HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN Sistem Pemeliharaan Domba di UPTD BPPTD Margawati

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT DINAS PETERNAKAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009 tentang Ornagisasi dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak

MANAJEMEN PEMELIHARAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor : 2915/Kpts/OT.140/6/2011 (Kementerian Pertanian, 2011),

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998).

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

RENCANA KERJA TAHUNAN BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG TAHUN 2018

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

TINJAUAN PUSTAKA. Domba

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Laju permintaan daging sapi di Indonesia terus meningkat seiring

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Peternakan Sri Murni

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi kebutuhan manusia. Untuk meningkatkan produktivitas ternak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu. Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Ketersediaan bibit domba yang berkualitas dalam jumlah yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan adalah ternak kambing. Kambing merupakan ternak serba guna yang

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

Transkripsi:

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu suatu tempat untuk melaksanakan sebagian fungsi Dinas di bidang pengujian dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Fungsi dari UPTD BPPTD Margawati adalah sebagai penyelenggaraan pengkajjian bahan petunjuk teknis pengujian dan pengembangan perbibitan ternak domba, sebagai percontohan, tempat mangang, praktek kerja lapangan dan penelitian untuk siswa dan mahasiswa serta tempat pelatihan untuk peternak. 4.1.2. Lokasi dan Keadaan Lingkungan UPTD BPPTD Margawati berdiri di atas lahan seluas 27,6 ha yang berlokasi di Desa Sukanegla, Kelurahan Margawati, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Adapun penggunaan lahan adalah 2 ha untuk areal perkantoran, perumahan dan kandang ; 23,6 ha untuk kebun rumput dan 2 ha adalah lahan yang belum tergarap (lahan kritis). Dengan berada pada ketinggian 1050 meter di atas permukaan laut, tingkat kemiringan lahan 0-20 o, jenis tanahnya gromosol bertekstur lempeng pasir berdebu, ph tanah 6-7, curah hujan 2020 mm/tahun, suhu harian sekitar 16-26 o C dan kelembaban 85-95%. UPTD BPPTD Margawati merupakan ekologi yang cocok untuk pengembangan bibit domba. Menurut Ensminger (2002), temperatur lingkungan yang nyaman untuk pemeliharaan anak domba adalah 23,89-26,67 o C, 19

20 sedangkan untuk domba dewasa berkisar antara 7,22-23,89 o C, sehingga temperatur lingkungan di UPTD-BPPTD Margawati sesuai untuk pemeliharaan ternak domba. Williamson dan Payne (1993) mengungkapkan bahwa ternak domba merupakan hewan berdarah panas yang berarti ternak berusaha mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran yang paling cocok untuk terjadinya aktivitas biologis yang optimum. Pengaruh iklim yang ekstrim terhadap ternak yaitu penurunan feed intake, gangguan pertumbuhan, dan mengakibatkan kematian embrio dengan fetus yang kecil. 4.2. Sistem Pemeliharaan Domba di UPTD BPPTD Margawati 4.2.1. Manajemen Perkawinan Program breeding yang dilaksanakan di UPTD BPPTD Margawati dalam menghasilkan bakalan/bibit ternak domba yang berkualitas terdiri dari 2 (dua) pola, yaitu : Inseminasi Buatan (IB) dan Intensif Kawin Alam (INKA). IB merupakan salah satu teknologi reproduksi yaitu memasukkan semen beku ke dalam alat reproduksi betina menggunakan bantuan insemination Gun. IB dilakukan apabila pejantan unggul jumlahnya terbatas. Sedangkan pelaksana breeding dengan pola INKA dilaksanakan dengan menyatukan antara pejantan dengan betina dewasa yang telah diseleksi dalam kandang koloni dengan perbandingan satu ekor pejantan : 100 ekor betina dewasa selama 2 siklus birahi (36 hari). Setelah 36 hari, pejantan disimpan kembali ke kandang individu. Pola perkawinan ini memiliki tingkat fertilitas (kebuntingan) mencapai 90-100% setiap kelompok karena semua betina yang ada di kandanga kawin alam selama kurun waktu dua bulan, semuanya sudah dalam keadaan bunting.

