikan di pondok pesantren Daar el-qolam tidak hanya belajar dan dibekali seputar ilmu-ilmu agama tetapi juga belajar tentang ilmu-ilmu pengetahuan umum (Pondok pesantren daar el-qolam 1, 2017). Pondok Pesantren Daar el-qolam terbagi dalam empat pondok pesantren yaitu pondok pesantren Daar el-qolam 1, 2, 3, dan 4. Pondok pesantren Daar el-qolam 1 merupakan pesantren dengan program pembinaan yang dikhususkan untuk santri tamatan SD/MI dengan masa belajar enam yang belum pernah menempuh pendidikan di pondok pesantren sebelumnya. Pola pendidikan Daar el-qolam 1 mengacu kepada Pondok Modern Darussalam Gontor dengan pola pendidikan formal Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) dan berorientasi pendidikan lanjutnya pada perguruan tinggi agama khususnya di Timur Tengah (Pondok pesantren daar el-qolam 1, 2017). 1

2 Santri yang mengalami masa transisi dari SD kemudian masuk ke pondok pesantren akan berhadapan dengan situasi yang berbeda dari sebelumnya (Santrock dalam Arif & Indrawati, 2014). Santri akan bertemu dengan metode pembelajaran yang baru, para pengajar, Ustad/Ustadzah, kegiatan pesantren yang padat, orang-orang baru, memasuki kelompok-kelompok baru, serta santri diharuskan untuk hidup terpisah dengan orang tua dan menetap di asrama yang disediakan oleh pesantren (wawancara pribadi). Tuntutan tersebut dapat membuat beberapa santri mengalami kesulitan dan tidak nyaman berada di lingkungan pesantren. Mereka menjadi merasa terbebani dan lebih memilih untuk bolos dan bahkan ada yang mengundurkan diri dari pondok pesantren. Untuk menghadapi kesulitan di lingkungan baru tersebut, para santri baru dituntut untuk mau menyesuaikan diri di lingkungan sosialnya. Penelitian yang dilakukan Maslihah (2011), menjelaskan bahwa pada kondisi seperti ini dapat dilihat bagaimana usaha individu mempelajari aturan-aturan baru yang ada dan kemampuan untuk melibatkan diri dengan kelompok, sehingga individu dapat memasuki kelompok tersebut dan diterima dengan baik. Dengan kata lain para santri dituntut untuk bisa melakukan penyesuaian sosial dengan lingkungan yang baru dimana mereka berada. Schneiders (1960) menyebutkan penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Santri baru yang memiliki kemampuan mematuhi peraturan di pesantren, menjalin relasi

3 dengan santri-santri yang lain, baik dengan sesama santri baru maupun santrisantri yang sudah ada sebelumnya (kakak kelas), pengajar, maupun pengasuh sehingga santri tersebut akan dapat bertahan serta dapat menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren. Sedangkan santri yang tidak mampu mematuhi peraturan, tidak mampu menempatkan diri di lingkungan barunya, kesulitan menjalin relasi, diduga akan mengalami kesulitan bahkan akan melarikan diri dari pesantren dan memutuskan untuk berhenti. Seperti hasil wawancara peneliti dengan beberapa santri berikut ini: AH, santri baru, laki-laki. Kesulitan yang pertama kali saat menjadi santri yaitu cara adaptasi dengan lingkungan dimana kita harus menyesuaikan diri dengan tempat, teman, dan lain-lain, dan harus pandai bergaul karena kalo kita hidup di pesantren, teman kita bukan dari satu daerah saja melainkan dari berbagai suku, ras dan bangsa yang berbeda. Kalau bergaul dengan teman, saya harus pandai bergaul dengan yang lain. Biasanya kenal dengan teman kamar, lalu kelas, lalu barulah teman di luar kamar dan kelas. Pernah sempat mau keluar, tapi lagi-lagi support dari orang tua yang membangkitkan semangat untuk tidak mudah menyerah karena pasti kita akan menemui masalah yang sama ketika di luar. Cara mengatasinya yah dengan terus giat belajar dan menyibukkan diri dengan organisasi agar tidak kepikiran untuk berhenti dari pondok. (wawancara pribadi, AH, 21 November 2016) R, santri baru, laki-laki. Kesulitannya belom terbiasa ditinggal orang tua dan ketemu lingkungan yang baru jadi belom bisa beradaptasi. Nah biasanya temen juga susah sih, biasanya ketua kamar yang selalu bisa menyatukan santri baru dengan santri baru juga agar saling mengenal walaupun dari berbagai daerah yang ada di indonesia. Penyesuaian diri sih mungkin waktu yang agak lama yah bisa 3 bulan untuk beradaptasi dengan lingkungan pondok pesantren. Nyerah sih pernah sama yang semua ada di pondok pesantren, ngatasinnya dengan cara banyak-banyakin kegiatan dan banyakin teman aja supaya hidup di sini gak bosen dan jenuh. Gak betah mah biasanya karena belom terbiasa dengan kegiatan di pondok yang serba ngantri. Ngantri makan, mandi. Kan kalau di rumah mah gak ngantri panjang gitu. Yah yang dilakukan cuma ikutin peraturan, mau gimana lagi, terima aja kalau dilanggar kan dapet hukuman.

