IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Hasil penelitian menunjukkan data nilai rataan konsumsi ransum ayam Sentul Warso dari tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Ulangan Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5...............gram/ekor... 1 1444,80 2107,50 1415,40 1588,80 1536,60 2 1470,00 1672,88 1448,10 1702,20 1641,00 3 1985,50 1680,75 1484,75 1744,50 1449,00 4 1708,00 1584,75 1568,25 1604,25 1575,00 Jumlah 6608,30 7045,87 5916,50 6639,75 6201,60 Rata- 1652,08± 1761,47± 1479,13± 1659,94± 1550,40± rata 251,94 234,76 65,82 75,50 80,18 Keterangan : R1 = EM2750 kkal/kg dan Protein15% R2 = EM 2750 kkal/kg dan Protein17% R3 = EM2750 kkal/kg dan Protein 19% R4 = EM 2950 kkal/kg dan Protein 15% R5 = EM 2950 kkal/kg dan Protein 17% Tabel 5. memperlihatkan bahwa rataan konsumsi ransum ayam Sentul Warso selama penelitian berkisar antara 1479,13-1761,47 gr/ekor. Kisaran konsumsi ransum pada penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan hasil penelitian Ariesta (2011) yang melaporkan bahwa konsumsi ransum pada ayam kampung umur 10 minggu dengan perlakuan ransum energi dan protein 3100 kkal/kg ; 22% yaitu sebesar 1551,9 g/ekor dan menghasilkan BB akhir 620,75 g/ekor. Hal ini terjadi karena perbedaan kandungan energi ransum pada penelitian
25 ini lebih rendah dibandingkan energi ransum penelitian Ariesta dimana konsumsi meningkat bila kandungan energi ransum rendah dan sebaliknya. Rataan konsumsi ransum dari yang terkecil sampai yang terbesar adalah perlakuan R3 sebesar 1479,13 gr/ekor dan selanjutnya pada perlakuan R5, R1, R4, dan R2 secara berturut-turut adalah 1550,40 gr/ekor; 1652,08 gr/ekor; 1659,94 gr/ekor; 1761,47 gr/ekor. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum dilakukan analisis ragam yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P > 0,05) terhadap konsumsi ransum. Artinya, tingkat pemberian energi dan protein dalam ransum dengan level energi metabolis 2750 kkal/kg dan 2950 kkal/kg dan protein 15%, 17% dan 19% di dalam ransum tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi ransum pada ayam Sentul warso selama penelitian. Perbedaan energi 200 kkal/kg ransum tidak memberikan perbedaan pada konsumsi ransum pada ayam kampung. Hal ini bisa terjadi karena ransum yang digunakan selama penelitian berbentuk mash, sehingga ransum yang mempunyai kandungan energi dan protein rendah akan memiliki tingkat keambaan (bulkiness) ransum yang lebih tinggi dari pada ransum yang kandungan energi dan proteinnya tinggi. Jadi ayam yang diberi ransum yang amba meskipun ingin meningkatkan konsumsinya temboloknya sudah penuh dan merasa kenyang. Sebaliknya ayam yang diberi ransum berenergi tinggi, meskipun kebutuhan energi sudah terpenuhi tetapi kapasitas tembolok belum mencapai rasa kenyang, ternak akan terus mengkonsumsi ransum yang masih ada. Menurut Usman dkk., (2002) Konsumsi ransum bukan hanya dipengaruhi oleh kadar energi tetapi juga dipengaruhi palatabilitas, kecepatan pertumbuhan dan bentuk fisik dari ransum. Kapasitas tembolok erat hubungannya dengan keambaan ransum yang pada gilirannya turut
Konsumsi Ransum (gr) 26 menentukan konsumsi ransum. Selain itu, pada penelitian ini temperatur lingkungan yang berbeda-beda tiap hari nya di dalam kandang bisa mempengaruhi konsumsi ransum pada ayam Sentul Warso. Sesuai dengan pendapat Card dan Nesheim (1978), bahwa semakin tinggi temperatur lingkungan, konsumsi ransum akan menurun dan sebaliknya semakin rendah temperatur lingkungan, konsumsi ransum semakin meningkat. Hasil tersebut memberi gambaran bahwa konsumsi ransum pada setiap perlakuan berada kisaran yang sama. Berikut ini konsumsi ransum setiap perlakuan selama penelitian dari minggu pertama sampai dengan minggu kedelelapan dapat dilihat pada Grafik 1. 1600.00 1400.00 1200.00 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Umur Perlakuan (Minggu) R1 R2 R3 R4 R5 Grafik 1. Rataan Konsumsi Ransum Selama Penelitian Grafik 1 memperlihatkan perbedaan konsumsi ransum setiap perlakuan dari minggu pertama sampai dengan minggu akhir setelah diberikan perlakuan. Perbedaan tersebut bisa disebabkan karena adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan selama penelitian, seperti diketahui bahwa pertumbuhan pada unggas yaitu lambat pada awal pertumbuhan, lalu meningkat cepat sebelum pubertas, kemudian terjadi perlambatan saat kedewasaan tubuh telah tercapai hingga kemudian pertumbuhan terhenti. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat
