BAB 3 BAHAN DAN METODE. imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumorinfiltrating

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 BAHAN DAN METODA

Susunan Penelitian. Peneliti 1. Nama lengkap : Melvin Pascamotan Togatorop 2. Fakultas : Kedokteran 3. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

TESIS NANCY SARTIKA TAMBUNAN NIM :

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif observasional. laboratoris dengan pendekatan potong lintang.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini secara observasional analitik. pertumbuhan janin terhambat dan kehamilan normal.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional dimana hanya diamati satu kali dan pengukuran

MATERI DAN METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan case control. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan ekspresi

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM. : Histoteknik : Selly Oktaria Tanggal Praktikum : 14 September 2012

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan disain

LAMPIRAN. Lampiran 1 prosedur pewarnaan hematoksillin-eosin (HE)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian Observasional analitik (Cross-sectional

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR

BAB IV METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan

LAMPIRAN 1. ETHICAL CLEARANCE

BAB 3 METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6.

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram.

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah cross sectional

III. METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5.

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan hewan coba berupa tikus putih betina galur Sprague dawley.

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris in vivo pada tikus putih wistar (Ratus Norvegicus)jantan dengan. rancangan post test only control group design.

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB IV. only control group design yang menggunakan binatang percobaan sebagai objek

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel.

Lampiran 1. Surat Rekomendasi Persetujuan Kode Etik Penelitian Kesehatan

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

BAB IV METODE PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental laboratoris

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

PENDAHULUAN METODE HASIL

METODE DASAR MIKROTEKNIK DAN PEWARNAAN HISTOLOGI

Laporan Praktikum Histotehnik. Oleh: Lucia Aktalina. Jum at, 14 September WIB

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang ilmu pediatri dan ilmu Genetika Dasar.

BAB III METODE PENELITIAN

RPMI 1640 medium. Kanamisin 250 µg. Coomassie brilliant blue G-250

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT)

Tampilan Pulasan Imunohistokimia Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) Pada Undifferentiated Carcinoma Nasofaring Tipe Regaud dan Tipe Schmincke

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Acak Lengkap (RAL) dan dengan pendekatan Post Test Only Control Group

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK

Nama, Spesifikasi dan Kegunaan Bahan Penelitian No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Larva ikan nilem hasil kejut panas

BAB III METODE PENELITIAN. pemberian ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana) terhadap

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kanker yang paling sering ditemukan pada wanita, setelah kanker mulut

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel.

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh pemberian ekstrak daun pegagan (Centella asiatica

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan metode rancangan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Bahan Alat

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan. metode post test only controlled group design.

III. METODE PENELITIAN. jantung dilaksanakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV)

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Acak Lengkap dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design.

Lampiran 1 Sertifikat Kelaikan Etik

TUJUAN : Latihan membuat preparat histologi jaringan masing-masing yang dapat dianalisa lanjut dengan mikroskop

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

Lampiran 1 Diagram alir pembuatan sediaan (preparat) histopatologi organ usus halus mencit percobaan

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE

BAB V HASIL PENELITIAN. Selama periode penelitian mulai Januari 2013 sampai September 2013

Transkripsi:

BAB 3 BAHAN DAN METODE 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional, yang bertujuan untuk menganalisis hubungan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumorinfiltrating lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan. 3.2.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan, terhitung sejak bulan Juni hingga November 2016 yang meliputi penelusuran kepustakaan, pembacaan proposal, pengumpulan data, pengolahan data, dan penulisan serta pembacaan hasil penelitian.

