IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Histologi jaringan usus halus

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Volume Usus Besar Pasca Transportasi

BAB I PENDAHULUAN. protektif bagi sistem pencernaan, probiotik juga diketahui memiliki banyak

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB 1 PENDAHULUAN. membunuh serangga (Heller, 2010). Sebanyak dua juta ton pestisida telah

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan pemulihan (Menteri Kesehatan RI,

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging,

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit

BAB I PENDAHULUAN. tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2.

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua

I. PENDAHULUAN. tingkat gen akan kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya. Tumor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah. Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Usus Besar

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan rumah tangga sangat penting dalam memantau. rumah tangga yang mengalami masalah kekurangan pangan secara terus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari emisi pembakaran bahan bakar bertimbal. Pelepasan timbal oksida ke

BAB 1 PENDAHULUAN. makhluk hidup, yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Makanan penting

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama

I. PENDAHULUAN. progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada

BAB 1 PENDAHULUAN. Diare adalah buang air besar (defekasi) yang berbentuk tinja cair atau

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya stres oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia

PEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Diare merupakan penyebab kedua kematian pada anak usia dibawah 5. terdapat 1,7 milyar kasus diare baru pertahunnya (WHO, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuh sumber utama pencemaran udara yaitu: partikel debu/partikulat

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Senyawa 2-Methoxyethanol (2-ME) tergolong senyawa ptalate ester (ester

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 YOGURT SINBIOTIK

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Salah satu sumber protein hewani yang memiliki nilai gizi tinggi adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 3 penyakit menyular setelah TB dan Pneumonia. 1. Diare dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, salah satunya infeksi bakteri.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik bali merupakan itik lokal Indonesia yang juga sering disebut itik penguin, karena

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit dengan angka kematian terbesar

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius

BAB I PENDAHULUAN. bawah 5 tahun tapi ada beberapa daerah dengan episode 6-8 kali/tahun/anak. 1 Hasil

PENDAHULUAN. segar seperti diolah menjadi sosis, nugget, dendeng, kornet dan abon.

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DARI FESES BAYI DAN EVALUASI IN VITRO POTENSI PROBIOTIK

BAB I PENDAHULUAN. terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh.

BABI PENDAHULUAN. pentingnya makanan sehat mengalami peningkatan. Hal ini mendorong timbulnya

BAB I PENDAHULUAN. Minuman isotonik atau dikenal juga sebagai sport drink kini banyak dijual

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik Cihateup

BAB I PENDAHULUAN. dan injuri otot (Evans, 2000) serta menimbulkan respon yang berbeda pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan oksidatif dan injuri otot (Evans, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

SISTEM PEREDARAN DARAH

BAB I PENDAHULUAN. jumlah banyak akan menimbulkan stres oksidatif yang dapat merusak sel yang pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan

I. PENDAHULUAN. Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang sering digunakan di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Berdasarkan metode kontak, aktivitas antimikroba keempat formula yogurt dapat dilihat pada Tabel 4. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa aktivitas antimikroba dari keempat yogurt sinbiotik tidak berpengaruh nyata terhadap nilai log kematian EPEC (Lampiran 7). Tabel 4. Aktivitas antibakteri keempat formula yogurt dengan menggunakan metode kontak selama 2, 4, dan 6 jam Nilai kematian EPEC (log Cfu/ml) Formula Jenis Bakteri Yogurt 2 jam 4 jam 6 jam Rata-rata F1 L. bulgaricus, S. thermpohilus 2.78±0.54 a 3.0 ± 0.25 a 3.98±0.26 a 3.26±0.64 a F2 F3 L. bulgaricus, S. thermpohilus, L. plantarum 2C12 L. bulgaricus, S. thermophilus, L. fermentum 2B4 2.73±0.23 a 3.15±0.50 a 4.07±0.48 a 3.32±0.69 a 2.69±0.30 a 3.54±0.38 a 4.31±0.88 a 3.43±0.82 a L.bulgaricus, S. thermophilus, 2.51±0.72 a 3.61±0.23 a 4.19±0.43 a 3.36±0.84 a F4 L. plantarum L. fermentum Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan bahwa tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Berdasarkan tekstur pada keempat formula yogurt, yogurt sinbiotik F3 yang mengandung L. bulgaricus, S. thermophilus, dan L. fermentum memiliki penampakan yang relatif bagus karena whey yang dihasilkan sedikit. Dengan demikian, yogurt sinbiotik F3 memiliki konsistensi yang paling baik. Penampakan keempat formula yogurt dapat dilihat pada Gambar 5. Selain itu, berdasarkan tingkat keasamannya, yogurt sinbiotik F3 memiliki nilai ph 4.51 (Tabel 5) yang mendekati nilai ph rata-rata yogurt komersial yaitu 4.5 (Rahman et al. 1992). Oleh karena itu, berdasarkan tingkat keasamannya yogurt sinbiotik tersebut dapat diterima. Umumnya pembuatan yogurt menggunakan kultur L. bulgaricus dan S. thermophilus. Beberapa laporan menyatakan bahwa L. bulgaricus dan S. thermophilus tidak tahan terhadap kondisi asam lambung dan garam empedu. Oleh karena itu, L. bulgaricus tidak dapat menempel pada permukaan usus dan berkompetisi dengan bakteri patogen pada saluran pencernaan. Dengan demikian, yogurt yang terdiri dari L. bulgaricus dan S. thermophilus tidak dapat digunakan untuk mencegah diare (Chandan et al. 2006). 22

