IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode irigasi. Sebagian besar penyerapan air tanaman dari tanah hilang sebagai proses evapotranspirasi tanaman. Evapotranspirasi tanaman adalah sejumlah air yang hilang sebagai bentuk penguapan dari tanah dan transpirasi tanaman. Evapotranspirasi tanaman dapat diukur berdasarkan pendekatan Kc (koefisien tanaman) dimana evapotranspirasi tanaman dihitung menggunakan evapotranspirasi tanaman acuan dan koefisien tanaman spesifik. Dalam pengukuran evapotranspirasi tanaman acuan secara langsung dengan menggunakan lisimeter bertimbang dibutuhkan biaya kerja yang mahal, sulit dan pengukuran ini hanya berlaku pada kondisi tempat yang diukur. Karena metode langsung tidak praktis digunakan dalam skala besar, maka dikembangkan metode dari persamaan Penman. Persamaan Penman tidak relatif pada tanaman karena penguapan yang dihasilkan didasarkan pada permukaan yang basah (jenuh) sehingga taksiran kebutuhan air tanaman menjadi tinggi. Model Penman kemudian dimodifikasi berdasarkan konsep perlawanan (resistensi) dan dikembangkan oleh Monteith dengan konsep big leaf surface mengenai resistensi kanopi dan aerodinamis. Menurut hipotesis, kanopi dapat dianggap sebagai daun tunggal yang besar dengan menganggap sumber panas dan fluks uap ditemukan pada lapisan yang sama. Kombinasi persamaan sebelumnya mengarah pada perkiraan evapotranspirasi tanaman acuan yang dikenal dengan persamaan Penman-Monteith. Faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi tanaman acuan (ETo) adalah parameter iklim yang dapat diketahui dari data cuaca. ETo yang diukur pada lokasi dan musim yang berbeda dapat dibandingkan karena mengacu pada evapotranspirasi dari permukaan referensi yang sama dengan asumsi tinggi tanaman 12 cm, permukaan resistansi tanaman tetap (70 det/m), albedo 0.23, menyerupai evapotranspirasi rumput dengan ketinggian yang seragam, tumbuh subur dengan ketersediaan air yang cukup. Setelah dilakukan perhitungan ETo dari parameter-parameter yang dibutuhkan dalam metode Penman-Monteith dan Penman Modifikasi, maka didapatkan nilai ETo dari kedua metode tersebut. Nilai ETo yang dihasilkan pada dan memiliki nilai yang berbeda dengan perbandingan persentase ETo Penman Modifikasi terhadap Penman-Monteith sebesar 123.61%. Pada digunakan metode Penman-Monteith dan menggunakan metode Penman Modifikasi. Selain menggunakan metode tersebut, nilai ETo dapat ditentukan dengan metode lain, yaitu Blaney-Criddle, Panci evaporasi dan radiasi. Sejak tahun 1990 umumnya dalam menentukan ETo para peneliti menggunakan metode Penman-Monteith. Hal ini dikarenakan nilai taksiran yang dihasilkan metode tersebut tidak jauh berbeda dari kondisi di lapangan dibandingkan dengan metode lainnya. Parameter yang digunakan dalam metode ini cukup lengkap, meliputi data iklim (suhu maksimum, suhu minimum, kelembaban udara, kecepatan angin dan penyinaran matahari), sedangkan metode lain seperti metode radiasi digunakan apabila hanya tersedia data suhu dan penyinaran matahari. Metode Blaney- Criddle diusulkan untuk daerah dimana hanya tersedia data suhu udara saja, sehingga berdasarkan keterangan parameter yang dibutuhkan metode Penman-Monteith menghasilkan nilai yang mendekati 17
