3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi geografis dengan berbagai cara dan bentuk sudah ada sejak pertengahan tahun 1970. Sebutan umum untuk sistem tersebut adalah sistem informasi geografis (disingkat SIG). Suatu sistem yang 35.000 tahun yang lalu telah dipakai oleh para pemburu Cro-magnon yang menggambar hewan buruan mereka dan rute migrasinya di dinding gua Lascaux, Perancis (Riyanto et al. 2009). Terdapat dua elemen struktur pada sistem informasi geografis modern saat ini, arsip grafis yang terhubung ke database atribut. SIG merupakan suatu sistem informasi yang mampu mengintegrasikan berbagai pangkalan data, baik data spasial (bereferensi keruangan) maupun nonspasial melalui berbagai pengolahan lebih jauh. SIG merupakan suatu sistem informasi yang dapat menyimpan, memperbaharui, memanipulasi serta menganalisis berbagai macam data sesuai kebutuhan pemakai (Yustiningsih 1997). SIG merupakan sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferensi secara spasial atau kordinat-kordinat geografi. Dengan kata lain SIG merupakan sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang tereferensi secara geografi, beserta sekumpulan operasi-operasi data tersebut (Foote 1995, diacu dalam Prahasta 2001). 2.1.2. Aplikasi Sistem Informasi Geografis SIG dapat diterapkan dalam aspek sumber daya alam, kependudukan, lingkungan dan pertahanan. Aplikasi SIG dalam aspek sumberdaya alam antara lain digunakan untuk inventarisasi, manajemen, dan kesesuaian lahan untuk pertanian, kehutanan, perencanaan tata guna lahan, analisis daerah rawan bencana alam, dan sebagainya (Prahasta 2001).
4 Menurut Riyanto et al. (2009) aplikasi SIG yang baik adalah apabila aplikasi tersebut dapat menjawab satu atau lebih dari lima pertanyaan dasar di bawah ini, yaitu : a. Lokasi, dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai lokasi tertentu. b. Kondisi, dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai kondisi dari suatu lokasi. c. Pola kecenderungan dimasa mendatang, dapat dipergunakan untuk melihat pola kecenderungan dari suatu keadaan. d. Pola, dapat dipergunakan untuk membaca gejala-gejala alam dan mempelajarinya. e. Pemodelan, dapat digunakan untuk menyimpan kondisi-kondisi tertentu dan mempergunakannya untuk memprediksi keadaan dimasa yang akan datang maupun memperkirakan apa yang terjadi dimasa lalu. 2.2. Reptil 2.2.1. Klasifikasi dan Sistematika Reptil merupakan satwa bertulang belakang yang bersisik. Menurut Goin et al. (1978) taksonomi reptil adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Fillum : Chordata Sub-Fillum : Vertebrata Kelas : Reptilia Ordo : Testudinata, Squamata, Rhyncochepalia, Crocodilia Satwa reptil terdiri dari 48 famili, sekitar 905 genus dengan 6.547 spesies (Halliday & Adler 2000). Terdapat 3 dari 4 ordo reptil yang ada di Indonesia, yaitu Testudinata, Squamata, dan Crocodilia. Ordo testudinata terdiri dari sekitar 260 spesies dari 75 genus dan 13 famili. Testudinata mencakup spesies yang hidup dilaut, perairan tawar, dan daratan. Ordo ini mewakili sekitar 4% dari seluruh spesies reptil di dunia (Halliday & Adler 2000).
5 Ordo Squamata dibagi ke dalam tiga sub-ordo yaitu Lacertilia, Amphisbaenia, dan Serphentes (Ophidia). Lacertilia mencakup kadal merupakan kelompok sub-ordo terbesar dalam kelas Reptilia. Sub-ordo Lacertilia terdiri dari 3.751 dalam 383 genus dan 16 famili. Amphisbaenia terdiri dari 140 spesies dalam 21 genus dan 4 famili. Serpentes atau ular terdiri dari 2.389 spesies dalam 471 genus dan 11 famili (Halliday & Adler 2000). Buaya termasuk dalam ordo Crocodilia. Secara keseluruhan terdapat 22 spesies buaya dalam 5 genus dan 3 famili. Total spesies buaya di dunia sekitar 0,3% dari seluruh spesies reptil didunia (O Shea & Halliday 2001; Halliday & Adler 2000). 2.2.2. Morfologi Reptil memiliki kulit bersisik tanpa kelenjar bulu rambut atau kelenjar susu seperti pada mamalia (Goin et al. 1978). Sisik yang terdapat pada reptil tidak seperti sisik pada ikan. Sisik pada reptil saling terpisah. Semua reptil tidak memiliki telinga eksternal (Halliday & Adler 2000). Pada beberapa spesies reptil terdapat perbedaan antara jantan dengan betina yaitu pada ukuran tubuh dan bentuk, maupun warna tubuh dewasa (Halliday & Adler 2000). Hal ini dikenal dengan istilah sexual dimorphisme. Ciri yang membedakan kura-kura dengan satwa lain adalah perisai yang terdapat pada tubuh kura-kura. Perisai tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu karapas yang menutupi punggung kura-kura dan