3.3. Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi Populasi pada penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan nasofaring yang didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan. 3.3.2. Sampel Sampel pada penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan nasofaring yang didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. 3.3.3. Besar sampel Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan melihat proporsi yang digunakan berdasarkan hasil penelitan sebelumnya oleh Li et al., di mana dijumpai over ekspresi VEGF pada 57% kasus karsinoma nasofaring stadium lanjut. Tingkat kemaknaan yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,05 dengan interval kepercayaan 95%. Dari tabel diperoleh nilai Zα = 1,96 Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus : Keterangan : n = jumlah sampel p = proporsi penelitian q = 100% - p d = tingkat kesalahan 15% Berdasarkan rumus di atas, diperoleh jumlah sampel: (1,96) 2 x 0,57 x 0,43 (0,15) 2 = 42

Besar sampel pada penelitian ini sebanyak 42 sampel 3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1. Kriteria Inklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua blok parafin yang berasal dari jaringan nasofaring yang didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring, dalam hal ini meliputi tipe histopatologi Nonkeratinizing carcinoma (differentiated dan undifferentiated subtype), Keratinizing squamous cell carcinoma, dan Basaloid squamous cell carcinoma, yang mencantumkan stadium klinis dalam rekam medik. 3.4.2. Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: Sediaan blok parafin dengan jaringan yang minimal sehingga tidak dapat dilakukan pewarnaan imunohistokimia VEGF. Data stadium klinis yang tidak lengkap untuk dapat dimasukkan dalam kriteria inklusi.

3.5. Variabel Penelitian Variabel pada penelitian ini adalah : a. Variabel tergantung (dependent) adalah ekspresi imunohistokimia VEGF dan TILs b. Variabel tidak tergantung (independent) adalah tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring

3.6. Kerangka Operasional Data rekam medik yang berasal dari jaringan nasofaring yang didiagnosis secara histopatologi sebagai karsinoma nasofaring di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan yang sesuai dengan kriteria inklusi Slaid dan blok parafin karsinoma nasofaring yang representatif Review slaid oleh peneliti didampingi pembimbing Pemotongan ulang blok parafin Tipe histopatologi karsinoma nasofaring dan TILs Imunohistokimia VEGF Ekspresi imunohistokimia VEGF dan TILs berdasarkan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring

3.7. Definisi Operasional Tipe histopatologi karsinoma nasofaring yaitu: Keratinizing squamous cell carcinoma, Nonkeratinizing carcinoma (differentiated dan undifferentiated subtype), dan Basaloid squamous cell carcinoma Stadium klinis karsinoma nasofaring pada penelitian ini terdiri dari: a. Stadium dini : mencakup stadium 0, I, IIA dan IIB b. Stadium lanjut : mencakup stadium III, IVA, IVB dan IVC Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) sering ditemukan pada tumor, yang mencerminkan respon imun terhadap tumor. Pada penelitian ini yang dinilai adalah TILs yang terdapat pada stroma (stromal TILs). Penilaiannya dibagi berdasarkan tiga kelompok, yaitu: a. Low: jika didapatkan infiltrasi limfosit pada stroma sebanyak 0-10% b. Intermediate: jika didapatkan infiltrasi limfosit pada stroma sebanyak 20-40% c. High: jika didapatkan infiltrasi limfosit pada stroma sebanyak 50-90% Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan suatu mitogen yang sangat spesifik untuk sel endotel pembuluh darah. Pemeriksaan imunohistokimia VEGF (concentrated monoclonal antibody, rabbit monoclonal, 1:50, Biocare Medical), dengan menggunakan kontrol: o Positif, menggunakan jaringan tonsil yang telah diketahui positif terhadap VEGF pada penelitian sebelumnya

o Negatif, menggunakan jaringan nasofaring dengan antibodi primer yang digantikan dengan serum normal Penilaian hasil pulasan imunohistokimia VEGF menurut Li et al. dinilai berdasarkan tertampilnya warna coklat pada membran dan/atau sitoplasma sel pada 10 lapangan pandang besar. Penilaian hasil pewarnaan berdasarkan persentase sel yang menampilkan warna coklat yang dikategorikan sebagai: a. (-) = <10% sel yang menampilkan warna coklat b. (+) = 11-20% sel yang menampilkan warna coklat c. (++) = 21-50% sel yang menampilkan warna coklat d. (+++) = >50% sel yang menampilkan warna coklat Pada penelitian ini, peneliti menilai hasil pulasan imunohistokimia VEGF berdasarkan tertampilnya warna coklat pada membran dan/atau sitoplasma sel pada 10 lapangan besar, yaitu: a. Negatif bila tidak ada sel tumor terwarnai b. Ekspresi lemah bila < 10% sel tumor terwarnai c. Ekspresi kuat bila > 10% sel tumor terwarnai 3.8. Alat dan Bahan 3.8.1. Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mikrotom, waterbath, hot plate, tissue processing (Leica), tissue embedding (Leica), epitope retrieval (PT. Link Dako), coated microscope slide, freezer, staining jar, pap pen, moist chamber, pipet

