BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar, dimana sampai saat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pembangunan daerah adalah salah satu dari indikator otonomi daerah. Oleh karena itu otonomi daerah menunjukan bahwa pembangunan daerah merupakan tanggungjawab pemerintah daerah. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah, baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya. Daerah diberi kewenangan yang lebih besar untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Tujuan kewenangan tersebut adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah disebut sehat jika pendapatannya lebih besar dibanding pengeluarannya, namun yang terjadi di Indonesia selama ini justru sebaliknya, upaya meningkatkan pendapatan bisa dicapai ketika terjadi sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat bekerja secara sektoral yang dilaksanakan 1

oleh gubernur di setiap daerah, kemajuan daerah akan sangat bergantung kepada kemajuan sektoral, namun kebijakan sektoral tidak akan berjalan jika tidak didorong kemajuan wilayah. Masalahnya adalah ketidak seimbangan antar wilayah, tetapi kita punya modal, ada potensi kekayaan alam, di uraikan dalam APBN dan APBD lalu di ubah menjadi program. Karena itu, daerah diminta untuk memahami bagaimana bentuk sinergi yang harus dijalankan bersama pemerintah pusat agar upaya meningkatkan pendapatan dapat terealisasi, sehingga tujuan memakmurkan masyarakat bisa dicapai (Jusuf Kalla, 2014) Semua penerimaan daerah dan dana pengeluaran daerah harus dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanjan Daerah (APBD) yang merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. Pemungutan semua penerimaan daerah serta pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah bertujuan untuk melaksanakan desentralisasi yang dilakukan sesuai dengan jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Sedangkan penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan dekonsentrasi atau tugas pembantuan tidak dicatat dalam APBD (Solvador Pinto,2011). Afryansyah (2013), berpendapat bahwa setiap kepala daerah ingin dipandang sebagai pemimpin. Oleh karena itu setiap kepala daerah selalu membuat keputusan yang akan membuat dirinya dikagumi. Salah satunya dari keberhasilan keberhasilan kepala daerah dalam melakukan investasi dari proyek-proyek yang membuat pelayanan kepada masyarakat bertambah. Besarnya investasi tersebut dapat dilihat dari pos belanja modal pemerintah yang tertuang didalam APBD. Fenomena yang ada melalui Jateng Post (2015), menunjukan bahwa sumber penrimaan dan transfer dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menjadi 2

tumpuan belanja modal untuk pembangunan di Jawa Tengah, hal tersebut dikarenakan minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Provinsi Jawa Tengah. Yang mengakibatkan belanja modal untuk pembiayaan pembangunan dan penambahan aset di Provinsi Jawa Tengah belum bisa terpenuhi, minimnya perhatian pemerintah dalam pengelolaan sumber-sumber dana Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi faktor utama dalam kasus tersebut. Menurut Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri (2013), mayoritas dana trasfer yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah digunakan untuk mensejahterakan pegawai negeri sipil (PNS). Hal tersebut dilihat dari data yang diformulasikan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang dikuti Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri (2013) bahwa pada tahun 2013, rata-rata belanja pegawai pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 49%, sedangkan rata-rata belanja modal hanya 25,3%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dana transfer daerah yang jumlahnya terus meningkat tidak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan karena habis untuk belanja pegawai. PAD juga belum mendorong peningkatan belanja modal, karena pemerintah daerah pada umumnya masih bergantung pada dana trasnfer daerah. Disebabkan BUMD banyak yang tidak efisien, retribusi daerah telah mulai dipangkas karena menghambat investasi dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) kecil karena urgensinya ke pelayanan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah diminta menggali potensi sumber pajak lain dan mengoptimalkan pencairan piutang pajak guna mendukung ketercapaian Pendapatan Asli Daerah (PAD). Anggota Komisi C DPRD Provinsi Jawa Tengah, mengatakan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini hanya mampu tercapai 90,36% dari target APBD. 3

Rendahnya pencapaian target PAD ini merupakan dampak dari rendahnya kinerja dalam hal pemungutan Pajak Daerah. Berdasarakan catatan komisi C, pendapatan sektor pajak di Provinsi Jawa Tengah hanya terealisasi sebesar 86,48% dari target yang direncanakan. Tidak tercapainya target PAD disebabkan oleh gagalnya pendapatan target Pajak Daerah, khususnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Kecenderungan rendahnya Pajak Daerah didorong oleh serapan PKB dan BBNKB yang terhitung masih rendah. Menurut data yang diperoleh dari Biro Humas Jawa Tengah, pada tahun 2010 telah ditargetkan penerimaan dari PAD sebesar Rp. 4.785.133.227.424. Target penerimaan PAD tersebut berasal dari empat sumber,yaitu Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan serta lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Dari Pajak Daerah diharapkan bisa memberikan kontribusi sebesar RP. 3.893.699.996.503, Retribusi Daerah Rp. 127.651.268.654, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan Rp. 195.631.744.316, lain-lain Pendapatan Daerah yang sah RP. 568.150.217.951. Dari data diatas dapat dilihat bahwa Pajak Daerah memegang peranan yang sangat dominan dibanding penerimaan daerah lainnya. Pajak Restoran di Jawa Tengah pada Agustus 2014, mencapai Rp. 3,5 miliar atau mencapai 95,20% dari total target pajak restoran sebesar 3,69 miliar sedangkan di Kabupaten Kudus, pada September 2014 mencapai Rp. 1,172 miliar atau 104% dari total target pajak restoran sebesar Rp. 1,119 miliar. Serta dalam koran Kompas (2015), menyatakan bahwa dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana bagi hasil diserahkan dalam bentuk block grant, yaitu bantuan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang tidak disertai dengan syarat-syarat tertentu, yang 4

