2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

dokumen-dokumen yang mirip
PEMETAAN LAMUN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS DI PERAIRAN PULAU PARI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

PEMETAAN PADANG LAMUN DENGAN CITRAALOS DAN CITRA ASTER DI PULAU PARI, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU MOH IKHWANUSH SHOFA

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL)

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun


TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

label 1. Karakteristik Sensor Landsat TM (Sulastri, 2002) 2.3. Pantai

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KLASIFIKASI DARATAN DAN LAUTAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS Studi Kasus di Pesisir Timur Kota Surabaya

ix

Program Studi Biologi, Jurusan Biologi FMIPA UNSRAT Manado, * korespondensi:

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).


BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan mempunyai kemampuan beradaptasi untuk hidup dan tumbuh di lingkungan laut. Secara sepintas lamun kelihatannya kurang begitu ada artinya, namun sesungguhnya lamun mempunyai fungsi ekologis yang sangat besar. Dalam suatu lokasi lamun biasanya terdapat jumlah yang cukup besar dan dapat membentuk suatu padang lamun (seagrass bed). Padang lamun adalah hamparan vegetasi lamun yang menutupi area pesisir/laut dangkal yang terbentuk oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation) yang tumbuh sampai kedalaman yang masih dapat ditembus cahaya matahari serta menerima nutrien dari darat dan laut itu sendiri (Azkab, 2006). Tumbuhan lamun memiliki struktur morfologi (Gambar 1) yang terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji (Kiswara, 1999). Gambar 1. Morfologi Lamun (Hemminga dan Duarte, 2000) 4

5 Lamun diseluruh dunia berjumlah 58 jenis, 20 jenis diantaranya ditemukan di perairan Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina (Kiswara, 1999). Di Indonesia sendiri dapat ditemukan 12 jenis lamun seperti yang ditampilkan pada Tabel 1. Di wilayah perairan Pulau Pari ditemukan 4 spesies lamun yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus acorides, Halophila ovalis, dan Thallasia hemprichii (Kiswara, 1992) Tabel 1. Kekayaan jenis dan sebaran lamun di indonesia Jenis Sebaran 1 2 3 4 5 Halodule uninervis + + + + + Halodule pinifolia + + + + + Cymodocea rotundata + + + + + Cymodocea serullata + + + - + Syringodium isoetifolium + + + + + Thalassodendron ciliatum + + + + + Enhalus acoroide + + + + + Halophila decipiens - + - - - Halophila minor + + + + + Halophila ovalis + + + + + Halophila spinulosa + + - - + Thalassia hemprichii + + + + + Sumber : Azkab (1999) Keterangan : + = ada - = tidak ada 1 = Sumatera 2 = Jawa, Bali, Kalimantan 3 = Sulawesi 4 = Maluku dan Nusa Tenggara 5 = Irian Jaya Menurut Hartog (1977) dalam Azkab (2006), Lamun mempunyai beberapa sifat yang menjadikannya mampu bertahan hidup di laut yaitu : (1). Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir (2). Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang (3). Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung (4). Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan

6 (5). Mampu melakukan proses metabolisme termasuk daur generatif secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air (6). Mampu hidup di media air asin dengan salinitas (10-40). (7). Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik Peranan padang lamun diperairan laut dangkal telah banyak diketahui. Lamun merupakan sumber utama detritus, memberikan peranan sebagai habitat penting untuk ikan, terutama ikan muda yang diantaranya bernilai ekonomis penting, dan membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus yang datang ke daratan. (Kiswara, 1995). Walaupun lamun di perairan dangkal memiliki peranan yang penting, namun sebaran lamun dapat mengalami pengurangan akibat ancaman-ancaman dari alam maupun dari luar. Ancaman yang muncul dari aktifitas manusia seperti reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, pembuatan jeti, pemukiman penduduk, limbah industri, dan tidak stabilnya garis pantai (Supriyadi, 2008). Parameter untuk mengetahui kondisi lamun secara umum di suatu perairan dapat dilakukan dengan mengukur beberapa komponen padang lamun seperti kandungan biomasa, komposisi jenis, persentase tutupan lamun (Kuriandewa dalam Supriyadi, 2010), kepadatan jenis, kualitas habitatnya (Bjork et al. 1999 dalam Supriyadi, 2010), luas area serta asosiasi flora dan fauna (Short et al. 2004 dalam Supriyadi 2010). 2.2. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Lamun Informasi yang akurat mengenai distribusi lamun merupakan hal penting untuk mengelola sumber daya lamun. Pemetaan sumber daya lamun dapat

7 dilakukan dengan menggunakan teknik observasi data insitu hingga penginderaan jauh (Short et al., 2001). Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesan dan Kiefer, 1990). Penginderaan jauh untuk lamun berhubungan dengan habitat dasar laut dimana lamun tertutupi oleh kolom perairan sehingga tingkat intensitas cahaya yang masuk ke dalam air menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Prinsip kerja pendeteksian padang lamun menggunakan citra satelit adalah dengan memanfaatkan nilai reklektansi langsung yang khas dari tiap objek di dasar perairan yang kemudian direkam oleh sensor. Mount (2006) menjelaskan bahwa sinar biru dan hijau adalah sinar dengan energi terbesar yang dapat direkam oleh satelit untuk penginderaan jauh di laut yang menggunakan spektrum cahaya tampak (400-650 nm) (Gambar 2). Gambar 2. Ilustrasi pendeteksian substrat dasar dengan citra satelit (Mount, 2006)