27 Agustina dkk. (2013) bahwa umumnya masa percepatan pertumbuhan terjadi sebelum ternak mengalami pubertas (dewasa kelamin) dan kemudian setelahnya terjadi perlambatan. Ditambahkan lagi oleh pendapat Card dan Nesheim, (1978) pada ternak ayam kecepatan pertumbuhan tertinggi terjadi sejak menetas sampai pada umur enam minggu, kemudian setelah umur tersebut derajat pertumbuhan berangsur-angsur akan menurun sampai pada suatu saat tertentu berhenti sama sekali. Konsumsi ransum tertinggi dari setiap perlakuan terdapat pada minggu kesembilan. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh umur dari ayam tersebut, seiring dengan bertambahnya umur ayam akan meningkatkan konsumsi ransumnya untuk kebutuhan hidup pokoknya. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Fadhilah (2004), bahwa setiap minggunya ayam akan mengonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan dengan minggu sebelumnya dan semakin bertambah umur konsumsi ransum pun akan meningkat. 4.2 Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Bobot Badan Data nilai rataan Pertambahan Bobot Badan ayam Sentul Warso dari tiap perlakuan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Bobot Badan Ulangan Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5......gram/ekor. 1 507,00 578,00 564,00 564,00 572,00 2 464,00 553,75 599,00 483,00 525,50 3 683,75 582,50 521,67 532,80 507,50 4 658,33 671,25 591,25 557,14 675,00 Jumlah 2313,08 2385,50 2275,92 2136,94 2280,00 Rata- Rata 578,27± 109,05 596,38± 51,49 568,98± 34,93 534,23± 36,69 570,00± 75,09
28 Tabel 6 memperlihatkan bahwa rataan pertambahan bobot badan ayam Sentul Warso selama penelitian berkisar antara 534,23-596,38 gr/ekor. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat (Mansjoer dan Martojo, 1977) bahwa pertambahan bobot badan ayam kampung umur 10 minggu adalah 552,34 gr/ekor. Ditambahkan lagi oleh pendapat (Creswell dan Gunawan, 1982) dengan perlakuan ransum yang mengandung protein ransum 16% Rataan pertambahan bobot badan ayam kedu hitam pada umur 12 minggu hasilnya tidak berbeda jauh pula dengan hasil penelitian yaitu 575 gr/ekor. Rataan pertambahan bobot badan dari yang terkecil sampai yang terbesar adalah perlakuan R4 (534,2 gr/ekor) selanjutnya pada perlakuan R3 (568,98 gr/ekor), R5 (570,00 gr/ekor), R1 (578,27 gr/ekor), dan R2 (596,38 gr/ekor). Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan, maka dilakukan analisis ragam. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap pertambahan bobot badan atau bisa dikatakan kelima level energi dan protein ini menghasilkan pertambahan bobot badan yang relatif sama yaitu kisaran 534,20 gr/ekor sampai 596,38 gr/ekor. Pernyataan tersebut selaras dengan pendapat Kartadisastra (1997) bahwa pertambahan bobot badan ternak berbanding lurus dengan tingkat konsumsinya. Akan tetapi ada beberapa alasan lain terkait tidak berpengaruh nyata perlakuan terhadap pertambahan bobot badan ayam Sentul warso selama penelitian yaitu, pertama bisa disebabkan karena pada penelitian ini meskipun memiliki perbedaan antar energi dan protein, tetapi perbedaan ini tidak dijadikan pertambahan bobot badan, karena ayam sentul ini merupakan turunan dari ayam aduan, sehingga memiliki aktifitas gerak yang lebih banyak dari pada ayam lokal lainnya, dan kelebihan energi dari ransum
