BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra menurut Wellek dan Warren adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (2013: 3). Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Semi bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (1993: 8). Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya maka ia tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan ide, teori, atau sistem berpikir, tetapi juga merupakan media untuk menampung ide, teori, atau sistem berpikir manusia. Tampaknya istilah sastra paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Di samping itu sastra harus pula mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarpeistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Muslimin, 2011: 132). Di dalam menangkap pengalaman hidup manusia untuk digunakan sebagai bahan baku karyanya tidaklah sembarangan. Proses penyeleksian atau pemilihannya harus dilakukan secara kreatif, dan kemudian secara kreatif pula menuangkannya ke dalam bentuk karya sastra dengan menggunakan bahasa sebagai alatnya. Hal tersebut senada dengan pendapat Semi (1993: 8) bahwa karya sastra itu dalam wujudnya mempunyai dua aspek penting, yaitu isinya dan bentuknya. Isinya adalah tentang pengalaman hidup manusia, sedangkan bentuknya adalah segi-segi yang menyangkut penyampaian. Sebuah karya sastra terbentuk atas suatu proses kreatif yang berliku dari penulisnya. Proses kreatif ini disebut dengan kegiatan imajinatif dari pengarang dengan cara mengumpulkan ide atau konsep yang kemudian dituliskan dalam bahasa yang apik serta susunan kata yang menarik. Namun meskipun bersifat 1
2 imajinatif, sebuah karya sastra juga terefleksi dari kisah nyata atau fakta yang ada di masyarakat maupun pengarang itu sendiri. Konsep pikiran ini kemudian diwujudkan dalam tulisan yang dirangkai dari pikiran dan perasaan pengarang. Hal ini relevan dengan pendapat Selden (1991: 53) bahwa teks adalah tempat kita masuk ke dalam penyatuan secara spiritual atau humanistik dengan pikiran dan perasaan pengarang. Menurut Wellek dan Warren (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 2) karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Pengertian struktur menunjuk pada susunan atau tata urutan unsur-unsur yang saling berhubungan antara bagian satu dengan bagian lain. Unsur ini adalah ide dan emosi yang dituangkan, sedangkan unsur bentuk adalah semua elemen linguis yang dipakai untuk menuangkan isi ke dalam unsur fakta cerita, sarana cerita, dan tema sastra. Eagleton (2006: 3) menjelaskan bahwa karya sastra bukanlah kendaraan untuk ide, refleksi realitas sosial maupun pengejawantahan dari kebenaran transendental. Sastra adalah fakta material yang fungsinya dapat dianalisis lebih seperti orang memeriksa sebuah mesin. Sebuah karya sastra yang berawal dari sebuah proses kreatif disebut juga dengan sebuah tulisan fiksi. Istilah fiksi menurut Waluyo (2011: 1) berasal dari bahasa Latin fictio berarti membentuk, membuat, atau mengadakan. Hal ini senada dengan pendapat Shipley (dalam Pujiharto, 2012: 4) bahwa kata fiksi dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dar kata Inggris, fiction. Sementara itu, kata fiction dalam bahasa Inggris merupakan serapan dari bahasa Latin, fictio. Kata fictio itu sendiri berasal dari kata kerja fingere, fictum, yang dalam bahasa Inggris diartikan dengan to fashion, to form, dan kadang-kadang feign. Dalam bahasa Indonesia kata fiksi dapat diartikan sebagai yang dikhayalkan atau diimajinasikan. Cerita fiksi menampilkan hasil imajinasi dari juru cerita, baik juru cerita lisan maupun juru cerita tertulis yang disebut pengarang. Menurut Nurgiyantoro (1995: 2) adalah cerita rekaan atau cerkan atau disebut juga sebagai cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abraham dalam
3 Nurgiyantoro, 1995: 2). Brooks (dalam Waluyo, 2011: 2) mengemukakan bahwa dalam cerita fiksi, pengarang mengolah dunia imajinasinya dengan dunia kenyataan yang dihadapi atau kenyataan sosial budaya. Pengalaman manusia yang dipaparkan adalah pengalaman manusia di sekitar penulis, sehingga oleh pembaca (pendengar) akan dihayati sebagai pengalaman mereka sendiri. Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 1995: 6) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari. Menurut Webster s New Collegiate Dictionary (dalam Tarigan, 1993: 120) kata fiksi diturunkan dari bahasa Latin fictio, fictum yang berarti membentuk, membuat, mengadakan, menciptakan. Dengan demikian dapat dianalogikan bahwa kata benda fiksi dalam bahasa Indonesia secara singkat berarti sesuatu yang dibentuk, sesuatu yang dibuat, sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang diimajinasikan. Dunia fiksi jauh lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan daripada yang ada di dunia nyata. Hal itu wajar saja terjadi mengingat betapa kreativitas pengarang dapat bersifat tak terbatas. Salah satu bentuk karya fiksi yang dikenal luas oleh masyarakat adalah novel. Dalam sebuah novel tentu terdapat berbagai unsur pendukung cerita. Sebuah novel takkan lepas dari cerita tentang kehidupan manusia baik dari segi kebudayaan maupun sosial masyarakatnya. Dalam pembahasaanya, sebuah karya sastra bisa diteliti melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia atau masyarakatnya. Sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, sebagai ilmu sosial humaniora jelas mempermasalahkan manusia. Perbedaannya sosiologi sastra mempermasalahkan masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan, sedangkan antropologi sastra pada kebudayaannya (Ratna, 2009: 353). Dari berbagai ilmu interdisipliner di atas, penelitian ini akan difokuskan pada kajian psikologi sastra yaitu yang akan membahas tentang masalah kejiwaan. Senada dengan pernyataan Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 8) bahwa psikologi sastra adalah suatu disiplin ilmu mengenai kejiwaan. Psikologi merupakan ilmu yang berdiri sendiri, tidak bergabung dengan ilmu-ilmu lain. Namun psikologi
