BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penggunaan obat ketika pasien mendapatkan obat sesuai dengan kebutuhan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB I PENDAHULUAN. tingkat kesehatan yang memadai di kalangan masyarakat. Kesehatan harus

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini,

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Semua usaha yang dilakukan dalam upaya kesehatan tentunya akan

DRUG USAGE DESCRIPTION FOR OUTPATIENT IN PKU MUHAMMADIYAH UNIT II OF YOGYAKARTA IN 2013 BASED ON WHO PRESCRIBING INDICATOR

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Community Acquired Pneumonia (CAP) adalah penyakit saluran

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

KOMITE FARMASI DAN TERAPI. DRA. NURMINDA S MSi, APT

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara umum, obat terbagi menjadi dua yaitu obat paten dan obat generik.

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur,

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

DRUG RELATED PROBLEMS KATEGORI DOSIS LEBIH, DOSIS KURANG DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR.MOEWARDI SURAKARTA PERIODE TAHUN 2007

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

DRUG RELATED PROBLEMS

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan Obat Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional, Perundangan Obat. Tri Widyawati_Wakidi

KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif. Pada penelitian ini menggunakan data retrospektif dengan. Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Juni 2015.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DRUG RELATED PROBLEMS KATEGORI DOSIS LEBIH, DOSIS KURANG, DAN OBAT SALAH DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA PERIODE TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan baik untuk menghilangkan gejala/symptom dari suatu penyakit,

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI PUSKESMAS TEGALSARI UPTD PUSKESMAS TEGALSARI Jl. KH syafa at No. 09 Telp (0333) Tegalsari

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif terhadap semua variabel yang

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT DI POLI ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA, KALIMANTAN TENGAH

A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan

SOP Pelayanan Farmasi Tentang Perencanaan dan Pemesanan Obat-obat High Alert

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah Sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan

PEDOMAN PELAYANAN TENTANG PENYIAPAN DAN PENYALURAN OBAT DAN PRODUK STERIL DI RUMAH SAKIT ISLAM NAMIRA

Analisis Penggunaan Obat di RSUD Kota Yogyakarta Berdasarkan Indikator WHO

Berdo a terlebih dahulu And Don t forget Keep smile

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI 4 APOTEK KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

KEPUTUSAN KEPALA PUSKESMAS BEJEN NOMOR : TENTANG PERESEPAN, PEMESANAN, DAN PENGELOLAAN OBAT KEPALA PUSKESMAS BEJEN,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak. Pemberian antibiotik merupakan pengobatan yang utama dalam

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Penggunaan obat yang rasional Menurut WHO penggunaan obat yang rasional diartikan sebagai penggunaan obat ketika pasien mendapatkan obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya dalam dosis obat yang sesuai kebutuhannya secara individual. Pada penelitian oleh Hogerzeil (1993), peresepan di Indonesia masih dikategorikan tidak rasional. Masalah yang terjadi adalah tingginya tingkat polifarmasi (3,5 obat per pasien), penggunaan antibiotik yang berlebihan (43%), serta injeksi yang tidak tepat dan berlebihan (10-80%). Idealnya, penggunaan terapi obat oleh profesional kesehatan haruslah hemat biaya serta efektif dan aman bagi pasien. Keamanan dan keefektifan obat dimaksudkan untuk mengurangi tingkat morbiditas, mortalitas, interaksi obat dengan obat, dan kecendrungan kemungkinan bertambahkan biaya perawatan di rumah sakit karena terjadinya adverse drug reaction maupun DRP dari peresepan yang tidak rasional (Yusmainita, 2009). Berdasarkan Kemenkes RI (2011), kriteria penggunaan obat yang rasional terutama terkait peresepan obat meliputi : a. Tepat indikasi Keputusan pemilihan obat yang diresepkan didasari indikasi penyakit serta pemilihan terapi obat yang efektif dan aman.