kondisi di lapangan. Sejak tahun 1990, penggunaan metode ini sudah banyak diterapkan dalam merencanakan perencanaan irigasi. Contoh perbandingan ETo Penman-Monteith dan Penman Modifikasi pada stasiun Darmaga terdapat pada Gambar 3. Perbandingan evapotranspirasi tanaman acuan (ETo) Penman Monteith dan Penman Modifikasi stasiun lainnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari kedua metode tersebut dapat dilihat perbedaan nilai ETo yang dihasilkan dari perhitungan 10 stasiun yang diamati. Rata-rata nilai ETo yang dihitung berdasarkan metode Penman Modifikasi menghasilkan nilai yang lebih besar dibandingkan Penman-Monteith (123.61%). Hal ini dikarenakan Penman-Monteith merupakan pengembangan dari Penman Modifikasi karena nilai taksiran ETo yang dihasilkan dengan Penman Modifikasi nilainya lebih tinggi (overestimate). Perbedaan dari hasil perhitungan ETo juga disebabkan oleh ketetapan penggunaan albedo pada kedua metode tersebut. Albedo atau koefisien pemantulan adalah bagian dari radiasi matahari ektraterestrial yang dipantulkan oleh permukaan bumi. Albedo dipengaruhi oleh penutupan tanah oleh vegetasi dan tingkat kebasahan permukaan tanah. Albedo dari permukaan tanah dan tanaman mempengaruhi penyerapan radiasi bersih (Rn) dengan permukaan yang merupakan sumber pertukaran energi untuk proses evaporasi. Salju yang baru turun memiliki albedo sekitar 0.95, sedangkan tutupan vegetasi hijau memiliki albedo sekitar 0.2-0.25. Pada tanaman referensi rumput hijau, Penman-Monteith menggunakan nilai albedo 0.23 dan Penman Modifikasi digunakan albedo 0.25. ETo (mm/hari) 5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Bulan Penman-Monteith Penman Modifikasi Gambar 3. Perbandingan ETo di Stasiun Darmaga Dari kedua metode tersebut, besarnya perkiraan nilai ETo yang didapat dari penggunaan data iklim yang sama menghasilkan nilai yang berbeda. Tahun 1990 pakar FAO mencapai kesepakatan dalam merekomendasikan pendekatan Penman-Monteith sebagai metode yang paling tepat untuk memperkirakan ETo berdasarkan pengaruh data iklim. Standarisasi penggunaan metode Penman-Monteith dilakukan untuk memberikan rekomendasi ketika data meteorologi yang tersedia terbatas. Pendekatan Penman- Monteith adalah metode yang dapat dipercaya dengan pencapaian nilai yang mendekati kondisi sebenarnya, menggambarkan faktor fisik dan fisiologi yang mengatur proses evapotranspirasi. Konsep 18
ETo telah direvisi selama dekade terakhir sehingga dihasilkan prosedur komputasi standar oleh para ahli FAO dan kelompok revisi metodelogi FAO mengenai kebutuhan air tanaman yang diterbitkan dalam paper Irigasi dan Drainase no.56. 4.2. Perbandingan Hujan Efektif Sumber utama pasokan air untuk pertanian dalam memenuhi kebutuhan air irigasi padi adalah curah hujan. Curah hujan bervariasi dipengaruhi topografi dan kondisi iklim pada suatu daerah. Tidak semua curah hujan yang jatuh di permukaan bumi dapat terinfiltrasi ke dalam tanah. Jika intensitas hujan tinggi dibandingkan dengan laju infiltrasi yang terjadi, maka air yang tidak masuk ke dalam tanah akan mengalir sebagai aliran permukaan (runoff) dan bila lengas tanah telah mencapai kondisi kapasitas lapang, dengan intensitas hujan yang tinggi maka air akan mengalir sebagai perkolasi dalam. Dalam penilaian sumberdaya air, intersepsi sering diabaikan. Intersepsi adalah air yang tertahan yang akan mengalami penguapan kembali ke atmosfer sebelum air tersebut mengalami proses infiltrasi dan menjadi aliran permukaan. Bagian dari curah hujan yang tidak tersedia untuk infiltrasi dan menjadi limpasan ini disebut kehilangan awal (initial loss). Pada CROPWAT, hujan efektif ditentukan dengan hujan yang terjadi dikurangi dengan kehilangan awal. Dalam menentukan kehilangan awal dapat digunakan dua persamaan, yaitu persamaan FAO dan USDA. Pada persamaan USDA, kehilangan awal sebanding dengan kuadrat curah hujan bulanan dimana banyaknya curah hujan dianggap sebagai peningkatan kehilangan awal hujan. Pada persamaan FAO, banyaknya curah hujan dianggap penurunan kehilangan awal dengan meningkatnya curah hujan. Hujan efektif adalah bagian dari hujan total yang digunakan oleh akar tanaman selama masa pertumbuhan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Sesuai dengan yang dijelaskan pada Lampiran 