BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Masa bayi adalah periode dalam hidup yang dimulai setelah kelahiran dan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

Psikologi Kepribadian I. Psikologi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

Perkembangan dari Attachment (kelekatan) Kita harus memakai orang yang khusus di dalam kehidupan yang dapat membimbing anak-anak untuk merasakan rasa

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

KELEKATAN PADA ANAK. Oleh : Sri Maslihah

PROSES PEMBENTUKAN KELEKATAN PADA BAYI

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

6. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelekatan. melekat pada diri individu meskipun figur lekatnya itu tidak tampak secara fisik.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

EMOTIONAL INTELLIGENCE MENGENALI DAN MENGELOLA EMOSI DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN Hogan Assessment Systems Inc.

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. penting menuju kedewasaan. Masa kuliah akan menyediakan pengalaman akademis dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertama kalinya. resiprokal antara bayi dan pengasuhnya, yang sama-sama memberikan

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI Definisi Komunikasi Terapeutik

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan anak untuk optimalisasi bagi perkembangannya.

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. semangat untuk menjadi lebih baik dari kegiatan belajar tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

PENANGANAN ANAK BERMASALAH DENGAN KASIH SAYANG

BAB I PENDAHULUAN. fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang

PERKEMBANGAN EMOSI. Sunardi, PLB FIP UPI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. paling menarik dari percepatan perkembangan seorang remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psi. Fak. Psikologi UMBY

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan berbagai kesempurnaan.

Bab 7 Memilih dan Belajar Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah satuan sosial yang paling mendasar, dan terkecil dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari

LAMPIRAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Beberapa pasangan suami istri menginginkan keturunan sebagai bagian dari keluarga mereka. Pasangan suami istri pasti berharap untuk mendapatkan anak yang sehat secara fisik dan mentalnya, akan tetapi hal itu belum tentu terpenuhi. Adakalanya orangtua mendapatkan anak yang mengalami gangguan fisik ataupun mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk menerimanya. Pada banyak kasus, orangtua cenderung menolak atau sebaliknya yaitu sangat melindungi anaknya yang tidak berkembang secara normal, dalam hal ini adalah anak-anak yang memiliki kekurangan fisik ataupun mental. Salah satu gangguan fisik yang mungkin diderita adalah tunarungu. Dwidjosumarto (Somantri, 1996:74) mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Masalah utama dari anak tunarungu adalah adanya hambatan berkomunikasi secara bebas dan aktif karena pada anak tunarungu tidak terjadi peniruan bahasa. Hambatan tersebut menyebabkan anak tunarungu kesulitan dalam pengembangan aspek sosial, emosional, maupun intelektual. Data Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial tahun 2011 menunjukkan bahwa 602.784 jiwa penduduk Indonesia mengalami kehilangan pendengaran di kedua telinganya dari tingkatan sedang hingga berat (rehsos.kemsos.go.id), sedangkan Penyelenggara Pendidikan Luar Biasa Tahun 2004/2005 Provinsi Jawa Barat mencatat terdapat 365 anak tunarungu yang tersebar di seluruh SLB-B Jawa Barat. Ditemukan pula data tambahan berupa seorang ibu di Kota Bandung merasa khawatir pada anak pertamanya yang berusia 20 bulan, anak tersebut tumbuh sangat 1