8 Gelombang masuk ke kolom air, kemudian diserap dan dipantulkan kembali oleh permukaan air. Gelombang yang dipantulkan kembali menuju satelit adalah perwujudan dari ekstraksi sifat bawah permukaan air. Gelombang ini kemudian banyak digunakan untuk memetakan tipe substrat dasar (Rasib dan Hashim, 1997). Pemetaan lamun pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Salah satunya adalah pemetaan lamun di pesisir Pulau Bintan Kepulauan Riau yang dilakukan oleh Kuriandewa dan Supriyadi (2005). Pemetaan dilakukan dengan menggunakan 3 band citra satelit Landsat yaitu band 1 (0,45-0,52 μm), band 2 (0,52-0,60 μm), dan band 3 (0,63-0,69 μm). Ketiga band tersebut dipilih karena mampu menembus kolom perairan, sedangkan band 4 (0,75-0.90 μm) digunakan untuk memisahkan area darat dan lautan. Sebelum melakukan analisis survei, citra satelit diklasifikasi dengan menggunakan klasifikasi unsupervised untuk menghasilkan petunjuk dasar dalam menentukan titik observasi lapang. Data lapang yang akan diambil diantaranya jenis lamun, kepadatan / kerapatan, persen penutupan, biomasa, substrat dasar dan posisi geografi. Hasil survei lapang akan dicocokkan dengan tampilan citra yang sudah diklasifikasikan dengan menggunakan klasifikasi Unsuprevised yang selanjutnya diolah kembali dengan menggunakan software Arc.View 3.2. Selain itu, pemetaan lamun juga pernah dilakukan di daerah Toli-toli, Sulawesi Barat. Tujuan penelitian tersebut adalah memetakan informasi secara spasial sebaran lamun, persentase tutupan lamun dan kondisi lamun dengan menggunakan citra satelit ASTER. Klasifikasi yang dipilih dalam pengolahan citra adalah klasifikasi unsupervised karena dengan ditambahnya data lapang yang

9 dimasukkan ke dalam peta hasil klasifikasi maka posisi lamun terpetakan lebih akurat (Supriyadi, 2010). Penajaman citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga juga banyak digunakan untuk memetakan subtrat dasar perairan (karang, pasir dan lamun). Untuk lebih menonjolkan objek dasar perairan dangkal dilakukan penggabungan 2 sinar tampak yaitu band 1 dan band 2, maka akan di dapat citra baru yang menampakkan dasar perairan dangkal yang lebih informatif. Hasil transformasi citra tersebut dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan histogram hasil transformasi Algoritma Lyzenga atau yang disebut juga depth-invariant index merupakan algoritma yang diterapkan pada citra untuk koreksi kolom perairan. Pada prinsipnya metode ini menggunakan kombinasi band sinar tampak citra satelit. Teknik ini diuji coba pada perairan Bahama dimana perairan tersebut merupakan perairan yang jernih. Sebelumnya teknik ini digambarkan untuk mengetahui kondisi dasar perairan dengan menggunakan citra Landsat berdasarkan nilai pantulan dasar perairan yang diduga dari fungsi linear reflektansi dasar perairan dan fungsi ekponensial kedalaman air (Lyzenga, 1981). Parameter yang dibutuhkan untuk algoritma ini adalah rasio koefisien atenuasi untuk tiap band yang digunakan. Koefisien atenuasi yang berbeda dari tiap band tergantung pada tipe perairan lokasi perekaman citra satelit. Di perairan Bahama dengan menggunakan citra satelit Landsat band 1-2 diperoleh nilai rasio koefisien atenuasi sebesar 0,24. Rasio koefisien atenuasi dari citra satelit SPOT XS band 1-2 diperoleh sebesar 0,36 (Green et al., 2000).

10 2.3. Satelit ALOS Advanced Land Observing Satellite merupakan satelit jenis baru yang dimiliki oleh Jepang setelah dua satelit pendahulunya yaitu JERS-1 dan ADEOS. ALOS yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 mempunyai 5 misi utama yaitu untuk kepentingan kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, penelitian sumberdaya alam dan pengembangan teknologi (As-syakur dan Adnyana, 2009). Citra satelit ALOS memiliki data multispektral dengan resolusi spasial sebesar 10 m. ALOS memiliki 3 sensor utama yaitu: 1) Panchromatik Remotesensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) untuk pemetaan elevasi digital dengan resolusi 2,5 m, 2) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer (AVNIR) untuk observasi penutupan lahan dan memiliki resolusi spasial 10 meter, dan 3) Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) untuk observasi lahan dan dapat digunakan siang dan malam hari, serta pada segala cuaca (JAXA, 2008). Spesifikasi satelit ALOS ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi satelit ALOS Tanggal peluncuran 24 Januari 2006 Kendaraan peluncuran H-IIA Lokasi peluncuran Pusat Antariksa Tanegashima Tipe orbit Sun-Synchronous Waktu orbit 10.30 ± 15 menit Ketinggian orbit 691.65 km diatas equator Periode pengulangan 46 hari Inklinasi 98,16 Periode orbital 98,7 menit band 1 (0,42-0,50 μm) Band AVNIR-2 band 2 (0,52-0,60 μm) band 3 (0,61-0,69 μm) band 4 (0,76-0,89 μm) Sumber : JAXA (2008)