1 dalam menentukan hujan efektif, dan menggunakan cara yang berbeda. Pada, hujan efektif ditentukan dengan menggunakan hujan andalan (FAO) dengan peluang terlewati 80% yang menggambarkan kondisi tahun kering. Dalam hujan efektif ditentukan dengan peluang hujan terlewati 80% (R 80 ) dan koefisien hujan untuk tanaman padi. Besarnya R 80 dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu pengeplotan data dengan peluang hujan terlewati tahunan 80% kemudian ditentukan peluang hujan bulanannya, pengurutan data dari nilai terbesar hingga terkecil dan penggunaan RAINBOW. Peluang hujan terlewati 80% (R 80 ) yang didapat dari ketiga metode tersebut memiliki variasi nilai yang berbeda. Rata-rata R 80 yang didapat dari RAINBOW menghasilkan nilai yang lebih kecil dibandingkan pengeplotan data dan pengurutan data. Contoh perbandingan R 80 stasiun Darmaga dengan tiga metode tersebut terdapat pada Gambar 4. Perbandingan R 80 pada stasiun lainnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Setelah didapatkan besarnya R 80, maka dapat ditentukan hujan efektif dengan memperhitungkan koefisien hujan tanaman padi (0.7) sesuai dengan ketetapan. Hujan efektif pada memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan hujan efektif pada, seperti contoh perbandingan hujan efektif pada stasiun Darmaga pada Gambar 5. Hal ini dikarenakan hujan efektif yang ditentukan dalam harus memperhitungkan koefisien hujan untuk tanaman padi dari peluang hujan terlewati 80%. Hujan efektif pada memperhitungkan besarnya kehilangan awal akibat intersepsi sesuai dengan ketetapan FAO. Perbandingan hujan efektif pada stasiun lainnya dijelaskan pada Lampiran 4. Hasil hujan efektif dengan hanya 42.91% dari hasil perhitungan dengan. 19
R80 (mm/bulan) 400 350 300 250 200 150 100 50 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Bulan R80 (mm/bulan) Plot Data R80 (mm/bulan) R80 (mm/bulan) RAINBOW Gambar 4. Perbandingan R 80 Stasiun Darmaga 35 Hujan Efektif (mm/bulan) 30 25 20 15 5 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Bulan Gambar 5. Perbandingan Re Stasiun Darmaga 4.3. Perbandingan Pengolahan Tanah Kebutuhan air irigasi padi tidak hanya ditentukan pada kebutuhan air selama periode pertumbuhan tanaman tetapi juga memperhitungkan kebutuhan air untuk pengolahan tanah termasuk untuk penjenuhan, pelumpuran dan penggenangan. Kebutuhan air untuk pengolahan tanah pada memperhitungkan kebutuhan air pada masa pra pelumpuran dan masa pelumpuran, sedangkan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Van de Goor dan Zijlstra. Pada waktu untuk pekerjaan pengolahan tanah adalah satu bulan dengan kondisi tanah lempung sehingga kebutuhan air yang diperlukan untuk penjenuhan dan pelumpuran adalah 200 mm ditambah lapisan air sebesar 50 mm. Jadi total kebutuhan air untuk penjenuhan, pelumpuran dan penggenangan adalah 250 20
mm. Jika lahan dibiarkan kering lebih dari 2.5 bulan, maka total air yang dibutuhkan menjadi 300 mm. Dengan mempertimbangkan tingkat perkolasi (1-3 mm/hari), evaporasi, kebutuhan air untuk penjenuhan dan jangka waktu pengolahan tanah, maka kebutuhan air untuk pengolahan tanah dapat ditentukan berdasarkan metode yang dikembangkan Van de Goor dan Zijlstra yang akan dihasilkan dalam satuan mm/hari. Air yang dibutuhkan untuk pengolahan tanah pada mempertimbangkan air yang dibutuhkan pada masa penjadwalan pra pelumpuran dan penjadwalan pelumpuran. Tingkat laju perkolasi maksimum tanah tidak tergenang adalah laju infiltrasi hujan maksimum pangkat 0.33. Berdasarkan data tanah yang telah dijelaskan pada Lampiran 1, laju infiltrasi hujan maksimum adalah 30 mm/hari, sehingga laju perkolasi maksimum yang terjadi setelah pelumpuran yaitu 3.1 mm/hari. Berdasarkan pengaturan waktu irigasi dan