2 wajar namun ibunya sedikit takut dengan pendengarannya karena setiap mereka memanggil namanya tak pernah sekalipun ia menoleh. Akhirnya orangtua tersebut membawa anaknya untuk diperiksakan, setelah selesai pemeriksaan dan mendapat hasilnya ternyata putri ibu tersebut mengalami gangguan pendengaran yang berat (tunarungu berat). Ia merasa terpukul dan tidak mampu menghadapi kenyataan. Saat ini orangtuanya tinggal di Jakarta dan putrinya tinggal di Bandung bersama dengan guru terapi wicaranya. Orangtua seringkali merasa khawatir apabila pada tahun pertama kehidupan, anak mereka tidak memberikan respons apabila mendengar bunyi-bunyian. Pada dasarnya mulai usia lima belas bulan seorang anak dapat berespons terhadap suara dengan cara mengarahkan kepalanya pada asal suara. Jadi kemampuan inilah yang dapat digunakan untuk mendeteksi bisa atau tidaknya seseorang mendengar (Susan dan Rizzo, 1979 : dalam Mangunsong, 1998). Orang-orang yang tuli atau sulit pendengaran lebih besar kemungkinannya untuk tidak disukai dibandingkan dengan orang yang pincang atau tunanetra. Mungkin ini disebabkan orang-orang tunarungu kelihatannya sama seperti orang lain. Oleh karena itu, tingkah laku mereka dalam suatu situasi sosial lebih menjengkelkan karena sukar sekali baik kelompok atau orang yang cacat itu sendiri menerima situasi tersebut. Orang-orang dengan pendengaran normal sering menganggap lebih rendah orang yang tunarungu karena mereka yang tuli dan yang susah pendengaran banyak bertanya tetapi sulit menangkap apa yang dikatakan. Sama seperti semua anak, pengaruh orangtua merupakan faktor yang penting dalam menentukan sikap-sikap anak tunarungu terhadap cacat-cacatnya dan terhadap dirinya sendiri. Seperti pada anak-anak yang pincang, orangtua dari anak-anak tunarungu sering sekali mengambil sikap menolak atau terlalu melindungi. Wajar

3 bahwa orangtua menolong anak tunarungu dengan berbagai cara supaya anak menerima cacatnya itu dan menyesuaikan diri dengannya. Tunarungu bukanlah cacat emosi. Faktor yang penting dalam perkembangan kepribadian adalah apa yang dipikirkan oleh orang yang cacat itu sendiri mengenai situasinya, dan apa yang dipikirkan dan dirasakan mengenai cacat tersebut sebagian besar merupakan cerminan dari apa yang dipikirkan orang-orang lain. Oleh karena sikap orang-orang yang normal pendengarannya terhadap orang tunarungu agak negatif, tidak mengherankan jika emosi orang yang tunarungu agak tidak stabil dibandingkan dengan orang yang tunarungu. Perkembangan sosial dan kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh kemampuannya untuk berkomunikasi, demikian pula pada tunarungu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila banyak tunarungu yang mengalami kesepian, karena mereka tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain (Charlson dkk, 1992 ; Leob dan Sarigani, 1986 ; Hallahan dan Kauffman, 1994 dalam Mangunsong, 1998). Masalah emosional pada awalnya dikarenakan oleh kurangnya kemampuan untuk memahami aspek-aspek emosional yang dikomunikasikan oleh orang lain, dimana ini merupakan hal penting dalam ikatan hubungan ibu dan anak (Altshuler, 1974 ; Suran dan Rizzo, 1979 dalam Mangunsong, 1998). Apabila bahasa reseptif maupun ekspresif anak tidak berkembang, anak akan sangat tergantung kepada orang lain. Oleh karena respons orang tua dan penerimaan orangtua pada anak berdampak positif, maka apabila anak berada dalam lingkungan terbatas misalnya pada lingkungan dimana ia dapat berkomunikasi, ia menunjukkan konsep diri yang positif. Temper tantrum dan frustrasi yang bersifat fisik seringkali ditunjukan karena mereka kurang mampu untuk mengemukakannya dalam bentuk bahasa. Masalah ini akan

