BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. lama digemakan, sekaligus sebagai langkah strategis bangsa Indonesia untuk

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak Pemerintah menerapkan otonomi daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Selama ini dominasi Pusat terhadap Daerah menimbulkan besarnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Pengertian pertumbuhan ekonomi seringkali dibedakan dengan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal. Kebijakan terkait yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah efektif diberlakukan per Januari tahun 2001 (UU ini dalam perkembangannya diperbarui dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004). Diberlakukannya undang-undang ini memberikan peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal dan meningkatkan kinerja keuangannya dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah. Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan terjadinya peningkatan pelayanan diberbagai sektor terutama sektor publik. Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila ada upaya serius (pemerintah) dengan memberikan berbagai fasilitas pendukung (investasi). Konsekuensinya, pemerintah perlu untuk memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini. Desentralisasi fiskal disatu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam

pengelolaan daerah, tetapi disisi lain memunculkan persoalan baru, dikarenakan tingkat kesiapan fiskal daerah yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan Adi

(2006) menunjukkan terjadi disparitas pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi antar daerah (kabupaten dan kota) dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus beradaptasi dan berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber PAD. Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah (Halim, 2001). Dalam upaya peningkatan kemandirian daerah pemerintah daerah juga dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya memberikan proporsi belanja modal yang lebih besar untuk pembagunan pada sektor sektor yang produktif di daerah. Wong (2004) menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan pajak daerah. Dengan terpenuhinya fasilitas publik maka masyarakat merasa nyaman dan dapat menjalankan usahanya dengan efisien dan efektif sehingga pada akhirnya akan meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002). Jadi belanja modal memiliki pengaruh secara tidak langsung dalam meningkatkan PAD. Upaya perbaikan terus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik dalam rangka menghadapi otonomi daerah. Perbaikan wawasan, kualitas SDM, kelembagaan, serta pengelolaan keuangan daerah harus didukung oleh tingkat

pembiayaan daerah yang memadai.alokasi belanja yang dirancang dalam bentuk program diharapkan memberikan timbal balik berupa peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), baik yang berasal dari retribusi, pajak daerah maupun penerimaan lainnya. Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Seiring dengan tujuan otonomi daerah yaitu peningkatan kemandirian daerah otonom, daerah diharapkan mampu melepaskan atau paling tidak mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Pada era otonomi ini, Pendapatan Asli Daerah idealnya menjadi tonggak utama atau komponen utama pembiayaan daerah, dengan kata lain proporsi dana perimbangan yang berasal dari pusat dan lain-lain Pendapatan yang merupakan komponen Pendapatan Daerah proporsinya semakin diminimalisir. Namun upaya pemerintah daerah ini mengalami hambatan karena diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah. Keberadaan Undang-Undang ini seringkali dinilai justru menjadi disinsentif bagi daerah, dikarenakan membatasi daerah untuk melakukan ekstensifikasi pajak-pajak daerah. Pada saat fiscal stress tinggi, pemerintah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub dan Akoto, 2004). Hal ini berarti kondisi fiscal stress adalah tingginya angka upaya pajak yang merupakan inisiatif dari pemerintah daerah dalam rangka penerapan otonomi daerah. Upaya pajak atau disebut dengan istilah Tax effort merupakan usaha pemerintah daerah menggali potensi daerahnya untuk meningkatkan pendapatan daerahnya yang

pada akhirnya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah secara keseluruhan sehingga ketergantungan daerah terhadap dana perimbangan dapat dibatasi. Potensi yang dimaksudkan adalah besaran target yang diprogramkan pemerintah daerah dalam visi dan misi Pendapatan Daerah untuk dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya, penerapan otonomi daerah didukung pula oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata acara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Wujud dari perimbangan keuangan tersebut adalah adanya dana perimbangan yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Ketiga jenis dana tersebut bersama dengan

Pendapatan Asli Daerah dan lain-lain Pendapatan merupakan sumber dana daerah yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan di tingkat daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Adi (2006) yang meneliti Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan, dan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali selama periode 1998-2003. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Belanja Pembangunan memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap PAD maupun pertumbuhan ekonomi. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Husni (2011) yang meneliti Pengaruh DAU, DAK terhadap peningkatan PAD dengan Belanja Modal sebagai variabel intervening di Kabupaten/ Kota Provinsi Aceh, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa DAU, DAK, dan Belanja Modal berkontribusi signifikan terhadap PAD. Berdasarkan hal-hal yang sudah dijelaskan tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pengaruh Belanja Modal dan Fiscal Stress terhadap peningkatan PAD dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak sebagai variabel moderating pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah Belanja Modal dan Fiscal Stress berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada pemerintah Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara?