29 tersebut digunakan untuk aktifitas gerak bukan untuk pertambahan bobot badan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Santoso (1987) yaitu energi yang dikonsumsi oleh ayam kampung digunakan untuk pemeliharaan tubuh, gerak otot, menyelenggarakan aktivitas fisik dan mempertahankan temperatur tubuh yang normal. Kedua, pada penelitian ini kombinasi antara energi dan protein dalam ransum yang tinggi, tidak digunakan untuk pertumbuhan karena kemungkinan ransum dengan protein yang rendah sudah mencukupi untuk pertumbuhan ayam Sentul Warso selama penelitian sehingga pemberian protein yang tinggi terbuang melalui urin. Alasan ini sesuai dengan pendapat Widodo (2002) yaitu unggas yang mengkonsumsi protein melebihi kebutuhannya maka protein akan dirubah menjadi energi, namun bila proteinnya terlalu berlebih sementara kebutuhan energi sudah terpenuhi maka protein tidak dapat disimpan dalam tubuh, sehingga protein pakan akan terbuang lewat feces atau urin. Ketiga, pada penelitian ini, kombinasi antara energi dan protein yang tinggi dalam ransum, tidak digunakan untuk pertumbuhan, karena protein tinggi dalam metabolismenya memerlukan energi yang tinggi untuk mencerna protein, sehingga energi yang dibutuhkan lebih besar, akibatnya dengan semakin tinggi konsumsi energi maka hal ini justru membuat beban panas yang semakin tinggi sehingga kurang dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Card dan Nesheim, (1978) yaitu bahwa untuk mencerna protein dibutuhkan energi yang lebih besar. Berikut ini grafik pertumbuhan dan pertambahan bobot badan setiap perlakuan selama penelitian dari minggu kedua sampai dengan minggu kesepuluh yamg dapat dilihat pada Grafik 2 dan 3.
Pertambahan Bobot Badan (gr) Pertumbuhan Bobot Badan (gr/ekor) 30 5000.00 4500.00 4000.00 3500.00 3000.00 2500.00 2000.00 1500.00 1000.00 500.00 0.00 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Umur Perlakuan (Minggu) R5 R4 R3 R2 R1 Grafik 2. Rataan Pertumbuhan bobot badan ayam Sentul Warso Selama Penelitian 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 R1 R2 R3 R4 R5 0.00 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Umur Perlakuan (Minggu) Grafik 3. Rataan Pertambahan bobot badan ayam Sentul Warso Selama Penelitian Grafik 2 dan 3 memperlihatkan pertumbuhan dan pertambahan bobot badan ayam Sentul Warso dari minggu pertama sampai minggu terakhir setelah diberikan perlakuan. Jika dilihat dari grafik pertumbuhan bobot badan terlihat dari minggu pertama sampai minggu kesepuluh mengalami peningkatan cukup normal, maka sesuai dengan bertambah nya umur akan terjadi peningkatan bobot
31 badan, akan tetapi jika dilihat dari grafik pertambahan bobot badan di minggu awal meningkat pesat sampai minggu ketiga, kemudian minggu keempat sampai dengan minggu kesepuluh pertambahan bobot badannya konstan. Penyebab perbedaan pertambahan bobot badan dari setiap minggu perlakuan dapat disebabkan oleh faktor genetik, kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan, lingkungan dan pemeliharaan. Soeparno (1998) menyatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan akan mempengaruhi laju pertumbuhan pada ayam buras. Pernyataan tersebut selaras dengan pendapat Engel (1990) yaitu performan dari seekor ternak ditentukan oleh kemampuan genetik dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. dalam pertumbuhan. Setiap keturunan mempunyai kemampuan yang berbeda Hal ini bisa disebabkan adanya perbedaan dari potensi genetik yang dimiliki masing-masing keturunan dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda pada setiap individu. Pertambahan bobot badan yang tinggi bisa disebabkan oleh keseimbangan kandungan gizi dari formula ransum yang digunakan, dimana kandungan gizi berupa energi dan protein pada perlakuan R2 memiliki tingkat energi dan protein yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Menurut Scott et al., (1982) bahwa keseimbangan antara energi dan protein serta zat-zat makanan lainnya yang terkandung didalam ransum sangat berperan terhadap kecepatan pertumbuhan. Selanjutnya ditambahkan pendapat Siregar (1994) yang menyatakan bahwa penambahan kenaikan bobot badan tergantung pada sejumlah nutrient yang dikonsumsi oleh ternak, semakin tinggi kemampuan mengkonsumsi pakan, bobot badan ternak yang dipelihara juga akan meningkat.
