BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS. Astronomical Algortihms karya Jean Meeus. Pembahasan lebih memfokuskan

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

HISAB AWAL BULAN KAMARIAH. (Studi Komparatif Sistem Hisab Almanak Nautika dan Astronomical Algorithms Jean Meeus)

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL BULAN KAMARIAH QOTRUN NADA DALAM KITAB METHODA AL-QOTRU

BAB IV ANALISIS KOMPARASI ALGORITMA EQUATION OF TIME JEAN MEEUS DAN SISTEM NEWCOMB

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HISAB IRTIFA HILAL MENURUT ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB

Hisab Awal Bulan Syawwal 1434 H

Macam-macam Waktu. Universal Time dan Dynamical Time

TATA KOORDINAT BENDA LANGIT. Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah ( ) 2. Winda Yulia Sari ( ) 3. Yoga Pratama ( )

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOE DDIN DJAMBEK TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H

INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H

BAB IV ANALISIS PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA KARYA SAĀDOE DDIN DJAMBEK. A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Saādoe ddin Djambek dalam

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHOZALI DALAM KITAB ṠAMARĀT AL-FIKAR

Lampiran I. Algoritma Equation of Time Versi Jean Meeus

BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER. 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis

Meridian Greenwich. Bujur

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL WAKTU SALAT PROGRAM MAWAAQIT VERSI A. Analisis Sistem Hisab Awal Waktu Salat Program Mawaaqit Versi 2001

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB ANFA AL-WASÎLAH, IRSYÂD AL-MURÎD, DAN ṠAMARÂT AL-FIKAR KARYA AHMAD GHOZALI

: Jarak titik pusat benda langit, sampai dengan Equator langit, di ukur sepanjang lingkaran waktu, dinamakan Deklinasi. Jika benda langit itu

AS Astronomi Bola. Suhardja D. Wiramihardja Endang Soegiartini Yayan Sugianto Program Studi Astronomi FMIPA Institut Teknologi Bandung

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT. A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam

BAB IV ANALISIS FORMULA PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAT 2013

A. Analisis Fungsi dan Kedudukan Deklinasi Bulan dan Lintang Tempat dalam menghitung Ketinggian Hilal menurut Kitab Sullam an-nayyirain

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet

GLOSARIUM. Aberasi : Perpindahan semu arah berkas cahaya bintang akibat gerak Bumi

KAJIAN ALGORITMA MEEUS DALAM MENENTUKAN AWAL BULAN HIJRIYAH MENURUT TIGA KRITERIA HISAB (WUJUDUL HILAL, MABIMS DAN LAPAN)

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHOZALI DALAM KITAB IRSYÂD AL-MURÎD. A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Ahmad Ghozali dalam

Dr. Eng. Rinto Anugraha, M.Si..

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H

BAB III PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAH 2013

MENGENAL GERAK LANGIT DAN TATA KOORDINAT BENDA LANGIT BY AMBOINA ASTRONOMY CLUB

METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN TEODOLIT

5. BOLA LANGIT 5.1. KONSEP DASAR SEGITIGA BOLA

APLIKASI SEGITIGA BOLA DALAM RUMUS-RUMUS HISAB RUKYAT

BAB I SISTEM KOORDINAT

KUMPULAN SOAL & PEMBAHASAN OSK OSP OSN DLL KOORDINAT BENDA LANGIT (By. Mariano N.)

Ṡamarᾱt al-fikar Karya Ahmad Ghozali Muhammad Fathullah

Lampiran I Draf wawancara dengan Qotrun Nada di kediamannya di Desa Mandesan, Selopuro, Blitar pada 15 Mei 2016.

BAB IV ANALISIS HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM PROGRAM JAM WAKTU SALAT LED. A. Algoritma penentuan awal waktu Salat dalam Program Jam Waktu

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa yang sering terjadi adalah pertama, pada saat menentukan akhir bulan

BAB IV ANALISIS. A. Landasan Penyusunan Konversi Kalender Waktu Shalat Antar Wilayah. Dalam Kalender Nahdlatul Ulama Tahun 2016

Aspek Terrestrial Pada Penentuan Posisi Hilal

1 ZULHIJJAH 1430 HIJRIYYAH DI INDONESIA Dipublikasikan Pada Tanggal 11 November 2009

BAB III METODE HISAB AWAL BULAN KAMARIAH DALAM KITAB METHODA AL-QOTRU KARYA QOTRUN NADA

BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB. Pada bab ini kajian yang akan penulis kemukakan adalah penjelasan

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH

Wilfried Suhr Gambar 1. Waktu-waktu kontak dalam peristiwa transit Venus.

Sabar Nurohman Prodi Pendidikan IPA FMIPA UNY

BAB III SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT. Demak pada tahun 1987 setelah menerima beasiswa OFP (Offersis Felope

SISTEM KOORDINAT GEOGRAFIK

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB ILMU FALAK METHODA AL-QOTRU KARYA QOTRUN NADA

BAB III RANCANGAN PEMBUATAN QIBLA LASER. A. Deskripsi Umum Tentang Qibla Laser Sebagai Penentu Arah Kiblat

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHAZALI DALAM KITAB ANFA AL-WASÎLAH DAN NOOR AHMAD DALAM KITAB SYAWÂRIQ AL-ANWÂR

PENENTUAN AWAL AKHIR WAKTU SHOLAT

BAB I PENDAHULUAN. beraktifitas pada malam hari. Terdapat perbedaan yang menonjol antara siang

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 18 AGUSTUS 2012 M PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1433 H

Cladius Ptolemaus (abad 2) Geosentris

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 7 AGUSTUS 2013 M PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1434 H

Telaah Matematis pada Penentuan Awal Bulan Qomariyah Berdasarkan Metode Ephemeris Hisab Rukyat

PERHITUNGAN AWAL WAKTU SHALAT DATA EPHEMERIS HISAB RUKYAT Sriyatin Shadiq Al Falaky

BAB IV APLIKASI DAN UJI AKURASI DATA GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) DAN AZIMUTH MATAHARI PADA SMARTPHONE BERBASIS ANDROID UNTUK HISAB ARAH KIBLAT

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOEDDIN DJAMBEK TENTANG ARAH KIBLAT. A. Penentuan Arah Kiblat Pemikiran Saadoeddin Djambek

TRANSFORMASI KOORDINAT BOLA LANGIT KE DALAM SEGITIGA BOLA (EQUATORIAL DAN EKLIPTIKA) DALAM PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT

BAB IV. ANALISIS METODE HISAB GERHANA MATAHARI DALAM KITAB IRSYẬD AL-MURỈD A. Analisis Metode Hisab Gerhana Matahari dalam Kitab Irsyậd al-murỉd

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 15 AGUSTUS 2015 M PENENTU AWAL BULAN DZULQO DAH 1436 H

BAB IV ANALISIS METODE PENGUKURAN ARAH KIBLAT SLAMET HAMBALI. A. Analisis Konsep Pemikiran Slamet Hambali tentang Metode

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT DAN SABTU, 27 DAN 28 JUNI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RAMADLAN 1435 H

BAB III HISAB KETINGGIAN HILAL MENURUT KITAB SULLAM AN-NAYYIRAIN DAN ALMANAK NAUTIKA

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 24 SEPTEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 5 OKTOBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT, 31 JANUARI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AKHIR 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 1 MARET 2014 M PENENTU AWAL BULAN JUMADAL ULA 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 13 OKTOBER 2015 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1437 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 29 MEI 2014 M PENENTU AWAL BULAN SYA BAN 1435 H

BAB IV ANALISIS HISAB WAKTU SALAT DALAM KITAB ILMU FALAK DAN HISAB KARYA K.R. MUHAMMAD WARDAN

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 16 DAN JUMAT, 17 JULI 2015 M PENENTU AWAL BULAN SYAWAL 1436 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 10 DAN SENIN, 11 JANUARI 2016 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AKHIR 1437 H

PENJELASAN TENTANG HASIL HISAB BULAN RAMADAN, SYAWAL, DAN ZULHIJAH 1436 H (2015 M)

JAWABAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN LINGKARAN JAM TANGAN ANALOG. A. Prinsip Penentuan Arah Kiblat dengan Menggunakan Lingkaran Jam

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 8 JULI 2013 M PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1434 H

MEMBUAT PROGRAM APLIKASI FALAK DENGAN CASIO POWER GRAPHIC fx-7400g PLUS Bagian II : Aplikasi Perhitungan untuk Penggunaan Teodolit

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 16 OKTOBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1433 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 29 APRIL 2014 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 4 NOVEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1435 H

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DITJEN MANAJEMEN PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SMA

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 22 DESEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1436 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 3 DESEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN SHAFAR 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 12 MARET 2013 M PENENTU AWAL BULAN JUMADIL ULA 1434 H

BAB III SISTEM PERHITUNGAN AL-MANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS. 1. Sekilas Tentang Sistem Almanak Nautika

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 14 NOVEMBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN MUHARRAM 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM KAMIS, 19 JULI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1433 H

APLIKASI SISTEM KOORDINAT EKLIPTIKA DAN SISTEM KOORDINAT EQUATOR DALAM PREDIKSI WAKTU GERHANA BULAN

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 10 FEBRUARI 2013 M PENENTU AWAL BULAN RABI UTS TSANI 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT, 20 DAN SABTU, 21 MARET 2015 M PENENTU AWAL BULAN JUMADAL AKHIRAH 1436 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 19 APRIL 2015 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1436 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 16 SEPTEMBER 2012 M PENENTU AWAL BULAN DZULQO DAH 1433 H