21 4.2.2. Pengendalian Penyakit UPTD BPPTD Margawati melakukan tindakan pencegahan penyakit pada domba yang dipelihara dengan melakukan sanitasi secara benar dan teratur. Sanitasi ini meliputi membersihkan kandang, membersihkan tempat pakan dan membnersihkan lantai kandang secara rutin. Kegiatan mencukur bulu domba dilakukan secara bergiliran berdasarkan kandang domba, memandikan dan menggembalakan di lahan exercise dilakukan guna mengurangi dampak terkena penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan jamur. Selain itu dilakukan juga pengobatan, serta pemisahan domba yang sakit. 4.3. Evaluasi Bobot Badan Domba Garut Prasapih Bobot badan merupakan data produksi yang sangat penting dan harus diketahui sejak awal, bobot badan merupakan sifat kuantitatif yang dipengaruhi oleh lingkungan seperti sistem pemeliharaan dan pemberian pakan. Bobot badan seekor domba merupakan salah satu ukuran tubuh yang dapat digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan domba dan menetukan harga jualnya. 4.3.1. Jenis Kelamin dan Tipe Kelahiran Hormon androgen adalah suatu hormon kelamin yang termasuk hormon pengatur atau simultan pertumbuhan. Menurut Galbrait dan Berry (1994) bobot lahir domba jantan lebih bobot dibandingkan bobot lahir domba betina, hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin yang dipengaruhi oleh sistem hormonal. Persetase jumlah jenis kelamin jantan dan betina di UPTD BPPTD Margawati Garut dapat dilihat dalam Tabel 1.

22 Tabel 1. Persentase Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) Jantan 1.206 52,572 Betina 1.088 47,428 Jenis kelamin jantan mempunyai persentase sebesar 52,572% dan jenis kelamin betina sebesar 47,428%. Hal ini menunjukan domba Garut prasapih di UPTD BPPTD Margawati pada tahun 2010 sampai 2015 jantan memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan betina. Tipe kelahiran merupakan gambaran jumlah anak yang dilahirkan dari seekor induk domba. Jumlah anak yang dilahirkan satu ekor disebut kelahiran tunggal dan kelahiran lebih dari satu ekor disebut kelahiran kembar. Berdasarkan banyaknya anak yang dilahirkan seekor induk domba, populasi domba di UPTD BPPTD Margawati dapat dikelompokan ke dalam empat tipe kelahiran, yaitu tunggal, kembar dua (twin), kembar tiga (triplet), kembar empat (quartet). Persentase jumlah tipe kelahiran dapat dilihat dalam tabel 2. Tabel 2. Persentase Tipe Kelahiran Tipe Kelahiran Jumlah Persentase (%) Tunggal 1.018 44,377 Twin 983 42,851 Triplet 288 12,554 Quartet 5 0,218 Tipe kelahiran tunggal mempunyai persentase sebesar 44,377% dari 1018 ekor, twin sebesar 42,851% dari 983 ekor, triplet 12,554% dari 288 ekor dan quartet 0,218% dari 5 ekor. Persentase jumlah kelahiran tunggal lebih besar dibandingkan dengan kelahiran kembar, hal ini menunjukan bahwa penggunaan induk berasal dari tipe kelahiran tunggal lebih banyak dibandingkan dengan induk

23 berasal dari tipe kelahiran kembar. Menurut Bennet et al., (1991) Induk yang berasal dari kelahiran kembar akan menurunkan anak kembar lebih banyak dibandingkan dengan induk yang berasal dari kelahiran tunggal. Demikian juga pejantan yang berasal dari kelahiran kembar akan menurunkan anak kembar yang lebih banyak dibandingkan dengan pejantan yang berasal dari kelahiran tunggal. Hasil penelitian mengenai bobot badan domba Garut prasapih dengan sifat yang diamati meliputi bobot lahir, tipe kelahiran dan jenis kelamin yang mendapatkan hasil yang bervariasi setiap tahunnya. Data yang diteliti memenuhi syarat untuk dianalisis adalah data pada periode kelahiran bulan Januari 2010 Mei 2015 (lampiran 1) yang mempunyai catatan individu lengkap dengan jumah 2294 data domba prasapih dari 1206 ekor jantan dan 1088 ekor betina. 4.3.2. Bobot Badan Domba Prasapih Berdasarkan Tipe Kelahiran Tipe kelahiran berpengaruh terhadap bobot lahir anak, makin banyak anak yang dihasilkan perkelahiran makin rendah rataan bobot lahir anak yang dilahirkan. Rata-rata bobot lahir berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata Bobot Lahir Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tipe Kelahiran Jenis Kelamin Tipe Kelahiran Jumlah Rata-rata (Kg) Standar Deviasi Jantan 1 551 2,757 0,533 2 511 2,251 0,473 3 139 2,015 0,483 4 5 1,740 0,270 Betina 1 467 2,704 0,497 2 472 2,207 0,446 3 149 1,938 0,493

