TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar dalam ransum. Bahan pakan konvensional yang sering digunakan dalam penyusun ransum sebagian besar berasal dari limbah dan pencarian bahan pakan yang paling menguntungkan Tabel 1. Kandungan zat nutrisi ampas sagu sebelum dan sesudah fermentasi Zat Nutrisi Fermentasi Sebelum Sesudah Protein (%) 3,84 23,08 Lemak (%) 1,48 1.90 Abu (%) 5.40 9.50 Ca (%) 0,32 0,48 P (%) 0,05 0,48 Lemak Kasar (%) 14,51 28,89 Energi (Kkal/kg) 1.352 1.543 Sumber : Haryanto dan Philipus (1992). Potensi penggunaan ampas sagu sebagai pakan memiliki faktor pembatas adalah kandungan protein kasarnya rendah dan serat kasarnya tinggi. Agar menjadi bahan pakan ternak yang kaya akan protein dan vitamin, maka ampas sagu dapat diolah dengan teknologi fermentasi (Rumalatu, 1981). Banyak penelitian proses fermentasi yang telah dilakukan menggunakan Effective Microorganiscm 4 ( EM4), utamanya dalam upaya penurunan kadar serat bahan pakan dan peningkatan kadar proteinnya. Penelitian Tampoebolon (2009), melaporkan bahwa fermentasi Effective Microorganiscm 4 ( EM4) dengan ampas sagu selama 12 hari dapat meningkatkan kadar protein yaitu sebesar 7,04%, kadar serat kasar menurun sebesar 12,81%.
Penurunan serat kasar pada hasil fermentasi ampas sagu disebabkan karena adanya kerja dari ensim selulosa yang dihasilkan oleh Effective Microorganiscm 4 ( EM4) yang bekerja untuk merombak serat kasar. Hal ini didukung oleh pendapat Nurhayati (2010), yang menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik dari kapang Effective Microorganiscm 4 ( EM4) diharapkan memproduksi ensim selulose dalam jumlah banyak sehingga dapat digunakan merombak dan menurunkan serat kasar. Fermentasi Fermentasi adalah proses penguraian unsur organik kompleks terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui reaksi enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme, yang biasanya terjadi dalam keadaan anaerob dan diiringi dengan pembebasan gas (Sarwono, 1996). Menurut jenis medianya, fermentasi dibagi menjadi dua golongan yaitu fermentasi medium padat dan medium cair, fermentasi medium padat adalah proses fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Fermentasi medium cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut dalam fase cair (Setyawiharja, 2002). Proses fermentasi bahan pangan oleh mikroorganisme menyebabkan perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti memperbaiki mutu bahan pangan, baik dari aspek gizi maupun daya cerna serta meningkatkan daya simpannya. Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dari pada bahan aslinya. Hal ini tidak hanya disebabkan karena mikroba yang bersifat katabolik atau memecahkan kompnen-komponen yang kompleks menjadi
zat-zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna tetapi juga karena adanya enzim yang dihasilkan dari mikroba itu sendiri (Winarno dan Fardiaz, 2005). Inkubasi Inkubasi adalah proses penjagaan atau perawatan sesuatu hal dengan kondisi tertentu agar suatu hal tersebut dapat berkembang dengan baik. Inkubasi bakteri adalah proses pemeliharaan kultur bakteri selama periode tertentu dengan suhu tertentu yang bertujuan untuk memantau perkembangan dan pertumbuhan bakteri. Waktu inkubasi yang dibutuhkan dalam produksi enzim bermacammacam. Hal ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dari mikroba itu sendiri, dimana mikroba mengalami empat fase dalam pertumbuhannya, yaitu fase lambat, fase log, fase tetap dan fase menurun. Waktu inkubasi yang optimal untuk menghasilkan asam organik untuk fermentasi kultur permukaan adalah 7-10 hari, sedangkan untuk fermentasi terendam lebih pendek yaitu 4-5 hari (Kapoor et al, 1982). Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal merupakan larutan fermentasi yang mengandung unsur hara mikro dan makro serta adanya kandungan bakteri yang berpotensi sebagai bioproses untuk perombak bahan organik dan perangsang pertumbuhan (Purwasmita,2009). Penelitian tentang (MOL) ginta sudah banyak dilakukan terutama dibidang pertanian, maupun dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak ruminansia dengan pertimbangan bahwa banyak diantara kandungan MOL merupakan mikroorganisme yang sudah biasa digunakan dalam memfermentasi bahan pakan ternak, misalnya aspergilus sp, rhizopus, dll. Diharapkan dalam
