BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. terutama dalam mata pelajaran matematika sejauh ini telah mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, antara lain pembaharuan kurikulum, peningkatan kualitas tenaga. pendidik dan peningkatan sarana dan pra sarana.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini pesatnya kemajuan teknologi informasi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mempunyai peran penting

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya belajar matematika tidak terlepas dari peranannya dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang konsep, kaidah,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

I. PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang secara pesat sehingga cara berpikir

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis melalui Pembelajaran berbasis Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pendekatan Brain Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berperan dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arif Abdul Haqq, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Elita Lismiana, 2013

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Kehidupan yang semakin meng-global ini memberikan tantangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di semua bidang, salah satunya membangun sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan cepat dan pesat sering kali terjadi dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi yang harus dimiliki individu dan tujuan yang akan dicapai dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I LATAR BELAKANG

UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIKA. (PTK Pembelajaran Matematika Kelas VII Semester II SMP Negeri 2

I. PENDAHULUAN. berperan penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu pesat

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

I. PENDAHULUAN. dengan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu sasaran

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suci Primayu Megalia, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Rini Apriliani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini mengalami kemajuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang berperan penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Manusia tidak

BAB I PENDAHULUAN. Belajar dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Trianto (2009:16) belajar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. Permen 23 Tahun 2006 (Wardhani, 2008:2) disebutkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laswadi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nobonnizar, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu. pengetahuan dan teknologi. Pendidikan mampu menciptakan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu ilmu yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. matematika. Pendidikan matematika berperan penting bagi setiap individu karena

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah , 2014

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN. konsep-konsep sehingga siswa terampil untuk berfikir rasional. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional) Pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Taufik Rahman, 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era global yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memungkinkan semua orang untuk mengakses dan mendapatkan informasi dengan mudah dan cepat dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Karenanya siswa perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, dan bekerjasama yang efektif untuk memperoleh, memilih dan mengelola informasi tersebut. Kemampuan ini diperlukan untuk menghadapi tantangan perkembangan dan perubahan di dalam kehidupan serta mampu menghadapi persaingan global yang dihadapinya. Kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif dan kerjasama secara efektif tersebut dapat dikembangkan melalui belajar matematika karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antara konsep yang satu dengan konsep yang lain dan ini memungkinkan siswa terampil bertindak atas dasar pemikiran yang rasional dan logis. Ini berarti matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang berperan penting dalam menentukan masa depan siswa. Oleh karena itu, pembelajaran matematika di sekolah harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki siswa, sehingga mereka mampu mengerjakan dan memahami matematika dengan benar. Adapun tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, bahwa tujuan mata pelajaran matematika di sekolah (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK) adalah agar siswa memiliki kemampuan: 1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;

2 2. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4. mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan standar kompetensi yang termuat dalam standar isi dari kurikulum matematika tersebut, aspek penalaran dan komunikasi merupakan dua kemampuan yang harus dimiliki siswa sebagai standar yang harus dikembangkan. Penalaran adalah suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau proses berpikir dalam rangka membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya (Fadjar Shadiq, 2003). Ada dua jenis metode dalam menalar atau menarik kesimpulan, yaitu induktif dan deduktif. Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Generalisasi merupakan bentuk dari metode berpikir induktif. Sedangkan metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan berupa argumen.

3 Aplikasi penalaran sering ditemukan di kelas matematika meskipun tidak secara formal disebut sebagai belajar bernalar. Oleh karena itu materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami melalui penalaran, dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika (Depdiknas dalam Fadjar Shadiq, 2005). Dengan belajar matematika keterampilan berpikir siswa akan meningkat karena pola berpikir yang dikembangkan matematika membutuhkan dan melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis, dan kreatif. Dengan pola berpikir demikian, siswa akan mampu dengan cepat dan benar menarik kesimpulan dari fakta atau data yang diketahui atau yang ada sebelumnya. Kemampuan bernalar ini tidak hanya dibutuhkan ketika siswa belajar matematika atau pelajaran lainnya, namun sangat dibutuhkan juga oleh mereka disaat memecahkan suatu masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Namun kenyataannya, kemampuan siswa dalam bernalar masih jauh dari harapan. Dari pengalaman penulis selama mengajar, baik di dua Sekolah Menengah Atas Swasta di Bandung selama lima tahun, mengajar di Bimbingan Belajar selama empat tahun, dan pengalaman mengajar di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Kota Cimahi untuk mata pelajaran Matematika dan Kalkulus selama hampir 15 tahun, mayoritas siswa atau mahasiswa tingkat pertama sangat lemah dalam kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis. Mereka umumnya kurang kritis dalam berpikir, kurang berpikir logis dan cenderung tidak sistematis. Lemah dalam melakukan analisis suatu masalah dan dalam menarik kesimpulan, apalagi ketika melakukan pembuktian suatu teorema. Sejalan dengan itu, dalam studinya Wahyudin (1999:19) mengemukakan bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai pokok-pokok bahasan matematika adalah akibat kurangnya menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal atau masalah matematika yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya kemampaun

