II KAJIAN KEPUSTAKAAN 1.1 Puyuh Jepang dan Klasifikasinya Burung puyuh liar banyak terdapat di dunia, nampaknya hanya baru Coturnix coturnix japonica yang mendapat perhatian dari para ahli. Menurut Nugroho dan Mayun (1986) beberapa ratus tahun yang lalu yaitu pada tahun 1890-an di Jepang telah dilakukan penjinakan terhadap burung puyuh tersebut. Burung puyuh Coturnix coturnix japonica memiliki klasifikasi menurut Pappas (2002 ) sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Subordo Famili Sub-Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Aves : Galliformes : Phasianoidea : Phasianidae : Phasianinae : Coturnix : Coturnix coturnix japonica Burung puyuh betina mulai bertelur pada umur 35 hari, rata-rata 40 hari dan produksi telur sudah normal pada umur 50 hari (Woodard, dkk.,1973). Produksi telur pertama yang dihasilkan oleh induk muda yang baru mulai bertelur biasanya kecil dan memerlukan waktu yang lama untuk mencapai ukuran standar. Burung puyuh betina dapat bertelur antara 200-300 butir per tahun (Schaible, 1970).
2.2 Puyuh Malon Malon merupakan singkatan dari Manuk Londo yang artinya burung Belanda, disebut seperti itu karena puyuh ini memiliki warna putih kekuningan bertotol hitam. Puyuh ini memiliki tubuh lebih besar dibandingkan dengan puyuh asal Jepang (Coturnix-coturnix japonica). Kisaran bobot badan induk Puyuh Malon di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran yaitu 212,00 398,00 gram (Pasadena, dkk., 2016). Manuk Londo merupakan hasil persilangan antara puyuh lokal dengan puyuh yang berasal dari Perancis atau dikenal dengan nama French Quail atau puyuh Eropa. Persilangan kedua jenis puyuh ini dilakukan untuk meningkatkan performa produksi daging puyuh lokal disamping memiliki ketahanan tubuh atau adaptasi tinggal di daerah beriklim tropis. Puyuh Eropa betina memiliki bobot badan selama pemeliharaan 35 hari yaitu sebesar 219,99 gram. Pertambahan bobot badan umur 1-14 hari yaitu antara 58,40-60,21 gram dan umur 15-35 hari yaitu antara 147,96-151,98 gram. Konsumsi ransum umur 1-14 hari sebesar 129,28 gram dengan FCR 2,08 dan umur 15-35 hari sebesar 392,17 gram dengan FCR 2,64 (Santos, dkk., 2015). 2.3 Performa Pertumbuhan Performa adalah penampilan dari seekor ternak atau yang lebih dikenal dengan istilah fenotipe, baik yang diukur secara kualitatif maupun kuantitatif (Warwick, dkk., 1996). Sifat-sifat yang dapat diambil atau dapat diukur ini merupakan kombinasi antara faktor genetik dan lingkungan. Pertumbuhan mencakup pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan berupa protein seperti otot, tulang, jantung, otak dan jaringan tubuh lainnya. Bagian dari tubuh
hewan tumbuh dengan cara yang teratur, meskipun tumbuh dengan teratur, tubuh tidak tumbuh sebagai suatu kesatuan, karena berbagai jaringan tumbuh dengan laju yang berbeda dari lahir sampai dewasa (Anggorodi, 1994). Hewan yang sedang tumbuh membutuhkan energi untuk pemeliharaan tubuh, memenuhi kebutuhannya akan energi aktifitas mekanik untuk gerak otot, dan sintesis jaringan-jaringan baru (Tillman, dkk., 1998). Pembentukan jaringanjaringan baru tersebut menyebabkan pertambahan bobot, bentuk dan komposisi tubuh sehingga terjadi proses pertumbuhan (Lawrie, 1994). Pertumbuhan tubuh secara keseluruhan umumnya di ukur dengan bertambahnya bobot badan (Sugeng, 2007). Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan (Supayanto, dkk., 2005). Guna mendapatkan pertambahan bobot badan maksimal maka sangat perlu diperhatikan kualitas dan kuantitas ransum. Ransum tersebut harus mengandung zat makanan dalam keadaan cukup dan seimbang sehingga dapat menunjang pertumbuhan maksimal (Yamin, 2002). Konsumsi ransum merupakan salah satu faktor penentu terbentuknya proses pertumbuhan. Tingkat konsumsi ransum dapat dilihat dari efisiensi penggunaan ransum dengan cara menghitung konversi ransum. Semakin kecil angka konversi ransum maka penggunaan ransum semakin efisien (Campbell, 1984). 2.3.1 Konsumsi Ransum Konsumsi ransum dapat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum, umur, aktivitas ternak, palatabilitas ransum, tingkat produksi dan pengelolaan (Wahju, 1992). Palatabilitas merupakan sifat performa dari bahan-bahan sebagai
akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki bahan-bahan pakan tersebut, hal ini tercermin oleh organoleptik seperti penampilan, bau, rasa, tekstur dan temperatur (Kartadisastra, 1997). Konsumsi pakan yang diperhitungkan adalah pakan yang dimakan oleh ternak. Zat makanan yang terkandung di dalamnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan baik hidup pokok maupun keperluan produksi ternak (Tillman, dkk., 1998). 2.3.2 Pertambahan Bobot Badan Seiring dengan bertambahnya umur, bobot badan pun akan bertambah. Guna mengetahui pertambahan bobot badan perlu adanya data bobot badan. Pertambahan bobot badan dapat dilihat dari selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal pada waktu tertentu. Pertambahan bobot badan diartikan sebagai pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, otak dan semua jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak) serta alat-alat tubuh (Anggorodi, 1990). Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan (Suparyanto, 2005). Pertumbuhan merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan ternak unggas terutama pada periode awal, oleh karena itu pertambahan bobot badan menjadi penting pada periode ini untuk menunjang pertumbuhan dan proses produksi selanjutnya (Margawati, 1985). Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh tipe ternak, suhu lingkungan, jenis ternak dan gizi yang ada dalam ransum (Suharno dan Nazaruddin, 1994).
2.3.3 Konversi Ransum Angka konversi ransum menunjukan tingkat efisiensi penggunaan ransum. Angka konversi ransum dipengaruhi oleh strain dan faktor lingkungan seperti seluruh pengaruh luar termasuk di dalamnya faktor makanan terutama nilai gizi rendah (Lestari, 1992). Angka konversi ransum menunjukkan tingkat penggunaan ransum dimana jika angka konversi semakin kecil maka penggunaan ransum semakin efisien dan sebaliknya jika angka konversi besar maka penggunaan ransum tidak efisien (Campbell, 1984). Konversi ransum adalah perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi pada satu minggu dengan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu (Rasyaf, 1994). Konversi ransum dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: umur ternak, bangsa, kandungan gizi ransum, keadaan temperatur dan keadaan unggas (Anggorodi, 1985). 2.4 Kurva Pertumbuhan Kurva pertumbuhan merupakan pencerminan kemampuan suatu individu untuk menampilkan potensi genetik dan perkembangan bagian-bagian tubuh sampai mencapai dewasa. Kurva pertumbuhan merupakan alat untuk menggambarkan evolusi bobot badan selama pertumbuhan. Tujuan membentuk kurva adalah untuk mendeskripsikan perjalanan peningkatan bobot badan terhadap umur menggunakan rumus sederhana dengan beberapa parameter. Tahap-tahap pertumbuhan hewan akan membentuk gambaran sigmoid pada grafik petumbuhan (Tilman, dkk., 1998). Ada fase awal yang pendek dimana bobot badan sedikit meningkat dengan meningkatnya umur, hal ini diikuti oleh pertumbuhan eksplosif, kemudian
akhirnya ada satu fase dengan tingkat pertumbuhan yang sangat rendah. Terdapat beberapa model kurva pertumbuhan yaitu model kurva Logistik, Gompertz dan Von Bertalanffy (Brown, dkk., 1976). Beberapa model kurva yang sering dipakai untuk kurva pertumbuhan unggas dibentuk dari persamaan model kurva logistik. Model kurva logistik merupakan model kurva pertumbuhan berbentuk S atau sigmoid yang simetris dengan titik infleksinya. Kurva sigmoid mempunyai titik infleksi biasa dengan cara mencari pertambahan bobot badan maksimum (Siswohardjono, 1986).