BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. daerah. Adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri

pemerintahan lokal yang bersifat otonomi (local outonomous government) sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal sekaligus kemauan politik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. Selama ini dominasi Pusat terhadap Daerah menimbulkan besarnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan analisis rasio ketergantungan keuangan daerah, simpulan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

PERKEMBANGAN DAN HUBUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PEMERINTAHAN KOTA DEPOK TAHUN ANGGARAN 2014

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak 1 Januari 2001 pemerintah Pusat dan Daerah diberi kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen keuangan daerah. Jika sebelumnya APBD harus disahkan oleh presiden melalui menteri dalam negeri, maka dengan otonomi dan desentralisasi fiskal APBD cukup di sahkan oleh DPRD (Mahmudi, 2009: 4). Meskipun pemerintah daerah telah diberi otonomi secara luas dan desentralisasi fiskal namun pelaksanaan otonomi tersebut harus tetap berada dalam koridor hukum Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI). Keberadaan lokal yang bersifat otonom ditandai oleh pemberian wewenang yang sekaligus menjadi kewajiban bagi daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, hak dan kewajiban untuk mengurus urusan rumah tangga inilah yang disebut dengan otonomi. Untuk menyelenggarakan otonomi pemerintah pusat menyerahkan sejumlah urusan pemerintah sebagai urusan rumah tangga daerah otonom baik pada daerah provinsi maupun daerah Kabupaten dan kota, berdasarkan kondisi politik, sosial dan budaya, pertahanan dan kemanan, serta syarat-syarat keadaan dan kemampuan daerah otonom yang bersangkutan (Nasution, 2009: 2). 1

2 Adapun otonomi daerah ini dilakukan adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah, memperbaiki transparansi dan akuntabilitas publik atas pengelolaan keuangan daerah, meningkatkan responsivitas pemerintah terhadap kebutuhuhan publik, meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan daerah, meningkatkan efesiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan dan pelayanan publik serta mendorong demokratisasi di daerah (Mahmudi, 2009: 2). Gambaran citra kemandirian daerah dalam berotonomi daerah dapat diketahui melalui seberapa besar kemampuan sumber daya keuangan daerah tersebut agar mampu membangun daerahnya. Semakin sedikit sumbangan dari pusat, semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah yang menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Secara umum semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dala m membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut (Sutedi, 2009: 11). Kemandirian keuangan daerah merupakan salah satu tujuan dari otonomi daerah. Adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan daerahnya masing-masing. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara provinsi dan

3 kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah (Bratakusumah dan Solihin, dalam kurniawan 2011). Dalam bidang keuangan daerah, fenomena umum yang dihadapi oleh sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia adalah relatif kecilnya peranan (kontribusi) Pendapatan Asli Daerah (PAD) didalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan kata lain, peranan/kontribusi penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bagi hasil pajak dan bukan pajak, mendominasi susunan APBD (Tambunan, 2002 :2). Berdasarkan data dari www.djpk.depkeu.go.id, fenomena mengenai tingkat kemandirian keuangan daerah adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintahan pusat, yang dapat dilihat dari aspek keuangan. Ketergantungan terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain seperti bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Selain PAD, kemandirian keuangan daerah juga disebabkan oleh banyak faktor diantaranya dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. PAD selalu dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat, pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan menunjukkan semakin kecil

4 ketergantungan daerah kepada pusat. Dengan demikian maka suatu daerah yang kinerja keuangannya dinyatakan baik berarti daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah. Penelitian mengenai tingkat kemandirian keuangan daerah telah banyak dilakukan, dimana menunjukkan hasil temuan yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan Muliana (2009) menunjukkan bahwa PAD mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, sedangkan DAU dan DAK mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Sumatera Utara. Penelitian yang dilakukan Ersyad (2011) menunjukkan bahwa PAD mempunyai pengaruh yang signifikan positif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah. Penelitian yang dilakukan Julitawati (2012) menunjukkan bahwa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Penelitian yang dilakukan Reza (2013) menunjukkan bahwa PAD berpengaruh signifikan positif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, DBH dan DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, sedangkan DAK berpengaruh signifikan negatif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah. Dari beberapa peneliti terdahulu tersebut, maka PAD yang memiliki pengaruh yang signifikan positif terhadap kemandirian keuangan apabila daerah artinya PAD meningkat maka kemandirian keuangan daerah juga meningkat, sebaliknya jika PAD rendah maka kemandirian keuangan daerah juga rendah. DAU yang dialokasikan pemerintah terhadap tingkat kemandirian keuangan

5 daerah, jika DAU yang dialokasikan pemerintah pusat ke daerah relatif besar maka daerah tersebut masih mengandalkan dana dari pemerintah sebagai penerimaan utamanya. DAK yang berpengaruh secara signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah berarti semakin besar DAK yang diterima oleh daerah maka kemandirian keuangan daerah semakin rendah, sebaliknya semakin kecil DAK yang diterima maka kemandirian keuangan semakin besar. Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) serta Dana Bagi Hasil (DBH) serta transfer lainnya dari pemerintah pusat hanya bersifat pendukung bagi pelaksanaan pembangunan di daerah. Peenelitian terdahulu memiliki perbedaan hasil penelitian sehingga dengan adanya perbedaan hasil yang didapatkan, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian sejenis dengan mengambil sampel pemerintahan kabupaten dan kota di Sumatera Utara dan hanya memfokuskan pada Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil sebagai variable independen, dengan diterbitkannya Analisis dan desktipsi APBD 2011 memberikan peraturan terbaru dalam perhitungan kemandirian keuangan daerah. Sehingga PAD tidak diikut sertakan sebagai variabel independen dalam penelitian ini. Berdasarkan masalah yang telah diuraikan diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Terhadap Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

6 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka identifikasi masalah pada penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor apa yang mempengaruhi kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara. 2. Mengidentifikasi penyebab dana perimbangan dialokasikan sangat besar pada kabupaten dan kota di Sumatera Utara. 3. Mengidentifikasi apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat mempengaruhi kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara. 4. Mengidentifikasi apakah Dana Bagi Hasil (DBH) dapat mempengaruhi kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara. 5. Mengidentifikasi apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dapat mempengaruhi Kemandirian Keuangan daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara. 1.3 Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah diatas, dan agar masalah yang diteliti tidak meluas, maka penelitian ini dibatasi pada pengujian Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Kemandirian Keuangan Daerah pada Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara

7 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan kabupaten dan kota di Sumatera Utara? 1.5 Tujuan Penelitian adalah: Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini 1. Untuk mengetahui pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK terhadap Kemandirian Keuangan Daerah pada kabupaten dan kota di Sumatera Utara. 1.6 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini: 1. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti tentang pengaruh Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus terhadap Kemandirian Keuangan Daerah pada kabupaten dan kota di Sumatera Utara. 2. Bagi Pembaca dan Peneliti Lain Sebagai bahan tambahan bacaan bagi pembaca atau peneliti lainnya dalam mencari informasi tentang kemandirian keuangan daerah pada pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara. Serta informasi mengenai

8 pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Kemandirian Keuangan pada Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara. 3. Bagi Teori Sebagai tambahan literatur kepustakaan dibidang penelitian mengenai pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Kemandirian Keuangan Daerah. 4. Bagi Pemerintah Kabupaten dan Kota Penelitian ini menjadi sumber informasi bagi pemerintah daerah Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara mengenai pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Kemandirian Keuangan Daerah.