banyaknya air yang diirigasikan, maka jumlah air yang dibutuhan untuk pengolahan tanah secara otomatis dapat diketahui. Perbandingan total kebutuhan air untuk pengolahan tanah pada golongan 1 MT1 dan MT2 terdapat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Perbandingan total kebutuhan air untuk pengolahan tanah setelah memperhitungkan hujan efektif golongan 2, 3 dan 4 dengan MT1 dan MT2 terdapat pada Lampiran 5 hingga Lampiran 7. Dari hasil tersebut dapat dilihat perbedaan kebutuhan air pengolahan tanah MT 1 dan MT2 pada golongan 1-4 dari 10 stasiun. Rata-rata kebutuhan air untuk pengolahan tanah yang dihasilkan jumlahnya lebih besar dibanding. Hal ini dikarenakan memperhitungkan kedalaman pelumpuran, waktu pemberian irigasi dan banyaknya air irigasi yang diberikan. Kebutuhan air pengolahan tanah golongan 1 MT1 stasiun Darmaga dalam dan masing-masing sebesar 130.7 mm dan 297.7 mm, sedangkan MT2 kebutuhan air pengolahan tanah masing-masing sebesar 355.2 mm dan 228.6 mm. Persentase perbandingan air pengolahan tanah terhadap golongan 2 MT1 dan MT2 adalah 154.7% dan 144.7%, golongan 3 MT1 dan MT2 adalah 169.9% dan 146%, golongan 4 MT1 dan MT2 adalah 124.9% dan 149.6%. Pada golongan 1 MT1 dan MT2, kebutuhan air untuk pengolahan tanah lebih besar dibandingkan, dengan perbandingan air pengolahan tanah terhadap MT1 dan MT2 masing-masing sebesar 107.3% dan 149.6%. Hal ini dikarenakan jumlah air yang dibutuhkan untuk perkolasi, evaporasi, air untuk penjenuhan dan penggenangan cukup besar sehingga tidak tercukupi oleh hujan efektif. Dalam pemberian air irigasi untuk periode pengolahan tanah dilakukan setiap setengah bulanan, sehingga dalam satu bulan pemberian air dilakukan sebanyak dua kali. Kedalaman pelumpuran secara langsung tidak ditetapkan, tetapi pemberian air untuk penjenuhan telah ditetapkan, yaitu sebesar 200 mm dan 250 mm untuk tanah yang telah dibiarkan bera lebih dari 2.5 bulan. Dengan menggunakan Tabel 1, maka dapat ditentukan kebutuhan air selama pengolahan tanah dalam satuan mm/hari. 21
Kebutuhan Irigasi Padi (mm) 70 60 50 40 30 20 Stasiun Gambar 6. Kebutuhan Air Pengolahan Tanah Golongan 1 Masa Tanam 1 Kebutuhan Irigasi Padi (mm) 60 50 40 30 20 Stasiun Gambar 7. Kebutuhan Air Pengolahan Tanah Golongan 1 Masa Tanam 2 4.4. Perbandingan Data Tanah dan Tanaman Dalam menentukan kebutuhan air irigasi padi, memperhitungkan data tanah dan tanaman sesuai dengan karakteristik jenis tanah dan tanaman seperti yang dijelaskan pada Lampiran 1. Data tanah yang digunakan untuk menghitung kebutuhan air irigasi padi baik maupun KP- 01 mempergunakan data tanah umum, yaitu tanah lempung yang berpengaruh dalam proses pengolahan tanah. Data tanaman yang dibutuhkan dalam meliputi koefisien tanaman, kedalaman perakaran, kedalaman pelumpuran, deplesi kritis dan faktor respon hasil sesuai dengan ketetapan yang 22
terdapat pada panduan. Dalam besarnya koefisien tanaman padi sesuai dengan ketetapan FAO terdapat pada Tabel 2. Dalam menentukan kebutuhan konsumtif tanaman dibutuhkan koefisien tanaman (Kc). Koefisien tanaman padi yang digunakan dalam meliputi koefisien basah (K wet ) dan koefisien kering (K dry ) selama periode pertumbuhan tanaman, yaitu tahap awal, pertengahan musim dan tahap akhir. Hal ini dilakukan karena pada saat awal tanam, kondisi lahan tergenang oleh air sehingga K wet yang berperan dalam kondisi ini, sedangkan K dry digunakan pada saat tanah kering tidak tergenang oleh air. Dalam periode waktu yang dibutuhkan tanaman selama masa pertumbuhan, yaitu pembibitan 30 hari, tahap awal 20 hari, perkembangan 25 hari, pertengahan musim 20 hari dan tahap akhir 20 hari, sehingga total waktu yang dibutuhkan dari periode pembibitan hingga panen adalah 115 hari. Pada periode waktu yang dibutuhkan untuk pengolahan tanah satu bulan, tahap vegetatif satu bulan, tahap generatif (pembungaan) satu bulan, tahap pengisian biji dan pematangan selama satu bulan, sehingga total waktunya adalah empat bulan. Faktor-faktor dari parameter inilah yang menyebabkan besarnya kebutuhan air irigasi padi berbeda, selain dipengaruhi kebutuhan konsumtif tanaman dan hujan efektif yang terjadi. 