BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas sebagai hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini, maka dapat diajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penjabaran asas keadilan restoratif dalam hukum pidana di Indonesia terdapat di dalam hukum pidana nasional, hukum adat serta hukum pidana Islam, sebagai konsekuensi adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dalam konstitusi juga terhadap hukum pidana islam secara normatif, ditengah berlakunya hukum pidana nasional, menegaskan adanya pluralisme hukum pidana di Indonesia. 1.1. Penjabaran penerapan asas keadilan restoratif dalam hukum pidana nasional dalam konteks proses dan nilai pemulihan, menggunakan aturan hukum yang saat ini berlaku, terdapat dalam pengaturan KUHP dan KUHAP sebagai berikut; a. Penerapan kebijakan penjatuhan pidana bersyarat, khususnya dalam pengaturan pasal 14c KUHP yang mengatur syarat khusus dan syarat umum. b. Penerapan kebijakan penjatuhan pidana denda sebagai alternatif pidana penjara sebagaimana ketentuan Pasal 30 dan 31 KUHP, khususnya terhadap pengaturan sanksi pidana denda yang dirumuskan secara alternatif dalam KUHP, serta pengaturan sanksi pidana denda yang dirumuskan secara alternatif juga dalam Undang-Undang di luar KUHP yang mengatur sanksi pidana denda. c. Penerapan kebijakan afdoening buiten process sebagaimana dalam rumusan Pasal 82 KUHP, dimana suatu tindak pidana berupa pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja dan atas ijin dari jaksa penuntut umum dapat diselesaikan diluar proses perkara. d. Penerapan kebijakan diskresi pada tingkat penyidikan, penuntutan. e. Penerapan penggabungan ganti kerugian dalam tuntutan pidana. Pengaturan ganti kerugian dapat diberikan kepada korban tindak pidana dengan menilik pada pasal 98 ayat (1) KUHAP maupun melalui prosedur yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Kemungkinan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan hukum pidana yang saat ini berlaku, yang paling mendekati nilai inti (core values) yang terdapat pada asas keadilan restoratif yaitu nilai pemberdayaan (empowerment), nilai pemulihan (healing) adalah melalui penggunaan penerapan pidana bersyarat, dimana di dalam pengaturan tersebut hakim dapat menetapkan syarat bahwa pelaku mau mengganti kerugian korban serta meminta maaf maupun mengupayakan pemulihan pada korban tindak pidana. 1.2.Penjabaran asas keadilan restoratif dalam hukum adat diawali dari proses adanya pengakuan masyarakat hukum adat, sebagai konsekuensi adanya pengakuan dalam konstitusi pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 Secara substansi hukum, asas keadilan restoratif yang terdapat dalam nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat di Indonesia di beberapa daerah menunjukkan perbedaan. Asas keadilan restoratif secara substansi dikelompokkan menjadi dua, yaitu; pertama, asas keadilan restoratif pada kearifan lokal yang bersumber pada hukum agama yang telah mengalami akulturasi dengan budaya asli seperti Aceh, Bali dan Minangkabau; kedua, asas keadilan restoratif pada kearifan lokal yang bersumber pada budaya asli secara turun temurun sebagaimana dicontohkan masyarakat adat Papua dan Dayak. 1.3.Penjabaran asas keadilan restoratif dalam hukum pidana Islam di Indonesia diawali adanya pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan tindak lanjut dari diberlakukannya tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Asas keadilan restoratif dalam hukum pidana Islam dari sudut substansi hukum pada prinsipnya tidak lepas dari ketentuan sebagaimana dalam Al-Quran dan Sunah Rasulullah SAW, yang merupakan sumber hukum tertinggi ajaran agama Islam. Hukum pidana Islam mengenal gugurnya hukuman diantaranya dikarenakan adanya pengampunan dan perdamaian (shulh) sebagaimana tertuang dalam Surah An-Nisa ayat 62. Kewajiban bagi seorang muslim terhadap adanya pihak yang bersengketa adalah mendamaikannya. Perintah kepada pihak ketiga untuk mendamaikan para pihak yang sedang berselisih terdapat dalam surat Al-Hujurat Ayat 9. Penjabaran konsep Islah sebagai pedekatan asas keadilan restoratif dalam hukum pidana Islam, menunjukkan bahwa hukum Islam telah lama mengenal konsep keadilan restoratif sebagaimana tertuang dalam kitab suci Al Quran. 2. Penjabaran asas keadilan restoratif dalam putusan perkara pidana oleh pengadilan dapat dilihat dari putusan perkara pidana yang dalam penyelesaian perkara pidana telah memenuhi asas keadilan restoratif. Dari beberapa putusan perkara pidana yang penulis
