Diagnosis dan tata laksana difteri

dokumen-dokumen yang mirip
PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB DIFTERI DI KECAMATAN TANJUNG BUMI KABUPATEN BANGKALAN TAHUN 2013

Laporan kasus. Dua hari berikutnya os batuk,dahak tidak banyak berwarna kekuningan dan suara parau

Tujuan 1. Melakukan diagnosis dan diagnosis banding difteria beserta komplikasinya

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin NurF

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio


FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI

FARINGITIS AKUT. Finny Fitry Yani Sub Bagian Respirologi Anak Bagian IKA RS M Djamil- FK Unand

GAMBARAN KLINIS PENDERITA DIFTERI ANAK DI RSUD Dr. SOETOMO (Clinical Features of Children with Diphtheria on Soetomo Hospital)

Tonsilofaringitis Akut

Jika tidak terjadi komplikasi, penyembuhan memakan waktu 2 5 hari dimana pasien sembuh dalam 1 minggu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Penyakit demam berdarah adalah penyakit menular yang di

SATUAN ACARA PENYULUHAN ( SAP )

BAB I PENDAHULUAN. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering dari semua

TATALAKSANA SKISTOSOMIASIS. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 5 Diare. Catatan untuk instruktur

ASPEK MEDIS DAN KEAMANAN VAKSIN KOMBINASI PENTABIO. Dominicus Husada

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

DIFTERIA 1. Identifikasi 2. Penyebab Penyakit 3. Distribusi Penyakit

Derajat 2 : seperti derajat 1, disertai perdarah spontan di kulit dan atau perdarahan lain

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

Preeklampsia dan Eklampsia

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

DIARE AKUT. Berdasarkan Riskesdas 2007 : diare merupakan penyebab kematian pada 42% bayi dan 25,2% pada anak usia 1-4 tahun.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 7 Gizi Buruk

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN

A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal antaralain lain:

A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA. Paula A. Tahtinen, et all

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Meningitis: Diagnosis dan Penatalaksanaannya

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan profil kesehatan provinsi Daerah Istimewa. Yogyakarta tahun 2012, penyakit infeksi masih menduduki 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DINAS KESEHATAN PUSKESMAS LENEK Jln. Raya Mataram Lb. Lombok KM. 50 Desa Lenek Kec. Aikmel

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

MACAM-MACAM PENYAKIT. Nama : Ardian Nugraheni ( C) Nifariani ( C)

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang. menular serta dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit

Difteri DEFINISI Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksin (racun) Corynebacterium diphtheriae.

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DIFTERI DI KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 8 Anak menderita HIV/Aids. Catatan untuk fasilitator. Ringkasan Kasus:

PELATIHAN NEFROLOGI MEET THE PROFESSOR OF PEDIATRICS. TOPIK: Tata laksana Acute Kidney Injury (AKI)

PANDUAN PENANGANAN, PENGGUNAAN DAN PEMBERIAN DARAH DAN PRODUK DARAH RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG

Pedoman Surveilans dan Respon Kesiapsiagaan Menghadapi Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-COV) untuk Puskesmas di Kabupaten Bogor

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DIFTERI DI KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

Swine influenza (flu babi / A H1N1) adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus Orthomyxoviridae.

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Definisi. Penyakit akut yang mengancam nyawa disebabkan Corynebacterium diphtheriae.

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN DEMAM CHIKUNGUNYA Oleh DEDEH SUHARTINI

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Farokah, dkk Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Imunisasi PPI: Program imunisasi nasional

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

13 CAKUPAN PENEMUAN DAN PENANGANAN PENDERITA PENYAKIT. a. Acute Flacid Paralysis (AFP) rate per penduduk < 15 tahun

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan dalam infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), faringitis sendiri

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang

BULETIN SURVEILANS ISPA BERAT DI INDONESIA (SIBI) : Maret 2014 Data masih bersifat sementara dan dapat berubah seiring dengan penerimaan laporan

VIRUS HEPATITIS B. Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage. Oleh AROBIYANA G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

Informasi penyakit ISPA

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

BAB V KESIMPULAN. Diajukan pada Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA FK-UGM Yogyakarta 1

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

SYOK ANAFILAKTIK. No.Revisi : 0. Halaman :1 dari 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Buletin ini dapat memantau tujuan khusus SIBI antara lain :

IMUNISASI SWIM 2017 FK UII Sabtu, 14 Oktober 2017

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 3 Permasalahan Neonatus-Berat Badan lahir rendah. Catatan untuk fasilitator.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

Jika ciprofloxacin tidak sesuai, Anda akan harus minum antibiotik lain untuk menghapuskan kuman meningokokus.

