BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan Dari pemodelan yang telah dilakukan, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil. 1. Pemodelan rambatan gelombang dilakukan dengan menggunakan 2 persamaan pengatur yaitu persamaan Boussinesq dan St.Venant. 2. Batasan wet/dry dimodelkan dengan memberi nilai batasan minimum untuk kedalaman air pada setiap perhitungan. Titik grid yang memiliki nilai kedalaman hasil simulasi lebih kecil dari minimum kedalaman akan diberi nilai kedalaman dan kecepatan sama dengan 0. 3. Penerapan persamaan Boussinesq tidak dapat menggunakan batasan wet/dry. Beberapa referensi menyebutkan perlunya perlakuan khusus dan modifikasi persamaan pengatur untuk dapat memberikan syarat batas wet/dry untuk model Boussinesq. 4. Perbandingan antara persamaan Boussinesq dan St. Venant pada kasus saluran dengan kemiringan dasar tetap tanpa adanya run up menunjukkan bahwa kedua persamaan memberikan waktu rambat yang sama untuk input gelombang yang juga sama. Akan tetapi, profil gelombang hasil model St. Venant lebih cepat meluruh dibandingkan dengan model Boussinesq. Hal ini disebabkan adanya suku-suku dispersi pada persamaan Boussinesq. Pada persamaan St. Venant, suku potensial berpengaruh besar pada proses rambatan sehingga gelombang lebih cepat meluruh. 5. Pada simulasi dengan model setup yang sama dengan kajian eksperimental yang dilakukan oleh Synolakis, model St. Venant yang dikembangkan dapat memberikan profil gelombang dan tinggi run up menyerupai data eksperimen. Dibandingkan dengan model lain yang juga disimulasikan untuk kasus yang sama, model pada studi ini memberikan tinggi run up yang lebih mendekati V-1
data eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa pada proses run up, persamaan St. Venant dengan kondisi batas wet/dry yang diterapkan sudah baik. 6. Pada kasus-kasus sederhana dengan menggunakan kontur artificial, model St. Venant mampu memberikan hasil dengan profil yang umum terjadi pada daerah seperti pada kontur-kontur tersebut. 7. Pada kontur topografi dan bathimetri yang relatif kompleks, simulasi tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya caustic wave. Untuk mengatasi hal ini, diterapkan filter numerik (Hansen, 1962). Filter ini dapat mengatasi permasalahan akibat caustic wave dan hasil penerapannya dapat memodelkan dengan baik superposisi gelombang akibat adanya benturan gelombang datang dan gelombang pantul. 8. Untuk kasus dimana gelombang yang merambat membentur suatu struktur vertikal, tinggi gelombang gelombang maksimum di lokasi vertical wall sama dengan dua kali gelombang datang. 9. Penerapan GIS pada model berupa interpretasi citra untuk mendapatkan kontur dilakukan pada kasus Aceh. Hal ini dikarenakan data topografi pengukuran dan data sekunder yang dimiliki tidak mencakup seluruh domain model. Selain itu, proses griding untuk input model juga dilakukan dengan bantuan GIS. Beberapa keuntungan dari penggunaan GIS a. Untuk daerah yang luas dengan jumlah titik besar, metode ini sangat efisien dan tidak memakan waktu lama. b. Hasil yang dihasilkan lebih akurat dan human error dapat diminimalkan. c. Kontur dengan resolusi yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan menggabungkan hasil interpretasi citra dengan data pengukuran di beberapa lokasi. Biaya survey pengukuran di lapangan dapat ditekan 10. Karena tidak ada data mengenai tinggi gelombang di sekitar perairan Aceh, maka input gelombang menggunakan pengukuran yang dilakukan oleh kapal ikan Mercator di lepas pantai Thailand. Tercatat adanya 3 gelombang datang sebagai berikut: V-2