2. Apakah Dana Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak berpengaruh pada hubungan Belanja Modal dan Fiscal Stress terhadap peningkatan PAD pada pemerintah Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk megetahui dan sekaligus memberikan bukti empiris pada: 1. Pengaruh Belanja Modal dan Fiscal Stress secara pasial dan simultan terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada pemerintah Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara. 2. Pengaruh Dana Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak pada hubungan Belanja Modal dan Fiscal Stress terhadap peningkatan PAD pada pemerintah Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Peneliti, Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang Akuntansi Sektor Publik khususnya dalam menganalisis Pengaruh Belanja Modal dan Fiscal Stress terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak sebagai variabel moderating pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara sejak diberlakukannya otonomi daerah.

2. Bagi Pemerintah, memberikan masukan baik bagi Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam hal penyusunan kebijakan di masa yang akan datang yang berkaitan dengan perencanaan, pengendalian, dan evaluasi dari APBN dan APBD, serta UU dan PP yang menyertainya; dan 3. Bagi Akademisi, sebagai bahan referensi dan data tambahan bagi penelitipeneliti lainnya yang tertarik pada bidang kajian ini. 1.5. Originalitas Penelitian Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian terdahulu yaitu Adi (2006) dan Husni (2011). Adi (2006) meneliti Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan, dan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali selama periode 1998-2003. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Adi yaitu pada penelitian terdahulu, variabel independennya hanya Belanja Modal dan tidak memiliki variabel moderating, sedangkan dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah Belanja Modal dan Fiscal Stress dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak sebagai variabel moderating. Kemudian Populasi penelitian terdahulu adalah seluruh Kabupaten dan Kota di Jawa dan Bali selama periode 1998-2003, sedangkan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara dalam periode 2008-2010.

Husni (2011) meneliti Pengaruh DAU, DAK terhadap peningkatan PAD dengan Belanja Modal sebagai variabel intervening di Kabupaten/ Kota Provinsi Aceh. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Husni, yaitu pada penelitian terdahulu, variabel independennya adalah DAU dan DAK dengan Belanja Modal sebagai variabel intervening, sedangkan dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah Belanja Modal dan Fiscal Stress dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak sebagai variabel moderating. Kemudian populasi penelitian terdahulu adalah seluruh Kabupaten/ Kota di Provinsi Aceh dalam periode 2004-2007, sedangkan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara dalam periode 2008-2010. Kemudian penelitian ini juga merupakan replikasi dari penelitian Frelistiyani (2010) dan Batubara (2009). Frelistiyani (2010) meneliti pengaruh DAU terhadap PAD dengan Belanja Modal sebagai variabel intervening. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Frelistiyani yaitu pada penelitian terdahulu, variabel independen yang digunakan adalah DAU, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan 2 variabel independen yakni Belanja Modal dan Fiscal Stress, serta 2 variabel moderating yakni Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak. Lokasi dan waktu penelitian terdahulu dilakukan di Kabupaten/ Kota se-jawa pada tahun 2006-2008, sedangkan dalam penelitian ini dilakukan di Kabupaten/ Kota se- Sumatera Utara pada tahun 2008-2010.

Batubara (2009) meneliti pengaruh Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan untuk pelayanan publik terhadap Realisasi PAD pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Batubara yaitu pada penelitian terdahulu, variabel independen yang digunakan adalah Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan tanpa adanya variabel moderating, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan 2 variabel independen yakni Belanja Modal dan Fiscal Stress, serta 2 variabel moderating yakni Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak. Lokasi dan waktu penelitian terdahulu dilakukan di Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2006-2008, sedangkan dalam penelitian ini dilakukan di Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara untuk periode 2008-2010. Kemudian lingkup Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak dalam penelitian ini dibatasi hanya yang berasal dari Pemerintah Pusat saja tanpa mengikutkan yang dari pemerintah provinsi. Hal tersebut dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana DBH Pajak dan DBH Bukan Pajak yang dialokasikan Pemerintah Pusat mempengaruhi hubungan Belanja Modal dan Fiscal Stress terhadap peningkatan PAD di daerah. Dengan demikian, maka dapat diketahui seberapa besar peran Pemerintah Pusat dalam meningkatkan PAD di daerah, sehingga data DBH yang dipakai dalam penelitian ini adalah data DBH dari perkiraan DBH Pajak dan DBH Bukan Pajak dalam kelompok Transfer Pemerintah Pusat Dana Perimbangan pada Pendapatan Transfer di LRA Pemerintah Kabupaten/ Kota.