mengakibatkan dana tersebut mengalami pemborosan, pada dasarnya dana-dana tersebut dipergunakan untuk belanja modal guna pembangunan, tetapi kenyataannya sebagian besar dana tersebut dipakai oleh pemerintah daerah guna belanja pegawai. Hal ini mengakibatkan pemerintah tidak dapat menggunakan dana tersebut untuk belanja modal yang bisa menggerakan perekonomian. Dengan terjadinya fenomena seperti itu, maka pembangunan yang ada di daerahdaerah yang menggunakan sumber pendanaan baik itu dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) ataupun Dana Alokasi Umum (DAU) yang diberi oleh pemerintah pusat akan terhambat, dikarenakan banyaknya dana yang mengalir untuk belanja pegawai, kemudian alokasi untuk pembangunan daerahnya mengalami keterbatasan dana. Dengan demikian masyarakat tidak akan merasakan secara langsung atas pembangunan yang bersumber dari dana tersebut. Aset tetap merupakan persyaratan utama dalam memberikan pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah. Untuk menambahkan aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan belanja modal yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), alokasi belanja modal ini berdasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana untuk fasilitas publik (Setyowati, 2012:118) Rata-rata pendapatan daerah Provinsi Jawa Tengah didominasi oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang mencapai realisasi 62,39 persen (%), sementara kontribusi terbesar kedua diperoleh dari dana perimbangan yang rata-rata pertahunnya 24,8 persen (%). Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan, baik itu dari pajak daerah ataupun dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dengan adanya hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dapat 5

mengoptimalkan belanja modal untuk pembiayaan pembangunan dan penambahan aset di Provinsi Jawa Tengah (DPPKAD Jawa Tengah,2014). Salah satu dana perimbangan dari pemerintah pusat adalah Dana Alokasi Umum (DAU), dana tersebut merupakan dana hibah (grants) yang kewenangan pengguna diserahkan penuh kepada Pemerintah Daerah. Dengan dana perimbangan tersebut, khususnya DAU akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumbersumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya (Arwati,2013:498). Rasio Kemandirian Keuangan Daerah mencerminkan keadaan otonomi suatu daerah yang diukur dengan besarnya PAD terhadap jumlah total pendapatan daerah, sehingga memunculkan permasalahan suatu daerah yang dikatakan mandiri dapat meningkatkan jumlah belanja modal untuk pelayanan public (Salman Alfarisi H, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Salman Alfarisi H (2012) sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wan (2013) dengan penelitiannya menyimpulkan bahwa PAD dan Dana Perimbangan berpengaruh positif terhadap Kinerja Keuangan. Muhammad Edwin Kadafi (2013) dan Halleina (2013) yang menunjukan bahwa Dana Perimbangan dan PAD berpengaruh positif terhadap Kinerja Keuangan dan Belanja Modal. Sementara hasil penelitian dari Tumangger (2014) menyatakan bahwa Dana Perimbangan dan PAD berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukanwenny (2012) yang menyimpulkan bahwa variabel PAD berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan. Sedangkan Florida (2007) variabel PAD berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah.Penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar (2011) menunjukan bahwa DAU dan PAD berpengaruh terhadap Belanja Modal. Muhamad Salman Farizi (2013) dengan penelitiannya mengenai PAD dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Daerah, hasil penelitiannya menunjukan bahwa kedua 6

variabel berpengaruh negatif terhadap Belanja Daerah. Sugiarthi (2014) penelitiannya menunjukan PAD, dan DAU berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Sedangkan penelitian Maryadi (2014) menunjukan hasil yang berbeda, bahwa DAU, DBH, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Ardhani (2011) dan Purnama (2014) hasil penelitiannya menunjukan PAD dan Dana Perimbangan berpengaruh terhadap Belanja Modal, sedangkan Kuncoro (2013) penelitiannya menunjukan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, PAD dan Dana perimbangan merupakan komponen penting dalam pengalokasian belanja daerah. Oleh sebab itu, penulis mencoba meneliti hal tersebut untuk mengetahui seberapa besar pengaruh PAD dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan Muhammad Edwin Kadafi dkk (2013) mengenai PAD, DAU, Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada variabel dan objek penelitian yang akan diteliti. Pada penelitian Muhammad Edwin Kadafi dkk (2013) menggunakan variabel PAD, DAU, Pertumbuhan Ekonomi, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel PAD dan Dana Perimbangan. Objek dalam penelitian ini menggunakan data realisasi APBD yang terdapat di BPS Jawa Tengah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah PAD berpengaruh positif terhadap Belanja Modal? 7

2. Apakah Dana Perimbangan berpengaruh positif terhadap Belanja Modal? 1.3 Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka pembatasan masalah yang perlu dibatasi dalam penelitian ini adalah : 1. Objek dalam penelitian ini adalah Kabupaten di Jawa Tengah 2. Data yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah Laporan Realisasi APBD tahun 2011-2014 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah : 1. Menganalisis dan mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh PAD terhadap Belanja Modal. 2. Menganalisis dan mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi Pemerintah Daerah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam peningkatan peran PAD dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal. 2. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai nilai nominal PAD dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal. 3. Bagi Akademisi 8

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan menambah pengetahuan mengenai pengaruh PAD dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal. 4. Bagi Penulis Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan dari teori yang diterima sehingga memperoleh gambaran mengenai pengaruh PAD dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal. 9