PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah gas tersebut berperan seperti atap dan dinding kaca pada rumah kaca (green house) sehingga disebut gas rumah kaca (GRK). Gas-gas penyusun efek rumah kaca adalah karbon dioksida (CO 2 ), nitrous oksida (N 2 O), metan (CH 4 ), nitrogen oksida (NO), sulfur hexaflorida(sf 6 ), chlore flour carbon (CFC), dan hydro flour carbon (HFC). Dengan adanya GRK ini memungkinkan cahaya matahari menembus kaca dan menghangatkan suhu bumi, inilah yang disebut dengan efek gas rumah kaca (efek GRK). Tanpa efek GRK suhu bumi akan sangat rendah sehingga tidak mampu mendukung kehidupan organisme secara normal. Pada beberapa dekade terakhir ini emisi/pancaran GRK dari bumi terus meningkat sehingga kepekatannya di atmosfer juga meningkat yang berdampak pada peningkatan suhu permukaan bumi. Gejala ini disebut dengan pemanasan global (global warming) yang merupakan isu dunia yang menjadi bahan pembicaraan utama selama satu dekade terakhir ini. Bagian atmosfer yang paling peka terhadap pemanasan global adalah lapisan troposfer yaitu lapisan atmosfer yang paling dekat dengan permukaan bumi. Peningkatan suhu akibat pemanasan global diprediksi mencapai satu sampai tiga derajat Celcius berpotensi mengubah iklim secara ekstrem. Dampaknya secara langsung dirasakan di semua negara. Di Indonesia, perubahan
iklim sebagai dampak nyata dari efek pemanasan global (global warming) sangat merugikan sektor pertanian yang sangat bergantung pada iklim. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola hujan yang tidak menentu menyebabkan turunnya produksi akibat rusaknya tanaman (Setyanto, 2004). Hasil penelitian PPLH-IPB pada tahun 2009 menyatakan bahwa sektor kehutanan (deforestri) penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia yaitu 42,5% disusul energi dan transportasi sebesar 40,9%; sedangkan sektor pertanian menyumbangkan 13,4% emisi GRK. Pertanian padi terutama yang selalu tergenang merupakan sumber dari tiga macam GRK yaitu : karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ) dan dinitrogen oksida (N 2 O), kontribusi masing-masing GRK tersebut terhadap pemanasan global dari tanah sawah adalah berturut-turut sebesar 55%, 24% dan 15%. Walaupun emisi CO 2 sangat tinggi di pertanian padi tetapi gas ini akan kembali digunakan tanaman padi saat berlangsungnya proses fotosintesis dan akan dikonversikan ke bentuk biomassa tanaman. Gas metana (CH 4 ) yang dikenal sebagai gas rawa memiliki waktu tinggal di atmosfir 12 tahun, CH 4 memiliki kemampuan memancarkan panas 21 kali lebih tinggi dari CO 2. Dengan berat molekulnya yang ringan, gas CH 4 juga mampu menembus sampai lapisan ionosfer dimana terdapat senyawa radikal O 3 yang berfungsi melindungi bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet. Kehadiran gas CH 4 pada lapisan ionosfer menyebabkan penipisan lapisan O 3 (ozon) bumi. Oleh karena itu, GRK yang harus diwaspadai untuk diturunkan emisinya dari lahan sawah adalah metana (CH 4 ) (Setyanto, 2008).