F1 F2 F3 F4 Gambar 5. Penampakan keempat formula yogurt Keterangan gambar: Yogurt F1 : L. bulgaricus dan S. thermophilus Yogurt F2 : L. bulgaricus,s. thermophilus, L. plantarum 2C12 Yogurt F3 : L. bulgaricus,s. thermophilus, L. fermentum 2B4 Yogurt F4 : L. bulgaricus, S. thermophilus, L. plantarum 2C12, dan L. fermentum 2B4 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bao et al. (2010), L. fermentum memiliki karakter probiotik yang potensial. Hal ini karena bakteri ini memiliki ketahanan terhadap ph yang rendah, dapat menstimulasi enzim yang terdapat pada saluran pencernaan, dan menstimulasi pengeluaran garam empedu. Oleh sebab itu, yogurt yang dipilih sebagai yogurt probiotik untuk dikembangkan selanjutnya adalah formula yogurt F3 yang mengandung L. bulgaricus, S. thermophilus, dan L. fermentum 2B4. Tabel 5. Nilai ph formula yogurt Formula Yogurt Bakteri ph F1 L. bulgaricus dan S. thermophilus 4.61 ± 0.23 F2 L. bulgaricus, S. thermophilus, L. plantarum 2C12 4.37 ± 0.18 F3 L. bulgaricus, S. thermophilus, L. fermentum 2B4 4.51 ± 0.07 F4 L. bulgaricus, S. thermophilus, L. plantarum 2C12, dan L. fermentum 2B4 4.42 ± 0.37 4.2 Penelitian Utama Penelitian utama adalah pengujian in vivo dari yogurt sinbiotik terpilih yaitu yogurt formula 3. Pengujian in vivo ini untuk mengetahui kemampuan yogurt tersebut sebagai antidiare dan immunomodulator. Beberapa analisis yang dilakukan adalah analisis limfosit, analisis konsentrasi malonaldehida pada hati dan ginjal, serta analisis enzim antioksidan superoksida dismutase (SOD) pada hati dan ginjal tikus percobaan. 23

Pada penelitian ini digunakan tikus percobaan galur Sprague Dawley yang berjumlah 70 ekor yang dibagi menjadi lima kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok yogurt sinbiotik, kelompok yogurt sinbiotik + EPEC, kelompok kontrol positif, dan kelompok yogurt prebiotik konvensional. 4.2.1 Pengujian Yogurt Terpilih sebagai Antidiare 4.2.1.1 Kejadian Diare Pada Tikus Percobaan Kejadian diare pada tikus dimulai sejak enam hari setelah dicekok EPEC tepatnya pada hari ke-13. Gambar 6 menunjukkan perbedaan kadar air feses pada tiap kelompok tikus percobaan. Feses dari kelompok tikus kontrol positif yaitu yang diinfeksi EPEC tanpa perlakuan cekok yogurt sinbiotik memiliki tekstur lembek, yang ditunjukkan dengan konsentrasi kadar air feses mencapai 66.9%, lebih tinggi dibandingkan kadar air feses tikus yang diinfeksi EPEC, namun diberi perlakuan yogurt sinbiotik (64.8%). EPEC merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menyebabkan diare. EPEC melekat pada sel mukosa usus dan menyebabkan terjadinya perubahan struktur sel, kemudian melakukan invasi menembus sel mukosa. Menurut De Roos dan Katan (2000), probiotik dapat mencegah diare dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri patogen melalui produksi bakteriosin dan berkompetisi dengan patogen untuk berikatan dengan sel epitel. Tikus yang sehat dan tikus yang diberi yogurt sinbiotik tidak mengalami diare serta memiliki kadar air feses sebesar 55.9% dan 56.0%. Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 12), diketahui bahwa kelompok kontrol positif dan kelompok dengan pemberian yogurt dan EPEC memiliki kadar air feses yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok yogurt sinbiotik pada taraf 5%. Kadar air feses kelompok yogurt + EPEC dan kontrol positif lebih tinggi dibandingkan kadar air feses kelompok kontrol negatif dan kelompok yogurt sinbiotik. Hal ini karena EPEC yang diberikan pada kelompok yogurt sinbiotik + EPEC dan kontrol positif memberikan reaksi pada saluran pencernaan. EPEC menempel pada mukosa usus dan mengeluarkan enterotoxin yang memicu pengeluaran cairan serta elektrolit pada saluran pencernaan (Lanata & Black 2001). Perbedaan kondisi feses pada saat terjadinya diare pada kelompok kontrol positif diperlihatkan pada Gambar 7. Kondisi feses pada kelompok tikus kontrol positif lebih lembek dibandingkan pada kelompok lainnya. Diare yang terjadi pada tikus kelompok kontrol positif bukanlah diare yang menyebabkan feses menjadi encer. Menurut Gill et al. (2007), pada kejadian diare yang disebabkan oleh infeksi EPEC, pengeluaran klorida oleh sel-sel usus berkurang karena adanya EPEC. Kegagalan sistem pertahanan mukosa intestinal melalui produksi musin (sebagai penghalang fisik, pelumas, menghasilkan senyawa bakteriostatik maupun bakteriosidal sel) oleh sel globet dan sel MALT, Mucosal-Associated Lymphoid Tissue (yang memproduksi secretory IgA), serta mikrovili (yang mendorong musin dan bakteri keluar dari membran mukosa) dalam mencegah adhesi EPEC akan mengawali infeksi EPEC. 24