b. Tepat obat Pemilihan obat didasari efficacy, safety, suitability, dan cost considerations. c. Tepat pasien Tidak diberikan terhadap pasien yang kontraindikasi, kemungkinan adverse reactions minimal dan obat dapat diterima pasien. d. Tepat informasi Pasien diupayakan menerima informasi yang relevan, akurat, penting dan jelas mengenai kondisinya dan pengobatan yang diresepkan. e. Tepat evaluasi Antisipasi kemungkinan efek samping dari pengobatan ditafsirkan dan dimonitoring dengan tepat. Untuk menghindari penggunaan obat irasional dalam pelayanan kesehatan, maka hal-hal yang perlu ditinjau diantaranya terkait polifarmasi yang dapat memicu interaksi obat, obat yang diberikan tidak mempertimbangkan kondisi finansial pasien, pemberian antibiotik yang memicu resistensi, serta obat yang diresepkan beresiko menimbulkan efek yang berbahaya jika diberikan secara non oral (Zunilda, 2011). Lebih lanjut WHO (2012) menyarankan beberapa intervensi yang dapat meningkatkan pemakaian obat secara rasional: a. Pembentukan badan multi-disiplin di tingkat nasional yang mengkordinasi kebijakan penggunaan obat

b. Penggunaan pedoman klinik (clinical guidelines) c. Pembuatan daftar obat esensial nasional (DOEN) d. Pembentukan Komite Obat/Farmasi dan Terapi (KFT) di wilayah dan rumah sakit e. Memasukkan pembelajaran farmakoterapi model belajar-berbasis masalah (problem-based learning/pbl) di pendidikan dokter f. Pendidikan medik berkelanjutan sebagai syarat pengajuan/ perpanjangan ijin praktek g. Supervisi, audit dan umpan-balik terhadap (pola) penggunaan obat h. Menggunakan sumber informasi yang mandiri/independen tentang obat i. Pendidikan tentang obat kepada masyarakat j. Penggunaan dan pelaksanaan kebijakan (obat) yang konsisten k. Kecukupan anggaran dalam menjamin ketersediaan staf dan obat l. Menghindari insentif finansial (dari produsen farmasi) yang berlebihan dengan pihak penyelenggara pelayanan kesehatan. 2. Indikator WHO 1993 Mengurangi ketimpangan perbedaan pelayanan kesehatan antara negara maju dan berkembang menjadi salah satu komitmen WHO, maka melalui konferensi di Nairobi pada 1983 WHO terus mengembangkan upaya penyelesaian terkait masalah tersebut. Hingga kemudian pada tahun 1993 WHO memperkenalkan indikator pengobatan yang meliputi :

a. Indikator peresepan : 1) Rata-rata jumlah item perlembar resep 2) Persentase peresepan obat dengan nama generik 3) Persentase peresepan obat antibiotik 4) Persentase peresepan obat dengan sediaan injeksi 5) Persentase peresepan dengan obat-obat yang sesuai dengan Formularium. b. Indikator pelayanan pasien : 1) Rata- rata lamanya waktu konsultasi 2) Rata-rata waktu peracikan obat 3) Persentase obat yang benar-benar diserahkan 4) Persentase obat yang telah benar-benar dilabel 5) Pengetahuan pasien dalam memahami dosis c. Indikator fasilitas kesehatan : 1) Ketersediaan daftar obat-obat penting atau Formularium 2) Ketersediaan obat-obat penting (WHO, 1993). Indikator merupakan variabel ukuran atau tolok ukur yang dapat menunjukkan indikasi-indikasi terjadinya perubahan tertentu. Sebagai standarisasi, WHO menetapkan nilai indikator peresepan yang baik yaitu: a) Rata-rata jumlah obat per resep adalah 1,8-2,2 item per lembar resep b) Persentase peresepan obat dengan nama generik adalah >82% c) Persentase peresepan obat antibiotik adalah <22,70% d) Persentase peresepan sediaan injeksi adalah 0%

e) Persentase peresepan sesuai Formularium Rumah Sakit adalah 100% (Slobodan, 1999). 3. Obat Generik Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No HK.03.123.10.11.08481, obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya berdasarkan tata nama obat Internasional Nonproprietary names (INN). Obat generik biasanya hanya dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi setelah habis masa patennya, sehingga harganya lebih murah dari obat paten karena diproduksi tanpa perlu membayar biaya riset penemuan dan promosi (Anonim a, 2011) Obat generik mudah dikenali dari logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan "Generik" di bagian tengah lingkaran. Logo tersebut menunjukan bahwa telah lulus uji kualitas, khasiat dan keamanan sedangkan garis-garis putih menunjukkan obat generik dapat digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat. a. Penggolongan obat generik 1) Generik bermerek, yaitu obat yang serupa dengan produk asli tapi dipasarkan di bawah nama merek perusahaan lain. 2) Generik berlogo, sering diproduksi oleh lebih dari satu perusahaan yang bersaing.