4 bertambah jelas apabila ia memasuki dunia yang lebih luas di luar lingkungan keluarga. Tidak hanya anak normal yang memerlukan kedekatan dengan orangtua mereka tetapi anak tunarungu pun memerlukan kedekatan dengan orangtua mereka. Kedekatan yang diperlukan oleh anak tunarungu tidak hanya kedekatan secara fisik melainkan juga kedekatan secara emosional. Keterikatan emosional antara anak dengan figur pengasuhnya (biasanya ibu) disebut dengan Attachment oleh Ainsworth (dalam Traver, 1985). Keterikatan antara ibu dan anak berfungsi untuk memberikan rasa aman yang diperlukan bagi anak untuk bereksplorasi dengan lingkungannya, dan keterikatan itu membentuk dasar hubungan antar pribadi di kemudian hari. Menurut Bowlby dan Ainsworth (1978), usia lima tahun pertama sangat penting bagi pembentukan kepribadian anak, sehingga peran ibu sebagai lingkungan terdekat anak juga sangat besar pengaruhnya bagi pembentukan kepribadian anak. Adapun manfaat Attachment adalah untuk membangkitkan rasa percaya diri, membina hubungan yang hangat, mengasihi sesama dan peduli dengan orang lain, menerapkan disiplin, dan untuk pertumbuhan intelektual dan psikologis. Perbedaan kualitas hubungan pada setiap individu dikategorikan menjadi dua jenis yaitu secure attachment dan insecure attachment (Ainsworth, 1972; Ainsworth dkk, 1978; Bowlby, 1973 dalam Cassidy, 1999). Istilah secure atau insecure ini menjelaskan mengenai persepsi anak terhadap ketersediaan pengasuhnya ketika munculnya keperluan akan suatu kenyamanan dan keamanan, dan istilah-istilah tersebut merupakan suatu kumpulan respons anak terhadap pengasuhnya yang mendasari persepsi-persepsi akan ketersediaan pengasuh. Secure attachment didefinisikan oleh Ainswroth, Blehar, Waters dan Wall (1978 dalam Cassidy, 1999) sebagai suatu keadaan tidak adanya masalah dalam perhatian dan ketersediaan

5 pengasuh. Secure Attachment yang menunjukkan kategori yang paling umum, sekitar 60%-65% dari anak menggunakan ibunya sebagai Secure Base. Anak merasa aman saat ibu bersamanya. Anak yang memiliki insecure attachment tidak mengalami ketersediaan dan kenyamanan dari pengasuh yang konsisten ketika merasakan adanya ancaman. Keinginan akan perhatian tidak diatasi dengan perhatian yang konsisten (Ainsworth dkk 1978, Bowlby, 1973 dalam Cassidy, 1990). Insecure Attachment meliputi sekitar 40%-35% anak yaitu anak bersikap dimana baik saat ibunya ada bersamanya maupun saat meninggalkannya, anak akan bereaksi seakan-akan tidak peduli dan lebih terfokus pada yang menarik perhatiannya, dan menunjukan distress yang ekstrim saat ditinggal oleh ibunya dan gagal untuk menunjukkan kepercayaan diri dalam mengeksplorasi lingkungan saat ibu bersamanya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap sembilan orang ibu dan seorang pengasuh anak tunarungu di SLB- X Bandung diperoleh data sebagai berikut, sebanyak tiga orang ibu menyatakan bahwa mereka sering menghabiskan waktu berdua dengan anak mereka, misalnya untuk bermain dan belajar. Mereka juga mengetahui dan selalu berusaha memenuhi kebutuhan emosional anak mereka yang tunarungu dengan cara memberikan kasih sayang dan perhatian, serta mengetahui setiap perkembangan dan kemajuan berkomunikasi anak mereka. Selain itu, anak mereka sering menangis secara terus menerus apabila ditinggalkan oleh ibu, bersikap ramah terhadap orang lain dan dapat juga merasa nyaman dengan orang lain meskipun sebelumnya membuatnya malu dan takut. Meskipun anak sedang tidak sedih, sebagian besar anak cukup responsif pada kembalinya ibu, anak akan menyambut ibu dengan senyum, mengeluarkan suara-suara dan memulai suatu interaksi. Anak seperti ini mengarah pada Secure Attachment.