5. Pengkajian. a. Riwayat Kesehatan

Transkripsi:

1 Diagnosis dan tata laksana difteri Diagnosis Difteri Dapat ditegakkan berdasarkan klinis, sebagai berikut: Anamnesis Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi, hingga adanya stridor, ngences, dan tanda lain dari obstruksi napas atas, dengan riwayat imunisasi tidak lengkap, serta kontak erat dengan kasus difteri. Kontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman bermain; kontak dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat pelindung diri); individu seruang dengan penderita dalam waktu >4 jam selama 5 hari berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.: teman sekelas, teman seruang tidur, teman mengaji, les). Pemeriksaan fisis Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis dengan pseudomembran/selaput pada tempat infeksi berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat. Pada keadaan berat dapat ditemukan pembesaran leher (bull neck), tampak toksik dan sakit berat, padahal demam tidak terlalu tinggi, muka pucat bahkan sampai sianosis, tanda-tanda syok, serta kesulitan menelan. Laboratorium Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif. Untuk mengetahui toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek. Pengambilan sampel kultur dilakukan pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7. Media yang digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu Loeffler atau telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia kurang dari 10%, sehingga diupayakan untuk menggunakan PCR untuk diagnosis pasti. Sampel diambil dari jaringan di bawah atau sekitar pseudomembran. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop atau pewarnaan Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di rongga mulut banyak terdapat bakteri berbentuk mirip C. diphtheriae (difteroid). Klasifikasi difteri sebagai berikut: Suspek difteri: adalah orang dengan gejala faringitis, tonsillitis, laryngitis, trakeitis (atau kombinasi), tanpa demam atau kondisi subfebris disertai adanya pseudomembran putih keabu-abuan/kehitaman pada salah satu atau kedua tonsil yang berdarah bila terlepas atau dilakukan manipulasi. Sebanyak 94% kasus difteri mengenai tonsil dan faring. Kasus probable difteri adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis atau tonsilitis ditambah pseudomembran putih keabu-abuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring, tonsil (suspek difteri) ditambah salah satu dari : a) Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu) b) Status imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster c) Stridor, bullneck

2 d) Pendarahan submukosa atau petekie pada kulit e) Gagal jantung toksik, gagal ginjal akut f) Miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah onset g) Meninggal. Kasus konfirmasi laboratorium difteri Didapatkan hasil kultur atau PCR C. diphtheria positif dan tes Elek positif. Tata Laksana Semua kasus yang memenuhi kriteria di atas harus diperlakukan sebagai difteri sampai terbukti bukan. Dokter memutuskan diagnosis difteri berdasarkan tanda dan gejala. Terpenting: mulai tata laksana antitoksin dan antibiotik apabila dokter mendiagnosis suspek difteri tanpa perlu konfirmasi laboratorium. Pengobatan Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri. Umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu bila terjadi komplikasi miokarditis, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Dilakukan pemeriksaan jantung (EKG) dan neurologis untuk mengetahui ada/tidaknya komplikasi. Khusus Antitoksin: Anti Diphtheria Serum (ADS) Antitoksin diberikan segera setelah ditegakkan diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

3 Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran (tipe difteri) dan Lama Sakit Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara pemberian Difteri kulit 20.000 intravena Difteri hidung 20.000 Intravena Difteri tonsil 40.000 Intravena Difteri faring 40.000 Intravena Difteri laring 40.000 Intravena Difteri nasofaringeal 60.000 intravena Kombinasi lokasi di atas, tanpa melibatkan 80.000 Intravena hidung/nasal Difteri + penyulit dan/atau ditemukan bullneck Terlambat berobat (> 72 jam), lokasi dimana saja 80.000-100.000 Intravena 80.000-100.000 Intravena CDC Protocol-03/26/2014-Revised dan Krugman, 1992 dengan modifikasi Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm. Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-100.000 KI seperti tertera pada tabel 5. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian. Antibiotik Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari (maksimum 1,2 juta U/hari) diberikan secara intramuskular (IM) selama 14 hari. Bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgbb/hari (maksimum 2 g/hari) dibagi 4 dosis, interval 6 jam selama 14 hari. Kortikosteroid Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2 mg/kgbb/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.