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

Transkripsi:

150 BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS Pada bab ini, penulis akan menganalisis tentang sistem hisab Almanak Nautika dan Astronomical Algorithms karya Jean Meeus. Pembahasan dibagi menjadi dua subbab, yakni analisis algoritma sistem Hisab Almanak Nautika dan Astronomical Algorithms Jean Meeus serta kelebihan dan kekurangan antara Almanak Nautika dan Astronomical Algorithms Jean Meeus. Dalam subbab pertama, penulis akan mencari persamaan, perbedaan dan analisis hasil perhitungan awal bulan kamariah dari kedua metode tersebut. Sedangkan pada subbab kedua, penulis akan membandingkan antara kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh kedua metode tersebut agar digunakan sebagai pertimbangan manakan metode yang lebih baik di antara kedua metode tersebut. A. Analisis Algoritma Sistem Hisab Almanak Nautika dan Astronomical Algorithms Jean Meeus. Metode hisab Almanak Nautika dan Astronomical Algorithms merupakan dua metode yang memiliki algoritma yang berbeda. Tentu di antara keduanya mempunyai persamaan dan perbedaan. Berikut ini adalah persamaan dan perbedaan dari kedua algoritma tersebut. 1. Persamaan Metode Hisab Adapun algoritma di antara kedua metode ini memiliki persamaan di antaranya adalah dalam perhitungan altitude atau ketinggian hilal dan

151 azimuth. Perhitungan azimuth dan altitude menggunakan prinsip segitiga bola (spherical trigonometri) sebagaimana yang terlihat pada gambar berikut ini: Gambar 4.1.1 Konsep Segitiga Bola dalam Koordinat Horison (Sumber: Andy) Pada gambar di atas, M merupakan benda langit yang akan dihitung altitude dan azimuth-nya. Titik O merupakan titik pengamat, titik T merupakan posisi ketika benda langit mulai terbit dari horison. Titik Z merupakan posisi ketika benda langit berkulminasi atau transit. Garis berwarna hitam merupakan meridian, garis berwarna hijau merupakan lingkaran horison, garis berwarna biru muda merupakan garis vertikal, garis berwarna ungu merupakan lingkaran ekuator langit, garis berwarna merah muda merupakan lingkaran deklinasi, garis berwarna merah merupakan garis lingkaran kutub langit, garis berwarna hijau merupakan lingkaran altitude dan garis berwarna biru tua merupakan lingkaran sudut waktu (Hour angle Circle).

152 Segitiga Bola merupakan bidang yang dibentuk dari titik Kutub Utara (KU), Z dan M yang dibatasi oleh Meridian, Lingkaran Deklinasi dan Lingkaran Sudut Jam. Busur KU M merupakan sudut penyiku deklinasi, busur KU Z merupakan sudut penyiku lintang. Busur Z M merupakan sudut penyiku altitude. Misalkan titik KU adalah A, titik Z adalah B, titik M adalah C, busur Z M adalah a, busur KU M adalah b, busur KU Z adalah busur c, maka sudut yang diapit busur b dan c adalah sudut waktu, sedangkan sudut yang diapit busur a dan c adalah azimuth. Sefdangkan sudut yang diapit oleh busur a dan b selalu 90 derajat karena lingkaran deklinasi Matahari selalu tegak lurus dengan lingkaran Sudut Waktu. Gambar berikut merupakan penyederhanaan segitiga bola yang berada pada permukaan bola langit dengan sistem koordinat horison (Altitude, Azimuth): Gambar 4.1.2 Penyederhanaan Segitiga Bola (Sumber: Andy) Rumus yang berlaku dalam segitiga bola adalah: Cos a = cos b cos c + sin b sin c cos A Cos b = cos a cos c + sin a sin c cos B (4.1a) (4.1b)

153 Cos c = cos a cos b + sin a sin b cos C Sin a sin A = sin b sin B = sin c sin C (4.1c) (4.1d) Karena yang kita adalah altitude dan azimuth, maka rumus yang digunakan adalah persamaan (4.1a) untuk menghitung altitude dan penurunan rumus dari persamaan (4.1a), (4.1b), dan (4.1d) untuk menghitung azimuth. Jika a = 90 altitude, b = 90 deklinasi, c = 90 lintang, dan sudut CAB = sudut waktu, maka persamaan (4.1a) menjadi: Sin h = sin φ sin δ + cos φ cos δ cos t (4.2a) Sedangkan persamaan (4.1a), (4.1b) dan (4.1d) menjadi: Cot B = (cot b sin c cos c cos A) sin A (4.1e) Jika b = 90 deklinasi, c = 90 lintang, sudut CAB = sudut waktu, sudut ABC = azimuth, maka persamaan (4.1e) menjadi: Tan A = (tan δ cos φ sin φ cos h) sin h (4.2b) Di mana h = altitude, A = azimuth, δ = deklinasi, φ = lintang pengamat, dan t = sudut waktu. 2. Perbedaan Metode Hisab Selain memiliki persamaan, kedua algoritma ini memiliki perbedaan dalam rumus antara lain: penentuan waktu ijtimak, perhitungan waktu maghrib, perhitungan deklinasi, perhitungan sudut waktu, perhitungan irtifa mar i beserta koreksi-koreksinya dan perhitungan elongasi. a. Penentuan Waktu Ijtimak Dalam penentuan waktu ijtimak, Almanak Nautika sudah mencantumkan kapan terjadinya konjungsi, bahkan tidak hanya konjungsi saja melainkan juga kapan terjadinya perempat awal, oposisi

154 dan perempat akhir dalam tabel phase of the moon sehingga tidak perlu menghitung waktu ijtimak maupun fase-fase bulan lainnya. Kita hanya mengonversi dari tanggal terjadinya ijtimak dalam kalender Hijriah ke kalender Masehi, kemudian mencocokkannya dengan tabel, kapan ijtimak terjadi yang dekat dengan ijtimak yang tertera di dalam tabel. Perlu diingat, dalam tabel phase of the moon, waktu dinyatakan dalam GMT (Greenwich Mean Time) sehingga perlu ditambah dengan zona waktu sesuai dengan daerah masing-masing. Sedangkan dalam algoritma Meeus, fase-fase Bulan dihitung dengan rumus-rumus tertentu. Berikut ini adalah perhitungan waktu ijtimak menggunakan algoritma Meeus: Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan bilangan lunasi k dengan rumus berikut: k = 12 x tahun kamariyah + bulan kamariyah 17050 Bilangan lunasi adalah bilangan yang digunakan untuk menghitung kapan terjadinya ijtimak. Dalam rumus asalnya, nilai k dihitung berdasarkan perkiraan tanggal dalam kalender Masehi 35. Namun, untuk kepentingan praktis, nilai k bisa langsung ditentukan jika diketahui bulan dan tahun dalam kalender kamariah. Bilangan lunasi k bernilai 0 tepat pada ijtimak awal 1 Syawal 1420 Hijriah yang jatuh pada tanggal 7 Januari 2000 sehingga hasil penjumlahan bilangan tahun 35 Nilai k dengan input tanggal Masehi diturunkan dari rumus bilangan abad T = k 1236,85 dan T = (JDE JDE 2000 ) 36525. Sehingga diperoleh rumus k = (tahun masehi 2000) 1236,85.

155 kamariah yang dikalikan 12 dengan bilangan bulan harus dikurangi 17050 36. Selanjutnya adalah menghitung Bilangan Abad Julian (T) dengan rumus berikut: T = k / 1236,85 Nilai 1236,85 diperoleh dari periode revolusi Bumi (365,2422 hari) dibagi dengan periode revolusi sinodis Bulan (29,5306 hari). Kemudian menghitung Julian Date Ephemeris (JDE) ketika ijtimak yang belum terkoreksi dengan rumus berikut: JDE ijtima belum terkoreksi = 2451550,07965 + 29,530588853k + 0,0001337T 2 + 0,00000015 T 3 + 0,00000000074 T 4 Di mana: T = bilangan abad Julian k = bilangan lunasi Nilai Julian Date Ephemeris (JDE) tadi belum dikoreksi, sehingga agar diperoleh waktu ijtimak yang tepat harus mencari koreksi-koreksi antara lain koreksi fase Bulan dan koreksi argumen Planet. Dalam menghitung koreksi fase Bulan, pertama-tama adalah menentukan eksentrisitas orbit Bulan dengan rumus berikut (Meeus, 1991: 308) : E = 1 0,02516 T 7,4 10-6 T 2 Dimana: E = eksentrisitas orbit Bulan 36 Nilai 17050 diperoleh dari Syawwal yang memiliki nomor bulan 10 dijumlah dengan tahun 1420 yang dikalikan 12. 12 1420 + 10 = 17040 + 10 = 17050.