4.5. Perbandingan Kebutuhan Air Irigasi Dalam mengoptimalkan penggunaan sumberdaya air, dibutuhkan pengelolaan air dan pengaturan penggunaan air secara tepat. Hal ini dilakukan agar air yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal, guna memenuhi kebutuhan air tanaman yang tidak terpenuhi oleh hujan efektif. Pada kegiatan ini dilakukan perhitungan kebutuhan air irigasi padi dari tahap awal hingga tahap akhir, dengan menggunakan dan. Dalam perhitungan kebutuhan air irigasi padi yang didasarkan pada dibuat dengan menggunakan program excel sesuai dengan parameter yang dibutuhkan. Kebutuhan air irigasi padi yang didapat dari didasarkan pada data iklim, data tanah dan tanaman. Perbandingan parameter yang mempengaruhi besarnya kebutuhan air irigasi padi dengan kedua metode tersebut telah dibahas pada pembahasan sebelumnya (sub bab 4.1-4.4). Perhitungan kebutuhan air irigasi padi dari data iklim 10 stasiun dilakukan untuk melihat perbedaan kebutuhan air irigasi padi antara dan. Contoh perhitungan tersebut dimulai dari tahap awal hingga tahap akhir dari golongan 1-4 pada MT1 dan MT2. Perbandingan kebutuhan air irigasi padi dari tahap awal hingga tahap akhir golongan 4 MT1 dan MT2 dari kedua metode tersebut terdapat pada Gambar 8 dan Gambar 9. 23
Kebutuhan Irigasi Padi (mm) 70 60 50 40 30 20 Stasiun Gambar 8. Kebutuhan Air Irigasi Padi Golongan 4 Masa Tanam 1. Kebutuhan Irigasi Padi (mm) 80 70 60 50 40 30 20 Stasiun Gambar 9. Kebutuhan Air Irigasi Padi Golongan 4 Masa Tanam 2. Perbandingan kebutuhan irigasi padi untuk golongan lainnya terdapat pada Lampiran 8 hingga Lampiran 10. Dari lampiran tersebut dapat dilihat perbedaan kebutuhan air irigasi padi yang dibutuhkan untuk mengairi irigasi padi sawah. Dari hasil perhitungan, air irigasi padi yang dibutuhkan umumnya jauh lebih rendah dari. Hal ini disebabkan karena hujan efektif yang terjadi telah memenuhi kebutuhan air tanaman, sehingga permintaan kebutuhan air menjadi lebih sedikit dibandingkan permintaan kebutuhan air pada. Faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu adanya periode pemberian irigasi yang dilakukan setiap setengah bulanan. Pada metode, untuk mengganti kehilangan air akibat kebutuhan konsumtif tanaman, perkolasi dan penggenangan, sehingga air yang 24
dibutuhkan untuk irigasi padi dari tahap awal hingga tahap akhir menjadi lebih banyak dibandingkan dengan. Contoh perhitungan kebutuhan air irigasi padi sawah pada stasiun Dabo Singkep golongan 4 MT1 dan MT2. Pada MT1 air irigasi yang dibutuhkan untuk tahap awal, perkembangan, pertengahan musim dan tahap akhir pada masing-masing 83.4 mm, 0 mm, 20.3 mm, dan 60 mm. Pada air yang dibutuhkan untuk masa vegetatif, generatif (pembungaan), dan pengisian biji (pematangan) masing-masing sebesar 175.1 mm, 208.9 mm dan 108.9 mm. Total air yang dibutuhkan untuk irigasi padi sawah pada dan adalah 163.7 mm dan 492.9 mm. Dengan metode pada MT2, air irigasi yang dibutuhkan dari tahap awal hingga akhir periode penanaman masing-masing sebesar 0 mm. Pada air yang dibutuhkan untuk masa vegetatif, generatif (pembungaan), dan pengisian biji (pematangan) masing-masing sebesar 122.1 mm, 163.7 mm dan 81.3 mm. Total air yang dibutuhkan untuk irigasi padi sawah pada dan KP- 01 adalah 0 mm dan 367 mm. Persentase perbandingan air irigasi padi terhadap golongan 4 MT1 dan MT2 adalah 24.6% dan 12.3%.. 25