4 Trakeostomi Ditemukannya obstruksi saluran napas karena membran dan edema perifaringeal, bahkan apabila telah tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. Pengobatan kontak Kontak erat adalah orang serumah atau orang lain yang memiliki kontak erat satu rumah, guru, petugas kesehatan yang terpapar dengan sekret nasofaring, orang-orang yang menggunakan perangkat masak atau makan minum yang sama dan pengasuh anak yang terinfeksi. Pada orang yang mengalami kontak tanpa memandang status imunisasi seyogyanya diimunisasi sampai hal-hal berikut dilakukan yaitu (a) Biakan hidung dan tenggorok (b) Gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlewati (c) Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteri, yang belum diimunisasi segera melengkapi imunisasi. Pengobatan karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala difteri, tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan untuk karier adalah eritromisin 40-50 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari). Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk eradikasi karier difteri nasofaring. Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih positif, antibiotik diberikan lebih lama. Tersangka/terbukti difteri Lapor ke Dinas Kesehatan isolasi Kultur c.diphteria hidung, tenggorok, kulit Serum untuk pemeriksaan antibodi Terapi serum antitoksin diphteria Terapi antibiotik Imunisasi aktif (Td) pada fase konvalesen Dua pasang kultur hidung dan tenggorok (selang 24 jam) minimal 2 mgg paska terapi antibiotik. Bila tanpa antibiotik, kultur dilakukan 2 mgg setelah keluhan (-), atau 2 mgg dari awal sakit Identifikasi kontak erat Tidak ada Ada Tetapkan dan monitor tanda/gejala difteri minimal 7 hari Kultur C.diphteria Positif Negatif Stop Terapi antibiotik <3 dosis/ tidak diketahui Tetapkan status vaksinasi difteri 3 dosis, terakhir > 5 tahun yl 3 dosis, terakhir < 5 tahun yl Hindari kontak erat dgn individu imunisasi tidak lengkap identifikasi kontak erat dan lakukan tindak pencegahan dua pasang kultur ulangan (selang 24 jam) minimal 2 minggu paska terapi Segera imunisasi sesuai jadwal Segera berikan booster Bila perlu beri imunisasi ke-4 / booster B. KEGIATAN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI 1. Penyelidikan Epidemiologi Laporan (W1) adanya kasus yang datang dari masyarakat, petugas kesehatan, RS, puskesmas bahkan media, harus secepatnya ditindaklanjuti dengan melakukan konfirmasi informasi

5 Prognosis Virulensi organisme Tempat pada tubuh terjadinya infeksi. Pada difteri faring umumnya berat dan toksik Usia <5 tahun Status imunisasi: belum/tidak lengkap Kecepatan pemberian antitoksin Obstruksi mekanik laring atau difteri bull-neck Walaupun dilakukan pengobatan, 1 dari 10 pasien difteri kemungkinan meninggal. Tanpa pengobatan 1 dari 2 pasien difteri meninggal. Konsultasi: Apabila terdapat keraguan mengenai diagnosis dan tata laksana, anggota IDAI dapat menghubungi perwakilan UKK Infeksi dan Penyakit Tropis di wilayah masing-masing: 1. Sumatera: DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K) - 0811713162 2. Jabodetabek: Dr. Mulya R Karyanti, SpA(K), MSc 0811963885 3. Jawa Barat: DR. Dr. Anggraini Alam, Sp.A(K) 4. Surabaya dan Indonesia Timur lainnya: Prof Ismoedianto, SpA(K) 08123238854, DR Dr. Dominicus SpA(K) 081232266377 5. Daerah Istimewa Yogyakarta: Dr. Ida Safitri SpA(K)- 08562892864 6. Jawa Tengah : Dr. MM DEAH Hapsari SpAK - 08122801960 7. Bali dan Nusa Tenggara: Dr Dwi Lingga, SpA(K) 08125664656 8. Sulawesi: DR. Dr Suryadi, SpA (K) - 082291966705 Untuk pengadaan ADS dapat menghubungi posko KLB atau dinas kesehatan setempat. Posko KLB 24 jam 021-4257125 Konsultasi tata laksana Imunisasi: DR. Dr. Soedjatmiko, SpA(K) - 08129040190 DR. Dr. Hartono, SpA(K) 08161999342 DR. Dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A(K), MTropPaed - 0816988186