4 tidak boleh dipandang sebagai ilmu yang sama sekali terlepas dari ilmu-ilmu lainnya. Wellek dan Warren (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011: 8) juga mengatakan bahwa psikologi dalam sastra terdapat empat kategori, yaitu : (1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi; (2) studi hukumhukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra; (3) proses kreatif; dan (4) pengarang dan latar belakang pengarangnya mempelajarai dampak sastra terhadap pembaca atau psikologi karya sastra. Menurut Suaka (2014: 226), dalam hubungan karya sastra dengan psikologi, muncul asumsi bahwa, dengan membahas karya sastra tertentu, seorang dapat menarik suatu kesimpulan tentang psikologi pribadi pengarangnya. Tidak dapat dipungkiri pembahasan terhadap pribadi pengarang maupun proses penciptaan sastra itu memang menarik dan ada kalanya menunjukkan manfaat pedagogik dalam studi sastra. Suaka menambahkan bahwa perjalanan hidup pengarang melalui peristiwa-peristiwa penting, surat menyurat, dokumendokumen pribadi, pertentangan jiwa, konflik batin, merupakan pengalaman hidup yang dapat menginspirasi dalam berkarya. Berdasarkan pendekatan psikologi, adakalanya peristiwa-peristiwa dalam karya sastra dianggap mempunyai makna biografis yang menyangkut kehidupan pengarangnya. Berkaitan dengan penjelasan di atas, pemilihan objek penelitian ini ialah novel SUTI karya Damono (2015) karena dianggap mampu menggambarkan aspek psikologi sastra yang terdapat di dalamnya. Dalam novelnya tersebut, Damono yang berasal dari Solo menggambarkan tempat kejadian cerita di kota tersebut. Cerita yang tergambar sangat ringan dan mengalir. Novel tersebut berisikan kisah tentang seorang perempuan bernama Suti yang dengan tegar menyaksikan dan menghayati proses perubahan masyarakat pramodern ke modern yang dijalaninya ketika bergerak dari sebuah kampung pinggir kota ke tengahtengah kota besar. Latar belakang kehidupan masa kecilnya yang selalu terekam dalam otaknya membuat ia justru terjebak dalam situasi percintaan yang rumit. Sifat gadis desa yang cakap, menghormati, dan supel, membuatnya dapat bergaul dengan siapa pun tanpa membeda-bedakan. Peran pendukung tokoh dalam cerita ini pun memberikan warna tersendiri yang membuat pembaca hanyut dalam
5 konflik yang ada. Hal itu mampu mengaduk pikiran, hati, dan perasaan hingga mampu membuat pembaca larut dalam suasana yang dibangun. Pilihan kata yang menarik dan unsur psikologi yang dibangun sangat khas terasa dalam tiap lembar ceritanya. Objek penelitian di atas akan terlalu luas kajiannya jika tidak dibatasi sesuai dengan penelitian yang akan dijalankan. Berdasarkan hal tersebut penetian ini akan difokuskan pada aspek psikologi tokoh utama, yaitu Suti. Sesuai dengan fungsinya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan maka, di dalam penelitian ini akan dipaparkan tentang nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel tersebut. Nilai-nilai pendidikan karater tersebut diambil dari peran tokoh utama yang dapat dijadikan contoh baik bagi pembaca (pendengar). Tugas penulis selanjutnya adalah merefleksikan isi novel dengan unsur pendidikan karakter yang ada kemudian dikaitkan dengan materi pembelajaran sastra di SMA. Bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Berdasarkan penjabaran di atas, maka judul penelitian ini adalah Kajian Psikologi Sastra dan Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono serta Relevansinya sebagai Materi Pembelajaran Sastra di SMA. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana unsur intrinsik novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono? 2. Bagaimana karakteristik kejiwaan tokoh utama dalam novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono? 3. Bagaimana nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono? 4. Bagaimana relevansi novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono sebagai materi pembelajaran sastra di SMA?
6 C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menjelaskan: 1. Unsur intrinsik yang terkandung dalam novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono. 2. Karakteristik kejiwaan tokoh utama dalam novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono. 3. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono. 4. Relevansi isi novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono sebagai pembelajaran sastra di SMA. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis. 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini ditujukan guna menambah khazanah keilmuan tentang kajian psikologi sastra dan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam sebuah novel. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa Siswa diharapkan dapat menemukan unsur-unsur yang terdapat dalam novel, serta dapat meneladani nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya. b. Bagi Guru Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan tambahan materi pembelajaran sastra di SMA. Selain itu guru dapat memperoleh pemahaman secara benar berkaitan dengan analisis psikologi sastra serta informasi tentang perkembangan novel yang ada dan relevansinya dengan nilai pendidikan karakter siswa.
7 c. Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi atau panduan maupun pembuka penelitian lainnya khususnya penelitian psikologi sastra.