kaji, menunjukkan penerapan asas keadilan restoratif menggunakan instrumen hukum pidana yang saat ini masih berlaku menunjukkan implikasi berupa adanya disparitas dan inkonsistensi dalam penerapan asas keadilan restoratif terhadap penyelesaian perkara pidana.pertimbangan hukum putusan perkara pidana M. Rasyid Amrullah Rajasa memenuhi aspek teori keadilan restoratif yang pada prinsipnya mengedepankan aspek integrasi pelaku kejahatan dan korban kejahatan sebagai bentuk pemberdayaan secara aktif dalam pembahasan penyelesaian masalah pidana. Putusan tersebut menggambarkan bekerjanya subsistem peradilan pidana dalam penyelesaian perkara pidana terhadap terdakwa secara integral telah memiliki pemahaman yang sama dalam penerapan hukum dengan asas keadilan restoratif, dengan tujuan menghidarkan pemenjaraan terhadap terdakwa selama terdakwa kooperatif, mau mengakui kesalahannya, minta maaf, berkomitmen tidak mengulangi perbuatannya lagi dan mau berempati serta bertanggungjawab pada kerugian korban. 3. Reformulasi asas keadilan restoratif dalam hukum pidana di Indonesia pada masa yang akan datang perlu untuk dilakukan khususnya terhadap Buku I KUHP sebagai aturan umum penegakan hukum pidana. Reformulasi asas keadilan restoratif dalam hukum pidana materiil di Indonesia dalam RUU-KUHP pada masa yang akan datang menunjukkan indikator-indikator ke arah suatu peradilan pidana yang mengedepankan keseimbangan kepentingan (kepentingan negara, masyarakat, dan korban) sebagai model yang mencerminkan nilai-nilai ideologi dan nilai sosiokultural masyarakat Indonesia yang bercirikan serasi, selaras dan seimbang seperti terkandung dalam Pancasila, sehingga perlu menambahkan pengaturan terhadap hal sebagai berikut; Pertama, batasan penerapan asas keadilan restoratif tidak terbatas hanya terhadap tindak pidana ringan semata melainkan pula terhadap tindak pidana berat seperti pembunuhan sekalipun. Batasan terhadap penerapan asas keadilan restoratif idealnya dikecualikan terhadap tindak pidana yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat atau merugikan keuangan atau perekonomian negara atau tindak pidana terhadap kepentingan negara Indonesia. Kedua, pengaturan kesepakatan perdamaian secara tertulis sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana diluar proses sehingga dapat dirumuskan menjadi dasar hukum gugurnya kewenangan penuntutan penuntut umum. Kesepakatan perdamaian tersebut juga dapat dirumuskan menjadi dasar pertimbangan majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Kesepakatan perdamaian tersebut juga dapat dirumuskan
menjadi dasar pertimbangan perubahan atau penyesuaian pidana maupun dalam hal pembebasan bersyarat. Kesepakatan perdamaian secara tertulis tersebut memuat hal yang disepakati korban dan pelaku termasuk pernyataan permaafan dan komitmen ganti kerugian dan sebagainya. Pengaturan kesepakatan perdamaian tersebut nantinya diharapkan memiliki relevansi dengan pengaturan penerapan asas keadilan restoratif dalam hukum pidana formil. Reformulasi asas keadilan restoratif dalam hukum pidana formil di Indonesia didasarkan pada tujuan mengedepankan keseimbangan kepentingan dalam masyarakat, sehingga memerlukan pengaturan sebagai berikut: Pertama, adanya pengakuan dalam konstitusi negara terhadap masyarakat hukum adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat, mengandung konsekuensi yuridis bahwa dapat dirumuskan pengaturan kedudukan peradilan adat dalam proses penyelesaian perkara pidana yang bersinggungan dengan hukum adat dalam masyarakat. Kedua, adanya peluang menerapkan diskresi pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Penerapan asas keadilan restoratif dalam proses penegakan hukum pidana dapat di konstruksikan dalam bentuk diskresi oleh kepolisian dan atau kejaksaan pada tahap pra persidangan dengan melakukan diversi dalam hal mengupakan pihak pelaku dan korban mencapai kesepakatan perdamaian. Musyawarah diversi yang dilakukan dengan dibantu oleh seorang fasilitator pada tiap tahapan proses penanganan perkara. Penerapan diversi berdasarkan diskresi tersebut dilakukan atas permohonan terdakwa dan persetujuan korban. Ketiga, pada tahap persidangan, majelis hakim berdasarkan kewenangannya dapat mendamaikan pihak pelaku dan korban, apabila terjadi perdamaian maka hal tersebut dijadikan