4 penalaran akan berdampak pada kurangnya penguasaan terhadap materi matematika dan akan berujung pada rendahnya hasil belajar siswa. Demikian juga hasil studi lain yang menyatakan bahwa kemampuan siswa dalam melakukan penalaran masih belum memuaskan. Studi tersebut diantaranya adalah studi yang dilakukan oleh Priatna (2003) yang mengemukakan bahwa kualitas kemampuan penalaran, khususnya analogi dan generalisasi, rendah karena skornya hanya mencapai 49% dari skor ideal; Studi Rif at (dalam Somatanaya, 2005:3) menunjukkan bahwa lemahnya kemampuan matematika siswa dilihat dari kinerja dalam bernalar diantaranya terjadinya kesalahan dalam penyelesaian soal matematika dikarenakan kesalahan menggunakan logika deduktif; Juga studi pendahuluan yang dilakukan Somatanaya (2005, dalam Yuniarti (2007)) yang menyatakan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa tergolong rendah, hasil rata-ratanya 16,65 dari skor ideal, serta daya serap 52,03%. Selain mengembangkan kemampuan penalaran, tujuan pembelajaran matematika juga untuk mengembangkan kemampuan komunikasi siswa, yaitu mengembangkan kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Gagasan dan pikiran seseorang dalam menyelesaikan permasalahan matematika dapat dinyatakan dalam kata-kata, lambang matematis, bilangan, gambar, maupun tabel. Cockroft (1986) dalam Shadiq (2003) menyatakan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, teliti, dan tidak membingungkan. Komunikasi ide-ide, gagasan pada operasi atau pembuktian matematika banyak melibatkan kata-kata, lambang matematis, dan bilangan. Banyak persoalan ataupun informasi disampaikan dengan bahasa matematika, misalnya menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika yang dapat berupa diagram, persamaan matematika, grafik, ataupun tabel. Mengkomunikasikan gagasan dengan matematika lebih praktis, sistematis, dan efisien. Kemampuan komunikasi matematika penting untuk dikembangkan

5 dan dilatihkan kepada siswa karena dengan belajar berkomunikasi kemampuan bernalar dan kemampuan memecahkan masalah para siswa akan meningkat pula (Shadiq, 2004). Komunikasi dapat terjadi ketika siswa belajar dalam kelompok, misalnya ketika siswa menjelaskan suatu algoritma untuk memecahkan suatu persamaan, ketika siswa menyajikan cara unik untuk memecahkan masalah, ketika siswa mengkonstruksi dan menjelaskan suatu representasi grafik terhadap fenomena dunia nyata, dan ketika siswa memberikan suatu konjektur tentang gambargambar geometri. Kemampuan komunikasi siswa perlu diperhatikan dalam pembelajaran matematika karena melalui komunikasi siswa dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya dan siswa dapat mengeksplorasi ideide matematika (NCTM, 2000a & 2000b). Karena itu dalam pembelajaran siswa perlu dibiasakan untuk memberikan argumen setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain (Yuniarti, 2007). Jika belajar dipandang sebagai suatu proses yang melibatkan komunikasi maka siswa sebagai pebelajar memerlukan kemampuan berkomunikasi. Demikian juga dengan guru sebagai si pembelajar. Peluang komunikasi dapat terjadi di dalam pembelajaran matematika jika berlangsung interaksi antara guru dan siswa, antara siswa dan teman sebaya di kelas. Menurut Koehler dan Prior dalam Sugiatno (2008), interaksi yang seperti ini merupakan sesuatu yang sifatnya esensial untuk proses pembelajaran. Namun demikian, peluang komunikasi itu muncul bukan hanya karena adanya interaksi, tetapi yang lebih penting jika terjadi transaksi antara orang yang terlibat di dalamnya untuk mengkonstruksi makna (Sugiatno,2008). Ketika guru melakukan suatu transaksi dengan siswa dalam proses pembelajaran yang dimulai dengan mengajukan suatu masalah maka terjadi suatu konflik kognitif yang mengakibatkan keadaan ketidakseimbangan kognitif siswa.

