Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung PREVALENSI NEMATODA GASTROINTESTINAL AT SAPI BALI IN SENTRA PEMBIBITAN DESA SOBANGAN, MENGWI, BADUNG Affan Nur Alamsyah 1, I Made Dwinata 2, Ida Bagus Made Oka 2 1 Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Hewan 2 Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jalan PB Sudirman, Denpasar, Bali; Telp/Fax: (0361) 223791 Email : affannur95@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi parasit nematoda gastrointestinal sapi bali yang dipelihara di Sentra Pembibitan Sapi Bali. Sebanyak 290 sampel feses sapi betina dewasa digunakan dalam penelitian ini di Sentra Pembibitan Sapi Bali, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Pemeriksaan feses dilakukan dengan metode konsentrasi apung. Hasil didapatkan 27 sampel (9,31%) positif terinfeksi cacing nematoda gastrointestinal. Hasil identifikasi jenis cacing nematoda yang menginfeksi sapi bali antara lain Bunostomum phlebotomum enam sampel (2,07%), Strongyloides papillosus tujuh sampel (2,41%), Trichostrongylus axei sepuluh sampel (3,45%), dan Trichuris ovis empat sampel (1,38%). Prevalensi nematoda pada Sentra Pembibitan Sapi Bali rendah. Kata kunci; Prevalensi, Nematoda, Sentra pembibitan, Sapi Bali PENDAHULUAN Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang penting dan telah tersebar hampir di seluruh nusantara. Sapi bali memiliki ciri khas yang berbeda dengan sapi lainnya. Sapi bali disukai oleh peternak karena mempunyai banyak keunggulan, diantaranya memiliki efisiensi reproduksi tinggi, cepat beranak, memiliki potensi sangat baik dalam menghasilkan daging dengan karkas yang cukup tinggi mencapai 46-50%. Selain itu, sapi bali juga memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan baru, sehingga sering disebut ternak perintis (Antara dan Sweken, 2012). 80
Banyak faktor yang menjadi kendala dalam pemeliharaan sapi bali, salah satunya adalah gangguan kesehatan. Ada beberapa macam gangguan kesehatan pada sapi, diantaranya disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit, ataupun gangguan matabolisme (Bandini, 2004). Pada sapi bali, parasit merupakan salah satu penghambat gerak laju pembangunan peternakan, terutama dalam hubungannya dengan peningkatan populasi dan produksi ternak. Usaha pengendalian helminthiosis untuk menghindari kerugian yang lebih besar diperlukan suatu tindakan pencegahan dan pemberantasannya (Mustika dan Riza, 2004). Menurut Soulsby (1982) dan Levine (1994) parasit cacing yang sering menginfeksi sapi salah satunya adalah cacing kelas nematoda. Tingginya prevalensi cacing nematoda pada ruminansia dapat dipengaruhi oleh hospes, parasite,dan lingkungan ternak (Regasa dkk., 2006) Salah satu sentra pembibitan sapi bali terletak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, dengan adanya sentra pembibitan sapi bali diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas sapi bali. Sentra Pembibitan Sapi Bali ini merupakan sentra dengan metode pemeliharan yang intensif, bisa menjadi salah satu contoh pemeliharaan yang tepat untuk para peternak. Penulisan artikel ini bertujuan sebagai evaluasi infeksi parasit cacing nematoda yang ada di Sentra Pembibitan Sapi Bali. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan sampel 290 feses segar induk sapi bali yang dipelihara di Sentra Pembibitan Sapi Bali, kecamatan Sobangan, kabupaten Badung pada periode bulan Juli - Oktober tahun 2013. Sampel feses yang diambil setelah sapi defikasi, sebanyak 10-15 gram dimasukan ke dalam pelastik yang berisi formalin 10% dan diberi label lalu dibawa ke labotarium Fakultas Kedokteran Hewan Udayana. Pemeriksaan feses dilakukan dengan metode konsentrasi apung dan identifikasi berdasarkan morfologi dan morfometri telur cacing menurut Thienpont et al., (1986), Taylor. et al., (2007), dan Zajac et al., (2012). Data jenis telur cacing nematoda yang ditemukan dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif, 81