64.8 ±2.0 b 66.9 ± 1.0 b 63.6 ± 0.7 a,b 55.9±0.3 a 56.0 ± 5.0 a Keterangan: setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak ada perbedaan nyata pada taraf 5 %. Gambar 6. Kadar air feses tikus percobaan Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh tersebut menyebabkan terjadinya perlekatan bakteri pada permukaan sel intestinal inang, berupa lesi attaching dan effacing yang bersifat localized adherence. Perlekatan kuat antara sel bakteri dan sel epitel inang akan merusak aktin dan mikrovili sel-sel mukosa inang yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mukosa untuk mengabsorbsi air sehingga terjadi diare akut berair yang persisten, selain kadang-kadang disertai demam ringan dan muntah (Knutton et al 1989). Selain karena kegagalan sistem pertahanan tubuh, diare pada kelompok yang dicekok EPEC juga disebabkan oleh EPEC yang melekat pada sel mukosa usus dan menyebabkan terjadinya perubahan struktur sel, kemudian melakukan invasi menembus sel mukosa. EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil. Infeksi EPEC yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraseluler dan arsitektur sitoskeleton di bawah membrane mikrovilus. Seperti ETEC, EPEC juga menyebabkan diare tetapi dengan mekanisme molekuler kolonisasi yang berbeda. EPEC memiliki sedikit fimbria, menghasilkan sitotoksin, tetapi EPEC menggunakan adhesion yang dikenal sebagai intimin untuk mengikat inang sel usus. Sel EPEC invasif (jika memasuki sel inang) dan menyebabkan radang (Collier 1998). 25

Kontrol negatif Yogurt sinbiotik Yogurt sinbiotik + EPEC Kontrol positif Yogurt prebiotik konvensional Gambar 7. Kondisi feses pada saat terjadinya diare pada hari ke-13 EPEC mensekresi molekul-molekul bakterial ke dalam sel inang yang merusak transpor protein penukar ion klorida. Ketidakseimbangan ion sodium dan klorida dalam sel menyebabkan diare berair (watery diarrhea). Tikus yang mengalami diare juga dapat terlihat dari kondisi anusnya yang terlihat lebih merah dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal ini disebabkan tikus yang mengalami diare akan mengalami frekuensi buang air besar yang lebih sering dibandingkan kelompok lainnya. Gambar 8 menunjukkan perbedaan kondisi anus tikus pada saat terjadinya diare. 26

Kontrol negatif Yogurt sinbiotik Yogurt sinbiotik + EPEC Kontrol positif Yogurt prebiotik konvensional Gambar 8. Perbedaan kondisi anus tiap kelompok tikus pada hari ke-13 perlakuan 27