156 T = bilangan abad Julian. Selanjutnya mencari argumen atau sudut yang diperlukan dalam perhitungan koreksi fase Bulan, antara lain (Meeus, 1991: 308) : Anomali Rata-Rata Matahari (M) Anomali Rata-Rata Bulan (M ) Argumen Lintang Bulan (F) Argumen Simpul Bulan (Ω) Berikut ini adalah rumus yang digunakan untuk menghitung koreksi fase Bulan (Meeus, 1991: 321): Selanjutnya adalah menghitung koreksi argumen Planet yang terdiri dari 14 suku, antara lain (Meeus, 1991: 321) : Argumen Planet

157 Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Argumen Planet Masing-masing nilai sinus dari setiap argumen dikalikan oleh koefisiennya, sehingga diperoleh koreksi total argumen Planet dengan rumus sebagai berikut: Selanjutnya untuk menghitung Julian Date Ephemeris ijtimak setelah koreksi adalah dengan menambahkan Julian Date Ephemeris ijtimak sebelum terkoreksi dengan koreksi fase Bulan dan koreksi argumen Planet (Meeus, 1991: 319). JDE ijtima terkoreksi = JDE ijtima belum terkoreksi + C 1 + C 2

158 Setelah mendapatkan nilai Julian Date Ephemeris ketika ijtimak yang sudah terkoreksi, selanjutnya adalah mencari delta T (ΔT). Parameter yang dibutuhkan adalah Y yang merupakan bilangan tahun Julian. Nilai Y didapatkan dari rumus berikut: Y = 2000 + 100 T Di mana T adalah bilangan abad Julian. Jika saat ini tahun terletak di antara rentang 2005 dan 2050, maka persamaan delta T yang dipakai adalah sebagai berikut 37 : ΔT = 62,92 + 0,32217 (Y - 2000) + 0,005589 (Y 2000) 2 Di mana Y adalah bilangan tahun Julian. Setelah mendapatkan nilai delta T, nilai ini digunakan untuk mengurangi Julian Date Ephemeris ijtimak untuk mendapatkan nilai Julian Date Ijtimak yang kemudian akan dikonversi dalam bentuk tanggal. JD ijtimak = JDE ijtimak ΔT Berikut ini adalah langkah-langkah mengonversi Julian Date ke dalam tanggal: Menjumlahkan Julian Date dengan 0,5. Mencari nilai Z (angka bantu) dengan membulatkan kebawah Julian Date yang sudah dijumlahkan dengan 0,5 terlebih dahulu. Mencari nilai F (angka bantu) dengan mengurangkan JD + 0,5 dengan Z. 37 Delta T diambil dari buku karangan Morinson, Land Stephenson F.R. Historical Value of the Earth s Clock Error ΔT and the Calculation of Eclipses. J. Hist Astron, vol. 35, part 3, Agustus 2004, No. 120, pp. 327-336; The Effect of Delta T on Astronomical Calculations. Journal of the British Astronomical Association, 108 (1998), pp. 154-156

159 Memeriksa nilai Z apakah lebih besar dari 2299161 (Julian Date pada 15 Oktober 1582), jika lebih besar mencari nilai AA (angka bantu) dengan rumus: AA = (Z 1867216,5) 36524,25 16 Jika tidak, maka tidak perlu mencari nilai AA Menghitung nilai A (angka bantu) dengan rumus berikut: Jika nilai AA ada, A = Z + AA INT(AA 4) Jika nilai AA tidak ada, A = Z Menjumlahkan nilai A agar memperoleh nilai B Mencari nilai C dengan rumus berikut: C = INT((B 122,1) 365,25) Mencari nilai D dengan rumus berikut: D = INT(365,25 C) Mencari nilai E dengan rumus berikut: E = INT((B D) 365,25) Mencari tanggal dengan rumus berikut: tanggal = B D INT(30,6001 E) Mencari bulan dengan rumus berikut: Jika nilai E lebih besar dari 13, bulan = E 13 Jika nilai E lebih kecil dari 14, bulan = E 1 Mencari tahun dengan rumus berikut: Jika bulan lebih besar dari 13, tahun = C 4716 Jika bulan lebih kecil dari 14, tahun = C 4715 Mencari jam, menit dan detik dengan rumus berikut:

160 Jam = INT (24 F) Menit = INT (60 (24 F jam)) Detik = 3600 (24 F (menit 60)) b. Perhitungan Waktu Maghrib Dalam Almanak Nautika, proses perhitungan waktu maghrib dilakukan 2 kali, yakni: 1) Menghitung perkiraan waktu maghrib Perkiraan waktu maghrib dilakukan dengan cara menghitung kapan terjadinya ghurub pada lintang pengamat. Data tersebut diambil dari data Almanak Nautika dengan melihat table sunrise (Matahari terbit) dan sunset (Matahari terbenam). Pada tabel sunset disediakan beberapa waktu Matahari terbenam dalam setiap lintang di permukaan Bumi. Seperti lintang 0 0, 10 0, 15 0, 20 0 LS/LU dan seterusnya. Oleh karena lintang pengamat berada pada 07 0 07 0 LS, maka pengambilan data diambil dari tabel moonset pada lintang ghurub antara 0 0 dam 10 0 LS. perlu proses perhitungan dengan cara interpolasi. Adapun rumus interpolasi waktu ghurub yaitu: Ghurub φ = Ghurub 0 + (Ghurub 10 LS Ghurub 0 ) x φ : (-10 0) Keterangan : Ghurub φ = Ghurub pada lintang tempat pengamat (φ) Ghurub 0 = Ghurub pada lintang 0 0 Ghurub 10 LS = Ghurub pada lintang 10 0 LS

161 φ = Lintang Tempat Pengamat Perkiraan waktu maghrib dinyatakan dalam GMT (Greenwich Mean Time) untuk memudahkan pengambilan data dalam tabel pergerakan deklinasi Matahari dan Bulan. 2) Menghitung waktu maghrib hakiki Untuk menghitung waktu maghirb hakiki diperlukan ketinggian Matahari, deklinasi Matahari dan sudut waktu Matahari. Deklinasi Matahari diambil dari data pergerakkan Matahari perjam dalam waktu Greenwich. Jika waktu tersebut tidak tepat dalam waktu yang disediakan dalam Greenwich maka perlu melakukan interpolasi di antara jam tersebut. Begitu juga dengan mencari equation of time (e) dilakukan interpolasi karena di dalam Almanak Nautika hanya disedikan equation of time pada jam 0 GMT dan 12 GMT. Menghitung ketinggian Matahari pada waktu ghurub memerlukan koreksi, di antaranya adalah koreksi Semi Diameter (SD) Matahari, Refraksi, dan kerendahan Ufuk (Dip). Setelah menghasilkan ketinggian Matahari yang telah dikoreksi kemudian menghitung sudut waktu Matahari ketika Ghurub dan menghitung awal waktu maghrib dengan rumus sebagai berikut: rumus (12 e) + t ʘ 15 + (λ daerah λ tempat ) 15 Adapun t (sudut waktu) dihitung dengan menggunakan Cos t ʘ = sin h ʘ (cos φ cos δ ʘ ) (tan φ tan )

162 Keterangan : e = equation of time t ʘ = Sudut waktu Matahari h ʘ = ketinggian Matahari pada waktu Maghrib φ = Lintang tempat pengamat λ daerah = Bujur daerah (WIB=105 0, WITA=120 0, WIT=135 0 ) λ tempat = Bujur tempat pengamat δ ʘ = Deklinasi Matahari. Dalam algoritma Meeus, waktu maghrib dihitung dua kali sama halnya dengan Almanak Nautika, yakni mencari perkiraan waktu maghrib dan waktu maghrib hakiki. Namun secara mendasar, hal yang membedakan di antara keduanya adalah jika pada Almanak Nautika waktu maghrib menggunakan interpolasi dari tabel Sunset, sedangkan pada algoritma Meeus waktu maghrib dihitung dengan rumus tertentu yang akan dijelaskan di bawah ini: Parameter yang harus diketahui terlebih dahulu adalah lintang tempat, bujur tempat, bujur daerah, ketinggian tempat dan Julian Date pada pukul 12 waktu lokal. Julian Date pukul 12 waktu lokal dicari dengan rumus berikut: JD 12 LT = INT(JD ijtimak + 0,5) (λ daerah 360) Keterangan: JD 12 LT = Julian Date pada jam 12 waktu lokal JD ijtimak = Julian Date pada Ijtimak λ daerah = Bujur daerah (WIB=105 0, WITA=120 0, WIT=135 0 )

163 Julian Date pada pukul 12 waktu lokal digunakan untuk menghitung equation of time, deklinasi Matahari, sudut waktu dan perkiraan waktu maghrib. Untuk menghitung equation of time dan deklinasi Matahari, terlebih dahulu mencari Bilangan Abad Julian (T), Sudut Tahun (U) dan Bujur Rata-rata Matahari (L 0 ) dengan rumus sebagai berikut (Meeus, 1991: 151): T = (JD 12 LT 2451545) 36525 U = 2πT 100 L = 280,46607 0 + 36000,7698 U Selanjutnya menghitung deklinasi Matahari dan equation of time dengan rumus berikut 38 : δ ʘ = 0,37877 + 23,264 sin (57,297 T 79,547) + 0,3812 sin (2 57,297 T 82,682) + 0,17132 sin (3 57,297 T 59,722) e = (1789 + 237 U) SIN L (7146 62 U) COS L + (9934 14 U) SIN 2 L (29 + 5 U) COS 2 L + (74 + 10 U) SIN 3 L + (320 4 U) COS 3 L - 212 SIN 4 L Keterangan: T = bilangan abad Julian U = sudut tahun L = Bujur rata-rata Matahari δ ʘ = deklinasi Matahari e = equation of time 38 Rumus deklinasi dan equation of time yang dipakai penulis untuk perhitungan perkiraan waktu maghrib merupakan penurunan rumus oleh Dr. Eng. Rinto Anugraha, M.Si dalam buku beliau yang berjudul Mekanika Benda Langit hal. 79.