pertimbangan dalam korelasinya terhadap adanya ide pengaturan pengampunan oleh hakim (rechterlijk pardon atau judicial pardon). Majelis hakim juga dapat menjatuhkan pidana bersyarat dengan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Keempat, pada tahap pelaksanaan pidana, asas keadilan restoratif dapat diwujudkan dengan pengaturan penerapan syarat mengikuti program rehabilitasi disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka selanjutnya dirumuskan saran dari hasil penelitian ini untuk penegakan hukum pidana pada saat ini dan dalam rangka pembaharuan hukum pidana sebagai berikut: 1. Penerapan asas keadilan restoratif menggunakan hukum pidana yang saat ini berlaku, perlu dilakukan penguatan kebijakan pada tahap pelaksanaan oleh subsistem peradilan pidana, sehingga dapat disarankan sebagai berikut: a. Kepada Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, perlu kiranya melakukan penguatan kebijakan diskresi kepolisian dan kejaksaan diperlukan. Penguatan kebijakan tersebut disertai pengaturan arah kebijakan seyogyanya ditindaklanjuti dengan adanya petunjuk yang mengarah pada tujuan keadilan restoratif secara konkrit. b. Perlu adanya penguatan kebijakan pelaksanan pidana bersyarat maupun penggabungan tuntutan pidana dan ganti kerugian oleh Mahkamah Agung RI dan Kejaksaan Agung RI, untuk mengatasi permasalahan praktis, sehingga penerapan hukum tersebut dapat secara konsisten diterapkan. c. Penuntut umum diharapkan untuk lebih memaksimalkan lagi terkait dengan ketentuan pasal 98 ayat (1) KUHAP tersebut, Jaksa Agung telah memberikan petunjuk Surat Petunjuk Jaksa Agung Nomor B-63/E/2/1994 tanggal 4 Februari 1994 tentang Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan serta Surat Petunjuk Jaksa Agung Nomor: B-187/E/5/3/95 perihal Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan, namun petunjuk tersebut sangat jarang diterapkan dalam penanganan perkara pidana, sehingga memerlukan penegasan mengenai peran penuntut umum dalam penyelesaian perkara pidana. Penegasan tersebut dikarenakan prosedur pemeriksaan yang dilakukan LPSK sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008, menyebabkan proses penyelesaian perkara pidana menjadi tidak sederhana. Perlu adanya sinergitas pengaturan hukum terhadap kewenangan penanganan ganti kerugian dalam proses peradilan pidana, antara kejaksaan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sehingga lebih mengakomodir dan mempermudah proses pemenuhan ganti kerugian korban oleh pelaku tindak pidana. d. Mahkamah Agung perlu kiranya melakukan reformulasi PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, dengan pengaturan yang lebih konstruksif, komprehensif dan sistematis
berkaitan dengan aspek kepentingan korban maupun kepentingan penegakan hukum oleh subsistem peradilan pidana lainnya sehingga tercipta sinergitas yang sistematis. e. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Perlu melakukan sosialisasi hukum serta pemberdayaan lembaga swadaya masyarakat maupun komunitas masyarakat adat terhadap adanya perubahan perspektif penegakan hukum pidana ke arah keadilan restoratif, sehingga meningkatkan peran serta masyarakat dalam menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 2. Pengaturan penerapan asas keadilan restoratif dalam rangka pembaharuan hukum pidana, dapat disarankan kepada badan legislatif sebagai berikut: a. Adanya pengakuan terhadap hukum adat mengandung konsekuensi bahwa hukum pidana adat tersebut harus diformulasikan secara tertulis, hal ini sejalan dengan asas lex certa dan asas lex scripta yang mensyaratkan ketentuan pidana harus tertulis dan ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi. Pengaturan Pasal 2 ayat (1) RUU-KUHP 2015 selaras dengan adanya pengaturan hak masyarakat adat secara normatif dalam Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA) 2014. Pengakuan Masyarakat Hukum Adat secara garis besar bisa dibagi ke dalam dua tahapan, yaitu: pertama, pengukuhan atau penetapan keberadaan; kedua, pengakuan hak atau kewenangan. Proses identifikasi dan verifikasi diletakkan sebagai bagian dari proses menuju pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan perundang-undangan, perumusan pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat, idealnya bahwa hukum pidana adat tersebut harus diformulasikan dalam bentuk peraturan daerah. b. Perlu pengaturan diskresi pada tingkat penyidikan dan penuntutan, dalam hal menerapkan diversi untuk memfasilitasi pertemuan korban dengan pelaku, dengan menekankan pada nilai pemberdayaan dan pemulihan. Syarat untuk dapat dilakukan diversi diantaranya; a. Pihak korban atau keluarganya bersedia untuk mengikuti proses diversi, korban siap secara fisik dan psikis dan dalam keadaan yang tanpa tekanan (jika korban masih trauma, maka ia wajib dipulihkan terlebih dahulu dengan pendampingan dari instansi terkait) ; b.pelaku mengakui terus terang perbuatannya; c.pelaku maupun keluarganya berinisiatif dengan itikad baik menyelesaikan perkara pidana secara damai, dan bersedia mengganti kerugian korban; d. adanya bukti