4.2.1.2 Pertumbuhan Berat Badan Tikus 7.6 ± 5.0 a 7.8±4.2 a 7.5±3.8 a 6.2±2.0 a 6.0±2.2 a Keterangan: setiap nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak ada perbedaan nyata pada taraf 5 %. Gambar 9. Pertumbuhan berat badan tikus percobaan selama pemeliharaan Pertumbuhan berat badan tikus selama perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa pertumbuhan berat badan tikus selama perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (Lampiran 13). Sebelumnya diduga akan terjadi penurunan berat badan tikus percobaan selama pengujian, akan tetapi diare yang dialami tikus memang tidak mengakibatkan tikus kekurangan cairan terlalu banyak. Feses tikus yang diare tidak sampai menjadi cair, tetapi hanya lembek, berukuran lebih besar, dan berwarna lebih pucat. Menurut Muscari (2001), manifestasi klinik berdasarkan tingkat keparahan diare dibagi menjadi tiga yaitu: (1) diare ringan dengan karakteristik pengeluaran feses lembek tanpa gejala lain, (2) diare sedang dengan karakteristik pengeluaran feses cair atau encer beberapa kali, peningkatan suhu tubuh, muntah, dan iritabilitas, tidak ada tanda-tanda dehidrasi dan kehilangan berat badan atau kegagalan menambah berat badan, dan (3) diare berat dengan karakteristik pengeluaran feses yang banyak, gejala dehidrasi sedang sampai berat, terlihat lemah, iritabilitas, gerakan yang tak bertujuan, respon yang tidak sesuai, atau terlihat koma. Berdasarkan hal ini, maka diare yang terjadi pada penelitian ini adalah diare dengan manifestasi klinik diare ringan yang tidak menyebabkan penurunan berat badan. 4.2.1.3 Jumlah Sel Limfosit pada Limpa Tikus Percobaan Sistem imun terdiri dari komponen genetik, molekuler dan seluler yang berinteraksi secara luas dalam merespon antigen endogenus dan eksogenus. Salah satu jenis sel yang berfungsi dalam merespon antigen adalah sel darah putih. Leukosit atau sel darah putih merupakan salah satu bentuk sistem pertahanan tubuh. Leukosit terdiri dari 75% sel granulosit dan 25% sel agranulosit yang terbentuk dalam sumsum tulang belakang (Baratawidjaya 1991). 28

Limfosit merupakan bagian dari sel darah putih yang bersifat agranulosit, berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7-12 mikrometer dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe, dan timus. Sel ini merupakan inti dalam proses respon imun spesifik karena sel-sel limfosit dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen yang terdapat pada intraseluler maupun ekstraseluler (Kresno 1996). Menurut Zakaria (1996), uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan merupakan indikator kualitas respon imun. Proliferasi limfosit adalah suatu fungsi biologis yaitu berupa perbanyakan sel melalui pembelahan sel atau mitosis sebagai respon terhadap antigen atau mitogen. Pada proses tersebut dihasilkan sel-sel efektor atau sel plasma yang berperan dalam respon spesifik dan nonspesifik. Sel limfosit yang dapat berproliferasi adalah sel B dan sel T. Pada awal proliferasi ini, sel B bertambah banyak dan berdiferensiasi menjadi sel plasma (efektor) dan sel memori, sedangkan sel T berdiferensiasi menjadi tiga bentuk sel T yaitu sel T helper, T supressor, dan sel T cytotoksik. Sel B dan sel T merupakan bagian dari sel limfosit yang memiliki peranan dalam sistem imun spesifik. Sel T akan menghasilkan sitokinin yang menginduksi sistem imun yang lain. Adanya hal ini memperlihatkan bahwa proliferasi dapat memperbanyak jumlah sel B dan sel T atau sel limfosit sehingga kemampuan menghasilkan sitokinin dan antibodi yang diperlukan untuk melawan antigen meningkat. Penentuan aktivitas proliferasi sel limfosit dilakukan pada organ limpa. Hal ini disebabkan ogan limpa merupakan organ limfoid sekunder. Organ ini memiliki fungsi menangkap dan mempresentasikan antigen dengan efektif. Selain itu sel B dan sel T sudah berada dalam keadaan matang sehingga sudah siap untuk berproliferasi dan berdiferensiasi, serta merupakan tempat utama produksi antibodi. Organ limpa juga merupakan tempat untuk saringan darah dan tempat respon imun utama terhadap antigen asal darah (Baratawidjaja 2006). Pada penelitian ini, dilakukan isolasi sel limfosit selama perlakuan tikus percobaan, kemudian dihitung jumlahnya. Jumlah sel limfosit yang diisolasi dari limpa tikus percobaan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan jumlah sel limfosit tikus percobaan (x10 7 /ml) pada hari ke-7, 14,dan 21 Kelompok Tikus Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Kontrol negatif 4.29±0.12 a 3.07±0.24 a 3.94±3.66 a Yogurt sinbiotik 8.02±0.47 b 7.01±0.44 b 2.84±1.46 a Yogurt sinbiotik + EPEC 5.00±0.88 a 3.66±1.73 a 3.87±3.24 a Kontrol positif 4.58±0.48 a 1.68±0.34 a 1.56±0.43 a Yogurt prebiotik konvensional - - 3.56±0.90 a Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan bahwa tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5 %. Berdasarkan Tabel 6. terlihat bahwa jumlah limfosit pada hari ke-21 tikus percobaan yang dicekok dengan yogurt sinbiotik tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p > 0.05) pada taraf 5% (Lampiran 18). Meskipun demikian pada hari ke-7 dan ke-14 kelompok tikus yang diberi perlakuan dengan pemberian yogurt sinbiotik menunjukkan nilai rata-rata jumlah limfosit tertinggi. Sidik ragam menunjukkan perlakuan pemberian yogurt berpengaruh nyata terhadap jumlah limfosit tikus percobaan pada hari ke-7 dan ke-14 (p < 0.05) (Lampiran 16 dan 17). 29