24 Tabel 3 memperlihatkan rata-rata bobot lahir berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran. Bobot lahir domba Garut jantan dan betina tipe kelahiran 1 adalah 2,757 ± 0,533 kg dan 2,704 ± 0,497 kg, bobot lahir domba Garut jantan dan betina tipe kelahiran 2 adalah 2,251 ± 0,473 kg dan 2,207 ± 0,446 kg, bobot lahir domba Garut jantan dan betina tipe kelahiran 3 adalah 2,015 ± 0,483 kg dan 1,938 ± 0,493 kg, dan bobot lahir domba Garut jantan tipe kelahiran 4 adalah 1,740 ± 0,270 kg. Hasil tersebut membuktikan bahwa tinggi jumlah tipe kelahiran tunggal pada anak domba Garut jantan di UPTD BPPTD Margawati dipengaruhi oleh penggunaan induk yang berasal dari tipe kelahiran tunggal dan jumlah tipe kelahiran kembar dua pada anak domba Garut betina di UPTD BPPTD Margawati dipengaruhi oleh penggunaan induk yang lebih banyak berasal tipe kelahiran kembar. Rata-rata bobot lahir tipe kelahiran tunggal lebih besar dibandingkan dengan tipe kelahiran kembar, hal ini dipengaruhi oleh masa pertumbuhan prenatal atau pertumbuhan foetus selama dalam kandungan, foetus tunggal memperoleh makanan dari induknya lebih banyak jika dibandingkan dengan foetus kembar. Hal ini dapat terjadi karena pada foetus yang kembar ada persaingan dalam memperoleh zat makanan antar foetus. Dengan demikian, laju pertumbuhan masing-masing individu foetus yang kembar selama dalam kandungan mengalami hambatan. Terjadi hambatan laju pertumbuhan tersebut akhirnya dapat menyebabkan bobot lahir anak kembar menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan anak lahir tunggal. Peningkatan jumlah anak sekelahiran pada ternak yang termasuk spesies polytocous, cenderung akan diikuti oleh penurunan laju pertumbuhan sebelum lahir sehingga bobot anak yang dilahirkan

25 akan rendah (Hafez, 1980). Menurut Ramsay et al (2000) semakin banyak tipe kelahiran anak yang dilahirkan semakin kecil rata-rata bobot lahir yang dicapai. Penggunaan faktor koreksi pada penelitian ini dilakukan untuk menyeragamkan umur sapih domba Garut di UPTD BPPTD Margawati pada umur 90 hari, kondisi tersebut didasari atas waktu penyapihan yang tidak seluruhnya tepat pada umur 90 hari. Penimbangan bobot sapih di UPTD BPPTD Margawati belum sepenuhnya dilakukan pada umur penyapihan yang sama. Umur sapih yang digunakan dalam penelitian ini adalah 90 hari. Bobot sapih pada umur 90 hari didapatkan dengan menggunakan faktor koreksi. Rata-rata bobot sapih umur 90 hari berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran dapat dilihat di Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Bobot Sapih Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tipe Kelahiran Jenis Kelamin Tipe Kelahiran Jumlah Rata-rata (Kg) Standar Deviasi Jantan 1 551 12,758 2,157 2 511 10,900 1,566 3 139 10,838 1,548 4 5 9,500 0,500 Betina 1 467 12,390 1,995 2 472 10,602 1,481 3 149 11,008 2,117 Tabel 4 memperlihatkan rata-rata bobot sapih berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran. Bobot sapih domba Garut jantan dan betina tipe kelahiran satu adalah 12,758 ± 2,157 dan 12,390 ± 1,995 kg, bobot sapih domba Garut jantan dan betina tipe kelahiran 2 adalah 10,900 ± 1,566 dan 10,602 ± 1,481 kg, bobot sapih domba Garut jantan dan betina tipe kelahiran 3 adalah 10,838 ± 1,548 dan

