Badan Tenaga Nuklir Nasional J A K A R T A Hari, tanggal Minggu, 10 Mei 2015 Yth.: Bp. Kepala BadanTenaga Nuklir Nasional GUNTINGAN BERITA Nomor : HHK 2.1/HM 01/05/2014 Sumber Berita Selasar.com Hal. - Kol. - Melirik Nuklir Bagi Energi Masa Depan Indonesia Copy dikirim kepada Yth.: 1. Deputi Bidang Sains dan Aplikasi Teknologi Nuklir 2. Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir 3. Deputi Bidang Pendayagunaan Teknologi Nuklir 4. Sekretariat Utama 5. BGAC-melalui PAIR Jakarta, Mei 2015 Bagian Humas, Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama
Jakarta, 10/5 - Saat ini wacana diversifikasi tengah menjadi tren perbincangan dalam kajian pemberdayaan energi nasional yang memunculkan sejumlah ide mengenai sumber energi terbaru bagi Indonesia. Sumber tenaga mulai dari geothermal atau panas bumi, hydro (air), tenaga angin, hingga nuklir, dimunculkan pengkajiannya demi satu tujuan, yaitu menggantikan bahan bakar fosil. Pemerintah pun menunjukkan "rasa jenuh" terhadap alokasi pembiayaan untuk energi fosil tersebut, seperti yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said beberapa waktu lalu. Dia meminta kepada seluruh kalangan dan lapisan masyarakat agar memikirkan sumber energi baru selain energi fosil, karena kebutuhan tersebut ia anggap sudah mendesak. "Kita habis-habisan memberi subsidi energi yang akan habis. Rp2.600 triliun kita keluarkan dalam 10 tahun untuk fosil, tapi subsidi untuk energi baru sangat kecil," katanya. Ia juga mengimbau kepada pemerintah dan masyarakat, agar mengubah pola pikir bahwa sumber energi baru bukan lah energi alternatif seperti yang dipahami secara umum selama ini. "Jangan lagi menyebut ini alternatif, karena itu artinya cuma cadangan. Sekarang harus berpikir bahwa yang baru justru yang utama, karena yang fosil pasti akan habis pada waktunya," ujarnya. Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyatakan dukungannya pada upaya diversifikasi energi, asalkan memiliki unsur bersih untuk lingkungan, berharga murah dan mudah didapat. Menurut Wapres, jika membicarakan masalah diversifikasi energi di Indonesia, maka pemerintah dalam menentukan kebijakan harus mempertimbangakan tiga hal tersebut. Kalla mengatakan bahan bakar minyak (BBM) merupakan satu jenis energi yang termahal, ujarnya, saat menjadi pembicara utama dalam Seminar Indonesia dan Diversifikasi Energi yang mengangkat tema "Menentukan Arah Kebijakan Energi Indonesia" di Jakarta. Wapres JK juga menegaskan pengembangan sumber energi di masing-masing daerah di Indonesia harus sesuai dengan ketersediaan energi. "Pertama harus tersedia (sumber energi) dengan mudah. Ada daerah yang katakanlah Pulau Kalimantan, tentu lebih mudah memakai sumber energi batu bara. Kalau di Pulau Sulawesi tentu campuran bisa (menggunakan) energi 'hydro' atau air. Untuk di Pulau Sumatera hydro juga cukup tapi energi geothermal juga bisa. Untuk di Pulau Jawa juga ada geothermal," ujarnya. Menurut Kalla, tenaga nuklir juga bisa menjadi pilihan energi alternatif karena memiliki potensi yang besar, walaupun lingkungan internasional memliki pendapat yang berbeda-beda mengenai penggunaannya. "Jepang sudah ingin menurunkan (penggunaan) nuklirnya akibat tragedi Fukushima. Juga di Amerika Serikat (sebelumnya) tidak berkembang banyak dan sekarang mulai berkembang," ujar Kalla. Selain itu Korea Selatan dan Vietnam juga tengah mengembangkan PLTN untuk meningkatkan pasokan tenaga listriknya.