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian yogurt sinbiotik selama 7 hari dan 14 hari mampu meningkatkan proliferasi limfosit, namun pemberian pada hari ke-21 tidak memberikan pengaruh yang nyata pada jumlah sel limfosit. Hasil uji limfosit yang senada juga ditunjukkan oleh beberapa penelitian di antaranya yang dilakukan oleh Perdigon et al. (1994) diacu dalam Water et al (2005) yang menyatakan bahwa suplementasi dengan bakteri asam laktat Lb. delberuckii ssp. bulgaricus dan S. sallvarius ssp.thermophilus sebanyak 3 ml yogurt yang mengandung 2 10 8 sel/ml menghasilkan kenaikan sekresi IgA pada usus kecil selama 7 hari. Namun kenaikan ini tidak diperlihatkan kembali setelah 10 hari pemberian yogurt pada tikus percobaan. Studi pada sukarelawan manusia dengan pemberian vaksin dan konsumsi bakteri probiotik Lactobacillus GG (ATCC 531013) serta Lactoccocus lactis selama 7 hari dihitung dari hari pertama pemberian vaksin, menunjukkan kelompok dengan pemberian bakteri probiotik Lactobacillus GG menaikkan jumlah spesifik antibodi IgA dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah sel penseksresi IgG, dan IgM (Fang et al. 2000 diacu dalam Water et al. 2005). Perdigon et al. (1994, 1995) menyatakan BAL mampu menginduksi berbagai respon imun (spesifik, nonspesifik, atau keduanya) pada mukosa saluran pencernaan tikus. Respon imun yang diberikan oleh BAL pada saluran pencernaan adalah melalui Peyer s patch sel M, Follicle-associated ephitellium (FAE), atau melalui sel epitel pada mukosa usus kecil dan usus besar. Interaksi dengan sel M menghasilkan respon imun spesifik, sedangkan interaksi dengan FAE menghasilkan respon sistem imun nonspesifik atau inflamatori, dan melalui sel epitel mukosa usus mampu meningkatkan imunitas lokal atau ketahanan terhadap antigen. Pada hari ke-21 hasil sidik ragam (Lampiran 18) menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada semua perlakuan (p > 0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian yogurt sinbiotik dan yogurt prebiotik konvensional pada hari ke-21 tidak memberikan pengaruh yang nyata pada peningkatan jumlah limfosit tikus. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya kemampuan mikroflora usus untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem usus, sehingga konsumsi bakteri yogurt sinbiotik setelah 14 hari paparan telah dianggap sebagai mikroflora normal usus yang tidak berbahaya bagi tubuh dan tidak menaikkan sistem imun tubuh. Pada kondisi ini mikroorganisme tersebut disebut carrier dan menjadi berperan seperti mikroflora normal (Tannock 1999) 4.2.1.4 Kadar Malonaldehida pada Hati dan Ginjal Malonaldehida dalam materi biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator kerusakan oksidatif, terutama yang berasal dari asam lemak tak jenuh (Nebet 1996). Malonaldehida merupakan senyawa diadelhida yang mengandung tiga atom karbon dengan grup karbonil yang berada posisi atom C1 dan C3 dan mempunyai rumus kimia C 3 H 4 O 2 dengan berat molekul 72 (Raharjo & Sofos 1993). Malonaldehida (MDA) merupakan indikator terjadinya peristiwa oksidasi lipid. Berdasarkan hal tersebut maka kadar MDA pada tubuh dapat memperlihatkan kondisi imun tubuh. Semakin tinggi kadar MDA pada tubuh berarti semakin banyak infeksi yang terjadi. Kadar MDA pada hati ditunjukkan pada Tabel 7. 30