mikro, timbangan digital, stopwatch, gelas beker, aliquet, microtube, portex, kaca penutup, dan mikroskop cahaya. 3.8.2. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : Blok parafin yang berasal dari jaringan nasofaring yang didiagnosis secara histopatologi sebagai karsinoma nasofaring dengan pewarnaan hematoxilineosin Pulasan imunohistokimia menggunakan metode indirect. Antibodi primer yang digunakan adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) concentrated monoclonal antibody, rabbit monoclonal, Biocare Medical dengan pengenceran 1 : 50 Xylol. EZ-mount xylene base Ethanol absolute, 96%, 80%, 70%. Endogen peroksida 0,5%. Larutan TBS (Tris Buffered Saline) ph 7,4. Tissue Primer TM. Poly Vue Plus TM Enchanter. Poly Vue Plus TM HRP. Pap pen. Liquid DAB + substrat buffer chromogen solution dengan pengenceran 20 μl DAB : 1000 μl substrat

Larutan Counterstain Haematoxylin Mayer Slaid kontrol positif dan negatif untuk imunohistokimia VEGF 3.9. Cara Kerja Cara kerja pada penelitian ini: 1. Mengumpulkan slaid dan blok parafin jaringan nasofaring yang didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring yang memenuhi kriteria inklusi. 2. Slaid direview oleh peneliti didampingi pembimbing kemudian ditentukan tipe histopatologinya dan menilai TILs. 3. TILs dinilai dengan cara: - Memilih daerah tumor - Menentukan daerah stroma - Menentukan tipe dari sel-sel radang - Menentukan persentase dari stromal TILs 4. Setelah itu dilakukan pemotongan ulang blok parafin dan dilakukan pewarnaan imunohistokimia VEGF, kemudian ditentukan ekspresi VEGF. 5. Hasil evaluasi dicatat, kemudian dianalisa secara statistik untuk melihat hubungan ekspresi imunohistokimia VEGF dan TILs dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring. 3.9.1. Pembuatan Sediaan Mikroskopis Sediaan mikroskopis dibuat dengan cara sebagai berikut :

Blok parafin yang telah dikumpulkan, disimpan dalam pendingin/freezer sampai cukup dingin, kemudian dipotong tipis dengan mikrotom dengan ketebalan 4 μm, setiap blok parafin dipotong ulang 1 kali untuk pewarnaan VEGF. Sampel blok parafin yang sudah dipotong ditempelkan pada object glass. Keringkan dan panaskan di atas hot plate. Disimpan dalam inkubator 38 o C sampai 40 o C satu malam agar lebih kuat melekat. 3.9.2. Prosedur Pewarnaan Hematoxilin-Eosin di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan Blok parafin dipotong setebal 2-4 μm dengan mikrotom. Potongan dimasukkan ke dalam waterbath dan diletakkan di atas object glass yang telah diolesi gliserin. Deparafinisasi memakai xylol 1,2 dan 3 masing-masing selama 5 menit. Rehidrasi dengan alkohol 96%, 80% dan 50% masing-masing selama 5 menit. Cuci dengan air mengalir selama 1-2 menit. Rendam dalam zat warna hematoxilin selama 5 menit. Cuci dengan air mengalir selama 1-2 menit. Celupkan ke dalam larutan acid alcohol 1%. Cuci dengan air mengalir. Dehidrasi dengan alkohol 80%, 90% dan alkohol absolut masing-masing selama 1 menit.