26 11,008 ± 2,117 kg, dan bobot sapih domba Garut jantan tipe kelahiran 4 adalah 9,500 ± 0,500 kg. Rata-rata bobot sapih tipe kelahiran 1 lebih besar dibandingkan dengan tipe kelahiran kembar, begitu pula dengan jenis kelamin jantan tipe kelahiran 1 lebih besar dibandingkan dengan betina. Hal ini terjadi karena pertambahan bobot badan harian anak jantan tunggal sangat nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak domba jantan kembar, betina tunggal, dan betina kembar. Karena itu, pada umur sapih yang sama, pencapaian bobot badan sapih anak jantan tunggal lebih bobot. Dengan demikian, bobot sapih anak domba dipengaruhi oleh bobot lahir, pertambahan bobot badan harian, jumlah anak sekelahiran, dan jenis kelamin. 4.3.3. Bobot Badan Domba Prasapih Berdasarkan Tahun (2010-2015) Data yang diambil dari penelitian ini dilakukan dalam 5 tahun terakhir terhitung dari tahun 2010 sampai dengan 2015, rata-rata bobot lahir dapat dilihat dalam Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata Bobot Lahir (2010-2015) Tahun Jumlah Rata-rata (Kg) Standar Deviasi 2010 262 2,592 0,530 2011 204 2,309 0,557 2012 671 2,356 0,585 2013 601 2,429 0,542 2014 470 2,416 0,574 2015 86 2,419 0,597 Tabel 5 memperlihatkan rata-rata bobot lahir berdasarkan tahun selama 5 tahun terakhir dari 2010 sampai dengan 2015. Tahun 2010 dengan jumlah domba

27 Garut 262 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 2,592 ± 0,530 kg, tahun 2011 dengan jumlah domba Garut 204 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 2,309 ± 0,557 kg, tahun 2012 dengan jumlah domba Garut 671 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 2,356 ± 0,585 kg, tahun 2013 dengan jumlah domba Garut 601 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 2,429 ± 0,542 kg, tahun 2014 dengan jumlah domba Garut 470 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 2,416 ± 0,574 kg, dan pada tahun 2015 dengan jumlah domba Garut 86 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 2,419 ± 0,597 kg. Rata-rata bobot lahir pada tahun 2010 lebih besar dibandingkan dengan tahun berikutnya, perbandingan tahun 2010 dengan 2011 sebesar 0,283 kg, perbandingan dengan tahun 2012 sebesar 0,236 kg, perbandingan dengan tahun 2013 sebesar 0,163 kg, perbandingan dengan tahun 2014 sebesar 0,176 kg, dan perbandingan dengan tahun 2015 sebesar 0,173 kg. Bobot lahir dari hasil data diatas masih fluktuatif dari tahun ke tahun, hal ini dapat dikarenakan jumlah ternak dari tahun ke tahun yang berbeda, paritas induk, bobot badan induk, perbuhanan musim atau iklim tiap tahun, serta pemberian pakan domba dengan kandungan nutrisi yang berbeda. Menurut Williamson dan Payne (1993) pengaruh iklim yang ekstrim terhadap ternak yaitu penurunan feed intake, gangguan terhadap pertumbuhan, mengakibatkan kematian embrio dan adanya fetus yang kerdil. Pengaruh musim secara tidak langsung terlihat pada kuantitas dan kualitas pakan ternak, apa bila musim basah ketersedian hijauan akan melimpah, tetapi kandungan air pada hijauan akan meningkat dan kandungan bahan keringnya menurun sehingga kualitasnya rendah. Induk domba yang mengkonsumsi hijauan tersebut