164 Sebelum menghitung sudut waktu maghrib, terlebih dahulu mencari ketinggian Matahari saat terbenam di bawah ufuk yaitu: h ʘ = (1,73 H + 50 ) Keterangan: h ʘ = tinggi Matahari saat terbenam H = ketinggian tempat (meter) Nilai 50 menit busur diperoleh dari penjumlahan Semi Diameter rata-rata Matahari sebesar 16 menit busur dengan refraksi pada ketinggian 0 derajat sebesar 34 menit busur. Adapun t (sudut waktu) dihitung dengan menggunakan rumus : Cos t ʘ = sin h ʘ (cos φ cos δ ʘ ) (tan φ tan δ ʘ ) Keterangan: t ʘ = sudut waktu h ʘ = tinggi Matahari φ = lintang pengamat δ ʘ = deklinasi Matahari Setelah didapat sudut waktu, maka perkiraan waktu maghrib dapat dihitung dengan rumus berikut: Maghrib = 12 + (t ʘ 15) (e 60) [(λ tempat λ daerah ) 15] Selanjutnya membandingkan antara perkiraan waktu maghrib dan ijtimak menggunakan parameter umur hilal yang merupakan waktu maghrib dikurangi dengan ijtimak. Jika umur hilal positif (ijtimak terjadi sebelum maghrib), maka dapat dilanjutkan dengan

165 mencari maghrib hakiki dengan mengulang perhitungan seperti ketika menghitung perkiraan waktu magrib namun dengan sedikit perubahan parameter. Jika pada perhitungan perkiraan waktu maghrib, menggunakan Julian Date jam 12 waktu lokal, pada perhitungan maghrib hakiki menggunakan Julian Date ketika maghrib seperti yang ditunjukkan oleh rumus berikut. JD Maghrib = JD 12 LT 0,5 + (t 15) T = (JD Maghrib 2451545) 36525 ; dst... Jika umur hilal negatif (ijtimak terjadi setelah maghrib), maka Julian Date pada jam 12 waktu lokal dapat ditambah dengan 1 yang menandakan bahwa perhitungan waktu maghrib dilakukan untuk esok harinya. Kemudian dilakukan iterasi kembali sampai didapat waktu maghrib hakiki. c. Perhitungan Deklinasi Secara ringkas, perhitungan deklinasi pada Almanak Nautika menggunakan interpolasi dari tabel deklinasi sedangkan pada algoritma Meeus terlebih dahulu menghitung bujur ekliptika dan lintang ekliptika Matahari dan Bulan, kemiringan sumbu Bumi beserta koreksikoreksinya, kemudian mengkonversikannya dari koordinat ekliptika geosentris ke ekuator geosentris. Berikut ini penjelasan perbedaan perhitungan deklinasi pada Almanak Nautika dan algoritma Meeus. Dalam Almanak Nautika, nilai deklinasi baik Bulan maupun Matahari setiap jamnya sudah dicantumkan dalam tabel. Waktu yang dipakai adalah waktu Greenwich Mean Time atau GMT, sehingga untuk

166 mencari deklinasi pada waktu maghrib harus dikurangi dengan zona waktu daerah tersebut untuk mendapatkan waktu maghrib dalam GMT. Kemudian menginterpolasikannya dengan rumus berikut: δ maghrib = δ 1 + (δ 2 δ 1 ) (maghrib t 1 ) (t 2 t 1 ) Adapun δ maghrib adalah deklinasi pada waktu maghrib, δ 1 adalah deklinasi pada t 1 sebelum waktu maghrib, δ 2 adalah deklinasi pada t 2 sebelum waktu maghrib, t 1 adalah waktu pengambilan data sebelum maghrib, dan t 1 adalah waktu pengambilan data sebelum maghrib. Sedangkan dalam algoritma Meeus, berikut ini langkah-langkah dalam menghitung deklinasi Bulan maupun Matahari: 5) Menghitung Koreksi Nutasi dan Sumbu Rotasi Bumi Dalam perhitungan koreksi nutasi dan sumbu Bumi, terlebih dahulu menentukan paramater yang digunakan untuk perhitungan antara lain (Meeus, 1991h: 133 135): Julian Date ketika Maghrib JD maghrib = JD maghrib (t 15) + (t 15) Delta T (untuk 2005 < Y < 2050) ΔT = 62,92 + 0,32217 (Y - 2000) + 0,005589 (Y 2000) 2 Di mana Y = 2000 + (100 T) dan T = (JD maghrib 2451545) 36525 Julian Date Ephemeris ketika Maghrib JDE maghrib = JD maghrib + ΔT Bilangan Abad Julian (T ) T = (JDE maghrib 245145) 36525

167 Bilangan Milenium Julian (τ) τ = T 10 Elongasi Rata-Rata Bulan (D) Anomali Rata-Rata Matahari (M) Anomali Rata-Rata Bulan (M ) Argumen Lintang (F) Bujur Ascending Node Rata-Rata (Ω) Kemiringan sumbu rotasi Bumi rata-rata (ε 0 ) ε 0 = Greenwich Sidereal Time (GST) θ 0 = (280,46061837 0 + 360,98564736629 (JD maghrib 2451545) + 0,000387933 T 2 + T 3 38710000) 15 Setelah semua parameter yang diperlukan dihitung, selanjutnya adalah menghitung koreksi nutasi dengan rumus berikut (dihitung

168 dengan satuan detik busur): Berikut ini rumus koreksi kemiringan sumbu Bumi (dihitung dengan satuan detik busur):

169 6) Menghitung Jam Bintang Lokal Kemiringan sumbu Bumi sesungguhnya dapat dihitung dengan menjumlahkan kemiringan sumbu Bumi rata-rata dengan koreksi kemiringan sumbu Bumi. ε = ε 0 + Δε Sedangkan GST Tampak dirumuskan dengan persamaan berikut: θ 0 ' = θ 0 + (Δψ cos ε) 15 Sehingga jam lokal bintang (LST, Local Sidereal Time) dapat dihitung menggunakan persamaan dibawah ini: θ' = θ 0 ' + (λ tempat 15) Jika hasilnya lebih besar dari 24, kurangkanlah dengan kelipatan 24. Setelah menghitung koreksi nutasi, koreksi sumbu Bumi, dan jam bintang lokal, maka selanjutnya menghitung lintang ekliptika matahari, bujur ekliptika Matahari dan jarak Bumi-Matahari beserta koreksi-koreksinya dengan langkah sebagai berikut: 4) Menghitung Lintang Ekliptika Matahari dan Koreksinya

170 Berikut ini adalah persamaan koreksi lintang ekliptika Matahari (Meeus, 1991h: 386 389): Koreksi Lintang Tampak Matahari B 0 = 280 cos (3,199 + 84334,662 τ) + 102 cos (5,422 + 5507,553 τ) + 80 cos (3,88 + 5223,69 τ) + 44 cos (3,7 + 2352,87 τ) + 32 cos (4 + 1577,34 τ) Koreksi Lintang Tampak Matahari B 1 = 9 cos (3,9 + 5507,55 τ) + 6 cos (1,73 + 5223,69 τ) Lintang tampak Matahari sebelum koreksi dirumuskan dengan persamaan berikut (dinyatakan dalam radian): β 0ʘ = - (B 0 + B 1 τ) 100000000 Koreksi terhadap bujur Matahari dinyatakan dengan persamaan berikut: λ 0 = Θ 0 1,397τ 0,00031τ 2 Koreksi lintang tampak Matahari dinyatakan dengan persamaan berikut: Δβ ʘ = 0,03916 (cos λ 0 sin λ 0 ) Sehingga, lintang tampak Matahari setelah koreksi adalah lintang tampak Matahari sebelum terkoreksi ditambah dengan koreksi lintang tampak Matahari. β ʘ = β 0ʘ +Δβ ʘ 5) Menghitung Bujur Ekliptika Matahari dan Koreksinya Berikut ini adalah persamaan koreksi bujur ekliptika Matahari: Koreksi Bujur Ekliptik L 0 = 175347046 + 3341656 cos (4,6692568 + 6283,07585τ) + 34894 cos (4,6261 + 12566,1517τ) + 3497 cos