32 4.3 Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum Data nilai rataan konversi ransum ayam Sentul Warso dari tiap perlakuan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum Ulangan Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5..... (Indeks)... 1 2,85 3,65 2,51 2,82 2,69 2 3,17 3,02 2,42 3,52 3,12 3 2,90 2,89 2,85 3,27 2,86 4 2,59 2,36 2,65 2,88 2,33 Jumlah 11,52 11,91 10,43 12,49 11,00 Rata-rata 2,88±0,24 2,98±0,53 2,61±0,19 3,12±0,34 2,75±0,33 Berdasarkan Tabel 7, memperlihatkan bahwa rataan konversi ransum ayam Sentul Warso selama penelitian berkisar antara 2,61-3,12. Konversi ransum yang paling tinggi diperlihatkan oleh ayam yang mendapat perlakuan R4 (3,12), selanjutnya diikuti secara berturut-turut oleh ayam yang mendapat perlakuan R2 (2,98), R1 (2,88), R5 (2,75), R3 (2,61). Hasil ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Ariesta dkk.,(2015) yang menyatakan konversi ransum ayam kampung umur 0-10 minggu dengan perlakuan ransum R1(EM 3100kkal/kg; Protein 22%), R2(EM 3000 kkal/kg; Protein 20%), R3 (EM 2900 kkal /kg;protein 18%) dan R4 (EM 2800 kkal /kg;protein16%) mendapatkan nilai rataan berkisar antara 2,19-2,66. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan kandungan energi dan protein ransum yang lebih tinggi pada penelitian Ariesta dkk.,(2015). Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan, maka dilakukan analisis ragam. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap konversi ransum. Artinya, tingkat pemberian energi dan
33 protein dalam ransum dengan level energi metabolis 2750 kkal/kg dan 2950 kkal/kg dan protein 15%, 17% dan 19% di dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata atau bisa dikatakan kelima level energi dan protein ini menghasilkan konversi ransum yang sama pada ayam Sentul warso selama penelitian. Hal ini terjadi karena konversi ransum merupakan perbandingan dari konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan. Pada penelitian ini dihasilkan konversi ransum yang tidak berbeda nyata terhadap lima perlakuan ransum, jika dilihat dari konsumsi ransum yang tidak berbeda nyata, maka pertambahan bobot badan untuk ayam yang mendapat perlakuan ransum lebih tinggi kandungan energi dan proteinnya, seharusnya mendapatkan nilai yang lebih tinggi, namun pada penelitian ini pertambahan bobot badan mendapatkan hasil yang tidak berbeda nyata juga. Hal ini bisa disebabkan oleh sifat kebakaan dari ayam Sentul tersebut, yang sudah maksimal walaupun diberi perlakuan gizi yang lebih tinggi, ayam Sentul tidak dapat meningkatkan performannya lagi. Untuk ayam Sentul Warso, ransum yang mengandung energi metabolis 2750 kkal/kg dan protein 15 % sudah cukup memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan, sehingga meskipun ayam tersebut mengkonsumsi protein dalam jumlah yang banyak, tidak digunakan untuk pertumbuhan, sehingga konversi ransum yang didapatkan di dalam penelitian ini tidak berbeda nyata juga untuk kelima perlakuan ransum. Konversi ransum yang memiliki nilai rendah dan diimbangi dengan pertambahan bobot badan yang tinggi merupakan indikasi keberhasilan dalam memilih ransum yang berkualitas baik. Nilai yang semakin kecil menunjukkan bahwa ransum yang dikonsumsi oleh ayam dapat digunakan dengan efisien begitu juga sebaliknya. Hal ini sejalan dengan pendapat Rasyaf (2008) bahwa semakin kecil konversi ransum, pemberian ransum semakin efisien dan sebaliknya jika
34 konversi ransum tersebut membesar, maka telah terjadi pemborosan pakan. Angka konversi pakan menunjukkan berapa banyak jumlah ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan setiap satuan produksi. Dijelaskan lebih lanjut oleh Rasyaf (2008) menyatakan bahwa tingkat konversi pakan yang berbeda-beda tergantung kadar energi metabolisme dan protein pakan, suhu lingkungan, umur ayam, kondisi kesehatan dan komposisi pakan. Hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa ransum dengan EM 2750 dan protein 15% merupakan susunan ransum yang paling efisien untuk mendukung pertumbuhan Ayam Sentul Warso selama 10 minggu pemeliharaan.