Tabel 7. Kadar MDA hati tikus percobaan (nmol/gram) pada berbagai perlakuan Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Kelompok Tikus Kontrol negatif 3.25±0.66 a 2.86±0.30 a 4.59±0.74 b Yogurt sinbiotik 2.18±0.65 a 2.73±0.34 a 2.93±0.78 a Yogurt sinbiotik + EPEC 2.65±0.18 a 2.75±0.48 a 6.79±0.25 c Kontrol positif 2.55±0.31 a 4.10±0.18 b 6.84±0.28 c Yogurt prebiotik konvensional - - 4.39±0.46 b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5 %. Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa pada hari ke-7 perlakuan belum menunjukkan perbedaan kadar MDA hati secara nyata (p > 0.05) (Lampiran 21). Kadar MDA hati pada hari ke-14 memperlihatkan kelompok kontrol positif memiliki kadar MDA yang tertinggi dan berbeda nyata dengan kelompok lainnya (p < 0.05) (Lampiran 22). Kelompok kontrol positif yang diinfeksi EPEC menunjukkan kadar MDA hati yang tinggi karena tubuh memberikan respon terhadap patogen yaitu dengan cara memberikan mekanisme pertahanan pada saat sel patogen menginfeksi sel inang. Tubuh memberikan respon imun di antaranya melalui respon pertahanan imun seluler berupa kemampuan fagositas terhadap sel mikroba. Pada saat patogen memasuki haemolymph, NaDPH-oksidase akan diaktivasi pada haemocyte inang yang kemudian akan mereduksi oksigen menjadi anion superoksida dan menyebabkan produksi spesies oksigen reaktif yang lain seperti hidrogen peroksida, singlet oksigen, radikal hidroksil dan komponen reaktif lainnya (Castex et al. 2010). Pada hari ke-14 kelompok tikus yogurt sinbiotik dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC memiliki kadar MDA hati yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% dengan kelompok tikus kontrol negatif (Lampiran 22). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok tikus dengan pemberian yogurt mampu mempertahankan kondisi tubuhnya sama dengan kondisi tikus sehat. Jika dibandingkan antara kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC dan kelompok kontrol positif, terlihat bahwa pada hari ke-14 tikus kelompok yogurt sinbiotik + EPEC memiliki kadar MDA hati yang lebih rendah daripada kelompok kontrol positif. Hal ini mengindikasikan bahwa yogurt sinbiotik yang di dalamya terdapat probiotik L. fermentum mampu menekan terbentuknya radikal bebas yang disebabkan serangan EPEC. Sidik ragam pada hari ke-21 menunjukkan bahwa kelima kelompok perlakuan tikus percobaan memiliki kadar MDA hati yang berbeda nyata (p < 0.05) (Lampiran 23). Kelompok tikus yogurt sinbiotik menunjukkan kadar MDA hati yang berbeda nyata dengan kelompok lainnya. Kadar MDA hati kelompok tikus yogurt konvensional tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus kontrol negatif dan kadar MDA tikus kelompok yogurt sinbiotik + EPEC tidak berbeda nyata dengan tikus kelompok kontrol positif. Kadar MDA hati dari yang terendah hingga tertinggi adalah kelompok tikus yogurt sinbiotik, yogurt prebiotik konvensional, kontrol negatif, kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC dan kontrol positif. Dengan demikian yogurt sinbiotik mampu berperan sebagai antioksidan pada hati karena pada kelompok yogurt sinbiotik menunjukkan kadar MDA yang terendah. Yogurt sinbiotik jika dibandingkan dengan yogurt prebiotik konvensional lebih menurunkan kadar MDA hati tikus pada hari ke-21. Yogurt prebiotik konvensional hanya mampu menunjukkan kemampuan antioksidan yang tidak berbeda nyata dengan tikus yang sehat (tikus kontrol negatif). 31

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Truusalu et al. (2008), pengobatan dengan menggunakan ofloksasin yang dikombinasikan dengan probiotik L. fermentum untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh Sallmonella thyphimurium menunjukkan bahwa kombinasi ini mampu menurunkan jumlah Salmonella thyphimurium di hati, darah, dan saluran pencernaan serta menurunkan jumlah lipid peroksida di usus halus. Kemampuan L. fermentum dalam mengurangi reactive oxygen species (ROS) juga dinyatakan oleh Kullisaar et al. (2001) yang menyatakan bahwa L. fermentum E.3 dan E.8 yang diisolasi dari mikroflora anak yang sehat, mampu bertahan ketika dipapar dengan kehadiran ROS, seperti hidrogen peroksida, anion superoksida dan radikal hidroksil. Bakteri probiotik ini juga meningkatkan jumlah glutation peroksidase dan Mn-SOD yang merupakan enzim yang penting dalam mencegah peroksidasi lipid dan mengeluarkan hidrogen peroksida. Kadar MDA juga diamati pada organ ginjal yang diperlihatkan pada Tabel 8. Tabel 8. Kadar MDA ginjal tikus percobaan (nmol/gram) pada berbagai perlakuan. Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Kelompok Tikus Kontrol negatif 14.34±1.98 a 14.32±3.09 a 14.83±2.86 a Yogurt sinbiotik 12.21±4.64 a 13.13±4.69 a 18.66±6.71 a Yogurt sinbiotik + EPEC 10.72±1.88 a 24.89±6.20 a 15.78±6.36 a Kontrol positif 9.28±0.97 a 13.94±3.96 a 17.18±4.24 a Yogurt prebiotik konvensional - - 22.44±6.91 a Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan bahwa tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Kadar MDA ginjal pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21 tidak berbeda nyata (p>0.05) (Lampiran 25, 26, dan 27). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan pada kelompok tikus tidak memberikan pengaruh terhadap kadar MDA ginjal. Dengan kata lain pengaruh yogurt sinbiotik belum berpengaruh untuk menurunkan kadar MDA pada ginjal. 4.2.1.5 Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase pada Tikus Percobaan Oksidasi dan produksi radikal bebas, serta reactive oxigen species (ROS) adalah bagian dari metabolisme tubuh kita yang tidak dapat dipisahkan. Radikal bebas dan ROS diproduksi oleh tubuh dengan suatu pertimbangan untuk memberikan fungsi biologis yang penting. Sebagai contoh fagositosis yang teraktivasi menggunakan ROS untuk membunuh beberapa jenis bakteri dan jamur. Superoksida memainkan peran yang penting dalam mengatur pertumbuhan sel dan sinyal interseluler. Radikal bebas dan ROS memiliki kegunaan apabila keduanya diproduksi dalam jumlah yang benar, pada situasi dan letak dalam sel yang tepat. Meskipun demikian keduanya dapat menjadi sangat berbahaya bagi tubuh jika diproduksi dalam jumlah, situasi dan letak yang tidak tepat dalam tubuh. Radikal bebas dan ROS sangat reaktif dan sangat cepat merusak molekul di sekitarnya. Radikal bebas dan ROS dapat bereaksi dengan molekul nonradikal dan dapat memulai rantai reaksi berkebalikan seperti lipid peroksidasi. Keduanya juga dapat membahayakan molekul lainnya termasuk protein, karbohidrat, dan DNA (Papas 1999). Tubuh dalam rangka bertahan dan melawan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dan ROS, manusia dan organisme hidup lainnya mengembangkan sistem antioksidan yang kuat dan kompleks (Winarsi 2007). Sistem antioksidan adalah bermacam-macam kelompok molekul yang 32