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian terhadap 290 sampel tinja yang diperiksa dari sapi betina induk yang berada di Sentra Pembibitan Sapi Bali, Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, didapatkan 27 sampel (9,31%) positif terinfeksi cacing nematoda gastrointestinal (Tabel 2). Keseluruhan sampel yang diperiksa namun ditemukan telur cacing Bunostomum (1), Strongyloides (2), Thrichostrongylus Axei (3), Trichuris Ovis (4) (Tabel 1). tidak ditemukan adanya larva dan tidak terjadi diare serta tidak ditemukan adanya darah. Pada sampel tidak terdapat infeksi ganda. Berdasarkan morfologi dan morfometri jenis telur cacing yang ditemukan antara lain : 82
TABEL 1. Morfologi Dan Morfometri Jenis Telur Cacing Jenis Cacing 1 Morfologi dan Morfometri Telur Cacing Telur berbentuk lonjong berukuran sekitar 85-100 x 50-60 µm. Sesuai dengan pernyataan Thienpont et al., (1986), Taylor et al., (2007), dan Zajac et al., (2012) ukuran telur antara 79-117 x 47-70 µm teridentifikasi Bunostomum phlebotomum 2 3 4 Telur berbentuk lonjong, berdinding tipis dan berembrio berukuran sekitar sekitar 45-50 x 25-30 µm. Sesuai dengan pernyataan Thienpont et al., (1986), Taylor et al., (2007), dan Zajac et al., (2012) ukuran telur antara 40-50 x 20-42 µm teridentifikasi Strongyloides papillosus. Telur berbentuk lonjong, berselubung tipis dan telur bersegmen berukuran 85-90 x 35-45 µm. Sesuai dengan pernyataan Thienpont et al., (1986), Taylor et al., (2007), dan Zajac et al., (2012) ukuran telur antara 70-108 x 30-48 µm dengan morfologi demikian teridentifikasi Trichostrongylus axei. Telur pada kedua ujungnya ditemukan sumbat dan bentuknya seperti lemon berukuran 60-70 x 30-35 µm. Sesuai pernyataan Thienpont et al., (1986), Taylor et al., (2007), dan Zajac et al., (2012) ukuran telur 50-80 x 21-42 µm dengan morfologi demikian teridentifikasi Trichuris ovis. 83
TABEL 2. Hasil identifikasi jenis cacing nematoda gastrtointestinal yang menginfeksi sapi bali antara lain : No. Jenis Cacing Jumlah Prevalensi Positif Sampel (%) 1. Bunostomum phlebotomum 290 6 2,07% 2. Strongyloides papillosus 290 7 2,41% 3. Trichostrongylus axei 290 10 3,45% 4. Trichuris ovis 290 4 1,38% Total 290 27 9,31% PEMBAHASAN Dari hasil penelitian didapat prevalensi infeksi cacing nematoda gastrointestinal pada sapi bali di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung didapatkan 9,31%. Terinfeksinya sapi pada Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung disebabkan karena sanitasi kandang kurang bagus, dimana tinja yang berserakan pada lantai kandang dibersihkan hanya menggunakan scop tanpa diikuti dengan penyiraman menggunakan air yang memungkinkan masih adanya tinja yang tertinggal. Tinja yang tertinggal mungkin mengandung telur, karena didukung oleh lingkungan sehingga akan berkembang menjadi telur infektif atau larva infektif. Larva infektif akan menulari sapi dengan cara menembus kulit saat sapi istirahat. Selain itu juga disebabkan karena pedet yang dilepas bisa menjadi faktor penularan infeksi cacing, karena pedet yang belum dikeluh sering terlihat masuk ke dalam tempat pakan dan minuman untuk belajar makan yang menyebabkan tercemarnya pakan atau minuman oleh telur atau larva infektif. Tinja sapi biasanya dijadikan pupuk lalu dibuang disekitar darerah kandang yang merupakan sumber pakan hijauan sapi yang berada di sentra pembibitan, sehingga tidak menutup kemungkinan tinja yang dibuang tersebut mengandung telur sehingga berkembang menjadi larva atau telur infektif akan mencemari pakan sapi. 84