a. Gelombang pertama, A = 4 meter, T = 1000 detik, L = 20,765 km b. Gelombang kedua, A = 1.8 meter, T = 900 detik, L = 18,216 km c. Gelombang ketiga, A = 5 meter, T = 1000 detik, L = 21 km 11. Tinggi gelombang ketika merambat akibat masing-masing gelombang mencapai 20 meter dengan panjang gelombang 2 kilometer. Tinggi dan panjang gelombang yang terjadi memenuhi kriteria sebagai tsunami (Bab 2.5). 12. Lebih kurang 900 detik sebelum gelombang mencapai garis pantai (+0.00), elevasi muka air di sekitar garis pantai turun. Hal ini terjadi akibat gelombang datang menarik masa air yang ada di depannya. Garis pantai yang terbentuk ketika surut terendah maju hingga kurang lebih 1,5 km ke arah laut. 13. Tinggi rambatan pada saat maksimum kurang lebih 43 meter. Gelombang merambat di darat sejauh 20 km dari garis pantai dengan kedalaman bervariasi antara 10-20 meter. Total waktu yang diperlukan dari mulai terjadinya run up hingga kembali surut kurang lebih 10000 detik. 14. Batasan kondisi gelombang dapat dimodelkan dengan menggunakan bilangan froude. Bilangan froude lebih besar dari 1 dapat dikategorikan sebagai gelombang pecah (beberapa referensi menyebutkan batasan nilai froude 0.5). Berarti, zona 1 dimana rambatan yang terjadi masih berupa gelombang adalah daerah dengan bilangan froude <1, sedangkan zona 2 dimana rambatan sudah tidak dapat dikategorikan sebagai gelombang berada pada daerah dengan bilangan froude lebih besar atau sama dengan 1. 15. Analisis bilangan froude pada simulasi untuk kasus Aceeh menunjukkan bahwa bahwa gelombang datang pada umumnya berada pada zona 1 (froude kurang dari 1). Batasan terjauh dimana gelombang yang merambat di darat masih berada di zona ini adalah kurang lebih 4 km dari garis pantai. Setelah melewati batas ini, gelombang telah dapat dikategorikan berada di zona 2. 16. Untuk kasus tsunami Aceh, berdasarkan kriteria froude pada ujung puncak gelombang datang terjadi gelombang pecah dengan profil spilling yang umumnya cepat hilang. Hal ini terjadi ketika puncak gelombang runtuh. Akan tetapi, karena gelombang yang datang sangat panjang, maka pecahnya V-3
gelombang ini tidak dapat dijadikan batasan bagi zona 1 dan 2 karena gelombang yang pecah segera membentuk gelombang lagi karena besarnya masa dan cepat rambat gelombang. Pada rambatan di darat, profil gelombang pecah yang terjadi adalah collapsing. V.2 Saran 1. Untuk pengembangan early warning system dengan teknologi yang ada saat ini lebih cocok dengan menggunakan model St.Venant karena waktu simulasi yang lebih singkat. 2. Model yang telah dikembangkan belum dapat mensimulasikan adanya debris. Pemodelan dengan memasukkan pengaruh debris dapat dilakukan dengan merubah kekentalan (viskositas) ataupun massa jenis air di daerah dimana terdapat banyak debris. 3. Koefisien manning dapat lebih disesuaikan dengan kondisi lapangan per titik gridnya 4. Pengembangan model di masa yang akan datang dapat dilakukan dengan menggabungkan persamaan Boussinesq dan St.Venant. Secara teoritis, penggabungan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan simulasi untuk seluruh domain dengan persamaan St. Venant, dan kemudian menghitung ulang titik-titik yang berada di zona 1 dengan persamaan boussinesq. Perhitungan ulang harus memperhitungkan nilai dari simulasi dengan persamaan St.Venant. Nilai-nilai dapat dimasukkan dengan melakukan modifikasi nilai U dan koefisien matriks pada penyelesaian implisit model Boussinesq. 5. Batasan wet dry condition untuk model Boussinesq perlu diteliti lebih lanjut. 6. Pengembangan model di masa yang akan datang dapat dilakukan dengan menggabungkan persamaan Boussinesq dan St.Venant. Secara teoritis, penggabungan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan simulasi untuk seluruh domain dengan persamaan St. Venant, dan kemudian menghitung ulang titik-titik yang berada di zona 1 dengan persamaan boussinesq. V-4
Perhitungan ulang harus memperhitungkan nilai dari simulasi dengan persamaan St.Venant. Nilai-nilai dapat dimasukkan dengan melakukan modifikasi nilai U dan koefisien matriks pada penyelesaian implisit model Boussinesq. V-5