BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Tujuan studi ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi dan mendeskripsikan praktik pemberian maaf dalam proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang dapat merusak baik fisik, mental dan spiritual anak.

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Rabu, 24 September 2014

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN


Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

-2- Di dalam Pasal 7 ayat (4) dinyatakan bahwa pemberian Kompensasi bagi Korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Un

BAB I PENDAHULUAN. proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAPAS

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

II. TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

MAKALAH AKSES KE KEADILAN: MENDISKUSIKAN PERAN KOMISI YUDISAL. Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Transkripsi:

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas sebagai hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini, maka dapat diajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penjabaran asas keadilan restoratif dalam hukum pidana di Indonesia terdapat di dalam hukum pidana nasional, hukum adat serta hukum pidana Islam, sebagai konsekuensi adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dalam konstitusi juga terhadap hukum pidana islam secara normatif, ditengah berlakunya hukum pidana nasional, menegaskan adanya pluralisme hukum pidana di Indonesia. 1.1. Penjabaran penerapan asas keadilan restoratif dalam hukum pidana nasional dalam konteks proses dan nilai pemulihan, menggunakan aturan hukum yang saat ini berlaku, terdapat dalam pengaturan KUHP dan KUHAP sebagai berikut; a. Penerapan kebijakan penjatuhan pidana bersyarat, khususnya dalam pengaturan pasal 14c KUHP yang mengatur syarat khusus dan syarat umum. b. Penerapan kebijakan penjatuhan pidana denda sebagai alternatif pidana penjara sebagaimana ketentuan Pasal 30 dan 31 KUHP, khususnya terhadap pengaturan sanksi pidana denda yang dirumuskan secara alternatif dalam KUHP, serta pengaturan sanksi pidana denda yang dirumuskan secara alternatif juga dalam Undang-Undang di luar KUHP yang mengatur sanksi pidana denda. c. Penerapan kebijakan afdoening buiten process sebagaimana dalam rumusan Pasal 82 KUHP, dimana suatu tindak pidana berupa pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja dan atas ijin dari jaksa penuntut umum dapat diselesaikan diluar proses perkara. d. Penerapan kebijakan diskresi pada tingkat penyidikan, penuntutan. e. Penerapan penggabungan ganti kerugian dalam tuntutan pidana. Pengaturan ganti kerugian dapat diberikan kepada korban tindak pidana dengan menilik pada pasal 98 ayat (1) KUHAP maupun melalui prosedur yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.

Kemungkinan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan hukum pidana yang saat ini berlaku, yang paling mendekati nilai inti (core values) yang terdapat pada asas keadilan restoratif yaitu nilai pemberdayaan (empowerment), nilai pemulihan (healing) adalah melalui penggunaan penerapan pidana bersyarat, dimana di dalam pengaturan tersebut hakim dapat menetapkan syarat bahwa pelaku mau mengganti kerugian korban serta meminta maaf maupun mengupayakan pemulihan pada korban tindak pidana. 1.2.Penjabaran asas keadilan restoratif dalam hukum adat diawali dari proses adanya pengakuan masyarakat hukum adat, sebagai konsekuensi adanya pengakuan dalam konstitusi pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 Secara substansi hukum, asas keadilan restoratif yang terdapat dalam nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat di Indonesia di beberapa daerah menunjukkan perbedaan. Asas keadilan restoratif secara substansi dikelompokkan menjadi dua, yaitu; pertama, asas keadilan restoratif pada kearifan lokal yang bersumber pada hukum agama yang telah mengalami akulturasi dengan budaya asli seperti Aceh, Bali dan Minangkabau; kedua, asas keadilan restoratif pada kearifan lokal yang bersumber pada budaya asli secara turun temurun sebagaimana dicontohkan masyarakat adat Papua dan Dayak. 1.3.Penjabaran asas keadilan restoratif dalam hukum pidana Islam di Indonesia diawali adanya pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan tindak lanjut dari diberlakukannya tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Asas keadilan restoratif dalam hukum pidana Islam dari sudut substansi hukum pada prinsipnya tidak lepas dari ketentuan sebagaimana dalam Al-Quran dan Sunah Rasulullah SAW, yang merupakan sumber hukum tertinggi ajaran agama Islam. Hukum pidana Islam mengenal gugurnya hukuman diantaranya dikarenakan adanya pengampunan dan perdamaian (shulh) sebagaimana tertuang dalam Surah An-Nisa ayat 62. Kewajiban bagi seorang muslim terhadap adanya pihak yang bersengketa adalah mendamaikannya. Perintah kepada pihak ketiga untuk mendamaikan para pihak yang sedang berselisih terdapat dalam surat Al-Hujurat Ayat 9. Penjabaran konsep Islah sebagai pedekatan asas keadilan restoratif dalam hukum pidana Islam, menunjukkan bahwa hukum Islam telah lama mengenal konsep keadilan restoratif sebagaimana tertuang dalam kitab suci Al Quran. 2. Penjabaran asas keadilan restoratif dalam putusan perkara pidana oleh pengadilan dapat dilihat dari putusan perkara pidana yang dalam penyelesaian perkara pidana telah memenuhi asas keadilan restoratif. Dari beberapa putusan perkara pidana yang penulis