4 Yang gak bertahan mayoritas berhenti dan yang bertahan paling karena terpaksa dan nakal nanti di pondoknya. (wawancara pribadi, R, 21 November 2016) S, alumni, laki-laki. Awalnya karena masuk ke tempat baru kan, orang tua itu ngajarin kalo bertutur kata itu harus sopan, lembut lah gitu. Nah, gue di kamar ada 18 orang, 5 orang berasal dari luar daerah sana, sisanya anak dari desa sana. Karena anak desa sana, mereka yah ngomongnya gitu yah gimana yah seenaknya, terus juga jahil. Dalam keadaan kayak gitu yah gue inget rumah, kangen orang tua, pengen pulang. Yah awalnya yah gue jalanin aja gitu, banyak-banyakin temen lah ibaratnya. Gak bertemen sama orang sana juga, bertemennya sama yang senasib sama gue. Gue bertemen sama yang 5 orang itu. Gue kan dibully sama temen-temen sekamar itu. Gue gak bisa selesain pendidikan gue di sana karena yah gitu lingkungannya gak enak, sampe gue naik kelas 3 SMP pun gue masih dikata-katain. Gue ada ikut kegiatan pramuka pas kelas 3 makanya gue agak sedikit melupakan kejadian gue di bully itu. Gue udah bilang sama orang tua mau minta keluar dari awal masuk cuma yah orang tua kan maunya gue bertahan. Sempet sih dijanjiin bilang iya nanti keluar, tapi akhirnya enggak juga. Sampai kelas 3 akhirnya gue nuntut terus. Akhirnya orang tua bilang kalo gue bisa dapet nem yang tinggi dan bisa masuk sekolah negeri, baru gue boleh keluar. Dan akhirnya emang iya nilai gue bagus, akhirnya gue keluar dan masuk negeri. (wawancara pribadi, S, 21 November 2016) Berdasarkan hasil wawancara di atas terlihat bahwa pada santri AH dan R mengalami kesulitan di awal masuk pondok pesantren. Namun, AH berusaha untuk menyesuaikan diri dengan cara mencoba menjalin relasi dengan temannya, berusaha terlibat dalam kegiatan di pesantren, berusaha untuk berdiskusi dengan orang-orang yang lebih tau. Hal ini membuat AH mampu menyesuaikan diri di lingkungan sosialnya tersebut. Santri R mencoba untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dan mematuhi segala peraturan yang ada di pondok pesantren. Santri S memutuskan untuk berhenti ketika lulus SMP karena merasa tidak nyaman dengan lingkungan barunya dan juga karena penindasan yang dia alami selama 3 tahun belajar di sana.