Hasil diidentifikasi cacing nematoda gastrointestinal yang menginfeksi antara lain Bunostomum phlebotomum, Strongyloides papillosus, Trichostrongylus axei yang kesemuanya cara penularannya melalui larva L3 (larva infektif). Salah satu cacing yang cara penularannya melalui telur adalah Trichuris ovis, telur cacing ini memiliki daya tahan terhadap lingkungan yang sangat kuat sehingga ditemukan di berbagai tempat. Terjadinya infeksi cacing tersebut telah di jelaskan seperti yang terdahulu. Hasil penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Riza (2003) dan Yasa (2011). Riza (2003) melaporkan bahwa prevalensi infeksi cacing nematoda gastrointestinal pada sapi bali di Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar adalah sebesar 22,84 %, dan Yasa (2011) melaporkan bahwa prevalensi nematoda yang menginfeksi sapi bali di Desa Petang, Kecamatan Petang, Kabupaten badung adalah 52,78 %. Perbedaan prevalensi yang didapat, disebabkan karena sistem pemeliharaan yang diterapkan, sistem pemeliharaan sapi pada sentra pembibitan sapi bali di desa Sobangan, kecamatan Mengwi, kabupaten Badung menerapkan system pemeliharaan intensif, sedangkan sapi bali yang diteliti oleh Riza dan Yasa menggunakan system pemeliharaan semi intensif. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap prevalensi infeksi cacing nematoda gastrointestinal, antara lain : agen penyebab, umur, jenis kelamin, breed, pakan serta manajemen pemeliharaan yang ditetapkan (Soulsby, 1982, Brotowidjoyo, 1987, Regassa et al., 2006.). SIMPULAN Prevalensi pada cacing nematoda gastrointestinal pada sapi betina yang dipelihara di Sentra Pembibitan Sapi Bali desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung pada bulan juli-oktober 2013 sebanyak 27 (9,31%) dari 290 sampel, dengan Bunostomum phlebotomum 6 sampel (2,07%), Strongyloides papillosus 7 sampel (2,41%), Trichostrongylus axei 10 sampel (3,45%), dan Trichuris ovis 4 sampel (1,38%). 85
SARAN Perlu dilakukan penelitian tentang infeksi parasite, selain cacing nematoda gastrointestinal, agar pada sentra pembibitan dapat dilakukan penanganan sejak dini dan kebijakan sentra lebih efektif UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih utamanya kepada Sentra Pembibitan Sapi Bali desa Sobangan, kecamatan Mengwi, kabupaten Badung, telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian DAFTAR PUSTAKA Antara M, Sweken P. 2012. Kelayakan usaha pembibitan sapi bali di Desa Gerokgak Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali. Hal.: 74-105. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produksi dan Kualitas Daging Sapi Bali Nasional. Bali, 14 September 2012. Bandini Y. 2004. Sapi Bali. Penebar Swadaya. Jakarta. Brotowidjoyo DM.1987. Parasit dan Parasitisme, Edisi Pertama. Media Sarana Press, Jakarta. Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mustika I, Riza ZA. 2004. Peluang Pemanfaatan Jamur Nematofagus untuk Mengendalikan Nematoda Parasit pada Tanaman dan Ternak. Jurnal Litbang Pertanian, 23(4): 115. Regassa F, Sori T, Dhuguma R, Kiros Y. 2006. Epidemiology of Gastrointestinal Parasites of Ruminants in WestrenOromia, Ethiopia. Intern J Appl Res vet med. Vol.4,No.1. Riza MY. 2003. Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar. Soulsby EJL. 1982. Helmints, Antropods, and Protozoa of Domesticated Animals 7 th ed. Philadelphia, London. Bailliere Tindall. Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary parasitology. Blackwell Publishing. Oxford, UK. Thienpont D, Rochette F, Vanparijs OF. 1986. Diagnosing Helminthiasis By Coprological Examination. Janssen Research Fondation. Beerrse, Belgium. 86
Yasa IWS. 2011. Identifikasi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali yang Dipelihara Di Petang,Kecamatan Petang, Badung. Denpasar. Fakultas Kedokteran Hewan Udayana. Zajac AM. 2012. Clinical Veterinary Parasitology. Eighth edition. Blackwell Publishing. Iowa. 87