melindungi bagian penting fungsi biologis dari kerusakan oksidatif. Antioksidan biasanya berperan dengan menghilangkan atau menginaktifasi komponen kimia antara yang memproduksi radikal bebas. Antioksidan dapat dihasilkan dalam tubuh secara endogenus atau diperoleh dari makanan (Papas 1999). Komponen penting dari pertahanan seluler endogenus di antaranya adalah penurunan glutathione (GSH) dan enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSHPx), dan katalase (CAT) (Kullisaar et al. 2002). Hasil analisis aktivitas SOD dalam hati tikus ditunjukkan pada Tabel 9. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada hari ke-7 setelah perlakuan tidak ada perbedaan nyata aktivitas SOD (p > 0.05) (Lampiran 29). Tabel 9. Aktivitas SOD hati tikus percobaan (unit/mg protein) Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Kelompok Tikus Kontrol negatif 253.20±14.63 a 180.71±61.12 a 229.56±109.86 a Yogurt sinbiotik 304.72±17.18 a 250.53±17.05 a,b 251.38±9.96 a Yogurt sinbiotik + EPEC 244.69±18.41 a 280.29±19.86 b 220.67±37.50 a Kontrol positif 194.23±66.42 a 171.30±28.30 a 127.34±18.98 a Yogurt prebiotik - - 230.40±28.01 a Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan bahwa tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Aktivitas SOD pada hari ke-14 yaitu satu minggu setelah perlakuan pencekokan EPEC pada kelompok yogurt sinbiotik + EPEC dan kelompok kontrol positif menunjukkan kelompok yogurt sinbiotik + EPEC memilki SOD paling tinggi. Sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada perlakuan yogurt terhadap aktivitas SOD hati (p < 0.05) (Lampiran 30). Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC memiliki aktivitas SOD yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok yogurt sinbiotik + EPEC meskipun kelompok ini dipapar dengan EPEC, kelompok tikus yang diberi yogurt sinbiotik mampu mempertahankan kondisi antioksidan dalam tubuhnya melalui keberadaan SOD. Menurut Castex et al. (2010) sistem antioksidan yang terkoordinasi diketahui sebagai komponen esensial pengaturan tubuh suatu organisme. Oleh sebab itu keterlibatan sistem pertahanan antioksidan dalam perkembangan penyakit melalui kemampuan sistem antioksidan untuk membatasi adanya stress oksidatif kemungkinan merupakan bagian penting dalam respon melawan patogen. Kullisaar et al. (2001) menyatakan bahwa Lactobasilus spp, telah diteliti memiliki efek antimikroba yang juga diekspresikan melalui ROS yang mungkin memiliki pengaruh yang selektif pada mikrobiota pada saluran pencernaan. Lactobacillus spp. adalah anggota mikrobiota pada tubuh manusia sehat yang penting. Bakteri asam laktat dan bifidobacteria dipertimbangkan memiliki beberapa efek fisiologis seperti aktivitas antimikroba, meningkatkan potensi imun, dan aktivitas anti tumor (Fuller 1991, Salminen et al. 1998). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa strain Lactobacillus memiliki aktivitas antioksidan dan dapat menurunkan akumulasi ROS selama mengonsumsi makanan (Kaizu et al. 1993, Peuhkuri et al 1996 diacu dalam Kullisaar et al. 2002). Bakteri asam laktat mampu mendegradasi anion superoksida dan hidrogen peroksida (Ahotupa et al 1996, Korpela et al. 1997 diacu dalam Kullisaar et al. 2002). Meskipun demikian tipe dari superoksida dismutase (SOD) yang diekspresikan belum diketahui (Kullisaar et al. 2002). 33