5 Menurut Schneiders (dalam Maslihah, 2011) salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial seorang individu adalah kondisi individu dalam menghadapi suatu konflik yaitu suatu keadaan mental yang akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Kemampuan santri dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya akan mendorong santri untuk menghadapi hambatannya, tidak menghindari kesulitannya, berusaha menyelesaikan tuntutan tugasnya, memiliki daya juang untuk keberhasilannya di lingkungan pesantren. Kemampuan yang dimiliki santri tersebut disebut dengan Adversity Intelligence. Menurut Stoltz (2000), Adversity Intelligence adalah kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. Adversity intelligence dapat dikatakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu kondisi psikologis individu dalam menghadapi suatu konflik. Stoltz membagi adversity intelligence dalam tiga kategori yaitu Quitters, Campers, dan Climbers. Santri yang berhenti atau Quitters adalah santri yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti ketika menghadapi kesulitan. Santri yang berkemah atau Campers adalah santri yang takut untuk mengambil resiko dan lebih memilih untuk tetap berada pada zona nyamannya. Climbers atau para pendaki adalah santri yang terus berusaha dan mampu menemukan solusi terhadap masalah yang dihadapi. Bagi santri kesulitan bukanlah suatu hambatan melainkan, tantangan untuk terus berkembang dan memotivasi dirinya untuk meraih kesuksesan.

6 Dari penjelasan tersebut, santri dengan adversity intelligence climbers diprediksi akan memiliki penyesuaian sosial yang lebih baik daripada santri dengan adversity intelligence campers dan quitters (Putra dkk., 2016). Santri dengan adversity intelligence campers atau quitters diduga akan memiliki penyesuaian sosial yang buruk karena santri cenderung mudah menyerah, pesimis, tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki, tidak memiliki daya juang tinggi dan menolak untuk mengikuti aturan. Sedangkan santri dengan adversity intelligence climbers akan memiliki penyesuaian sosial yang baik karena santri lebih fokus terhadap tujuannya, disiplin, bertanggung jawab, mempunyai daya juang yang tinggi, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Jannah (2015); Arif dan Indrawati (2014) yang meneliti tentang kecerdasan adversity dan penyesuaian diri. Dari masing-masing hasil penelitian tersebut memperoleh hasil yang sama bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan adversity dengan penyesuaian diri dengan subjek yang berbeda. Penelitian oleh Fitriany (2008) juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara adversity quotient dengan penyesuaian diri sosial pada mahasiswa perantauan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan penjabaran di atas, diketahui bahwa terdapat hubungan antara adversity intelligence dengan penyesuaian sosial tetapi belum diketahui bagaimana pengaruh antar variabel. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti

7 Apakah terdapat pengaruh Adversity Intelligence terhadap Penyesuaian Sosial pada santri MTs pondok pesantren Daar el-qolam 1? B. Identifikasi Masalah Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan pada santri, diketahui bahwa ada hal yang menjadi permasalahan para santri ketika memasuki pondok pesantren Daar el-qolam 1, di mana para santri mengalami masa transisi dari SD kemudian masuk ke pondok pesantren, yaitu lingkungan yang sangat berbeda dari yang sebelumnya. Santri harus dapat membentuk hubungan dengan teman-teman baru, bersosialisasi antar santri, pengasuh, pembina, serta pengajar mengikuti semua peraturan yang berlaku di pondok pesantren, serta hidup mandiri karena terpisah dengan orang tua. Santri yang memiliki penyesuaian sosial yang baik, akan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi. Untuk menghadapinya, santri memerlukan kemampuan untuk tetap bertahan dari segala tantangan yang disebut adversity intelligence. Lingkungan pondok pesantren yang memiliki peraturan yang berbeda dari lingkungan yang dihadapi sebelumnya oleh para santri baru membuat beberapa santri baru dapat mengalami kesulitan dalam penyesuaian di lingkungannya tersebut. Santri yang memiliki adversity intelligence climbers, akan mampu mengikuti segala peraturan di pondok pesantren, mampu beradaptasi dengan pengajar serta lingkungan sosialnya, yang disebabkan