Sementara itu, Ketua Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (Himni) Arnold Soetrisnanto mengatakan jalan keluar dari permasalahan listrik di Tanah Air adalah dengan memanfaatkan pusat listrik tenaga nuklir (PLTN). "Namun solusi ini adalah untuk jangka panjang, karena pembangunan PLTN memerlukan waktu sedikitnya delapan hingga 10 tahun," katanya. Kendala besar yang dihadapi PLTN adalah masih adanya perbedaan persepsi di kalangan masyarakat termasuk di kalangan penentu kebijakan energi. "Masih ada kekhawatiran bahwa bangsa Indonesia belum mampu untuk mengoperasikan teknologi canggih tersebut," tukas Arnold. Padahal, lanjut Arnold, tenaga ahli Indonesia sudah diakui dunia, bahkan beberapa tenaga ahli sudah bekerja di Badan Atom PBB. "Sebaiknya jangan ditunda-tunda lagi, pembangunan PLTN ini," kata dia. Berbagai kendala dihadapi oleh para investor dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), di antaranya rendahnya harga minyak dewasa ini, biaya eksplorasi yang sangat mahal dan berisiko, faktor efisiensi energi yang masih rendah, ongkos produksi yang belum mencapai harga keekonomian dan adanya benturan kepentingan antara untuk memenuhi kebutuhan energi dengan kebutuhan pangan. Hal itu membuat krisis listrik semakin nyata. Berbagai upaya untuk mengatasinya sudah dilakukan oleh kalangan pemerintah, pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pemenuhan kebutuhan listrik sudah dilaksanakan dengan program percepatan pembangunan pusat listrik berbahan bakar batubara 10.000 MW pada tahap I dan dilanjutkan dengan 10.000 MW pada tahap II dengan pusat listrik panas bumi. Namun dalam perkembangannya kedua program tersebut tidak mencapai target. Banyak hal menjadi penyebab gagalnya proyek, di antaranya adalah penolakan masyarakat yang tinggal di dekat calon lokasi pusat listrik, penyelesaian pembangunan yang tertunda dan sulitnya membebaskan lahan untuk pembangunan pembangkit. Nuklir Aman Terkait dengan tingkat keamanan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), ia memperkirakan hal tersebut bisa menjadi lebih aman dalam kurun waktu 10 tahun, setelah ada teknologi yang lebih maju. "Nantinya kalau teknologi nuklir lebih aman, saya kira dalam 10 tahun nanti. Saya bicara dengan ahli nuklir mungkin tenaga nuklir itu di bawah tanah," kata Kalla. Menurut Kalla, fasilitas PLTN yang terletak di bawah tanah memiliki tingkat keamanan yang lebih baik daripada berada di permukaan tanah. Terlepas dari skema pembangunan yang diwacanakan oleh Wapres Jusuf Kalla tersebut, secara umum PLTN dinilai aman untuk dioperasikan. Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Deendarlianto menyampaikan bahwa nuklir sangat aman untuk digunakan sebagai sumber energi atau pembangkit listrik.