Tidak ada perbedaan khasiat antara generik bermerek dengan generik berlogo yang membedakan hanya kemasan dan harga (Fellitha, 2013). b. Mutu obat generik Mutu obat generik tidak sama dengan obat paten. Obat generik di Indonesia dibuat sesuai standar Indonesia dan dijamin mutunya oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM). Untuk meningkatkan penggunaan obat generik di sektor pemerintah maka Kemenkes menetapkan kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas umum pelayanan kesehatan dan pedoman umum pengadaan obat (Handayani dkk., 2010). 4. Antibiotik Antibiotik ialah golongan senyawa, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat menangani beberapa infeksi parasit namun tidak direkomendasikan untuk infeksi virus. Antibiotik dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara yaitu menurut pertimbangan sifat antibiotik uji bakteriostatik dan bakteriosida, struktur kimianya, berdasar mekanisme aksinya, serta menurut aktivitas spektrumnya terhadap bakteri yaitu terbatas (spektrum sempit) dan spektrum luas. Spektrum sempit dapat menargetkan bakteri penyebab penyakit tanpa membunuh bakteri lain, sedangkan spektrum luas bekerja melawan banyak bakteri yang berbeda, termasuk beberapa bakteri resisten terhadap antibiotik spektrum sempit (Christie, 2003).

Pemilihan antibiotik terutama tergantung pada penyebab infeksi yang pasien derita. Hal ini karena setiap antibiotik hanya efektif terhadap bakteri dan parasit tertentu. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dipilihnya antibiotik, yaitu diantaranya : seberapa parah infeksi, seberapa baik ginjal dan hati bekerja, dosis, obat-obatan lain yang sedang dikonsumsi, efek samping yang umum terjadi, riwayat alergi jenis antibiotik tertentu, atau jika pasien sedang hamil atau menyusui (Kenny, 2012). Ketepatan dan lama penggunaan antibiotik sangat mempengaruhi keefektifan kinerja antibiotik terkait kemungkinan resistensi. WHO (2007) memaparkan bahwa setiap tahun tingkat resistensi antibiotik meningkat di dunia akibat penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat. Masalah yang sering terjadi dalam penggunaan antibiotik yang tidak tepat adalah: a. Penggunaan untuk infeksi gastrointestinal dan saluran nafas yang disebabkan oleh virus atau penyebab lain yang tidak membutuhkan antibiotik. b. Pemilihan antibiotik yang memiliki spektrum luas padahal hanya dibutuhkan antibiotik yang berspektrum sempit. c. Pemberian dosis yang tidak cukup akibat salah dosis, kurang durasi pemberian atau pasien yang tidak sanggup beli obat. d. Kecendrungan memilih antibiotik generasi terbaru tanpa bukti yang cukup terkait keefektifannya (WHO, 2004).

Atas dasar masalah tersebut maka diperlukan evaluasi, standar terapi untuk penggunaan antibiotik dan peningkatan sarana untuk penegakan diagnosis infeksi. 5. Injeksi Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lender. Berikut keuntungan dan kerugiaan sediaan injeksi berdasarkan laporan penelitian Sulistyaningsing (2007) : a. Keuntungan sediaan injeksi 1) Dapat segera dicapai efek fisiologisnya 2) Untuk sediaan yang tidak efektif diberikan secara oral 3) Baik untuk penderita yang tidak memungkinkan mengkonsumsi oral (sakit jiwa atau tidak sadar) 4) Memberikan kemungkinan bagi dokter untuk mengontrol obat, karena pasien harus kembali melakukan pengobatan 5) Sediaan parenteral dapat menimbulkan efek local b. Kerugian sediaan injeksi 1) Dilakukan oleh personel yang terlatih 2) Pemberian obat secara parenteral sangat berkaitan dengan ketentuan prosedur aseptik disertai rasa nyeri pada lokasi penyuntikan yang tidak selalu dapat dihindari

3) Bila obat telah diberikan secara parenteral, sukar sekali untuk menghilangkan/merubah efek fisiologisnya karena obat telah berada dalam sirkulasi sistemik 4) Harga relatif lebih mahal 5) Resiko terjadi septisema, infeksi jamur, inkompatibilias karena pencampuran sediaan parenteral dan interaksi obat. Di negara berkembang, terapi dalam bentuk injeksi pada pasien rawat jalan dapat menjadi salah satu contoh penggunaan obat yang tidak rasional. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Arustiyono (1999) menunjukkan bahwa di Indonesia, penggunaan injeksi tersebar luas diantaranya 33% pasien diare usia balita dan 50% dari pasien diare berusia lebih dari lima tahun setidaknya pernah menerima satu kali obat yang diinjeksikan, serta 53% pasien ISPA usia balita dan 20% pasien ISPA berusia lebih dari lima tahun juga menerima setidaknya satu injeksi obat. Sementara itu, persentase injeksi yang diberikan berulang kali oleh selain dokter terhadap pasien berusia lebih dari lima tahun adalah sebanyak 40%. Kecenderung kepuasan pasien yang mempercayai efektifitas obat injeksi dibanding oral menjadi salah satu faktor tingginya peresepan obat injeksi pada pasien rawat jalan tanpa mempertimbangkan keamanan, indikasi dan biaya. Bahkan beberapa pasien meminta dilakukan injeksi. Injeksi yang kerap kali diminta pasien adalah injeksi vitamin. Padahal injeksi berdasarkan rekomendasi WHO diupayakan hanya dilakukan seminimal mungkin dan harus dilakukan