28 kekurangan gizi, sehingga asupan gizi untuk fetus kurang dan mengakibatkan bobot lahirnya menurun. Data yang diambil dari penelitian ini dilakukan dalam 5 tahun terakhir terhitung dari tahun 2010 sampai dengan 2015, rata-rata bobot sapih dapat dilihat dalam Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata Bobot Sapih (2010-2015) Tahun Jumlah Rata-rata (Kg) Standar Deviasi 2010 262 11,472 1,947 2011 204 10,201 1,236 2012 671 12,129 2,162 2013 601 11,916 2,079 2014 470 11,247 1,842 2015 86 11,814 2,040 Tabel 6 memperlihat rata-rata bobot sapih berdasarkan tahun selama 5 tahun terkahir dari 2010 sampai dengan 2015. Tahun 2010 dengan jumlah domba Garut 262 ekor memiliki rata-rata bobot sapih 11,472 ± 1,947 kg, tahun 2011 dengan jumlah domba Garut 204 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 10,201 ± 1,236 kg, tahun 2012 dengan jumlah domba Garut 671 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 12,129 ± 2,162 kg, tahun 2013 dengan jumlah domba Garut 601 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 11,916 ± 2,079 kg, tahun 2014 dengan jumlah domba Garut 470 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 11,247 ± 1,842 kg, dan pada tahun 2015 dengan jumlah domba Garut 86 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 11,814 ± 2,040 kg. Rata-rata bobot sapih pada tahun 2012 lebih besar dibandingkan dengan tahun yang lainnya, perbandingan tahun dengan tahun 2010 sebesar 0,657 kg,

29 perbandingan dengan tahun 2011 sebesar 1,928 kg, perbandingan dengan tahun 2013 sebesar 0,213 kg, perbandingan dengan tahun 2014 sebesar 0,882 kg, dan perbandingan dengan tahun 2015 sebesar 0,315 kg. Pemeliharaan pada tahun 2012 dapat dikatakan yang terbaik karena memiliki rata-rata bobot sapih yang lebih besar dibandingankan dengan tahun yang lainnya. Bobot sapih dari hasil data diatas menunjukan hasil yang fluktuatif dari tahun ke tahunnya, hal ini dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin jantan lebih banyak dibandingkan dengan betina, dan tipe kelahiran tunggal lebih banyak dibandingkan dengan tipe kelahiran kembar. Menurut Fraser dan Stamp (1987) bobot sapih pada domba dipengaruhi oleh beberapa faktor anatara lain adalah umur induk, bangsa, jumlah anak perkelahiran, bobot lahir, jenis kelamin, adaptabilitas, kesehatan, dan makanan. 4.3.4. Bobot Badan Prasapih Berdasarkan Jenis Kelamin di Koreksikan Ke Tunggal Bobot lahir domba Garut berdasarkan jenis kelamin yang dikoreksikan ke tipe kelahiran tunggal dapat dilihat dalam Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata Bobot Lahir Koreksi Tunggal Jenis Kelamin Jumlah Rata-rata (Kg) Standar Deviasi Jantan 1206 2,896 0,622 Betina 1088 2,838 0,599 Tabel 7 memperlihatkan rata-rata bobot lahir yang dikoreksikan ke tipe kelahiran tunggal. Bobot lahir domba Garut jantan dengan jumlah 1206 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 2,896 ± 0,622 kg dan bobot lahir domba Garut betina dengan jumlah 1088 ekor memiliki rata-rata bobot lahir 2,838 ± 0,599 kg.

30 Dari total kelahiran anak domba Garut dalam 5 tahun terakhir yang berjumlah 2294 ekor, jantan memiliki rata-rata bobot lahir lebih besar 0,058 kg dibandingkan dengan betina. Dalam tabel diatas rata-rata bobot kelahiran anak betina hampir dapat menyeimbangi rata-rata bobot lahir jantan, hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan berupa pakan, kesehatan, tatalaksana pemeliharaan selama induk bunting dalam kurun waktu tersebut. Bobot sapih domba Garut berdasarkan jenis kelamin yang dikoreksikan ke tipe kelahiran tunggal dapat dilihat dalam Tabel 8. Tabel 8. Rata-rata Sapih Koreksi Tunggal Jenis Kelamin Jumlah Rata-rata (Kg) Standar Deviasi Jantan 1206 13,784 2,550 Betina 1088 13,413 2,608 Tabel 8 memperlihatkan rata-rata bobot sapih yang dikoreksikan ke tipe kelahiran tunggal. Bobot sapih domba Garut jantan dengan jumlah 1206 ekor memiliki rata-rata bobot sapih 13,784 ± 2,550 kg dan bobot sapih domba Garut betina dengan jumlah 1088 ekor memiliki rata-rata bobot sapih 13,413 ± 2,608. Dari total domba Garut yang disapih dalam 5 tahun terakhir yang berjumlah 2294 ekor, jantan memiliki rata-rata bobot sapih lebih tinggi 0,371 kg dibandingkan dengan betina. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti produksi susu induk, pengalaman induk, tipe kelahiran, dan agresivitas anak dalam makan dan menyusui. Menurut Tiesnamurti (2002) pertumbuhan anak prasapih dan daya hidup sangat dipengaruhi oleh bobot lahir, agresivitas anak dalam menyusu,