6 Sebanyak empat orang ibu jarang sekali menyatakan rasa sayang mereka kepada anaknya, baik dalam bentuk verbal atau fisik sehingga anak menjauhi ibunya serta anak mudah merasa kesal saat ibunya meminta anaknya untuk mengganti aktivitas atau beralih dan anak cenderung bermain jauh dari ibu atau bermain sendiri dengan mainannya. Hal tersebut dikarenakan ibu kurang mengetahui setiap perkembangan anaknya, ibu lebih menyerahkan pengasuhan anak mereka kepada baby sitter ataupun anggota keluarga lainnya. Dalam masa perpisahan anak cenderung tidak menjadi sedih meskipun kesedihan akan muncul ketika sedang sendiri. Anak ketika berhadapan dengan orang asing lebih responsif dibandingkan dengan ibunya. Seorang pengasuh menyatakan bahwa anak tunarungu yang diasuhnya tidak memiliki kedekatan dengan ibunya. Ketika anak bertemu dengan ibunya, anak menunjukkan tanda-tanda sikap acuh, tidak melihat ibunya, atau melewati ibu tanpa mendekati ibunya. Anak seperti ini mengarah pada Insecure Attachment. Seorang ibu menyatakan bahwa terkadang ia sangat peduli dengan anaknya, tetapi di lain waktu ia menolak kehadiran anaknya. Ibu menyatakan bahwa ia berusaha memenuhi kebutuhan dan kasih sayang anaknya, seperti berusaha mengajak anaknya berlatih berkomunikasi, ataupun sekadar bermain dengan anaknya. Namun, anak itu menunjukkan perilaku menolak atau tantrum ketika bertemu dengan ibunya tapi di lain waktu anak tersebut dekat dengan ibunya. Ketika bertemu kembali dengan ibunya anak cenderung menginginkan kedekatan atau kontak dengan ibu tetapi tidak dapat tenang meskipun sudah mendapatkan kontak. Anak menunjukkan kepasifan, terus menangis tetapi gagal untuk mencari kontak secara aktif. Anak mencari hubungan atau kontak, kemudian menolak kontak ketika telah didapatkan. Anak seperti ini mengarah pada Insecure Attachment dengan ciri-ciri yang lainnya.

7 Bowlby (1969) juga mengatakan bahwa hubungan orang tua dengan anak adalah suatu hubungan yang timbal balik, anak menjadi dekat dengan orang tua, demikian sebaliknya. Orang tua dengan sengaja memulai pergerakan ke arah anak untuk membentuk ikatan afeksional yang intim. Walaupun sebelum anak lahir, Ibu seringkali menunjukan kesiapan mereka untuk mendekatkan diri kepada calon anaknya. Ainsworth (1985) juga mengatakan bahwa Attachment adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan kepada ibu atau pengasuhnya. Hubungan atau interaksi yang dibina bersifat timbal balik, bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak. Berdasarkan paparan di atas, masih ditemukan indikasi bahwa orangtua dalam hal ini ibu yang memunyai anak tunarungu memaknakan kedekatan emosional dengan anak mereka yang apabila tidak terpenuhi akan membuat anak merasa tidak nyaman untuk dekat dengan ibu dan sulit untuk memercayai ibunya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti Attachment Style pada anak tunarungu di SLB-B X Kota Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah X Bandung. Peneliti ingin mengetahui gambaran Attachment anak tunarungu di SLB-B

8 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Untuk memeroleh gambaran mengenai Attachment anak tunarungu di SLB-B X Bandung berdasarkan persepsi ibunya. 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik mengenai Attachment anak tunarungu dan faktor-faktor yang memengaruhinya di SLB-B X Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Sebagai tambahan informasi bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan dan Psikologi Klinis mengenai Attachment pada anak tunarungu. Memberikan informasi kepada peneliti lain yang membutuhkan bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Attachment anak tunarungu. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan pengetahuan tentang Attachment bagi orangtua khususnya ibu yang memiliki anak tunarungu, agar ibu dapat memiliki kedekatan secara emosional untuk perkembangan anak tunarungu. Sebagai masukan bagi para guru yang terlibat dalam pembinaan pendidikan pada anak tunarungu, serta dapat memberikan tambahan informasi yang berkaitan dengan masalah di sekolah yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membimbing dan mendidik anak tunarungu.