6 Konflik kognitif ini akan mengakibatkan timbulnya proses asimilasi dan akomodasi, dan melalui proses adaptasi untuk mencapai kesetimbangan. Menurut Teori Peaget, pertumbuhan intelektual siswa merupakan proses yang terus menerus dari keadaan setimbang dan tidak setimbang. Bila kesetimbangan terjadi, individu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada sebelumnya, artinya masalah telah dapat diselesaikan. Ketika ketidakseimbangan terjadi akibat adanya pengajuan masalah awal, siswa akan cenderung termotivasi untuk mencari pemecahannya (melalui komunikasi). Ketika ia mengalami hambatan dalam proses pencarian pemecahan tersebut, siswa kerap memerlukan stimulus atau informasi tambahan. Menurut Sugiatno (2008), ketidakseimbangan kognitif yang terjadi akan mendorong siswa untuk melakukan komunikasi. Usaha pengembangan kemampuan komunikasi ini dilakukan dalam rangka mencapai kesetimbangan yakni ditemukannya penyelesaian masalah. Dalam proses mencapai kesetimbangan tersebut (adaptasi), guru dapat memberikan stimulus melalui contoh-contoh, pertanyaan-pertanyaan, investigasi, petunjuk atau pedoman kerja dan lainnya, yang dikenal sebagai intervensi. Intervensi ini dapat berupa pertanyaan investigasi yang bersifat tertutup yang mengarahkan siswa pada penyelesaian masalah dikenal dengan bentuk intervensi konvergen atau melalui pertanyaan investigasi yang bersifat terbuka yang mengarahkan siswa pada penyelesaian masalah, yang dikenal sebagai bentuk intervensi divergen. Sekalipun kemampuan komunikasi matematis siswa penting untuk dikembangkan dan dilatih karena dengan belajar berkomunikasi kemampuan bernalar dan kemampuan memecahkan masalah siswa akan meningkat pula (Sidiq, 2004), namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah. Dari pengamatan dan pengalaman penulis selama mengajar kurang lebih 15 tahun, dimana penulis mengajar mata pelajaran matematika, menemukan bahwa siswa sekolah menengah atas dan mahasiswa tahun pertama lemah dalam

7 mengemukakan ide-ide, gagasan-gagasan, dan terutama menjelasakan suatu gagasan atau ide dengan menggunakan simbol, lambang, atau notasi matematika. Hal ini juga terungkap dalam studi Rohaeti (2003) yang menyatakan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa berada dalam kualifikasi kurang. Sedangkan Purniati (2003, dalam Yuniarti (2007)) menyatakan bahwa respon siswa terhadap soal-soal komunikasi matematis umumnya kurang. Dari sejumlah hasil penelitian yang dipublikasikan dapat dilihat bahwa mutu pendidikan Indonesia, terutama dalam mata pelajaran matematika, masih rendah. Rendahnya mutu pendidikan dalam mata pelajaran matematika, khususnya menyangkut kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa sangat mempengaruhi kualitas belajar siswa bersangkutan dan akan berdampak pada prestasi atau hasil belajar siswa tersebut. Sejumlah upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia tampaknya belum berhasil dengan baik. Data yang terungkap dalam konferensi pers The First Symposium on Realistic Teaching in Mathematics di Majelis Guru Besar (MGB) ITB, Jln. Surapati No. 1, Bandung, Senin 16 Januari 2008, antara lain dari hasil penelitian tim Programme of International Student Assessment (PISA) 2001 yang menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-9 dari 41 negara pada kategori literatur matematika. Sementara itu, menurut penelitian Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS) 1999, matematika Indonesia berada di peringkat ke-34 dari 38 negara (data UNESCO). Padahal, berdasarkan hasil penelitian TIMMS yang dilakukan oleh Frederick K. S. Leung pada 2003, jumlah jam pengajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan Malaysia dan Singapura. Dalam satu tahun, siswa kelas 8 di Indonesia rata-rata mendapat 169 jam pelajaran matematika. Sementara di Malaysia hanya mendapat 120 jam dan Singapura 112 jam. Namun, hasil penelitian yang dipublikasikan di Jakarta pada 21 Desember 2006 itu menyebutkan, prestasi Indonesia berada jauh di bawah kedua negara tersebut.