Laju emisi CH 4 dari lahan sawah berkisar antara 26-21 Tg/tahun (terra gram = 10 12 gram; IPCC, 2002), atau sebanding dengan 6-29% total emisi CH 4 per tahun (Inubushi et al., 2001 ; Prather et al., 2001). Laju produksi dan emisi CH 4 di lahan sawah untuk tiap wilayah besarnya bervariasi. Variasi emisi CH 4 tersebut di pengaruhi oleh jenis tanah, pengelolaan tanah dan tanaman (Setyanto, 2004). Ekosistem dengan kondisi anaerob dominan, terutama akibat penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya merupakan sumber utama emisi CH 4. Pada lahan sawah dengan sistem penggenangan kontinyu maka suplai oksigen dari atmosfir ke tanah akan terputus, akibatnya terjadi fermentasi bahan organik tanah secara anaerob, yang akan menghasilkan gas metan sebagai akhir prosesnya (Neue, 1993). Cara budidaya padi di Indonesia, terutama pengelolaan air irigasi dan rotasi tanaman, banyak melepaskan CH 4 (metan), dan CO 2 (karbon dioksida) ke atmosfer. Emisi CH 4 sebagian besar disebabkan oleh kegiatan-kegiatan yang tidak efisien, seperti pengairan yang terus menerus dan berlebihan, cara pemupukan atau penggunaan pupuk yang tidak tepat. Pengurangan emisi GRK (mitigasi) adalah suatu usaha untuk menekan laju emisi GRK dari berbagai kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas manusia (Setyanto, 2004). Mitigasi selalu menjadi isu di dalam sidang-sidang tahunan konvensi kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim (UNFCCC). Protokol Kyoto sebagai salah satu komitmen yang dihasilkan dalam UNFCCC mencapai kesepakatan bahwa selama periode 2008-2012 negara-negara maju wajib mengurangi tingkat emisi GRK sampai pada tingkat yang dapat
mengurangi laju perubahan iklim, yaitu rata-rata sebesar 5,2% pada tahun 1990 (Setyanto, 2004). Di bidang pertanian terutama pada budidaya padi sawah, upaya mitigasi yang dapat dilakukan melalui pengaturan kegitan pengelolaan lahan yang mampu menekan laju emisi GRK adalah dengan pemilihan varietas, pengelolaan air irigasi dan penggunaan pupuk yang ramah lingkungan. Upaya pemecahan persoalan produksi dan peningkatan produktivitas tanah sawah harus diimbangi dengan upaya pelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian upaya untuk menurunkan tingkat emisi CH 4 dari tanah sawah harus diarahkan dan dilakukan tanpa mengorbankan produksi beras (Setyanto, 2004). Usaha gerakan hemat air terus dicanangkan mengingat sumber daya air sangat terbatas. Berbagai metode budidaya padi telah diterapkan di Indonesia, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi beririgasi dengan perubahan pola pengelolaan tanaman, tanah, air, dan nutrisi. Pola pengelolaan air dengan cara pemberian air irigasi secara terputus (intermitten) terbukti mampu menghemat air irigasi hingga 50%, tanpa mengurangi produktivitas tanaman. Selain itu, pola ini juga dapat menurunkan laju emisi CH 4 (Li, et al., 2002; Setyanto, 2004; Setyanto dan Abu Bakar, 2005). Salah satu alternatif budidaya padi ramah lingkungan yang sekarang ini mulai berkembang di Indonesia sejak tahun 1999 adalah System of Rice intensification (SRI). Ciri umum dari metode SRI yaitu pemberian air irigasi secara terputus (intermitten) dengan tinggi muka air 1-2 cm, sedangkan pada metode konvensional tinggi muka airnya 3-5 cm. Ciri-ciri umum yang lain dari metode SRI adalah penggunaan bibit muda, yaitu 10 hari setelah semai dengan
penanaman 1 bibit perlubang tanam. Hasil di lapangan menunjukkan bahwa dengan budidaya metode SRI, tingkat produktifitas tanaman padi dapat mencapai 8-10 ton/ha dengan penghematan air sekitar 50% (Setyanto, 2004). Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas tanah sawah serta produksi tanaman padi adalah dengan pemberian jerami padi yang dapat dilakukan sebagai pupuk organik atau kompos. Namun dari hasil penelitian Schutz et al. (1989) diperoleh bahwa pemberian jerami segar 12 ton/ha menghasilkan emisi CH 4 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan tanpa pemberian jerami sedangkan pemberian jerami yang sudah dikomposkan ternyata tidak menghasilkan emisi CH 4 yang tinggi.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui laju emisi gas CH 4 dan suhu udara pada lahan padi sawah akibat perlakuan teknik budidaya dan pemberian jerami. Hipotesis Penelitian 1. Teknik budidaya padi sawah akan mempengaruhi laju emisi gas CH 4, suhu udara pada lahan padi sawah. 2. Pemberian jerami akan mempengaruhi laju emisi gas CH 4, suhu udara pada lahan padi sawah serta. 3. Interaksi antara teknik budidaya padi sawah dan jerami akan mempengaruhi laju emisi gas CH 4, suhu udara pada lahan padi. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi petani padi sawah untuk mendapatkan teknik budidaya dan cara pemberian jerami yang terbaik bagi budidaya padi sawah nantinya (ramah lingkungan dan produksi yang tinggi).