9 Memberi informasi bagi SLB-B yang berkepentingan dalam membantu orangtua, terutama ibu dari anak tunarungu dalam mendukung usaha mereka untuk merawat anaknya. 1.5 Kerangka Pikir Setiap anak yang lahir merupakan sebuah karunia besar dan tidak ternilai bagi orangtuanya. Anak merupakan sumber kebahagiaan dan penerus dari suatu keluarga. Keberadaan anak yang diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh hampir seluruh orang tua akan disambut dengan gembira, bahagia, dan sukacita. Orangtua pasti ingin memiliki anak yang sehat baik secara fisik maupun mentalnya. Akan tetapi terkadang pada kenyataanya tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan orangtua. Salah satu gangguan yang sering ditakutkan oleh sebagian besar orangtua adalah gangguan pendengaran (tunarungu). Menurut WHO (2005), tunarungu adalah mereka yang kehilangan keseluruhan kemampuan untuk mendengar baik dari salah satu atau kedua telinganya. Menurut Suran dan Rizzo, 1979 (dalam Mangunsong, 1998), pada dasarnya mulai usia lima bulan seorang bayi dapat berespons terhadap suara dengan cara mengarahkan kepalanya pada asal suara. Kemampuan inilah yang dapat digunakan untuk mendeteksi bisa atau tidaknya seseorang mendengar. Sesuai dengan penelitian perkembangan yang dilakukan oleh Gessel, anak akan mulai menggunakan kata-kata pertamanya pada usia 12-18 bulan. Pada usia ini anak tunarungu menampakkan ketidakmampuannya untuk membunyikan kata-kata pertama yang terarah. Menurut Telford dan Sawrey, (1981 dalam Mangunsong, 1998) terdapat beberapa simptom tunarungu seperti ketidakmampuan memusatkan perhatian yang

10 sifatnya kronis, kegagalan berespon apabila diajak bicara, terlambat berbicara atau melakukan artikulasi, mengalami keterbelakangan di sekolah. Masalah dari anak tunarungu adalah adanya hambatan berkomunikasi secara bebas dan aktif karena pada anak tunarungu tidak terjadi peniruan bahasa. Hambatan tersebut menyebabkan anak tunarungu kesulitan dalam pengembangan segi sosial, emosional, maupun intelektualnya. Tidaklah mengherankan apabila banyak tunarungu yang mengalami kesepian, karena mereka tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu seorang anak tunarungu memerlukan kedekatan dengan orang tua mereka. Kedekatan ini tidak hanya secara fisik melainkan juga secara emosional. Apabila respon dan penerimaan orangtua pada anak berdampak positif, maka jika anak berada dalam lingkungan terbatas, misalnya di lingkungan di mana anak dapat berkomunikasi, anak menunjukan konsep diri yang positif. Tetapi apabila sebaliknya, temper tantrum dan frustrasi yang bersifat fisik seringkali ditunjukan anak tunarungu karena mereka kurang mampu untuk mengemukakan ide atau gagasannya dalam bentuk bahasa (Charlson dkk, 1992 ; Leob dan Sarigani,1986 ; Hallahan dan Kauffman, 1994 ; dalam Mangunsong, 1998). Menurut Ainsworth (dalam Traver, 1985), gaya kedekatan emosional antara anak dengan figur pengasuhnya (biasanya ibu) disebut dengan Attachment. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hazan dan Shaver (1987) kedekatan antara orangtua dan anak yang telah terbentuk sejak kecil bersifat relatif stabil sepanjang hidupnya dan merupakan dasar yang berpengaruh terhadap kehidupan individu pada masa dewasa bahkan sampai tua. Seorang anak memerlukan kedekatan dengan ibu mereka. Menurut Bowbly (1979), kontak sosial yang pertama kali dilakukan oleh anak adalah dengan orang yang sangat penting bagi kehidupan seorang anak yang biasanya adalah ibu. Relasi