171 (2,7441 + 5753,3849 τ) + 3418 cos (2,8289 + 3,5231 τ) + 3136 cos (3,6277 + 777713,772 τ) + 2676 cos (4,4181 + 7860,4194 τ) + 2343 cos (6,1352 + 3930,2097 τ) + 1324 cos (0,7425 + 11506,77 τ) + 1273 cos (2,0371 + 529,691 τ) + 1199 cos (1,1096 + 1577,3435 τ) + 990 cos (5,233 + 5884,927 τ) + 902 cos (2,045 + 26,298 τ) + 857 cos (3,508 + 398,149 τ) + 780 cos (1,179 + 5223,694 τ) + 753 cos (2,533 + 5507,553 τ) + 505 cos (4,583 + 18849,228 τ) + 492 cos (4,205 + 775,523 τ) + 357 cos (2,92 + 0,067 τ) + 317 cos (5,849 + 11790,629 τ) + 284 cos (1,899 + 796,298 τ) + 271 cos (0,315 + 10977,079 τ) + 243 cos (0,345 + 5486,778 τ) + 206 cos (4,806 + 2544,314 τ) + 205 cos (1,869 + 5573,143 τ) + 202 cos (2,458 + 6069,777 τ) + 156 cos (0,833 + 213,299 τ) + 132 cos (3,411 + 2942,463 τ) + 126 cos (1,083 + 20,775 τ) + 115 cos (0,645 + 0,98 τ) + 103 cos (0,636 + 4694,003 τ) + 102 cos (0,976 + 15720,839 τ) + 99 cos (6,21 + 2146,17 τ) + 98 cos (0,68 + 155,42 τ) + 86 cos (5,98 + 161000,69 τ) + 85 cos (3,67 + 71430,7 τ) + 80 cos (1,81 + 17260,15 τ) + 79 cos (3,04 + 12036,46 τ) + 75 cos (1,76 + 5088,63 τ) + 74 cos (3,5 + 3154,69 τ) + 74 cos (4,68 + 801,82 τ) + 70 cos (0,83 + 9437,76 τ) + 62 cos (3,98 + 8827,39 τ) + 61 cos (1,82 + 7084,9 τ) + 57 cos (2,78 + 6286,6 τ) + 56 cos (4,39 + 14143,5 τ) + 56 cos (3,47 + 6279,55 τ) + 52 cos (0,19 + 12139,55 τ) + 52 cos (1,33 + 1748,02 τ) + 51 cos (0,28 + 5856,48 τ) + 49 cos (0,49 + 1194,45 τ) + 41 cos (5,37 + 8429,24 τ) + 41 cos (2,4 + 19651,05 τ) + 39 cos (6,17 + 10447,39 τ) + 37 cos (6,04 +

172 10213,29 τ) + 37 cos (2,57 + 1059,38 τ) + 36 cos (1,71 + 2352,87 τ) + 22 cos (0,59 + 17789,85 τ) + 30 cos (0,44 + 83996,85 τ) + 30 cos (2,74 + 1349,87 τ) + 25 cos (3,16 + 3690,48 τ) Koreksi Bujur Ekliptik L 1 = 628331966747 + 206059 cos (2,678235 + 6283,0759 τ) + 4303 cos (2,6351 + 12566,152 τ) + 425 cos (1,59 + 3,523 τ) + 119 cos (5,796 + 26,298 τ) + 109 cos (2,966 + 1577,344 τ) + 93 cos (2,59 + 18849,23 τ) + 72 cos (1,14 + 529,69) + 68 cos (1,87 + 398,15 τ) + 67 cos (4,41 + 5507,55 τ) + 59 cos (2,89 + 5223,69 τ) + 56 cos (2,17 + 155,42 τ) + 45 cos (0,4 + 796,3 τ) + 36 cos (0,47 + 775,52 τ) + 29 cos (2,65 + 7,11 τ) + 21 cos (5,34 + 0,98 τ) + 19 cos (1,85 + 5486,79 τ) + 19 cos (4,97 + 213,3 τ) + 16 cos (0,03 + 2544,31 τ) + 16 cos (1,43 + 2146,17 τ) + 15 cos (1,21 + 10977,08 τ) + 12 cos (2,83 + 1748,02 τ) + 12 cos (3,26 + 5088,63 τ) + 12 cos (5,27 + 1194,45 τ) + 12 cos (2,08 + 4694 τ) + 11 cos (0,77 + 553,57 τ) + 10 cos (1,3 + 6286,6 τ) + 10 cos (4,24 + 1349,87 τ) + 9 cos (2,7 + 242,73 τ) + 9 cos (5,64 + 951,72 τ) + 8 cos (5,3 + 2352,87 τ) + 6 cos (2,65 + 9437,76 τ) + 6 cos (4,67 + 3690,48 τ) Koreksi Bujur Ekliptik L 2 = 52919 + 8720 cos (1,0721 + 6283,0758 τ) + 309 cos (0,867 + 12566,152 τ) + 27 cos (0,05 + 3,52 τ) + 16 cos (5,19 + 26,3 τ) + 16 cos (3,68 + 155,42 τ) + 10 cos (0,76 + 18849,23 τ) + 9 cos (2,06 + 77713,77 τ) + 7 cos (0,83 + 775,52 τ) + 5 cos (4,66 + 1577,34 τ) + 4 cos (1,03 + 7,11 τ) + 4 cos (3,44 + 5573,14 τ) + 3 cos (5,14 + 796,3 τ) + 3 cos (6,05 + 5507,55

173 τ) + 3 cos (1,19 + 242,73 τ) + 3 cos (6,12 + 529,69 τ) + 3 cos (0,31 + 398,15 τ) + 3 cos (2,28 + 553,57 τ) + 2 cos (4,38 +5223,69 τ) + 2 cos (3,75 + 0,98 τ) Koreksi Bujur Ekliptik L 3 = 289 cos (5,844 + 6283,076 τ) + 35 + 17 cos (5,49 + 12566,15 τ) + 3 cos (5,2 + 155,42 τ) + cos (4,72 + 3,52 τ) + cos (5,3 + 18849,23 τ) + cos (5,97 + 242,73 τ) Koreksi Bujur Ekliptik L 4 = 114 cos 3,142 + 8 cos (4,13 + 6283,08 τ) + cos (3,84 + 12566,15 τ) Koreksi Bujur Ekliptik L 5 = cos 3,14 Bujur ekliptika Matahari dapat dihitung dengan rumus berikut: Θ 0 = L 0 + L 1 τ + L 2 τ 2 + L 3 τ 3 + L 4 τ 4 + L 5 τ 5 Θ = Θ 0 + 180 0 0,09033 Selanjutnya, menghitung koreksi aberasi dengan rumus berikut (dinyatakan dalam detik busur): c = 20,4898 R Dimana R adalah jarak Bumi-Matahari. Sehingga bujur Matahari tampak (Sun s Apparent Longitude) diperoleh dari bujur ekliptika Matahari ditambah dengan koreksi aberasi. λ ʘ = Θ + c 6) Menghitung Jarak Bumi-Matahari dan Koreksinya Berikut ini adalah persamaan koreksi jarak Bumi-Matahari: Koreksi Jarak Bumi-Matahari R 0 = 100013989 + 1670700 cos (3,0984635 + 6283,07585 τ) +13956 cos (3,05525 + 12566,1517 τ)

174 + 3084 cos (5,1985 +77713,7715 τ) + 1628 cos (1,1739 + 5753,3849 τ) + 1576 cos (2,8469 + 7860,4194 τ) + 925 cos (5,453 +11506,77 τ) + 542 cos (4,564 +3930,21 τ) + 472 cos (3,661 + 5884,927 τ) + 346 cos (0,964 + 5570,553 τ) + 329 cos (5,9 + 5223,694 τ) + 307 cos (0,299 + 5573,143 τ) + 243 cos (4,273 + 11790,629 τ) + 212 cos (5,847 + 1577,344 τ) + 186 cos (5,022 + 5486,778 τ) + 175 cos (3,012 + 18849,228 τ) + 110 cos (5,044 + 5486,778 τ) + 98 cos (0,89 + 6069,78 τ) + 86 cos (5,69 + 15720,84 τ) + 65 cos (0,27 + 17260,15 τ) + 63 cos (0,92 + 529,69 τ) + 57 cos (2,01 + 83996,85 τ) + 56 cos (5,24 + 71430,7 τ) + 49 cos (3,25 + 2544,31 τ) + 47 cos (2,58 + 775,52 τ) + 45 cos (5,54 + 9437,76 τ) + 43 cos (6,01 + 6275,96 τ) + 39 cos (5,36 + 4694 τ) + 38 cos (2,39 + 8827,39 τ) + 37 cos (4,9 + 12139,55 τ) + 36 cos (1,67 + 12036,46 τ) + 35 cos (1,84 +2942,46 τ) + 33 cos (0,24 + 7084,9 τ) + 32 cos (0,18 + 5088,63 τ) + 32 cos (1,78 + 398,15 τ) + 28 cos (1,21 + 6286,6 τ) + 28 cos (1,9 + 6279,55 τ) + 26 cos (4,59 + 10447,39 τ) Koreksi Jarak Bumi-Matahari R 1 = 103019 cos (1,10749 + 6283,07585 τ) + 1721 cos (1,0644 + 12566,1517 τ) + 702 cos 3,142 + 32 cos (1,02 + 18849,23 τ) + 31 cos (2,84 + 5597,55 τ) + 25 cos (1,32 + 5223,69 τ) + 18 cos (1,42 + 1577,34 τ) + 10 cos (5,91 + 10977,08 τ) + 9 cos (1,42 + 6275,96 τ) + 9 cos (0,27 + 5486,78) Koreksi Jarak Bumi-Matahari R 2 = 4359 cos (5,7846 + 6283,0758 τ) + 124 cos (5,579 + 12566,152 τ) + 12 cos 3,14 + 9 cos (3,63 +

175 777713,77 τ) + 6 cos (1,87 + 5573,14 τ) + 3 cos (5,47 + 18849,23 τ) Koreksi Jarak Bumi-Matahari R 3 = 145 cos (4,273 + 6283,076 τ) + 7 cos (3,92 + 12566,15 τ) Koreksi Jarak Bumi-Matahari R 4 = 4 cos (2,56 + 6283,08 τ) Sehingga jarak Bumi-Matahari dapat dinyatakan dengan persamaan berikut (satuan dalam Satuan Astronomi = 149598000 kilometer): R = (R 0 + R 1 τ + R 2 τ 2 + R 3 τ 3 + R 4 τ 4 ) 100000000 7) Menghitung Asensiorekta dan Deklinasi Matahari Berikut ini adalah rumus-rumus untuk menghitung asensiorekta dan deklinasi Matahari: Assenciorekta Matahari cotan α ʘ = (tan λ ʘ cos ε) (tan β ʘ sin ε cos λ ʘ ) Deklinasi Matahari sin δ ʘ = (sin β ʘ cos ε) + (cos β ʘ sin ε sin ) Keterangan: λ ʘ = Bujur Ekliptika Matahari β ʘ = Lintang Ekliptika Matahari ε = Kemiringan Sumbu Bumi α ʘ = Ascenciorecta Matahari δ ʘ = Deklinasi Matahari