8 Prestasi matematika siswa Indonesia hanya menembus skor rata-rata 411. Sementara itu, Malaysia mencapai 508 dan Singapura 605 (400 = rendah, 475 = menengah, 550 = tinggi, dan 625 = tingkat lanjut). Selain peringkat pendidikan Indonesia yang masih rendah, masalah mutu pendidikan tersebut juga terlihat dari ditetapkannya batas kelulusan ujian nasional matematika Sekolah Menengah Atas di Indonesia yang masih rendah, walaupun dari tahun ke tahun berusaha di naikkan. Pada tahun 2008, batas kelulusan matematika boleh 4,25 asalkan rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan mencapai 5,25. Sedangkan untuk tahun 2010, batas kelulusan menjadi memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Namun batas nilai ini masih di bawah nilai kriteria ketuntasan minimal yang sudah biasa dipakai, yaitu 6,00, dan jauh lebih rendah apalagi dibandingkan dengan standar ketuntasan belajar minimal nasional sebesar 7,50. Namun penetapan batas kelulusan ini selalu menjadi perdebatan dan masih mendapat protes dari berbagai pihak. Pihak yang kontra mengusulkan agar batas kelulusan tersebut diturunkan. Hal ini menggambarkan bahwa masih banyaknya siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang digunakan dalam ujian nasional. Pada hal, menurut Mulyana (2008), sebagian besar soal-soal matematika dalam ujian nasional merupakan soal-soal yang rutin. Jika dalam menyelesaikan soal-soal yang rutin saja siswa sudah mengalami kesulitas, maka dapat diprediksi bagaimana kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin. Terutama menyangkut soal-soal yang berkaitan dengan kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis yang tidak rutin. Di sisi lain, pembelajaran di sekolah cenderung masih konvensional dan searah dimana guru lebih banyak menjelaskan dan siswa cenderung pasif dan lebih banyak mencatat. Proses pembelajaran di kelas belum banyak mengalami perubahan, kurang melakukan proses yang melibatkan siswa secara aktif mecari dan menemukan, mengemukakan dan membangun gagasan serta ide-ide, kurang

9 melakukan proses belajar yang melibatkan cara berpikir kreatif dan tingkat tinggi, kurang menggunakan nalar dalam belajar. Budaya belajar melalui kegiatan menganalisis sejumlah permasalahan guna menemukan ide-ide atau gagasan terkait topik pembelajaran serta kegiatan melakukan sintesis untuk menemukan kesimpulan atau generalisasi dari sejumlah pernyataan masih belum membudaya dilakukan dalam proses belajar mengajar di kelas. Sementara itu pengembangan dan pembentukan aktivitas pembelajaran kurang melibatkan diskusi yang intensif, efisien dan efektif sehingga percepatan transver knowleght dan komunikasi dalam pembelajaran tidak berjalan semestinya. Siswa cenderung pasif dan guru yang lebih banyak aktif. Masalah inilah yang juga diperkirakan menjadi salah satu faktor yang membuat mutu pembelajaran matematika belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan memperhatikan rekomendasi, pendapat, temuan studi, pengalaman mengajar penulis, dan permasalahan yang ada saat ini, upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis tersebut adalah melalui pemilihan pendekatan dan strategi pembelajaran yang tepat. Pembelajaran matematika tersebut harus memberikan peluang kepada siswa untuk belajar berpikir matematika dan belajar mengemukakan gagasan matematis. Salah satu model pembelajaran demikian adalah model pembelajaran analitik sintetik intervensi divergen (PASID) dan model pembelajaran analitik sintetik intervensi konvergen (PASIK). Adapun karakteristik model pembelajaran PASID (dalam Mulyana, 2008) adalah : (1) Pembelajaran diawali dengan mengajukan masalah matematika kepada siswa sehingga akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan ketidakseimbangan (disequibrium) antara skema awal dengan skema baru; (2) Masalah dianalisis dari hal yang cukup besar dan umum menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih khusus; (3) Konjektur dan pembuktian konjektur disintesis oleh siswa secara berkelompok dengan menggunakan pendekatan induktif-deduktif; (4) Pemberian intervensi divergen dari guru ketika menganalisis