Masukkan ke dalam larutan eosin 1% selama 1 menit. Masukkan ke dalam larutan alkohol 96%, absolut 2 kali masing-masing selama 1 menit dan dikeringkan. Masukkan ke dalam larutan xylol 1,2 dan 3 masing-masing selama 1 menit. Tutup dengan deck glass dan EZ-mount xylene base. 3.9.3. Protokol Pulasan Imunohistokimia VEGF di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan 1. Deparafinisasi coated microscope slide (xylol 1, xylol 2, xylol 3) masingmasing selama 5 menit. 2. Rehidrasi (alkohol absolut, alkohol 96%, 80%,70%) masing-masing selama 5 menit. 3. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit. 4. Masukkan slaid ke dalam PT Link Dako Epitope Retrieval : set up Preheat 65 0 C selama ± 1 jam, Running time 98 0 C selama 15 menit. 5. Pap pen. 6. Rendam dengan Tris Buffered Saline (TBS) ph 7,4/Tween 20 selama 15 menit. 7. Blocking dengan Tissue Primer TM selama 5-10 menit. 8. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) ph 7,4/Tween 20 selama 5 menit. 9. Blocking dengan Background blocker selama 5 menit.

10. Inkubasi dengan antibodi primer (VEGF) dengan pengenceran 1 : 50 selama 1 jam. 11. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) ph 7,4 / Tween 20 selama 5 menit. 12. Inkubasi dengan PolyVue TM Enchanter selama 10 menit. 13. Inkubasi dengan PolyVue TM HRP selama 10 menit. 14. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) ph 7,4 / Tween 20 selama 5-10 menit. 15. DAB + Substrat Chromogen solution dengan pengenceran 20µL DAB : 1000 µl substrat selama 5 menit. 16. Cuci dengan air mengalir selama 10 menit. 17. Counterstain dengan Hematoxilin selama 10 menit. 18. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit. 19. Lithium carbonat (5% dalam aqua) selama 2 menit. 20. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit. 21. Dehidrasi (alkohol 80%, 96%, absolut) masing-masing selama 5 menit. 22. Clearing (xylol 1, 2 dan 3) masing-masing selama 5 menit. 23. Tutup dengan enteline dan deck glass. 3.10. Analisa Data Untuk menganalisa hubungan ekspresi imunohistokimia VEGF dan TILs dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring secara statistik, maka peneliti menggunakan uji Kruskal-Walli

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap 42 sampel karsinoma nasofaring yang bertujuan untuk menganalisis hubungan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Frowth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring. Berikut ini adalah hasil penelitian yang diperoleh. 4.1.1. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan usia penderita Pada penelitian ini, diketahui bahwa usia penderita karsinoma nasofaring terbanyak pada kelompok usia 45-53 tahun, yaitu sebanyak 13 kasus (31,0%), dan paling sedikit dijumpai pada kelompok usia 72-80 tahun sebanyak 1 kasus (2,4%). Usia rata-rata penderita karsinoma nasofaring yaitu 48,8 tahun, dengan simpangan baku 12,7 tahun. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan usia penderita dapat dilihat pada Tabel 4.1:

Tabel 4.1. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan usia penderita Usia penderita (tahun) Jumlah (n) Persentase (%) 18-26 27-35 36-44 45-53 54-62 63-71 72-80 2 3 9 13 9 5 1 4,8 7,1 21,4 31,0 21,4 11,9 2,4 Jumlah 42 100 4.1.2. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin penderita Pada penelitian ini, diketahui bahwa penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah pada laki-laki, yaitu sebanyak 27 kasus (64,3%), dan selebihnya pada perempuan sebanyak 15 kasus (35,7%). Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin penderita dapat dilihat pada Tabel 4.2:

Tabel 4.2. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin penderita Jenis kelamin Jumlah (n) Persentase (%) Laki-laki Perempuan 27 15 64,3 35,7 Jumlah 42 100 4.1.3. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan stadium klinis Pada penelitian ini, diketahui bahwa karsinoma nasofaring terbanyak dijumpai pada stadium lanjut, yaitu sebanyak 28 kasus (66,7%), dan selebihnya pada stadium dini sebanyak 14 kasus (33,3%). Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan stadium klinis dapat dilihat pada Tabel 4.3: Tabel 4.3. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan stadium klinis Stadium klinis Jumlah (n) Persentase (%) Stadium dini Stadium lanjut 14 28 33,3 66,7 Jumlah 42 100 4.1.4. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi

Pada penelitian ini, diketahui bahwa tipe histopatologi karsinoma nasofaring terbanyak adalah tipe NKSCC (undifferentiated subtype), yaitu sebanyak 23 kasus (54,8%), diikuti dengan NKSCC (differentiated type) sebanyak 16 kasus (38,1%), dan yang paling sedikit adalah tipe KSCC yaitu sebanyak 3 kasus (7,1%). Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi dapat dilihat pada Tabel 4.4: Tabel 4.4. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi Stadium klinis Jumlah (n) Persentase (%) KSCC NKSCC (differentiated subtype) NKSCC (undifferentiated subtype) Basaloid squamous cell carcinoma 3 16 23 0 7,1 38,1 54,8 0 Jumlah 42 100 4.1.5. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) Pada penelitian ini, diketahui bahwa Tumor-infiltrating lymphocytes pada stroma (stromal TILs) diperoleh hasil 9 kasus low TILs (21,4%), 14 kasus intermediate TILs (33,3%), dan 19 kasus high TILs (45,3%). Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan TILs dapat dilihat pada Tabel 4.5:

Tabel 4.5. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan Tumorinfiltrating lymphocytes (TILs) TILs Jumlah (n) Persentase (%) Low Intermediate High 9 14 19 21,4 33,3 45,3 Jumlah 42 100 4.1.5. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Pada penelitian ini, diketahui bahwa ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) tertampil dengan ekspresi lemah pada 16 kasus karsinoma nasofaring (38,1%), ekspresi kuat pada 8 kasus karsinoma nasofaring (19,0%), dan selebihnya tidak tertampil (negatif) pada 18 kasus karsinoma nasofaring (42,9%). Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi imunohistokimia VEGF dapat dilihat pada Tabel 4.6:

Tabel 4.6. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) VEGF Jumlah (n) Persentase (%) Negatif Ekspresi lemah Ekspresi kuat 18 16 8 42,9 38,1 19,0 Jumlah 42 100 4.1.7. Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring Pada penelitian ini, setelah dilakukan tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring diperoleh hasil, yakni pada KSCC terdapat 1 kasus ekspresi VEGF tertampil negatif (33,3%), 1 kasus tertampil ekspresi lemah (33,3%), 1 kasus tertampil ekspresi kuat (33,3%); pada NKSCC (differentiated subtype) terdapat 7 kasus ekspresi VEGF tertampil negatif (43,7%), 5 kasus tertampil ekspresi lemah (31,3%), 4 kasus tertampil ekspresi kuat (25,0%); pada NKSCC (undifferentiated subtype) terdapat 10 kasus ekspresi

VEGF tertampil negatif (43,5%), 10 kasus tertampil ekspresi lemah (43,5%), 3 kasus tertampil ekspresi kuat (13,0%). Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,501 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring. Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 4.7: Tabel 4.1.7. Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring Tipe Histopatologi VEGF KSCC NKSCC differentiated NKSCC undifferentiated p-value* n % n % n % Negatif 1 5,6 7 38,9 10 55,5 Ekspresi lemah 1 6,3 5 31,3 10 62,4 0,501 Ekspresi kuat 1 12,3 4 50,0 3 37,7 * Uji Kruskal-Wallis

4.1.8. Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan stadium klinis karsinoma nasofaring Pada penelitian ini setelah dilakukan tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring diperoleh hasil yakni, pada stadium dini terdapat 7 kasus ekspresi VEGF tertampil negatif (50,0%), 5 kasus tertampil ekspresi lemah (31,7%), 2 kasus tertampil ekspresi kuat (14,3%); pada stadium lanjut terdapat 11 kasus ekspresi VEGF tertampil negatif (39,3%), 11 kasus tertampil ekspresi lemah (39,3%), 6 kasus tertampil ekspresi kuat (21,4%). Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,772 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring. Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 4.8: Tabel 4.8. Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan stadium klinis karsinoma nasofaring Stadium Klinis VEGF Dini Lanjut p-value* n % n %