176 Setelah menghitung ascenciorecta dan deklinasi Matahari, selanjutnya adalah menghitung ascenciorecta dan deklinasi Bulan yang akan dijelaskan di bawah ini: 8) Menghitung Lintang Ekliptika Bulan dan Koreksinya Dalam menghitung koreksi lintang ekliptika Bulan maupun bujur ekliptika Bulan, terlebih dahulu menentukan paramater yang akan digunakan di dalam perhitungan antara lain (Meeus, 1991: 308) : Bujur Rata-Rata Bulan (L ) Elongasi Rata-Rata Bulan (D) Anomali Rata-Rata Matahari (M) Anomali Rata-Rata Bulan (M ) Argumen lintang Bulan (F)

177 Argumen A 1 A 1 = (119,75 + 131,849T) Argumen A 2 A 2 = (53,09 + 479264,29T) Argumen A 3 A 3 = (313,45 + 481266,484T) Eksentrisitas Orbit Bulan Sehingga lintang ekliptika Bulan dinyatakan dengan persamaan berikut: Lintang Ekliptika Bulan

178 9) Menghitung Bujur Ekliptika Bulan dan Koreksinya Berikut ini adalah persamaan koreksi bujur Bulan: Koreksi Bujur Bulan

179 Sehingga Bujur Ekliptika Bulan adalah bujur rata-rata Bulan ditambah dengan koreksi bujur ekliptika Bulan dan koreksi nutasi. λ Ͽ = L + ΔL +Δψ 10) Menghitung Jarak Bulan-Bumi dan Koreksinya Berikut ini adalah persamaan koreksi jarak Bumi-Bulan:

180 Sehingga, jarak Bumi-Bulan adalah sebagai berikut: r = 385000,56 + Δr 11) Menghitung Asensiorekta dan Deklinasi Bulan Berikut ini adalah rumus-rumus untuk menghitung asensiorekta dan deklinasi Bulan: Asensiorekta Bulan cotan α Ͽ = (tan λ Ͽ cos ε) (tan β Ͽ sin ε cos λ Ͽ ) Deklinasi Bulan sin δ Ͽ = (sin β Ͽ cos ε) + (cos β Ͽ sin ε sin ) d. Perhitungan Irtifa Mar i dan Koreksi-koreksinya Dalam Almanak Nautika, ketinggian Bulan secara mar i memerlukan beberapa koreksi di antaranya adalah koreksi Parallaks Bulan, Refraksi, Semi Diameter (SD) Bulan dan kerendahan ufuk (Dip) yang dihitung dari ketinggian pengamat. Berikut ini adalah rumus irtifa mar i menurut Almanak Nautika: h Ͽ = h Ͽ π Ͽ +ref + SD Ͽ + Dip Keterangan: h Ͽ ' h Ͽ π Ͽ = ketinggian hilal setelah dilakukan koreksi = ketinggian hilal hakiki = parallaks, nilai sudut pandang pengamat terhadap Bulan

181 ref = refraksi; pembiasan/ pembelokkan cahaya yang terjadi ketika Bulan berada di ufuk SD Ͽ Dip = Semi Diameter/ garis seperdua Bulan. = kerendahan ufuk yang dihitung dari ketinggian pengamat di permukaan Bumi. Berikut ini adalah koreksi-koreksi yang ada dalam perhitungan irtifa mar i: 1) Semi Diameter Nilai Semi Diameter Bulan dan Matahari sebenarnya sudah dicantumkan dalam buku Almanak Nautika, namun baik Semi Diameter Bulan maupun Semi Diameter Matahari hanya sampai pada ketelitian sepersepuluh menit busur. Agar lebih presisi, Semi Diameter Bulan dapat dihitung dengan cara mengalikan horizontal parallaks Bulan dengan perbandingan jari-jari Bumi dan jari-jari Bulan dengan rumus sebagai berikut: Di mana: SD bulan = Semi Diameter Bulan a = jari-jari Bumi = 6378,137 km (WGS 84) a Ͽ HP Ͽ = jari-jari Bulan = 1738, 64 km = Horizontal Parallaks Bulan 2) Refraksi Dalam buku Explanatory Supplement to the Astronomical Almanac karangan Seidelmann, dijelaskan bahwa untuk mencari

182 refraksi pada ketinggian objek tertentu, dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Seidelmann, 1992: ): Dimana: P = tekanan atmosfer sekitar dinyatakan dalam milibar. T = suhu atmosfer sekitar dinyatakan dalam derajat Celcius. h 0 = ketinggian geosentrik benda langit yang akan diamati. Umumnya dalam keadaan standar, nilai yang digunakan untuk tekanan sebesar 1010 milibar dan suhu 10 C. Jika ketinggian geosentrik bernilai 0 derajat, maka refraksinya bernilai 34,5 menit busur. 3) Kerendahan Ufuk Jika diketahui ketinggian tempat diukur dari permukaan air laut sebesar H meter, maka kerendahan ufuk (Dip) dirumuskan sebagai berikut: Nilai dip dinyatakan dalam menit busur (1/60 derajat). Nilai koefisien 1,76 menit busur menyatakan saat pengamatan kondisi langit cukup cerah dan tidak diselubungi oleh awan yang cukup tebal. 4) Parallaks Nilai Horizontal Parallaks (HP) baik Matahari maupun Bulan sudah dicantumkan dalam buku Almanak Nautika. Nilai Horizontal Parallaks Matahari selalu tetap yakni 0,15 menit busur atau 9 detik

183 busur. Oleh karena itu, untuk mencari sudut Parallaks Bulan dengan cara Horizontal Parallaks dikalikan dengan nilai kosinus ketinggian Bulan geosentrik seperti pada rumus dibawah ini:. π Ͽ = HP Ͽ cos h Ͽ Dimana: π Ͽ = Sudut Parallaks Bulan HP = Horizontal Parallaks Bulan h 0 = Ketinggian Geosentrik Bulan Sedangkan untuk algoritma Meeus, koreksi-koreksi yang digunakan dalam perhitungan irtifa mar i sama dengan Almanak Nautika yakni Semi Diameter, refraksi dan kerendahan ufuk atau dip. Berikut ini adalah rumus untuk menghitung irtifa mar i atau altitude geosentris menggunakan algoritma Meeus: h Ͽ '= h Ͽ SD Ͽ ref dip + π Ͽ Terlihat perbedaan antara rumus di atas dengan rumus yang digunakan dalam Almanak Nautika. Jika dalam Almanak Nautika tinggi hilal hakiki dikurangi koreksi Semi Diameter, refraksi dan kerendahan ufuk kemudian ditambah dengan Parallaks, maka dalam algoritma Meeus tinggi hilal hakiki ditambah koreksi Semi Diameter, refraksi dan kerendahan ufuk kemudian dikurangi dengan Parallaks. Berarti ada perbedaan tanda untuk setiap koreksi dalam rumus yang digunakan baik pada Almanak Nautika dengan algoritma Meeus. Berikut ini adalah penjelasan koreksi-koreksi yang digunakan dalam algoritma Meeus: Sudut Parallaks Bulan

184 Menghitung sudut parallaks Bulan dengan menggunakan algoritma Meeus terlebih dahulu menghitung Horizontal Parallaks Bulan dengan rumus sebagai berikut: tan HP Ͽ = 6378,137 r Dimana r adalah jarak Bumi-Bulan, sedangkan nilai 6378,137 merupakan jari-jari ekuator Bumi menurut WGS 84. Sudut Parallaks Bulan dihitung dengan menggunakan rumus berikut: π Ͽ = HP Ͽ cos h Semi Diameter Bulan Semi Diameter Bulan dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: SD Ͽ = 99575,94 r Dimana r adalah jarak Bumi-Bulan dalam kilometer yang sudah dihitung sebelumnya. Refraksi Refraksi dalam algoritma Meeus dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Di mana P adalah tekanan atmosfer pada tempat pengamat, T adalah suhu pada tempat pengamat, dan h Ͽ adalah tinggi Bulan sebenarnya. Ref = (P (T + 273,15)) (0,1594 + 0,0196 h Ͽ + 0,00002 h Ͽ 2 ) / (1 + 0,505 h Ͽ + 0,0845 h Ͽ 2 )

185 e. Perhitungan Elongasi Bulan-Matahari Dalam Almanak Nautika, elongasi Bulan dihitung dengan rumus berikut: Cos = (sin h Ͽ x sin h ʘ ) + (cos h Ͽ x cos h ʘ x cos PH) Di mana: = Sudut Elongasi Bulan Matahari. h Ͽ = ketinggian Bulan saat Matahari terbenam h ʘ = ketinggian Matahari saat terbenam PH = posisi hilal (selisih azimuth Bulan Matahari) Sedangkan rumus elongasi yang digunakan dalam algoritma Meeus adalah sebagai berikut: Cos = (sin δ Ͽ sin δ ʘ ) + (cos δ Ͽ cos δ ʘ cos Δα) Di mana: = Sudut Elongasi Bulan Matahari. δ Ͽ = deklinasi Bulan δ ʘ = deklinasi Matahari Δα = selisih asensiorekta Bulan Matahari Dari rumus di atas terlihat perbedaannya, jika Almanak Nautika menggunakan azimuth dan altitude Bulan dan Matahari untuk menghitung elongasi Bulan Matahari, sedangkan algoritma Meeus menggunakan asensiorekta dan deklinasi Bulan dan Matahari untuk menghitung elongasi Bulan Matahari.