11 Banyak aplikasi citra satelit ALOS untuk pemetaan lahan, hutan dan daerah pesisir termasuk ekosistem lamun. Citra satelit ALOS mampu memberikan cakupan yang cukup luas dengan resolusi tinggi sehingga perolehan datanya mendekati data yang sebenarnya. Penelitian sebelumnya mengenai pemetaan lamun dengan menggunakan citra satelit ALOS pernah dilakukan oleh Supriyadi (2008) di daerah Bitung-Manado. Metode yang digunakan yaitu dengan mengintegrasikan antara hasil analisis data citra satelit ALOS dengan Sistem Informasi Geografi (SIG). Berdasarkan hasil analisis spasial klasifikasi, sebaran lamun di daerah Bitung-Manado seluas 6,5 ha yang memiliki tutupan lamun >75% dan klasifikasi kurang dari 25% mencapai 40,1 ha (Supriyadi, 2008). Pemetaan lamun pada penelitian sebelumnya menggunakan data Advanced Visible and Near Infrared Radiometer (AVNIR-2) dari satelit ALOS (Seeni et al., 2008). 2.4 Akurasi Uji akurasi diperlukan untuk menunjukkan seberapa tepat sebuah citra diklasifikasikan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Perhitungan akurasi dapat dilakukan dengan membangun matriks kontingensi (Gambar 3). Uji ketelitian dilakukan dengan membuat matriks dari perhitungan setiap kesalahan pada setiap bentuk penutupan atau penggunaan lahan dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh (Short, 1982 dalam Purwadhi, 2001). Matriks kontingensi merupakan matriks yang disusun untuk menentukan akurasi seluruhnya (overall accuracy), akurasi pengguna (user s accuracy) dan akurasi penghasil (producer s accuracy). Overall accuracy adalah sebuah metode pengukuran yang umum digunakan, dihitung dengan membagi titik sample yang

12 benar pada diagonal utama dengan jumlah titik observasi. Producer s accuracy adalah kemungkinan seberapa besar suatu data referensi dikelaskan dengan benar. Producer s accuracy diperoleh dengan membagi jumlah total titik data yang terkelaskan dengan benar pada suatu kelas tertentu terhadap jumlah total titik data referensi pada kelas tersebut. User s accuracy adalah kemungkinan sebuah pixel dalam peta mewakili dengan benar kelas pada lapangan. User s accuracy diperoleh dengan membagi jumlah titik data yang terkelaskan dengan benar terhadap jumlah total titik hasil klasifikasi citra. Pada setiap pengolahan data spasial, tidak terlepas dari error atau kesalahan. Pada matriks kontingensi terdapat 2 jenis error yaitu omission error (membuang daerah yang seharusnya termasuk dalam kelas) dan commission error (memasukkan daerah yang seharusnya dibuang dari kelas). Namun untuk overall accuracy tidak memperhitungkan omission error dan commission error (Conglaton dan Green, 2009). Ketelitian pemetaan dibuat dalam beberapa kelas X yang dapat dihitung dengan rumus (Short,1982 dalam Purwadhi, 2001) : Xcr pixel MA Xcr pixel Xopixel Xco pixel...(1) Keterangan : MA = Ketelitian pemetaan (mapping accuracy) Xcr = Jumlah kelas X yang terkoreksi Xo = Jumlah kelas X yang masuk ke kelas lain (omisi) Xco= Jumlah kelas X tambahan dari kelas lain (komisi)

13 Ketelitian seluruh hasil klasifikasi (KH) adalah : Jumlah pixel murni semua kelas KH...(2) Jumlah semua pixel Tabel 3. Contoh matriks kontingensi (Purwadhi, 2001). Survei Lapang Hasil Interpretasi Omisi Total 1 2 3 4 5 6 7 (Pixel) Laut 468 10 4 0 0 8 0 490 22 Tambak 8 256 4 0 0 2 0 270 14 Sawah 4 2 526 10 2 0 6 550 24 Pemukiman 0 0 4 60 2 0 4 70 10 Jalur jalan 0 2 4 2 22 0 0 30 8 Sungai 2 3 1 0 0 34 0 40 6 Tegalan 0 0 3 3 0 0 44 50 6 Total / OA 482 273 546 75 26 44 54 1500 90 Komisi (Pixel) 14 17 20 15 4 10 10 90 Contoh cara perhitungan ketelitian pemetaan (MA) Ketelitian hasil interpretasi 468 MAuntuk laut 468 22 14 92,9% 468 256 526 60 22 34 44 1500 94%