11 interpersonal yang pertama kali tercipta pada anak adalah ketika ibu menyusui anaknya, dimana ibu memenuhi kebutuhan makanannya. Bowbly dan Ainsworth (1978) mengatakan usia lima tahun pertama sangat penting bagi pembentukan kepribadian anak, sehingga peran ibu sebagai lingkungan terdekat anak juga sangat besar pengaruhnya bagi pembentukan kepribadian anak. Kedekatan antara ibu dan anak diperlukan karena sebagian besar anak masih sangat tergantung pada ibu mereka, yaitu dalam hal perhatian, pemenuhan kebutuhan dasar, perasaan aman dan nyaman. Hal-hal yang dilakukan oleh ibu tersebut, akan berpengaruh terhadap sikap anak pada orang lain. Berulangnya kegiatan ini juga akan menimbulkan keterikatan antara anak dan ibu. Tiga faktor yang akan memengaruhi Attachment Style, yang pertama adalah menjaga anak agar berada di dekat ibu, dimana seorang ibu lebih sering dan senang berada di dekat anak seperti menemani maupun mengasuh anaknya dibandingkan dengan bekerja selain itu ibu juga akan memperhatikan anaknya meskipun ibu sedang melakukan kegiatan lain, memberikan respons yang tepat sesuai dengan respon yang diberikan oleh anak serta memperhatikan keselamatan anaknya. Kedua adalah waspada akan keberadaan anak. Dimana Ibu mengetahui ketika anak sedang menangis, mengalami distres, gelisah ataupun marah, selain itu ibu juga akan selalu berada di sisi anaknya dan mengetahui apa yang harus dilakukan ketika anaknya sedang gelisah, serta peka terhadap gerak-gerik ataupun respons yang diberikan anak terhadap ibu atau lingkungan baik dalam hal yang disukai ataupun tidak disukai oleh anak, mendukung dan mendidik anak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain dan lingkungan. Ketiga yaitu berusaha untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak dengan memenuhi seluruh kebutuhannya, dimana seorang ibu akan memenuhi kebutuhan anaknya seperti makanan, minuman, pakaian, tempat

12 istirahat, dan juga mainan untuk anaknya, ibu juga akan menyediakan waktu untuk berinteraksi misalnya bercakap-cakap atau bermain dengan anak. Selain itu memenuhi kebutuhan anak dengan ekspresi kasih sayang dari ibu seperti menggendong, mengelus, mencium dan memeluk anak, serta mampu berempati dengan anak tidak merasa malu dengan kondisi anak dan selalu menghargai kemajuan yang dicapai anak. Dari tiga faktor tersebut akan menghasilkan dua Attachment pada anak tunarungu berdasarkan pada respon atau persepsi yang diberikan oleh ibu akan anaknya yang tunarungu yaitu Secure Attachment dan Inecure Attachment. Perbedaan kualitas hubungan pada setiap individu yang dikategorikan menjadi dua jenis yaitu secure attachment dan insecure attachment (Ainsworth, 1972; Ainsworth dkk, 1978; Bowlby, 1973 dalam Cassidy, 1999). Istilah secure atau insecure ini menjelaskan mengenai persepsi anak terhadap ketersediaan pengasuhnya ketika munculnya keperluan akan suatu kenyamanan dan keamanan, dan istilahistilah tersebut merupakan suatu kumpulan respon anak terhadap pengasuhnya yang mendasari persepsi-persepsi akan ketersediaan pengasuh. Secure attachment didefinisikan oleh Ainswroth, Blehar, Waters dan Wall (1978 dalam Cassidy, 1999) sebagai suatu keadaan dimana tidak adanya masalah dalam perhatian dan ketersediaan pengasuh. Anak yang memiliki insecure attachment tidak mengalami ketersediaan dan kenyamanan dari pengasuh yang konsisten ketika merasakan adanya ancaman. Keinginan akan perhatian tidak diatas dengan perhatian yang konsisten (Ainsworth dkk 1978, Bowlby, 1973 dalam Cassidy, 1990). Ainsworth (1972) mangungkapkan Attachment yang dimiliki para ibu pada anaknya dimulai sebelum anak lahir dan dipengaruhi oleh beberapa variabel, seperti harga diri yang dimiliki ibu, kualitas perhatian yang diterima ibu selama menjadi