plastron yang menutupi perut kura-kura (Halliday & Adler 2000). Kadal memiliki beragam bentuk, ukuran, dan warna. Sebagian besar memiliki empat kaki, walaupun terdapat beberapa spesies yang tidak memiliki kaki. Ukuran Snout to Vent Length (SVL) kadal berkisar dari 1,5-145 cm, tetapi sebagian besar berkisar antara 6-20 cm (Halliday & Adler 2000). Ular adalah reptil yang tidak memiliki kaki, kelopak mata, dan telinga eksternal. Seluruh tubuhnya tertutup oleh sisik (O'Shea & Halliday 2001). Jumlah, bentuk, dan penataan sisik ular dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies ular (Mattison 1992). Ukuran tubuh ular berkisar antara 10 mm sampai 10 m. Ular terpanjang berasal dari family Pythonidae (Mattison 1992). Ordo Crocodilia
6 adalah satwa dengan kulit tebal dan bersisik. Buaya memiliki ekor yang besar dan rahang yang kuat. Mata dan lubang hidung buaya terletak di bagian atas kepala sehingga mereka dapat melihat mangsa ketika berada di permukaan air. Buaya memiliki jantung dan otak yang paling modern dibandingkan dengan reptil lainnya. Ukuran buaya dapat mencapai 7,5 m (O'Shea & Halliday 2001; Halliday & Adler 2000). 2.2.3. Perkembangbiakan Fertilisasi pada reptil terjadi secara internal. Sebagian besar reptil adalah ovipar atau bertelur. Telur reptil bercangkang, berbeda dengan telur amfibi. Reptil dengan spesies berbeda dapat bersifat ovipar maupun vivipar walaupun termasuk dalam genus yang sama. Bahkan, sifat berbeda tersebut dapat ditemukan pada spesies yang sama pada dua populasi berbeda (Goin et al. 1978). Reptil betina meninggalkan telurnya untuk menetas dalam lubang buatan atau di bawah lapisan tanah maupun serasah. Betina dari beberapa spesies tertentu memiliki perilaku berkembangbiak menjaga telurnya, seperti pada kadal Eumeces sp. dan ular python (Goin et al. 1978). 2.2.4. Perilaku Reptil adalah satwa ektotermal, yaitu mereka memerlukan sumber panas eksternal untuk metabolisme dalam tubuhnya. Karena itu reptil sering dijumpai berjemur di daerah terbuka, khususnya pada pagi hari. Reptil akan berjemur sampai mencapai suhu badan yang dibutuhkan dan kemudian bersembunyi atau melanjutkan aktifitasnya (Halliday & Adler 2000). Reptil memiliki berbagai perilaku pertahanan hidup. Beberapa spesies ular berpura-pura mati jika merasa terancam. Beberapa spesies ular dan dua jenis kadal dari genus Heloderma juga memiliki bisa untuk pertahanan diri. Beberapa spesies kadal, seperti Mabuya spp. melepaskan ekornya dalam perilaku yang disebut caudal autotomy (O'Shea & Halliday 2001). Walaupun kura-kura dikenal sebagai hewan yang lambat, penyu dapat berenang dengan kecepatan 32 km/jam (Goin et al. 1978).
7 Sebagian besar reptil adalah karnivora, dengan pakan beragam dari serangga sampai mamalia. Kura-kura air tawar cenderung bersifat omnivora dan kura-kura darat merupakan herbivora (O'Shea & Halliday 2001). Semua spesies ular adalah karnivora. Ular mendeteksi keberadaan mangsanya menggunakan lidah yang dapat mendeteksi partikel-partikel kimia di udara. Beberapa spesies memiliki sensor panas untuk mendeteksi keberadaan mangsa. Sebagian besar spesies ular membunuh mangsa dengan melilitnya dan spesies ular lainnya dengan bisanya (O'Shea & Halliday 2001; Mattison 1992). 2.2.5. Habitat Sebagai satwa ektotermal, reptil tersebar pada berbagai macam habitat. Spesies-spesies reptil dapat hidup di laut, perairan tawar, pegunungan, bahkan gurun pasir. Penyebaran reptil sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari yang mencapai daerah tersebut (Halliday & Adler 2000). Satwa Testudinata dibedakan menurut habitatnya. Penyu hidup di laut dan hanya naik ke pantai untuk bertelur. Kura-kura dan labi-labi terdiri dari spesies akuatik dan semi-akuatik yang hidup pada daerah perairan tawar. Baning atau kura-kura darat hidup sepenuhnya di darat (Halliday & Adler 2000). Kadal hidup pada berbagai tipe habitat. Spesies kadal terestrial hidup di pepohonan maupun di permukaan tanah. Spesies lainnya merupakan semi-akuatik (Halliday & Adler 2000). Kulit kadal yang impermeable dan mampu menyimpan air membuatnya dapat hidup di daerah gurun (Mattison 1992). Sebagian besar ular merupakan spesies terrestrial, tetapi terdapat beberapa spesies yang hidup di dalam tanah. Selain itu ada juga spesies ular yang hidup di perairan tawar dan pada pepohonan (Halliday & Adler 2000). Sifat ektotermal pada reptil berpengaruh pada habitat yang digunakan ular. Besarnya penetrasi cahaya matahari sebagai salah satu sumber panas berpengaruh dalam persebaran ular.