31 produksi susu induk, keadaan lingkungan, struktur genetik ternak, jenis kelamin, dan jumlah anak sekelahiran. Rata- rata bobot lahir domba Garut jantan adalah 2,896 kg dan bobot sapih terkoreksi pada umur 100 hari adalah 13,784 kg. Hasil tersebut lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Dudi (2003) ditempat yang sama dengan data bersumber dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2001 diperoleh data ratarata bobot lahir 1,93 kg dan bobot sapih 8,39 kg. Hal tersebut terjadi karena dalam kurun waktu tertentu UPTD BPPTD Margawati mengadakan seleksi dan mengakibatkan peningkatan bobot lahir dan bobot sapih pada generasi berikutnya. 4.3.5. Bobot Badan Prasapih Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tahun di Koreksikan ke Tunggal (2010-2015) Bobot lahir domba Garut berdasarkan jenis kelamin dan tahun yang dikoreksikan ke tipe kelahiran tunggal dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rata-rata Bobot Lahir Berdasarkan Jenis Kelamin Koreksi Tunggal (2010-2015) Jenis Kelamin Tahun Jumlah Rata-rata (Kg) Standar Deviasi Jantan 2010 144 2,977 0,519 2011 110 2,512 0,560 2012 359 2,835 0,619 2013 293 3,081 0,711 2014 261 2,914 0,523 2015 39 2,807 0,500 Betina 2010 118 2,796 0,459 2011 94 2,478 0,534 2012 312 2,763 0,571 2013 308 3,027 0,727 2014 209 2,868 0,428 2015 47 2,827 0,501

32 Tabel 9 memperlihatkan rata-rata bobot lahir berdasarkan jenis kelamin yang dikoreksikan ke tipe kelahiran tunggal selama 5 tahun terakhir dari 2010 sampai dengan 2015. Bobot lahir domba Garut jantan pada tahun 2010 adalah 2,977 ± 0,519 kg dari jumlah 114 ekor, bobot lahir domba Garut jantan pada tahun 2011 adalah 2,512 ± 0,560 kg dari jumlah 110 ekor, bobot lahir domba Garut jantan pada tahun 2012 adalah 2,835 ± 0,619 kg dari jumlah 359 ekor, bobot lahir domba Garut jantan pada tahun 2013 adalah 3,081 ± 0,711 kg dari 293 ekor, bobot lahir domba Garut jantan pada tahun 2014 adalah 2,914 ± 0,523 kg dan bobot lahir domba Garut jantan pada tahun 2015 adalah 2,807 ± 0,500 kg dari 39 ekor. Bobot lahir domba Garut betina pada tahun 2010 adalah 2,795 ± 0,459 kg dari 118 ekor, bobot lahir domba Garut betina pada tahun 2011 adalah 2,478 ± 0,534 kg dari 94 ekor, bobot lahir domba Garut betina pada tahun 2012 adalah 2,763 ± 0,571 kg dari 312 ekor, bobot lahir domba Garut betina pada tahun 2013 adalah 3,027 ± 0,727 kg dari 308 ekor, bobot lahir domba Garut betina pada tahun 2014 adalah 2,868 ± 0,428 kg dari 209 ekor dan bobot lahir domba Garut betina pada tahun 2015 adalah 2,827 ± 0,501 kg dari 47 ekor. Bobot sapih domba Garut berdasarkan jenis kelamin dan tahun yang dikoreksikan ke tipe kelahiran tunggal dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rata-rata Bobot Sapih Bedasarkan Jenis Kelamin Koreksi Tunggal (2010-2015) Jenis Kelamin Tahun Jumlah Rata-rata (Kg) Standar Deviasi Jantan 2010 144 13,006 2,213 2011 110 10,746 1,970 2012 359 14,503 2,297 2013 293 14,581 2,690 2014 261 12,760 1,866 2015 39 12,774 1,863