8 karena santri memiliki kemampuan untuk bertahan, berjuang, berhasil dalam menghadapi semua tuntutan tersebut. Sedangkan santri yang memiliki adversity intelligence campers atau quitters diduga akan memiliki penyesuaian sosial yang buruk seperti kesulitan menyesuaikan diri dengan peraturan di pondok pesantren, pengajar, dan sosialnya karena ia memiliki ketidakmampuan untuk bertahan dan mengerahkan usaha dalam menghadapi kesulitan santri cenderung mudah menyerah, pesimis, tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki, tidak memiliki daya juang tinggi dan menolak untuk mengikuti aturan. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh adversity intelligence terhadap penyesuaian sosial pada santri MTs Pondok Pesantren Daar el-qolam 1. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan terutama mengenai adversity intelligence dengan penyesuaian sosial. 2. Manfaat Praktis Santri diharapkan agar mampu melakukan penyesuaian sosial terhadap kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan baru.

9 E. Kerangka Berpikir Penyesuaian sosial merupakan kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Santri harus memiliki penyesuaian sosial yang baik untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan produktif dalam menyelesaikan berbagai tugasnya. Untuk mengatasi kesulitan penyesuaian sosial dengan situasi dan lingkungan yang berbeda maka dibutuhkan daya juang yang disebut juga adversity intelligence. Adversity intelligence adalah kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. Santri yang yakin dan mampu berusaha dengan maksimal untuk menghadapi tuntutan di pondok pesantren, bekerja keras, tidak berhenti dan selalu mencari cara agar tetap bertahan dan mampu mengatasi permasalahan di lingkungan pesantren, serta berjuang dan menyambut tantangan dengan baik merupakan santri dengan adversity intelligence climbers. Sementara itu, santri yang hanya memiliki keinginan untuk menyelesaikan tuntutan yang ada di pondok namun tidak bersedia mengambil resiko, tidak menggunakan seluruh kemampuannya, dan cepat merasa puas dengan apa yang dimilikinya sehingga tidak ingin mengembangkan dirinya merupakan santri dengan adversity intelligence campers. Sedangkan santri yang tidak melakukan usaha untuk menghadapi tuntutan di lingkungan pesantren, mengelak dan

10 mengabaikan potensi yang mungkin dimiliki santri untuk bertahan karena merasa hal tersebut merupakan hal yang lebih mudah untuk dijalani, tidak mampu mengikuti aturan yang ada di pondok pesantren, tidak yakin akan kemampuan yang dia miliki untuk menuntaskan tugas dan memiliki rasa tanggung jawab yang rendah terhadap tugas yang diberikan merupakan santri dengan adversity intelligence quitters. Santri yang memiliki adversity intelligence climbers diduga mampu untuk menghadapi kesulitan serta segala tuntutan baru di lingkungan pesantren dan tetap bertahan, karena santri menyambut perubahan-perubahan sebagai pengembangan diri, santri mampu fokus terhadap tujuannya, disiplin, serta bertanggung jawab terhadap tugasnya yang saat ini harus diselesaikan,. Sedangkan santri memiliki adversity intelligence campers atau quitters diduga akan mengalami kesulitan untuk bertahan dalam menghadapi kondisi baru di lingkungan pesantren karena santri tidak bersedia untuk menerima tantangan, merasa segala tuntutan yang didapatkan sebagai sebuah hambatan, serta santri akan lebih memilih untuk keluar dan menghindari kewajibannya sehingga menyebabkan santri menjadi tidak dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik.

11 Gambar 1.1 Kerangka Berpikir Santri Kelas 1 MTs Pondok Pesantren Daar el-qolam 1 Adversity Intelligence - Climbers - Campers - Quitters Penyesuaian Sosial - Baik - Buruk F. Hipotesis Penelitian ini memiliki hipotesis Terdapat pengaruh Adversity Intelligence terhadap Penyesuaian Sosial pada Santri MTs di Pondok Pesantren Daar el-qolam 1.