10 masalah, mensintesis konjektur dan pembuktian konjektur, dan menyelesaikan masalah; (5) Menyajikan hasil kegiatan analisis dan sintesisnya di forum kelas; dan (6) Menerapkan teorema yang sudah diperoleh dalam menyelesaikan soalsoal, terutama tipe analisis, sintesis, dan evaluasi. Sementara karakteristik model pembelajaran PASIK sama dengan karakteristik model pembelajaran PASID kecuali untuk langkah nomor (4), bahwa pemberian intervensi yang dilakukan adalah intervensi konvergen. Sejalan dengan pendapat Mulyana (2008), penulis berpendapat bahwa pembelajaran tidak langsung yang berbasis masalah sangat berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi siswa. Untuk itu salah satu alternatif model pembelajaran yang perlu dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi siswa adalah model pembelajaran analitik sintetik intervensi divergen (PASID) dan model pembelajaran analitik-sintetik intervensi konvergen (PASIK). Pendapat, rekomendasi, pengalaman mengajar penulis, temuan beberapa studi dan masalah mutu pendidikan di Indonesia yang ada saat ini, sebagaiamna telah penulis kemukakan sebelumnya melatarbelakangi dan mendorong penulis untuk melakukan studi yang berkaitan dengan meningkatkan kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa sekolah menengah atas melalui pembelajaran analitik sintetik. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini mengkaji masalah yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PASID dan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PASIK lebih baik dari kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional (PK)?

11 2. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PASID dan kemampuan komunikasi siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PASIK lebih baik dari peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional (PK)? 3. Apakah ada korelasi antara kemampuan penalaran matematis siswa dan kemampuan komunikasi matematis siswa. 4. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika, pembelajaran PASID, pembelajaran PASIK, dan soal-soal penalaran dan komunikasi yang diberikan? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan memperoleh informasi mengenai kemampaun penalaran dan kemampuan komunikasi matematis siswa sekolah menengah atas melalui pembelajaran dengan pendekatan PASID, PASIK, dan pembelajaran konvensional, yaitu: 1. Mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi divergen (PASID), siswa yang memperoleh pembelajaran analitik sintetik intervensi konvergen (PASIK), dan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional (PK); 2. Mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi divergen (PASID), siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi konvergen (PASIK), dan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional (PK); 3. Mengetahui ada tidaknya korelasi antara kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

12 4. Mendeskripsikan pandangan (sikap) siswa terhadap pelajaran matematika, pembelajaran analitik sintetik intervensi divergen dan terhadap pembelajaran analitik sintetik intervensi konvergen, serta terhadap soal-soal penalaran dan komunikasi matematis yang diberikan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberiakan masukan yang berarti dalam kegiatan pembelajaran matematika di kelas, khususnya dalam usaha meningkatkan kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Masukan-masukan itu diantaranya adalah : 1. Menjadi acuan bagi guru matematika tentang penerapan pembelajaran dengan pendekatan PASID dan PASIK sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis siswa. 2. Memberikan suatu strategi pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa. 3. Memberikan masukan informasi dalam proses pembelajaran matematika di SMA serta berbagai langkah strategi untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan prestasi belajar siswa. 4. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang strategi pembelajaran serta penerapan dalam situasi proses belajar mengajar, khususnya pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi divergen dan pendekatan analitik sintetik intervensi konvergen. 5. Memberikan umpan balik (feedback) kepada guru dalam menyusun suatu rancangan pembelajaran matematika yang lebih bervariasi dan bermakna. E. Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini. hipotesis yang diajukan adalah:

13 1. Kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi divergen (PASID) dan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi konvergen (PASIK) lebih baik daripada kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran KONVENSIONAL. 2. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi divergen (PASID) dan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi konvergen (PASIK) lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran KONVENSIONAL. 3. Terdapat korelasi antara kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa. F. Definisi Operasional Untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan pada penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut: 1. Kemampuan penalaran matematis siswa pada penelitian ini adalah kemampuan penalaran deduktif yang salah satunya adalah mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang valid. 2. Kemampuan komunikasi matematis siswa adalah kesanggupan siswa untuk menyatakan suatu gagasan ke dalam bahasa tulisan matematis (simbol, notasi, istilah), tabel, grafik, dan diagram. 3. Pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi divergen (PASID) adalah suatu model pembelajaran pemecahan masalah dimana pada saat siswa mengalami hambatan dalam proses penyelesaianya diberikan

14 stimulus oleh guru (intervensi) berupa pertanyaan terbuka yang mengarahkan siswa untuk menuju penyelesaian masalah. Pembelajaran ini ditandai dengan: (1) Pembelajaran diawali dengan mengajukan masalah matematika kepada siswa; (2) Masalah dianalisis dari hal yang cukup besar dan umum menjadi bagian-bagian yang lebih kecil; (3) Konjektur dan pembuktian konjektur disintesis oleh siswa secara berkelompok dengan menggunakan pendekatan induktif-deduktif; (4) Pemberian intervensi divergen dari guru ketika menganalisis masalah, mensintesis konjektur dan pembuktian konjektur, dan menyelesaikan masalah;(5) Mengkomunikasikan hasil kegiatan analisis dan sintesis di forum kelas; (6) Menerapkan teorema yang sudah diperoleh dalam menyelesaikan soal-soal, terutama tipe analisis, sintesis, dan evaluasi. 4. Pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi konvergen (PASIK) adalah suatu model pembelajaran pemecahan masalah dimana pada saat siswa mengalami hambatan dalam proses penyelesaiannya diberikan stimulus oleh guru (intervensi) berupa pertanyaan tertutup yang mengarahkan siswa untuk menuju penyelesaian masalah. Pembelajaran ini ditandai dengan : (1) Pembelajaran diawali dengan mengajukan masalah matematika kepada siswa; (2) Masalah dianalisis dari hal yang cukup besar dan umum menjadi bagian-bagian yang lebih kecil; (3) Konjektur dan pembuktian konjektur disintesis oleh siswa secara berkelompok dengan menggunakan pendekatan induktif-deduktif; (4) Pemberian intervensi konvergen dari guru ketika menganalisis masalah, mensintesis konjektur dan pembuktian konjektur, dan menyelesaikan masalah; (5) Mengkomunikasikan hasil kegiatan analisis dan sintesis di forum kelas; (6) Menerapkan teorema yang sudah diperoleh dalam menyelesaikan soal-soal, terutama tipe analisis, sintesis, dan evaluasi. 5. Pembelajaran konvensional yang dimaksudkan dalam penelitian ini, merupakan pembelajaran yang bersifat informatif, dimana guru memberi dan menjelaskan materi pelajaran, siswa mendengarkan dan mencatat

15 penjelasan yang disampaikan guru, siswa belajar sendiri-sendiri, kemudian siswa mengerjakan latihan, dan siswa dipersilahkan untuk bertanya apabila tidak mengerti, maka dapat dikatakan bahwa siswa adalah individu yang pasif pada saat proses pembelajaran berlangsung. 6. Sikap yang dimaksud dalam penelitian merupakan aspek afektif. Sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan siswa untuk terlibat secara aktif dalam pelajaran matematika, atau respon yang ditunjukkan untuk menyukai atau tidak menyukai pelajaran matematika. Sikap yang diukur dalam penelitian ini adalah sikap positif dan negatif terhadap pelajaran matematika, terhadap pembelajaran dengan pendekatan analitik sintetik intervensi divergen dan terhadap pembelajaran analitik sintetik intervensi konvergen, serta terhadap soal-soal penalaran dan komunikasi matematis.