Kullissar et al. (2001) melaporkan bahwa Lactobacillus fermentum memiliki aktivitas antioksidatif yang penting yaitu Mn-SOD dan secara signifikan menaikan ketahanan terhadap beberapa ROS, seperti hidrogen peroksida, superoksida dan hidroksil radikal. Berdasarkan hal tersebut adanya Mn-SOD dari L. fermentum dapat membantu antioksidan tubuh dalam menangkal radikal bebas. Lampe (1999) di dalam Winarsi (2007) menyatakan bahwa antioksidan seluler tidak dapat bekerja secara individual tanpa dukungan asupan antioksidan sekunder dari bahan pangan. Makin tinggi asupan antiosidan eksogenus, makin tinggi pula status antioksidan endogenus. Setelah dua puluh satu hari perlakuan, aktivitas SOD hati menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p<0.05) (Lampiran 31). Hal ini kemungkinan terdapat mekanisme pemulihan pada kelompok yogurt sinbiotik + EPEC dan kelompok kontrol positif. Winarsi (2007) menyatakan bahwa tubuh mempunyai mekanisme untuk menetralkan kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Mekanisme tersebut diperankan oleh jaringan antioksidan yang saling menopang dalam jaringan kerja antar-antioksidan. Antioksidan yang satu berperan dalam daur ulang antioksidan yang lain sehingga tubuh senantiasa mempunyai pasukan antioksidan yang siap siaga berperang melawan senyawa-senyawa oksigen reaktif. Aktivitas SOD ginjal diperlihatkan pada Tabel 10. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui pada hari ke-7 tidak terdapat perbedaan yang nyata aktivitas SOD ginjal kelompok tikus (p > 0.05) (Lampiran 33). Pada hari ke-14, hasil analisis SOD ginjal menunjukkan terdapat perbedaaan yang nyata (p< 0.05) (Lampiran 34). Kelompok tikus kontrol positif secara nyata memiliki konsentrasi SOD ginjal yang berbeda dengan kelompok lainnya. Halliwell & Gutteridge (1999) menyatakan bahwa respitoratory burst (peningkatan konsumsi oksigen) dapat disebabkan oleh opsonisasi bakteri, opsonisasi zymosan (preparasi dinding sel khamir), dan beberapa komponen kimia. Oleh sebab itu pada kelompok kontrol positif (kelompok tikus yang dicekok dengan EPEC) adanya bakteri yang menempel pada permukaan mukosa usus dapat meningkatkan konsumsi oksigen sehingga SOD pada ginjal akan digunakan untuk mengubah oksigen menjadi hidrogen peroksida yang kemudian akan dinetralkan dengan bantuan GPx menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Kelompok yogurt sinbiotik dan kelompok yogurt sinbiotik + EPEC mampu mempertahankan aktivitas SOD nya sama dengan tikus sehat. Tabel 10. Aktivitas SOD ginjal tikus percobaan (U/mg protein) Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Kelompok Tikus Kontrol negatif 301.90±20.89 a 277.44±49.61 b 275.83±23.63 a Yogurt sinbiotik 306.54±19.56 a 318.60±3.83 b 194.74±120.53 a Yogurt sinbiotik + EPEC 311.74±22.23 a 286.60±23.92 b 232.10±18.35 a Kontrol positif 248.77±35.22 a 204.00±28.87 a 234.53±25.18 a Yogurt prebiotik konvensional - - 206.87±13.14 a Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan bahwa tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Konsentrasi SOD ginjal pada hari ke-21 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antar kelompok tikus percobaan (p > 0.05) (Lampiran 35). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain terdapat mekanisme adapatasi atau pemulihan. Halliwell & Gutteridge (1999) menyatakan bahwa banyak bakteri merespon mild oxidative stress dengan menjadi resisten atau lebih hebat mengalami stress oksidatif. Sebagai contoh E. coli atau S. thypimurium yang dipapar dengan H 2 O 2 34

konsentrasi sedang, sintesis 30 protein meningkat dan sel menjadi resisten terhadap kerusakan ketika dipapar dengan konsentrasi H 2 O 2 yang lebih tinggi. E.coli memiliki gen oxyr yang pada kondisi normal menjaga konsentrasi H 2 O 2 pada kondisi steady state yaitu pada konsentrasi 0.2 M di atas kisaran kondisi pertumbuhan. 35