Negatif 7 38,9 11 61,1 Ekpresi lemah 5 31,3 11 61,7 0,772 Ekspresi kuat 2 25,0 6 75,0 * Uji Kruskal-Wallis 4.1.9. Tabulasi silang hubungan antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring Pada penelitian ini, setelah dilakukan tabulasi silang hubungan antara TILs dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring diperoleh hasil yakni, pada KSCC terdapat 1 kasus low TILs (33,3%), tidak ditemukan kasus intermediate TILs (0%), dan 2 kasus high TILs (66,7%); pada NKSCC (differentiated subtype) terdapat 3 kasus low TILs (18,8%), 6 kasus intermediate TILs (37,5%), dan 7 kasus high TILs (43,7%); pada NKSCC (undifferentiated subtype) terdapat 5 kasus low TILs (21,7%), 8 kasus intermediate TILs (34,8%), dan 10 kasus high TILs (48,5%). Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara TILs dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,884 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara TILs dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring. Tabulasi silang hubungan antara TILs dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 4.9: Tabel 4.9. Tabulasi silang hubungan antara Tumor-infiltrating Lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring

Tipe Histopatologi TILs KSCC NKSCC differentiated NKSCC undifferentiated p-value* n % n % n % Low 1 11,1 3 33,3 5 55,6 Intermediate 0 0 6 42,9 8 57,1 0,884 High 2 10,5 7 36,8 10 54,7 * Uji Kruskal-Wallis 4.1.10. Tabulasi silang hubungan antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan stadium klinis karsinoma nasofaring Pada penelitian ini, setelah dilakukan tabulasi silang hubungan antara TILs dengan stadium klinis karsinoma nasofaring diperoleh hasil yakni, pada stadium dini terdapat 3 kasus low TILs (21,4%), 4 kasus intermediate TILs (28,6%), dan 7 kasus high TILs (50,0%); pada stadium lanjut terdapat 6 kasus low TILs (21,4%), 10 kasus intermediate TILs (35,7%), dan 12 kasus high TILs (42,9%). Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara TILs dengan stadium klinis karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,886 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara TILs dengan stadium klinis karsinoma nasofaring. Tabulasi silang hubungan antara TILs dengan stadium klinis karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 4.10:

Tabel 4.10. Tabulasi silang hubungan antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan stadium klinis karsinoma nasofaring Stadium Klinis TILs Dini Lanjut p-value* n % n % Low 3 33,3 6 66,7 Intermediate 4 28,6 10 71,4 0,886 High 7 36,8 12 63,2 *Uji Kruskal-Wallis 4.1.11. Tabulasi silang hubungan antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada karsinoma nasofaring Pada penelitian ini setelah dilakukan tabulasi silang hubungan antara Tumorinfiltrating lymphocytes (TILs) dengan ekspresi imunohistokimia VEGF pada karsinoma nasofaring, diperoleh hasil yakni low TILs menampilkan ekspresi imunohistokimia VEGF negatif pada 3 kasus (33,3%), ekspresi lemah pada 4 kasus (44,4%), dan ekspresi kuat pada 2 kasus (22,3%); intermediate TILS menampilkan ekspresi imunohistokimia VEGF negatif pada 7 kasus (50,0%), ekspresi lemah pada 6 kasus (42,9%), dan ekspresi kuat pada 1 kasus (7,1%); high TILS menampilkan ekspresi imunohistokimia VEGF negatif pada 8 kasus (42,1%), ekspresi lemah pada 6 kasus (31,6%), dan ekspresi kuat pada 5 kasus (26,3%).

Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara TILs dengan eskspresi imunohistokimia VEGF pada karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,609 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara TILs dengan ekspresi imunohistokimia VEGF pada karsinoma nasofaring. Tabulasi silang hubungan antara TILs dengan ekspresi imunohistokimia VEGF pada karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 4.11: Tabel 4.11. Tabulasi silang distribusi Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) berdasarkan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada karsinoma nasofaring VEGF TILs Negatif Ekspresi lemah Ekspresi kuat p-value* n % n % n % Low 3 33,3 4 44,4 2 22,3 Intermediate 7 50,0 6 42,9 1 7,1 0,609 High 8 42,1 6 31,6 5 26,3 *Uji Kruskal-Wallis

4.2. Pembahasan Pada penelitian ini penderita karsinoma nasofaring yang tercatat dalam rekam medik Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebanyak 42 sampel. Pada tabel 4.1 diketahui bahwa usia penderita karsinoma nasofaring terbanyak pada kelompok usia 45-53 tahun, yaitu sebanyak 13 kasus (31,0%), dan hanya dijumpai 1 kasus (2,4%) pada kelompok usia 72-80 tahun. Usia rata-rata penderita tumor nasofaring yaitu 48,8 tahun, dengan simpangan baku 12,7 tahun. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa prevalensi karsinoma nasofaring antara usia 40-50 tahun. Penelitian Munir juga menemukan usia rata-rata penderita karsinoma nasofaring adalah 48,8 tahun. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Li et al. menyebutkan bahwa dari 188 kasus karsinoma nasofaring yang diteliti, 95 kasus (50,5%) dijumpai pada usia < 46 tahun, dan sebanyak 93 kasus (49,5%) dijumpai pada usia 46 tahun. Kecenderungan penderita karsinoma nasofaring terjadi pada usia yang lebih tua mungkin berhubungan dengan sistem imunitas yang menurun pada usia tersebut, sehingga baik antigen EBV sebagai penyebab maupun antigen tumor sendiri tidak dapat dieliminasi secara baik oleh sistem imun tubuh. 9,15 Pada tabel 4.2 diketahui bahwa penderita karsinoma nasofaring terbanyak dijumpai pada laki-laki, yaitu sebanyak 27 kasus (64%), dan selebihnya pada perempuan sebanyak 15 kasus (36%). Menurut literatur perbandingan insidensi karsinoma nasofaring pada laki-laki dan perempuan adalah 2 berbanding 1. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Li et al. menyebutkan bahwa dari 188 kasus karsinoma nasofaring yang diteliti, 147 kasus (78,2%) dijumpai pada laki-laki,

dan selebihnya sebanyak 41 kasus (21,8%) dijumpai pada perempuan. Tingginya insidensi pada laki-laki mungkin disebabkan perbedaan gaya hidup serta pekerjaan yang menyebabkan laki-laki lebih sering kontak dengan karsinogen penyebab karsinoma nasofaring. Merokok, paparan uap, asap debu, gas kimia dan formaldehid juga dapat meningkatkan risiko terjadinya karsinoma nasofaring. 9,35 Pada penelitian ini, peneliti mendefinisikan kasus-kasus stadium 0, I, IIA dan IIB sebagai stadium dini, dan stadium III, IVA, IVB dan IVC sebagai stadium lanjut. Pada tabel 4.3 diketahui bahwa karsinoma nasofaring terbanyak dijumpai pada stadium lanjut, yaitu sebanyak 28 kasus (66,7%), dan selebihnya pada stadium awal sebanyak 14 kasus (33,3%). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Li et al. yang menyebutkan bahwa dari 188 kasus karsinoma nasofaring yang diteliti, 146 kasus di antaranya (77,6%) adalah stadium III dan IV (stadium lanjut), dan selebihnya sebanyak 42 kasus (22,4%) adalah stadium I dan II (stadium dini). Karsinoma nasofaring sulit untuk didiagnosis pada stadium dini, kemungkinan karena nasofaring sulit untuk diperiksa karena letaknya tersembunyi di belakang rongga hidung dan gejala karsinoma nasofaring mirip dengan penyakit lain yang lebih umum sehingga pasien tidak datang berobat. Biasanya pasien baru datang berobat bila gejala telah mengganggu dan tumor tersebut telah mengadakan infiltrasi serta bermetastasis ke KGB leher, yang merupakan stadium lanjut dan biasanya dengan prognosis yang jelek. 5,9 Pada tabel 4.4 diketahui bahwa tipe histopatologi karsinoma nasofaring terbanyak adalah tipe NKSCC (undifferentiated subtype), yaitu sebanyak 23 kasus (54,8%), dan yang paling sedikit adalah tipe KSCC sebanyak 3 kasus (7,1%). Hasil

ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa tipe yang paling umum dijumpai pada karsinoma nasofaring adalah subtipe Nonkeratinizing carcinoma undifferentiated subtype. Subtipe ini dijumpai sekitar 92 % dari seluruh karsinoma nasofaring di Hongkong, sekitar 42% di Singapura, dan 76% di Tunisia. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Li et al. dari 188 kasus karsinoma nasofaring yang diteliti, 124 kasus (55,0%) di antaranya adalah tipe II (Nonkeratinizing carcinoma). 1,9 Pada penelitian ini, peneliti menilai Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan melihat infiltrasi sel-sel radang limfosit pada stroma (stromal TILs). Pada tabel 4.5 diketahui bahwa low TILs terdapat pada 9 kasus karsinoma nasofaring (21,4%), intermediate TILs 14 kasus (33,3%), high TILs 19 kasus (45,3%). Belum ditemukan literatur yang menilai TILs dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin pada karsinoma nasofaring, sehingga peneliti tidak dapat membandingkan hasil penelitian ini dengan literatur. Pada tabel 4.6 diketahui bahwa ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) tertampil lemah pada 16 kasus karsinoma nasofaring (38,1%), tertampil kuat pada 8 kasus (19,0%), dan selebihnya tidak tertampil (negatif) pada 18 kasus karsinoma nasofaring (42,9%). Penelitian Li et al. mendapatkan dari 188 kasus karsinoma nasofaring, ekspresi VEGF tertampil positif pada 86 kasus (45.7%), dan tidak tertampil (negatif) pada 102 kasus (54,3%). 9 Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, dimana Soo et al. mendapatkan overekspresi VEGF pada seluruh sampel karsinoma nasofaring, Sha dan He mendapatkan overekspresi VEGF sebesar 66,9%, dan Khrisna et al. mendapatkan overekspresi VEGF sebesar 67% dari 103 penderita karsinoma nasofaring. 6,7,8

Pada Tabel 4.7, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,501 (p>0,05), hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring, hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Li et al. dan Harahap. Pada Tabel 4.8 setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring, diperoleh p- value = 0,772 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring, hal ini sesuai dengan penelitain Li et al. dan Harahap. Hal ini mungkin disebabkan karena sitokin lebih teraktivasi pada stadium dini sehingga ekspresi imunohistokimia VEGF tertampil dengan ekspresi kuat, sedangkan pada stadium lanjut, sitokin kurang teraktivasi sehingga ekspresi imunohistokimia VEGF menjadi tertampil dengan ekspresi lemah. 9,35 Pada tabel 4.9. dan 4.10 setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara TILs dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,884 dan 0,886 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara TILs dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Yu dan Fu, bahwa peran TILs sebagai faktor prognostik masih menjadi perdebatan. Salgado et al, juga menyatakan hal yang sama, dan menurut

mereka TILs tidak bisa mendefinisikan subtipe tumor tertentu, tetapi dapat digunakan untuk mengenali lymphocyte-rich tumors. 10,12 Pada tabel 4.11 setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara TILS dengan ekspresi imunohistokimia VEGF, diperoleh p-value = 0,609 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara TILs dengan ekspresi imunohistokimia VEGF. Belum ditemukan literatur yang menyebutkan hubungan antara TILs dengan ekspresi imunohistokimia VEGF, sehingga peneliti tidak dapat membandingkan hasil penelitian ini dengan literatur.

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Setelah dilakukan penelitian terhadap 42 sampel karsinoma nasofaring yang bertujuan untuk melihat hubungan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam penelitian ini setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis didapati tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring. 2. Dalam penelitian ini setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis didapati tidak ada hubungan yang bermakna antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring. 3. Dalam penelitian ini setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis didapati tidak ada hubungan yang bermakna antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF).

5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti tidak merekomendasikan kepada klinisi untuk melakukan pemeriksaan imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) sebagai salah satu alat prognostik pada karsinoma nasofaring.