186 3. Analisis Hasil Perhitungan Awal Bulan Kamariah. a. Bulan Ramadan 1435 H 1) Ijitmak Ijtimak untuk awal bulan Ramadan 1435 Hijriah menggunanakan Almanak Nautika terjadi pada hari Jumat tanggal 27 Juni 2014 pukul 15:08:00. Sedangkan menurut perhitungan menggunakan algoritma Meeus, ijtimak terjadi pada hari Jumat, tanggal 27 Juni 2014 pukul 15:08:30,44. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, antara Almanak Nautika dengan algoritma Meeus memiliki selisih yakni 30,44 detik. Hal ini karena dalam tabel Phase of The Moon dalam Almanak Nautika waktu dinyatakan dalam ketelitian menit saja, sedangkan jika menghitung dengan algoritma Meeus kita bisa menyatakan waktu ijtimak tidak hanya sampai ketelitian menit melainkan juga sampai detik. 2) Ketinggian Hilal Ketinggian hilal pada tanggal 27 Juni 2014 ketika Magrib, jika dihitung menggunakan Almanak Nautika adalah sebesar 00 06 28,96. Sementara jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus ketinggian hilal sebesar 0 34 59,43. Perbedaan di antara kedua sistem tersebut cukup besar yakni 28 menit 31,47 detik busur. Hal ini terjadi karena rumus ketinggian hilal toposentrik yang berbeda di antara kedua algortima tersebut sehingga menghasilkan perbedaan yang cukup besar.

187 3) Elongasi Elongasi merupakan jarak sudut antara hilal dengan Matahari. Elongasi pada tanggal 27 Juni 2014 pada waktu maghrib jika dihitung menggunakan Almanak Nautika adalah sebesar 04 35 38,37, sedangkan jika dihitung menggunakan algoritma Meeus adalah sebesar 04 55 05,23. Selisihnya cukup besar yakni 19 menit 26,82 detik Hal ini dikarenakan pada Almanak Nautika, elongasi dihitung menggunakan kedua azimuth dan altitude, baik dari Matahari maupun Bulan. Sedangkan pada algoritma Meeus, elongasi dihitung menggunakan asensiorekta dan deklinasi, baik dari Matahari maupun Bulan, sehingga menghasilkan nilai yang cukup besar perbedaannya jika dibandingkan kedua metode tersebut samasama menggunakan kedua azimuth dan altitude baik dari Matahari maupun Bulan. Selain itu selisih altitude yang cukup besar yakni 28 menit 31,47 detik busur sehingga perbedaan elongasi juga cukup besar. 4) Azimuth Matahari-Bulan Azimuth Matahari jika dihitung menggunakan Almanak Nautika memiliki nilai sebesar 293 21 38,89 atau 23 21 38,89 jika diukur dari Barat ke Utara. Sedangkan jika dihitung menggunakan Algortima Meeus, akan memiliki nilai sebesar 293 22 19,05 atau 23 22 19,05 jika diukur dari Barat ke Utara. Berarti di antara kedua metode tersebut memiliki selisih sebesar 40,16 detik busur.

188 Sementara itu, azimuth Bulan jika dihitung dengan algoritma Almanak Nautika memiliki nilai sebesar 288 43 24,45 atau 18 43 24,45 (diukur dari Barat ke Utara). Sedangkan jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus, akan memiliki nilai sebesar 288 43 23,53 atau 18 43 23,53 (diukur dari Barat ke Utara). Berarti di antara kedua algoritma tersebut memiliki selisih sebesar 0,92 detik busur. Jika azimuth Bulan diukur relatif terhadap Matahari, maka hasil perhitungan dengan menggunakan algoritma Almanak Nautika dan Algortima Meeus berturut-turut adalah 4 38 14,44 sebelah Selatan Matahari dan 4 38 55,52 Selatan Matahari. Berarti di antara kedua metode tersebut memiliki selisih sebesar 41,08 detik busur. Meskipun perbedaan azimuth Bulan di antara kedua algortima tersebut cukup kecil, namun jika diukur posisinya terhadap Matahari justru memiliki perbedaan yang cukup besar. Hal ini dikarenakan perbedaan azimuth di antara kedua algortima yang juga cukup besar, sehingga mempengaruhi selisih azimuth Bulan jika diukur terhadap Matahari. 5) Umur Hilal Umur hilal merupakan selisih antara waktu terbenamnya Matahari atau maghrib dengan waktu terjadinya ijtimak. Sebelum membandingkan umur hilal, terlebih dahulu membandingkan waktu maghrib yang telah dihitung menggunakan Almanak Nautika dan Algoritma Meeus.

189 Jika dihitung menggunakan algoritma Almanak Nautika, maka pada tanggal 27 Juni 2014, Matahari akan terbenam pada pukul 17:49:14,12. Sedangkan jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus, maka Matahari akan terbenam pada pukul 17:49:14,79. Perbedaan di antara keduanya hanya 0,67 detik. Berarti antara kedua algortima tersebut dapat menghasilkan nilai yang nyaris sama dalam perhitungan waktu maghrib. Jika dihitung menggunakan algoritma berdasarkan Almanak Nautika, umur hilal adalah sebesar 2 jam 41 menit 14,12 detik. Sedangkan jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus, umur hilal adalah sebesar 2 jam 40 menit 44,35 detik. Sehingga perbedaan di antara keduanya yakni sebesar 29,77 detik. Nilai ini cukup besar jika dibandingkan dengan selisih waktu maghrib dari dua algoritma tersebut. Hal ini dikarenakan perbedaan waktu ijtimak yang dihitung dari kedua algoritma tersebut cukup besar yakni 30,44 detik. 1. Bulan Syawal 1435 H a. Ijitmak Ijtimak untuk awal bulan Syawwal 1435 Hijriah menggunanakan Almanak Nautika terjadi pada hari Jumat tanggal 27 Juli 2014 pukul 05:41:00. Sedangkan menurut perhitungan menggunakan algoritma Meeus, ijtimak terjadi pada hari Jumat, tanggal 27 Juli 2014 pukul 05:41:49,05. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, antara Almanak Nautika dengan algoritma Meeus memiliki selisih yakni 49,05 detik.

190 Hal ini karena dalam tabel Phase of The Moon dalam Almanak Nautika waktu dinyatakan dalam ketelitian menit saja, sedangkan jika menghitung dengan algoritma Meeus kita bisa menyatakan waktu ijtimak tidak hanya sampai ketelitian menit melainkan juga sampai detik. b. Ketinggian Hilal Ketinggian hilal pada tanggal 27 Juli 2014 ketika Magrib jika dihitung menggunakan Almanak Nautika adalah sebesar 03 10 57,17. Sementara, jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus ketinggian hilal sebesar 4 09 21,93. Perbedaan di antara kedua algortima tersebut cukup besar 58 menit 34,86 detik busur. Hal ini terjadi karena rumus ketinggian hilal toposentrik yang berbeda di antara kedua metode tersebut sehingga menghasilkan perbedaan yang cukup besar. c. Elongasi Elongasi merupakan jarak sudut antara hilal dengan Matahari. Elongasi pada tanggal 27 Juli 2014 waktu maghrib jika dihitung menggunakan Almanak Nautika adalah sebesar 06 44 27,42, sedangkan jika dihitung menggunakan algoritma Meeus adalah sebesar 07 19 48,47. Selisihnya cukup besar yakni 35 menit 21,05 detik. Hal ini dikarenakan pada Almanak Nautika, elongasi dihitung menggunakan kedua azimuth dan altitude baik dari Matahari maupun Bulan. Sedangkan pada algoritma Meeus, elongasi dihitung menggunakan asensiorekta dan deklinasi Matahari maupun

191 Bulan, sehingga menghasilkan nilai yang cukup besar perbedaannya. Selain itu selisih altitude yang cukup besar yakni 58 menit 34,86 detik busur sehingga perbedaan elongasi juga cukup besar. d. Azimuth Matahari-Bulan Azimuth Matahari jika dihitung menggunakan Almanak Nautika memiliki nilai sebesar 289 16 20,64 atau 19 16 20,64 (diukur dari Barat ke Utara), sedangkan jika dihitung menggunakan algortima Meeus, akan memiliki nilai sebesar 289 11 32,03 atau 19 11 32,03 (diukur dari Barat ke Utara). Berarti di antara kedua algortima tersebut memiliki selisih sebesar 4 menit 48,61 detik busur. Sementara itu, azimuth Bulan jika dihitung berdasarkan algoritma Almanak Nautika memiliki nilai sebesar 283 46 50,4 atau 13 46 50,4 (diukur dari Barat ke Utara), sedangkan jika dihitung menggunakan algoritma Meeus memiliki nilai sebesar 283 46 47,56 atau 13 46 47,56 (diukur dari Barat ke Utara). Berarti di antara kedua metode tersebut memiliki selisih sebesar 2,84 detik busur. Jika azimuth Bulan diukur relatif terhadap Matahari, maka hasil perhitungan menggunakan Almanak Nautika dan Algortima Meeus berturut-turut adalah 5 29 30,24 sebelah Selatan Matahari dan 5 34 44,47 Selatan Matahari. Berarti di antara kedua metode tersebut memiliki selisih 5 menit 14,23 detik busur. Meskipun perbedaan azimuth Bulan di antara kedua algortima tersebut cukup kecil, namun jika diukur posisinya dengan terhadap Matahari justru