13 anak, dan penerimaan terhadap kehadiran anak. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi keseluruhan hubungan ibu dan anak. Ainsworth dkk (1978) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa terdapat dua bentuk Attachment, yaitu Secure Attachment dan Insecure Attachment. Secure Attachment, dalam hal ini anak menggunakan ibunya sebagai Secure Base. Anak merasa aman saat ibu bersamanya. Saat berpisah anak menunjukan kehilangan ibunya, terutama pada saat berpisah untuk kedua kalinya. Ketika kembali untuk menyambut ibunya dengan senyuman, ungakapan atau sikap yang positif dan kembali merasa nyaman bersama ibunya. Anak dengan Secure Attachment memiliki ibu yang paling sensitif terhadap anaknya, cenderung memeluk dengan erat anak mereka, penuh cinta kasih dan sayang, serta tanggap terhadap setiap kebutuhan anaknya, baik ketika anak sedang sedih, senang, maupun lelah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila mereka berkembang menjadi seorang anak yang memiliki sikap sosial yang tinggi, antusias, kooperatif, memiliki rasa ingin tahu dan kompeten (Ainsworth, 1978). Insecure Attachment, dimana baik saat ibunya ada bersamanya atau saat meninggalkannya, anak akan bereaksi seakan-akan tidak peduli dan lebih terfokus pada hal lain yang menarik perhatiannya. Saat terpisah dengan ibunya, respon anak menunjukan respon yang minimal, sedikit nampak distress saat ditinggal sendiri. Saat bertemu kembali dengan ibunya, anak dengan aktif menolak ibunya, dan anak juga terlihat menjaga jarak dengan ibunya. Ibu dari anak ini merupakan individu yang mudah marah, sulit untuk mengekspresikan perasaan mereka dan menolak kontak fisik dengan anaknya (Ainswort, 1978). Insecure Attachment dengan ciri lain juga menunjukan distress yang ekstrim saat ditinggal oleh ibunya dan gagal untuk menunjukan kepercayaan diri dalam

14 mengeksplorasi lingkungan saat ibu bersamanya. Saat anak kembali bertemu dengan ibunya, anak susah untuk dapat tenang, berpegang erat pada ibunya, melawan, dan menunjukan perilaku marah, menolak dan tantrum. Mereka menunjukan ambivalensi dengan mengkombinasikan kebutuhan akan kasih sayang dengan ekspresi kemarahan. Anak dengan Insecure Attachment ini memiliki ibu yang juga bersikap inkonsisten terkadang penuh cinta namun terkadang sebaliknya, bersikap dingin dan menolak kehadiran anak tersebut (Ainsworth, 1978). Sikap acuh tak acuh hampir serupa dengan Insecure Attachment dengan ciri yang lain, yaitu orangtua tidak berusaha memahami kebutuhan dan kejiwaan anaknya. Sikap semacam itu juga merupakan perwujudan sikap menolak kehadiran anak itu ditengah-tengah keluarganya. Orangtua merasa bahwa kehadiran anak tersebut menjadi aib keluarga dan menambah beban hidup secara material serta moral. Sikap yang hampir serupa adalah harapan terlalu tinggi. Harapan yang terlalu tinggi adalah sikap yang timbul sebagai pernyataan bahwa anaknya yang tunarungu harus berprestasi yang sama dengan anak lainnya tanpa mempertimbangkan keterbatasan kemampuan anak. Sikap ini merupakan usaha menutupi kelemahan dan kekurangan yang ada pada anaknya. Orang tua lebih banyak memaksa anak agar menuruti kemauan orangtua, bahwa anaknya harus dapat melakukan dan memenuhi harapan orangtuanya.

Berdasarkan uraian diatas, maka untuk memperjelas dibuat skema kerangka pikir sebagai berikut: 15 Faktor: Menjaga anak agar berada di dekat ibu Waspada akan keberadaan anak Berusaha untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak dengan memenuhi seluruh kebutuhannya Anak Tuna Rungu di SLB-B X Kota Bandung Attachment Style Secure Attachment Insecure Attachment Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir

16 1.6 Asumsi Penelitian Semua anak membutuhkan Attachment termasuk anak tunarungu. Ibu memiliki ikatan emosional dengan anaknya yang tunarungu dari ikatan emosional tersebut akan membentuk Attachment Style yang dibagi menjadi dua yaitu, Secure Attachment dan Insecure Attachment. Attachment yang dimiliki anak dipengaruhi oleh beberapa variabel, seperti harga diri yang dimiliki ibu, kualitas perhatian yang diterima ibu selama menjadi anak, dan penerimaan terhadap kehadiran anak. Anak yang cenderung Secure Attachment, akan menampilkan Attachment dengan penuh cinta kasih dan sayang. Anak yang cenderung Insecure Attachment akan menampilkan Attachment seperti menolak kontak fisik dengan ibunya dan akan menampilkan perilaku inkonsisten terhadap kehadiran ibunya.