permulaan cukup terhadap kesalahan pelaku; e.bukan termasuk tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat atau merugikan keuangan atau perekonomian negara atau tindak pidana terhadap kepentingan negara Indonesia; f. Terdakwa bukan merupakan residivis. Syarat terpenting dari dapat dilakukannya upaya diversi adalah adanya kesediaan korban untuk berpartisipasi dalam proses untuk mempertemukan kepentingan tersebut. Fasilitator wajib untuk memprioritaskan kepentingan dan kondisi korban, sehingga kesiapan mental, psikis, fisik korban maupun tekanan-tekanan terhadap korban wajib terlebih dahulu dilakukan normalisasi. Fasilitator maupun pelaku atau siapapun dari lingkungan masyarakat, tidak dapat memaksa supaya korban mau untuk mengikuti proses diversi. Korban wajib untuk dipulihkan terlebih dahulu melalui pendampingan dari instansi terkait, maupun pihak yang berpengaruh, dengan pengawasan dari pejabat terkait dalam sub sistem peradilan pidana. Hal ini disebabkan karena aspek utama pada nilai pemulihan adalah pemulihan pada korban terlebih dahulu, walaupun proses penerapan asas keadilan restoratif dalam proses diversi melalui mediasi, musyawarah atau sejenisnya, tidak akan memenuhi asas keadilan restoratif apabila aspek pemulihan pada diri korban tidak diprioritaskan. c. Pengaturan kesepakatan perdamaian secara tertulis sebagai bentuk penyelesaian diluar proses sehingga dapat dirumuskan; a. menjadi dasar hukum gugurnya kewenangan penuntutan penuntut umum; b. menjadi dasar pertimbangan majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan; c. menjadi dasar pertimbangan perubahan atau penyesuaian pidana maupun dalam hal pembebasan bersyarat. d. Adanya pengakuan negara terhadap hukum adat, serta secara tegas mengatur peradilan adat dan pengadilan adat menunjukkan perlu dirumuskan pengaturan kedudukan peradilan adat dalam hukum acara pidana mengenai proses penyelesaian perkara pidana yang bersinggungan dengan hukum adat dalam masyarakat. Pengaturan tersebut meliputi; a. mekanisme pengakuan yang mengatur validitas dan reliabilitas hukum dan peradilan adat; b. batasan kewenangan peradilan adat; c. harmonisasi proses peradilan adat dengan proses penanganan perkara pada tingkat penyidikan dan/atau penuntutan; d. serta harmonisasi putusan peradilan adat dengan putusan dan/atau penetapan pengadilan negeri; e. pengaturan mengenai eksekusi dan konsekuensi yuridis tidak dilaksanakannya putusan peradilan adat terhadap
penanganan perkara. Hal ini bertujuan untuk menjaga harmonisasi peraturan hukum pidana. e. Perlu pengaturan diversi walaupun terhadap pelaku dewasa sebagai wujud implementasi tujuan keadilan restoratif dalam penegakan hukum pidana. Pengaturan diversi tersebut memuat mekanisme musyawarah diversi yang dilakukan dengan dibantu oleh seorang fasilitator dalam proses rekonsiliasi pada tiap tahapan proses penanganan perkara, atau dapat pula menggunakan mekanisme mediasi dengan bantuan mediator, berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. f. Perlu pengaturan penerapan syarat mengikuti program rehabilitasi disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Laporan hasil pembinaan dalam program rehabilitasi tersebut disampaikan kepada hakim pengawas dan pengamat selanjutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan rekomendasi hakim pengawas dalam hal pemberian pembebasan bersyarat. Laporan tersebut juga dapat dijadikan rekomendasi terhadap permohonan perubahan dan penyesuaian pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. g. Perlu pengaturan sistem informasi manajemen perkara terintegrasi elektronik secara transparan, akuntabel untuk mempermudah perolehan informasi terkait penanganan perkara tiap tahap sistem peradilan pidana, serta sebagai sarana kontrol dan pengawasan.