larutan MOL akan ditemukan mikroba yang bekerja selain meningkatkan nilai nutrisi juga bisa menurunkan kandungan anti nutrisi yang terdapat pada pelepah sawit. Astuti (2012) melaporkan bahwa bioproses menggunakan MOL lebih sederhana apabila dibandingkan dengan fermentasi dengan bakteri atau kapang yang sudah biasa dilakukan, karena fermentasi dengan MOL tidak perlu dilakukan peremajaan dan pembuataan media inokulum. Larutan MOL yang terbentuk sudah bisa langsung dijadikan sebagai inokulum bioproses dalam substrat. Penelitian Astuti (2012), menunjukkan bahwa fermentasi kulit pisang dengan mikroorganisme lokal isi rumen mampu meningkatkan kecernaan bahan organik kulit pisang dari 45,08% menjadi 57,34%. Menurut Amalia (2008) membuat MOL itu mudah semua yang ada disekitar kita bisa dipakai, semua bahan dicampur dengan larutan yang mengandung glukosa seperti nira, air gula dan air kelapa lalu ditutup dengan kertas dan dibiarkan selama 7 hari. Mikroorganisme lokal (MOL) Ginta berupa larutan merupakan hasil fermentasi yang berbahan dasar dari berbagai sumber daya yang tersedia. Larutan Mikroorganisme Lokal (MOL) Ginta ini mengandung bakteri dan jamur yang berpotensi sebagai perombak bahan organik. Keunggulan penggunaan MOL Ginta yang paling utama adalah murah bahkan tanpa biaya karena memanfaatkan bahan-bahan dari buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah busuk dan terbuang, limbah ternak ataupun limbah rumah tangga, serta mudah dalam proses pembuatannya dan bersifat aplikatif. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat pengaruh fermentasi MOL Ginta pada
kulit pisang terhadap kandungan fraksi serat (ADF, NDF, Selulosa, hemiselulosa) menjadi pakan ternak (Astuti et al., 2011). Protein Kasar Protein merupakan salah satu dari biomolekul raksasa, selain polisakarida, lipid, dan polinukleotida, yang merupakan penyusun utama makhluk hidup. Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dn pengatur. Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung unsur-umsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992). Protein merupakan salah satu unsure makro yang terdapat pada bahan pangan selain lemak dan karbohidrat. Fungsi utama protein dalam tubuh adalah sebagai zat pembentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada agar tidak mudah rusak (Winarno, 1992). Kadar protein pada analisa proksimat bahan pakan pada umunya mengacu pada istilah protein kasar. Protein kasar memiliki pengertian banyaknya kandungan nitrogen (N) yang terkandung pada bahan tersebut dikali dengan 6,25. Definisi tersebut berdasarkan asumsi bahwa rata-rata kandungan N dalam bahan pakan adalah 16 gram per 100 gram protein (NRC, 2001). Serat Kasar Serat kasar suatu bahan pakan merupakan komponen kimia yang besar pengaruhnya terhadap pencernaan (Tillman et al., 1989). Menurut
De Man (1997), serat kasar merupakan sisa makanan yang tinggal setelah proses pencernaan asam dan basa. Serat kasar didefenisikan mencakup tiga fraksi utama yaitu : 1) Polisakarida, berkaitan dengan dinding sel tumbuhan termasuk selulosa, hemiselulosa dan pectin, 2) Non polisakarida struktur, terutama lignin, 3) Polisakarida nonstruktur. Lignin berasal dari bahasa latin ligmum yang artinya kayu. Lignin merupakan senyawa kompleks yang membentuk ikatan ether dengan selulosa dan hemiselulosa, protein dan komponen lain dalam jaringan tanaman dan selalu terdapat dalam senyawa kompleks dinding sel (Boominathan dan Reddy, 1992). Semakin tinggi kandungan lignin pada campuran pakan maka kecernaan NDF semakin rendah, karena diduga lignin mempunyai pengaruh langsung terhadap kecernaan dinding sel dibandingkan dengan kecernaan bahan organik (Van Soest, 1968).