Selain itu, Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional), lanjut Awang, juga sudah menyampaikan dukungan atas proyek pembangunan PLTN yang pra-studi kelayakannya sudah dilakukan pada 2007-2009. "Kalau mengacu pada standar keamanan internasional, mulai dari 'pressurized water reactor' hingga 'high temperature reactor' belum pernah ada resiko kegagalan yang terjadi," kata Deen. Ketika ditemui di Jakarta, ia menilai bahwa kekhawatiran pemerintah untuk mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan hal kurang tepat. Menurut dia, Indonesia perlu segera mengembangkan sebuah sumber energi baru karena kebutuhan terhadap hal tersebut sudah sangat mendesak. "Keraguan pemerintah ada pada skala kecil. Untuk kebutuhan industri skala kecil kita bisa manfaatkan Torium untuk memenuhinya," tukas Kepala Pusat Studi Energi UGM itu. Selain itu, menurut dia, pengoperasian PLTN dinilai lebih efisien karena mampu menghasilkan energi listrik yang besar namun lebih murah dalam investasi pembangunan fasilitas reaktor nuklir. "Untuk (membangun) satu reaktor nuklir membutuhkan biaya Rp40 triliun. Namun kan harga jual energinya sangat murah, pasokan sumber daya alamnya pun kita sudah punya. Di Kalimantan kita punya uranium, di Bangka Belitung ada plutonium," tuturnya. Ia memaparkan, bahwa cadangan kedua sumber daya mineral tersebut jika digunakan sebagai PLTN dapat menghasilkan daya sebesar 33 gigawatt yang bisa digunakan selama 30 tahun. "Tapi itu semua belum dieksplorasi, jadi ini ya sangat disayangkan. Presiden harus punya komitmen yang kuat jika mau menjalankan program ini," katanya. Kesiapan Kaltim Hingga saat ini Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah yang menyatakan kesiapannya untuk menjadi basis awal PLTN di Indonesia. Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak menegaskan niat daerahnya untuk memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir dan segera meminta izin kepada pemerintah untuk rencana pembangunannya. "Kami tinggal minta izin presiden dan kami sangat berharap diizinkan," kata Awang Faroek kepada Antara di Balikpapan. Menurut ia, apabila pemerintah pusat telah mengeluarkan izin yang dimaksud, maka pembangunan PLTN bisa dimulai pada tahun 2016. Pemprov Kaltim sudah melakukan sejumlah kajian yang diperlukan untuk pembangunan PLTN tersebut, dengan rencana lokasi pembangunan di Talisayan (Kabupaten Berau) dan di Kecamatan Sangatta (Kabupaten Kutai Timur). "Kita perlu lahan di pesisir, dekat laut dan pelabuhan," tambah gubernur. Soal pemilihan kawasan pesisir, Awang Faroek menjelaskan hal itu untuk memudahkan pengangkutan material di awal pembangunan dan kemudian kemudahan menyampaikan pasokan segala kebutuhan.
Dalam kajian Batan, dua wilayah tersebut adalah lokasi paling potensial dan aman berdasarkan pertimbangan tapak, kesiapan teknologi, kondisi infrastruktur dan potensi pengembangan regional. Ia juga menyampaikan bahwa Pemprov Kaltim telah menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Industri Nuklir Indonesia (Inuki) untuk turut dalam pembangunan PLTN. Kedua institusi itu meyakini Kaltim merupakan pulau yang aman untuk membangun pembangkit karena bebas dari gempa. "PLTN itu cocok di Kaltim karena tidak ada gempa. Kami sudah bilang mau mintakan izinnya ke Presiden Jokowi besok. Kalau diizinkan, saya bersama Batan akan bisa mulai pembangunan PLTN di Kaltim," kata Awang. Menurut dia, provinsi Kalimantan Timur cocok untuk dibangun PLTN mengingat daerah tersebut tidak rawan bencana alam seperti gempa bumi. Pemerintah mengaku tengah mempertimbangkan energi nuklir sebagai sumber energi penyokong peningkatan rasio elektrifikasi Indonesia. Dalam catatan Kementerian ESDM, pada 2015, sumber energi listrik terbesar masih berasal dari batubara dengan persentase 52,80 persen, diikuti dengan gas 24 persen, dan BBM 11,45 persen. Pemerintah menargetkan pada 2019 penggunaan BBM untuk pembangkit listrik sudah harus di bawah 2 persen, batubara 60 persen, dan gas 25 persen. "Kami sudah siap 50 megawatt di tahap awal (pengoperasian PLTN). Nantinya tentu bisa berkembang menjadi hingga 1.000 megawatt," kata Awang. Editor: Zaid Jafar