oleh tenaga profesional yang kompeten. Peresepan injeksi tanpa mempertimbangkan keamanan dan indikasi yang tidak tepat dipandang irasional karena jika terjadi kekeliruan maka akan sangat sulit ditanggulangi (Kartika, 2011). 6. Formularium Rumah Sakit Berdasarkan Kepmenkes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan, yaitu direvisi minimal setiap 3 tahun (Anonim, 2004). Tujuan utama dibuatnya Formularium rumah sakit di Indonesia adalah menyediakan bagi staf rumah sakit, yaitu: a. Penyediaan suatu proses pengambilan keputusan yang mengarah ke pemilihan obat yang diperlukan sesuai dengan produk obat yang telah disetujui oleh KFT (Komite Farmasi dan Terapi) di rumah sakit tersebut b. Pemberian penyediaan obat yang paling tinggi efektifitas dan biaya yang minimal serta efek samping yang paling ringan c. Informasi tentang produk obat yang telah disetujui oleh KFT di rumah sakit tersebut d. Informasi terapi dasar tiap produk obat yang disetui oleh KFT di rumah sakit tersebut (Charles, 2003).

Pada dasarnya pembuatan sistem Formularium harus relevan dengan pola penyakit lazim di suatu rumah sakit. Apabila obat yang sifatnya cito (segera) tidak terdapat dalam Formularium yang telah disepakati, maka peresepan dari obat tersebut biasanya perlu dilengkapi dengan formulir permintaan obat khusus non Formularium yang diisi oleh dokter yang meresepkan serta harus ditandatangani oleh Ketua Panitia Farmasi dan Terapi Rumah sakit (Yudihardis, 2013). 7. Profil Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II mulai beroperasi pada 15 Februari 2009 berlokasi di Jl. Wates KM 5,5 Gamping, Sleman serta merupakan pengembangan dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan diakui pemerintah sebagai badan hukum Nomor : I-A/8.a/1588/1993. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II merupakan milik Pimpinan Pusat Muhammadiyah Persyarikatan Muhammadiyah serta memiliki visi menjadi rumah sakit islam rujukan terpercaya dengan kualitas pelayanan dan pendidikan kesehatan yang Islami, aman profesional, cepat nyaman dan bermutu. Saat ini Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II masih termasuk rumah sakit kelas C dan dalam proses pengajuan menjadi kelas B.

B. Kerangka Konsep Kerangka konsep dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut : Peresepan obat Rasionalitas penggunaan obat Hasil Resep Indikator peresepan WHO 1993 1. Rata-rata item obat per lembar resep 2. Persentase peresepan obat generik 3. Persentase peresepan antibiotik 4. Persentase peresepan injeksi 5. Persentase obat sesuai Formularium Gambar 1. Kerangka konsep penelitian Keterangan : Peresepan Obat berupa RESEP. Peresepan obat (RESEP) sebagai bahan untuk mengukur rasionalitas penggunaan obat. Keterangan empiris yang diharapkan merupakan parameter sebagai pengganti hipotesis. Indikator peresepan WHO 1993 digunakan sebagai alat untuk mengukur rasionalitas penggunaan obat. Hasil yaitu untuk menilai hasil yang diperoleh apakah sesuai dengan indikator atau tidak sesuai indikator.

C. Keterangan empiris Diharapkan berdasarkan penelitian ini, maka dapat diketahui gambaran penggunaan obat pada pasien rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Unit II periode 2013 berdasarkan indikator peresepan WHO 1993, meliputi : 1. Rata-rata jumlah item obat yang diresepkan per lembar 2. Persentase peresepan obat generik 3. Persentase peresepan antibiotik 4. Persentase peresepan sedian injeksi 5. Persentase peresepan obat yang sesuai dengan Formularium rumah sakit.