kaji, menunjukkan penerapan asas keadilan restoratif menggunakan instrumen hukum pidana yang saat ini masih berlaku menunjukkan implikasi berupa adanya disparitas dan inkonsistensi dalam penerapan asas keadilan restoratif terhadap penyelesaian perkara pidana.pertimbangan hukum putusan perkara pidana M. Rasyid Amrullah Rajasa memenuhi aspek teori keadilan restoratif yang pada prinsipnya mengedepankan aspek integrasi pelaku kejahatan dan korban kejahatan sebagai bentuk pemberdayaan secara aktif dalam pembahasan penyelesaian masalah pidana. Putusan tersebut menggambarkan bekerjanya subsistem peradilan pidana dalam penyelesaian perkara pidana terhadap terdakwa secara integral telah memiliki pemahaman yang sama dalam penerapan hukum dengan asas keadilan restoratif, dengan tujuan menghidarkan pemenjaraan terhadap terdakwa selama terdakwa kooperatif, mau mengakui kesalahannya, minta maaf, berkomitmen tidak mengulangi perbuatannya lagi dan mau berempati serta bertanggungjawab pada kerugian korban. 3. Reformulasi asas keadilan restoratif dalam hukum pidana di Indonesia pada masa yang akan datang perlu untuk dilakukan khususnya terhadap Buku I KUHP sebagai aturan umum penegakan hukum pidana. Reformulasi asas keadilan restoratif dalam hukum pidana materiil di Indonesia dalam RUU-KUHP pada masa yang akan datang menunjukkan indikator-indikator ke arah suatu peradilan pidana yang mengedepankan keseimbangan kepentingan (kepentingan negara, masyarakat, dan korban) sebagai model yang mencerminkan nilai-nilai ideologi dan nilai sosiokultural masyarakat Indonesia yang bercirikan serasi, selaras dan seimbang seperti terkandung dalam Pancasila, sehingga perlu menambahkan pengaturan terhadap hal sebagai berikut; Pertama, batasan penerapan asas keadilan restoratif tidak terbatas hanya terhadap tindak pidana ringan semata melainkan pula terhadap tindak pidana berat seperti pembunuhan sekalipun. Batasan terhadap penerapan asas keadilan restoratif idealnya dikecualikan terhadap tindak pidana yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat atau merugikan keuangan atau perekonomian negara atau tindak pidana terhadap kepentingan negara Indonesia. Kedua, pengaturan kesepakatan perdamaian secara tertulis sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana diluar proses sehingga dapat dirumuskan menjadi dasar hukum gugurnya kewenangan penuntutan penuntut umum. Kesepakatan perdamaian tersebut juga dapat dirumuskan menjadi dasar pertimbangan majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Kesepakatan perdamaian tersebut juga dapat dirumuskan

menjadi dasar pertimbangan perubahan atau penyesuaian pidana maupun dalam hal pembebasan bersyarat. Kesepakatan perdamaian secara tertulis tersebut memuat hal yang disepakati korban dan pelaku termasuk pernyataan permaafan dan komitmen ganti kerugian dan sebagainya. Pengaturan kesepakatan perdamaian tersebut nantinya diharapkan memiliki relevansi dengan pengaturan penerapan asas keadilan restoratif dalam hukum pidana formil. Reformulasi asas keadilan restoratif dalam hukum pidana formil di Indonesia didasarkan pada tujuan mengedepankan keseimbangan kepentingan dalam masyarakat, sehingga memerlukan pengaturan sebagai berikut: Pertama, adanya pengakuan dalam konstitusi negara terhadap masyarakat hukum adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat, mengandung konsekuensi yuridis bahwa dapat dirumuskan pengaturan kedudukan peradilan adat dalam proses penyelesaian perkara pidana yang bersinggungan dengan hukum adat dalam masyarakat. Kedua, adanya peluang menerapkan diskresi pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Penerapan asas keadilan restoratif dalam proses penegakan hukum pidana dapat di konstruksikan dalam bentuk diskresi oleh kepolisian dan atau kejaksaan pada tahap pra persidangan dengan melakukan diversi dalam hal mengupakan pihak pelaku dan korban mencapai kesepakatan perdamaian. Musyawarah diversi yang dilakukan dengan dibantu oleh seorang fasilitator pada tiap tahapan proses penanganan perkara. Penerapan diversi berdasarkan diskresi tersebut dilakukan atas permohonan terdakwa dan persetujuan korban. Ketiga, pada tahap persidangan, majelis hakim berdasarkan kewenangannya dapat mendamaikan pihak pelaku dan korban, apabila terjadi perdamaian maka hal tersebut dijadikan pertimbangan dalam korelasinya terhadap adanya ide pengaturan pengampunan oleh hakim (rechterlijk pardon atau judicial pardon). Majelis hakim juga dapat menjatuhkan pidana bersyarat dengan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Keempat, pada tahap pelaksanaan pidana, asas keadilan restoratif dapat diwujudkan dengan pengaturan penerapan syarat mengikuti program rehabilitasi disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

B. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka selanjutnya dirumuskan saran dari hasil penelitian ini untuk penegakan hukum pidana pada saat ini dan dalam rangka pembaharuan hukum pidana sebagai berikut: 1. Penerapan asas keadilan restoratif menggunakan hukum pidana yang saat ini berlaku, perlu dilakukan penguatan kebijakan pada tahap pelaksanaan oleh subsistem peradilan pidana, sehingga dapat disarankan sebagai berikut: a. Kepada Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, perlu kiranya melakukan penguatan kebijakan diskresi kepolisian dan kejaksaan diperlukan. Penguatan kebijakan tersebut disertai pengaturan arah kebijakan seyogyanya ditindaklanjuti dengan adanya petunjuk yang mengarah pada tujuan keadilan restoratif secara konkrit. b. Perlu adanya penguatan kebijakan pelaksanan pidana bersyarat maupun penggabungan tuntutan pidana dan ganti kerugian oleh Mahkamah Agung RI dan Kejaksaan Agung RI, untuk mengatasi permasalahan praktis, sehingga penerapan hukum tersebut dapat secara konsisten diterapkan. c. Penuntut umum diharapkan untuk lebih memaksimalkan lagi terkait dengan ketentuan pasal 98 ayat (1) KUHAP tersebut, Jaksa Agung telah memberikan petunjuk Surat Petunjuk Jaksa Agung Nomor B-63/E/2/1994 tanggal 4 Februari 1994 tentang Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan serta Surat Petunjuk Jaksa Agung Nomor: B-187/E/5/3/95 perihal Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan, namun petunjuk tersebut sangat jarang diterapkan dalam penanganan perkara pidana, sehingga memerlukan penegasan mengenai peran penuntut umum dalam penyelesaian perkara pidana. Penegasan tersebut dikarenakan prosedur pemeriksaan yang dilakukan LPSK sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008, menyebabkan proses penyelesaian perkara pidana menjadi tidak sederhana. Perlu adanya sinergitas pengaturan hukum terhadap kewenangan penanganan ganti kerugian dalam proses peradilan pidana, antara kejaksaan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sehingga lebih mengakomodir dan mempermudah proses pemenuhan ganti kerugian korban oleh pelaku tindak pidana. d. Mahkamah Agung perlu kiranya melakukan reformulasi PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, dengan pengaturan yang lebih konstruksif, komprehensif dan sistematis

berkaitan dengan aspek kepentingan korban maupun kepentingan penegakan hukum oleh subsistem peradilan pidana lainnya sehingga tercipta sinergitas yang sistematis. e. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Perlu melakukan sosialisasi hukum serta pemberdayaan lembaga swadaya masyarakat maupun komunitas masyarakat adat terhadap adanya perubahan perspektif penegakan hukum pidana ke arah keadilan restoratif, sehingga meningkatkan peran serta masyarakat dalam menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 2. Pengaturan penerapan asas keadilan restoratif dalam rangka pembaharuan hukum pidana, dapat disarankan kepada badan legislatif sebagai berikut: a. Adanya pengakuan terhadap hukum adat mengandung konsekuensi bahwa hukum pidana adat tersebut harus diformulasikan secara tertulis, hal ini sejalan dengan asas lex certa dan asas lex scripta yang mensyaratkan ketentuan pidana harus tertulis dan ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi. Pengaturan Pasal 2 ayat (1) RUU-KUHP 2015 selaras dengan adanya pengaturan hak masyarakat adat secara normatif dalam Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA) 2014. Pengakuan Masyarakat Hukum Adat secara garis besar bisa dibagi ke dalam dua tahapan, yaitu: pertama, pengukuhan atau penetapan keberadaan; kedua, pengakuan hak atau kewenangan. Proses identifikasi dan verifikasi diletakkan sebagai bagian dari proses menuju pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan perundang-undangan, perumusan pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat, idealnya bahwa hukum pidana adat tersebut harus diformulasikan dalam bentuk peraturan daerah. b. Perlu pengaturan diskresi pada tingkat penyidikan dan penuntutan, dalam hal menerapkan diversi untuk memfasilitasi pertemuan korban dengan pelaku, dengan menekankan pada nilai pemberdayaan dan pemulihan. Syarat untuk dapat dilakukan diversi diantaranya; a. Pihak korban atau keluarganya bersedia untuk mengikuti proses diversi, korban siap secara fisik dan psikis dan dalam keadaan yang tanpa tekanan (jika korban masih trauma, maka ia wajib dipulihkan terlebih dahulu dengan pendampingan dari instansi terkait) ; b.pelaku mengakui terus terang perbuatannya; c.pelaku maupun keluarganya berinisiatif dengan itikad baik menyelesaikan perkara pidana secara damai, dan bersedia mengganti kerugian korban; d. adanya bukti