33 Betina 2010 118 11,988 1,925 2011 94 11,076 1,762 2012 312 13,807 1,976 2013 308 14,676 3,096 2014 209 12,226 1,632 2015 47 12,081 1,498 Tabel 10 memperlihatkan rata-rata bobot sapih berdasarkan jenis kelamin yang dikoreksikan ke tipe kelahiran tunggal selama 5 tahun terakhir dari 2010 sampai dengan 2015. Bobot sapih domba Garut jantan pada tahun 2010 adalah 13,006 ± 2,213 kg dari jumlah 114 ekor, bobot sapih domba Garut jantan pada tahun 2011 adalah 10,746 ± 1,970 kg dari jumlah 110 ekor, bobot sapih domba Garut jantan pada tahun 2012 adalah 14,503 ± 2,297 kg dari jumlah 359 ekor, bobot sapih domba Garut jantan pada tahun 2013 adalah 14,581 ± 2,690 kg dari 293 ekor, bobot sapih domba Garut jantan pada tahun 2014 adalah 12,760 ± 1,866 kg, dan bobot sapih domba Garut jantan pada tahun 2015 adalah 12,774 ± 1,863 kg dari 39 ekor. Bobot sapih domba Garut betina pada tahun 2010 adalah 11,988 ± 1,925 kg dari 118 ekor, bobot sapih domba Garut betina pada tahun 2011 adalah 11,076 ± 1,762 kg dari 94 ekor, bobot sapih domba Garut betina pada tahun 2012 adalah 13,807 ± 1,976 kg dari 312 ekor, bobot sapih domba Garut betina pada tahun 2013 adalah 14,676 ± 3,096 kg dari 308 ekor, bobot sapih domba Garut betina pada tahun 2014 adalah 12,226 ± 1,632 kg dari 209 ekor, dan bobot sapih domba Garut betina pada tahun 2015 adalah 12,081 ± 1,498 kg dari 47 ekor. Bobot lahir merupakan faktor yang menentukan bagi kelangsungan usaha peternakan domba dan kambing, karena bobot lahir berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup dan perkembangan ternak setelah lahir. Domba dengan bobot lahir tinggi akan memiliki daya tahan dan adaptasi terhadap lingkungan lebih

34 baik, waktu sapih yang lebih cepat dan pertambahan bobot badan pasca sapih yang lebih tinggi (Gatenby, 1986). Bobot sapih memiliki hubungan yang erat dengan bobot lahir, keduanya berkorelasi positif sehingga bobot lahir dapat ditentukan dalam program seleksi tidak langsung, yaitu respon seleksi bobot sapi berdasarkan dari bobot lahir (Prajoga dkk., 2009). Bobot badan domba Garut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, tipe kelahiran, paritas, dan musim. Semua faktor tersebut selanjutnya dijadikan sebagai efek tetap dalam analisis parameter genetik. Perbedaan bobot lahir antara anak domba Garut jantan dan betina diantaranya disebabkan oleh faktor lingkungan berupa pakan, kesehatan, tatalaksana pemeliharaan selama induk bunting dalam kurun waktu tersebut. Pengaruh paritas terhadap bobot lahir dan bobot sapih terkoreksi pada umur 90 hari dalam penelitian ini tidak dapat diketahui, karena pencatatan umur induk saat melahirkan anak tidak dilakukan di UPTD BPPTD Margawati. Paritas identik dengan umur induk yang akan menunjukkan pengalaman induk dalam melahirkan. Anak domba yang dilahirkan dari induk yang tua, bobot badannya 10% lebih bobot dibandingkan anak domba yang dilahirkan dari induk yang berumur 2 tahun. Hal tersebut disebabkan karena umur induk mempengaruhi derajat perkembangan uterus dan vaskularitas uterus. Perkembangan anak domba didalam uterus diabtasi oleh kapasitas plasenta yang berfungsi untuk mengangkut makanan dari induk ke fetus. Apabila kapasitas plasenta kecil akan mengakibatkan kematian fetus dan induk akan melahirkan anak dengan bobot lahir yang rendah (Siregar, 1981). Pengaruh musim terhadap rata-rata bobot badan domba Garut di UPTD BPPTD Margawati tidak digunakan dalam analisis data. Kondisi tersebut

35 didasarkan atas intensitas curah hujan dalam kurun waktu 2 tahun terakhir menunjukan sebanyak 19 bulan termasuk dalam musim hujan dan 5 bulan termasuk dalam musim kemarau. Data tersebut diambil dari Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan Kabupaten Garut.