192 memiliki perbedaan yang cukup besar. Hal ini dikarenakan perbedaan azimuth di antara kedua algoritma tersebut juga cukup besar, sehingga mempengaruhi selisih azimuth Bulan jika diukur terhadap Matahari. e. Umur Hilal Umur hilal merupakan selisih antara waktu terbenamnya Matahari atau maghrib dengan waktu terjadinya ijtimak. Sebelum membandingkan umur hilal, terlebih dahulu membandingkan waktu maghrib yang telah dihitung menggunakan Almanak Nautika dan Algoritma Meeus. Jika dihitung menggunakan Almanak Nautika, maka pada tanggal 27 Juni 2014, Matahari akan terbenam pada pukul 17:54:55,38, sedangkan jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus, maka Matahari akan terbenam pada pukul 17:54:56,97. Perbedaan di antara keduanya sebesar 1,59 detik. Berarti antara kedua algortima tersebut dapat menghasilkan nilai yang nyaris sama dalam perhitungan waktu maghrib jika detik diabaikan. Umur hilal jika dihitung berdasarkan algoritma Almanak Nautika menghasilkan nilai sebesar 12 jam 13 menit 55,38 detik, sedangkan jika dihitung menggunakan Algoritma Meeus, umur hilal adalah sebesar 12 jam 13 menit 07,92 detik. Sehingga perbedaan di antara keduanya yakni sebesar 47,36 detik. Nilai ini cukup besar jika dibandingkan dengan selisih waktu maghrib dari dua algoritma

193 tersebut. Hal ini dikarenakan perbedaan waktu ijtimak di antara kedua metode yang cukup besar yakni 49,05 detik. B. Kelebihan dan Kelemahan antara Almanak Nautika dan Astronomical Algortihms Jean Meeus. Selain adanya persamaan dan perbedaan dari kedua algoritma tersebut, ada pula perbandingan dari sisi kelebihan dan kekurangannya. Perbandingan terkait kelebihan dan kekurangan suatu algoritma ditinjau dari bagaimana algoritma tersebut dibangun dengan persamaan yang tidak begitu rumit, keakuratan suatu data dan mudah tidaknya suatu data tersebut diakses. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari kedua algoritma hisab awal bulan kamariah dengan menggunakan Almanak Nautika dan Astronomical Algortihms Jean Meeus. 1. Almanak Nautika a. Kelebihan Sebagaimana dengan analisis perhitungan pada butir sebelumnya, terlihat bahwa Almanak Nautika tidak membutuhkan perhitungan yang rumit, karena data-data astronomis yang diperlukan seperti Ijtimak, Sudut Waktu, Waktu Maghrib, Perata Waktu dan Deklinasi sudah dicantumkan di dalam tabel yang disusun dengan data setiap satu jam mulai dari pukul 00.00 sampai dengan 23.00 GMT. Selain itu, rumus-rumus yang dipakai dalam algoritma sistem hisab Almanak Nautika sudah didasarkan pada rumus astronomi modern. Rumusrumus tersebut bahkan bisa dikembangkan menjadi lebih efektif, sehingga mempermudah bagi yang ingin mempelajarinya. Adapun data-data ephemeris yang berada dalam Almanak Nautika merupakan data-data yang memiliki

194 ketelitian cukup akurat, karena data tersebut dibuat berdasarkan observasi secara berkelanjutan. b. Kekurangan Kekurangan algoritma ini adalah perlunya beberapa proses interpolasi, seperti pencarian data deklinasi, sudut waktu pada jam, menit dan detik tertentu dan pada lintang serta bujur pengamat tertentu. Hal ini dikarenakan, data dalam tabel Almanak Nautika hanya disajikan sampai dengan ketelitian jam. Selain itu, pada tabel Moonset, Moonrise, Sunset dan Sunrise disajikan dalam lintang pengamat berkelipatan 5 sampai 10. Kelemahan lainnya adalah Almanak Nautika hanya diterbitkan setahun sekali, sehingga hanya bisa menghisab awal bulan maupun fenomena yang berkaitan dengan Bulan dan Matahari seperti fase-fase Bulan, gerhana Matahari, dan gerhana Bulan dalam rentang tahun diterbitkannya data tersebut. Artinya, tidak bisa digunakan untuk perhitungan awal bulan pada tahun-tahun mendatang. Kelemahan lainnya pada penggunaan algoritma yang harus diperbaharui dengan temuan-temuan ilmiah (astronomi) modern. Algortima yang dibentuk oleh Almanak Nautika pada tahun 1976 oleh Saadoe ddin Djambek dan dianggap akurat hingga sekarang (dipakai pula oleh algoritma ephemeris Kementrian Agama RI), perlu adanya perubahan. Hal ini disebabkan karena adanya penelitian terbaru yaitu Astronomical Algortihms atau teori-teori Astronomi modern. Pada penelitian terbaru ini, algoritma perhitungan yang disusun telah terbukti akurat ketika hasilnya diuji pada observasi gerhana (karena lintang eklitptika dan bujur ekliptika berada pada nilai 0). 39 39 Pada revolusi sains yang digagas oleh Thomas Samuel kuhn bahwa revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang dirasakan semakin parah dan munculnya krisis

195 2. Astronomical Algortihms Jean Meeus a. Kelebihan Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya dalam Bab III, pada perhitungan ephemeris Matahari berakurasi tinggi dengan Algoritma Jean Meeus sebenarnya merupakan reduksi dari algoritma VSOP87 yang jauh lebih akurat dengan kesalahan terkecil 0,01 detik busur yang mana total jumlah koreksi sebanyak 2425 buah antara lain: 1080 koreksi untuk bujur ekliptika, 348 koreksi untuk lintang ekliptika dan 997 koreksi untuk jarak Matahari ke Bumi, dengan mengambil koreksi-koreksi yang penting dengan suku yang berorde rendah di mana suku yang berorde tinggi tidak begitu memengaruhi hasil perhitungan. Total koreksi pada Algoritma Jean Meeus sebanyak 159 koreksi, dengan kesalahan tidak lebih dari 1 detik untuk periode tahun -2000 sampai 6000. Sementara, pada perhitungan ephemeris Bulan berakurasi tinggi menggunakan algoritma Meeus, melibatkan suku-suku koreksi yang lebih banyak, oleh karena itu algoritma Meeus lebih akurat. Dalam menghitung bujur ekliptika Bulan, Meeus menggunakan 62 suku koreksi dengan suku koreksi terkecil adalah berorde 1 detik busur (1 detik busur = 1/3600 derajat). Untuk menghitung lintang ekliptika Bulan, Meeus menggunakan 66 suku koreksi dengan suku koreksi terkecil adalah berorde 0,4 detik busur. Untuk menghitung jarak Bumi-Bulan, Meeus menggunakan metode langsung tanpa menghitung parallaks terlebih dahulu (karena parallaks juga sudah dirumuskan oleh Meeus dengan parameter awal yang telah dihitung sebelumnya) dengan 46 suku koreksi dengan suku koreksi Meeus terkecil untuk menghitung jarak Bumi-Bulan adalah dalam orde 1 km. yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang dijadikan referensi riset. Selanjutnya baca Peran Paradigma dan revolusi sain / Thomas S.Kuhn, penerjemah Tjun Surjaman.

196 Algoritma Meeus dapat menghitung ephemeris Matahari, Bulan bahkan Planet-Planet anggota tata surya yang diamati dari Bumi baik dari tahun sebelum maupun setelahnya, karena parameter awal yang didefinisikan untuk kemudian dipakai dalam perhitungan bujur ekliptika, lintang ekliptika, dan jarak Bumi benda langit tersebut selalu berubah menyesuaikan dengan epoch waktu yang sedang dihitung. Sehingga data ephemeris yang dihasilkan merupakan data yang terjadi pada waktu yang sedang dihitung. Tidak seperti Almanak Nautika maupun metode lain yang sejenis yang hanya memanfaatkan interpolasi untuk mencari data yang terletak di antara dua data pada tabel yang dicantumkan dengan ketelitian atau skala terkecil jam. b. Kekurangan Meskipun algoritma Meeus sudah cukup akurat menghasilkan data ephemeris, namun perhitungan yang dilakukan cukup rumit, menggunakan koreksi-koreksi yang melibatkan suku-suku berorde tinggi dengan jumlah suku yang banyak (untuk Matahari total 159 suku, untuk Bulan total 134 suku, dari perhitungan bujur ekliptika, lintang ekliptika dan jarak Bumi-Bulan/Matahari), sehingga jika perhitungan dilakukan secara manual dapat memakan waktu cukup lama. Namun kekurangan ini dapat ditutupi dengan mengkomputerisasi perhitungan sehingga perhitungan dapat dilakukan dengan cepat tanpa harus menghitung ulang menggunakan rumus yang sama apabila kita menghitung dengan epoch tertentu.