permulaan cukup terhadap kesalahan pelaku; e.bukan termasuk tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat atau merugikan keuangan atau perekonomian negara atau tindak pidana terhadap kepentingan negara Indonesia; f. Terdakwa bukan merupakan residivis. Syarat terpenting dari dapat dilakukannya upaya diversi adalah adanya kesediaan korban untuk berpartisipasi dalam proses untuk mempertemukan kepentingan tersebut. Fasilitator wajib untuk memprioritaskan kepentingan dan kondisi korban, sehingga kesiapan mental, psikis, fisik korban maupun tekanan-tekanan terhadap korban wajib terlebih dahulu dilakukan normalisasi. Fasilitator maupun pelaku atau siapapun dari lingkungan masyarakat, tidak dapat memaksa supaya korban mau untuk mengikuti proses diversi. Korban wajib untuk dipulihkan terlebih dahulu melalui pendampingan dari instansi terkait, maupun pihak yang berpengaruh, dengan pengawasan dari pejabat terkait dalam sub sistem peradilan pidana. Hal ini disebabkan karena aspek utama pada nilai pemulihan adalah pemulihan pada korban terlebih dahulu, walaupun proses penerapan asas keadilan restoratif dalam proses diversi melalui mediasi, musyawarah atau sejenisnya, tidak akan memenuhi asas keadilan restoratif apabila aspek pemulihan pada diri korban tidak diprioritaskan. c. Pengaturan kesepakatan perdamaian secara tertulis sebagai bentuk penyelesaian diluar proses sehingga dapat dirumuskan; a. menjadi dasar hukum gugurnya kewenangan penuntutan penuntut umum; b. menjadi dasar pertimbangan majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan; c. menjadi dasar pertimbangan perubahan atau penyesuaian pidana maupun dalam hal pembebasan bersyarat. d. Adanya pengakuan negara terhadap hukum adat, serta secara tegas mengatur peradilan adat dan pengadilan adat menunjukkan perlu dirumuskan pengaturan kedudukan peradilan adat dalam hukum acara pidana mengenai proses penyelesaian perkara pidana yang bersinggungan dengan hukum adat dalam masyarakat. Pengaturan tersebut meliputi; a. mekanisme pengakuan yang mengatur validitas dan reliabilitas hukum dan peradilan adat; b. batasan kewenangan peradilan adat; c. harmonisasi proses peradilan adat dengan proses penanganan perkara pada tingkat penyidikan dan/atau penuntutan; d. serta harmonisasi putusan peradilan adat dengan putusan dan/atau penetapan pengadilan negeri; e. pengaturan mengenai eksekusi dan konsekuensi yuridis tidak dilaksanakannya putusan peradilan adat terhadap

penanganan perkara. Hal ini bertujuan untuk menjaga harmonisasi peraturan hukum pidana. e. Perlu pengaturan diversi walaupun terhadap pelaku dewasa sebagai wujud implementasi tujuan keadilan restoratif dalam penegakan hukum pidana. Pengaturan diversi tersebut memuat mekanisme musyawarah diversi yang dilakukan dengan dibantu oleh seorang fasilitator dalam proses rekonsiliasi pada tiap tahapan proses penanganan perkara, atau dapat pula menggunakan mekanisme mediasi dengan bantuan mediator, berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. f. Perlu pengaturan penerapan syarat mengikuti program rehabilitasi disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Laporan hasil pembinaan dalam program rehabilitasi tersebut disampaikan kepada hakim pengawas dan pengamat selanjutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan rekomendasi hakim pengawas dalam hal pemberian pembebasan bersyarat. Laporan tersebut juga dapat dijadikan rekomendasi terhadap permohonan perubahan dan penyesuaian pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. g. Perlu pengaturan sistem informasi manajemen perkara terintegrasi elektronik secara transparan, akuntabel untuk mempermudah perolehan informasi terkait penanganan perkara tiap tahap sistem peradilan pidana, serta sebagai sarana kontrol dan pengawasan.