BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai 6.997,50 Km 2. Bentang geografis Kepulauan Seribu berada antara 106 20 00 BT hingga 106 57 00 BT dan 5 10 00 LS hingga 5 57 00 LS, terdiri atas 105 gugus pulau yang memanjang dari Teluk Jakarta di selatan hingga ke utara yang berujung di Pulau Sebira yang berjarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara (Estradivari et al. 2009). Kepulauan seribu pada setiap pulaunya terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Ketiga ekosistem ini memiliki peranannya masing-masing dalam kaitannya dengan kehidupan disekitarnya. Ekosistem pesisir merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan laut juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam biota laut. Selain itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen 2002). Salah satu biota laut yang hidup di ekosistem pesisir yaitu ikan baronang. Ikan baronang hidup pada ekosistem lamun dan terumbu karang. Baronang adalah salah satu ikan laut yang termasuk famili Siganidae. Ikan baronang dikenal oleh masyarakat dengan nama yang berbeda seperti di Pulau Seribu dinamakan kea-kea, di Jawa Tengah dengan nama biawas dan nelayan di Pulau Maluku menamakan dengan sebutan samadar. Di perairan Indonesia dikenal sekitar 12 jenis baronangdiantaranya, Siganus canaliculatus, S. javus, 1
2 S. guttatus, S. vermiculatus, S. chrysospilos, S. corallines, S. virgatus, S. puellus, S. rivulatus, S. stellatus, S. vulpinus dan S. Spinus (Nontji 1987). Ikan baronang adalah salah satu jenis komoditas yang potensial untuk dikembangkan mengingat harganya yang cukup mahal, yaitu berkisar Rp 50.000,-/kg. Oleh karena itu, ikan baronang adalah salah satu ikan target bagi nelayan. Ikan baronang juga merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki prospek yang baik untuk dibudidayakan pada wadah terkontrol seperti di tambak atau keramba. Dewasa ini usaha budidaya Baronang di tambak maupun di keramba masih mengandalkan benih yang berasal dari hasil tangkapan di alam, benih yang dihasilkan sangat terbatas dan bersifat musiman, serta akibat dari eksploitasi yang berlebih, jumlah ikan baronang di alam semakin berkurang. Aktivitas penangkapan terhadap ikan baronang dapat mempengaruhi perubahan struktur populasi dari sumberdaya ikan baronang, antara lain dapat dilihat dari ukuran ikan, jumlah hasil tangkapan nelayan dan umur ikan yang tertangkap. Hal ini yang mengakibatkan sebagian besar ikan-ikan yang ada di perairan menjadi berkurang jumlahnya, sehingga diperlukan pengelolaan yang didasarkan informasi biologis untuk mempertahankan kelestarian populasi ikan baronang, khususnya di ekosistem terumbu karang dan padang lamun. 1.2 Identifikasi Masalah Keberadaan ikan baronang cukup potensial di perairan dangkal seperti ekosistem terumbu karang dan padang lamun, karena ikan baronang termasuk ikan yang memiliki nilai ekonomis penting. Nilai ekonomis yang penting disertai permintaan yang terus meningkat, menjadikan ikan ini sebagai salah satu target utama penangkapan. Ikan baronang yang tertangkap oleh nelayan di ekosistem terumbu karang dalam ukuran yang sedang dan besar, tetapi ikan baronang yang tertangkap pada ekosistem padang lamun masih dalam ukuran yang kecil hingga sedang karena ikan yang hidup di padang lamun pada umumnya masih dalam fase juvenil. Juvenil ikan baronang selama ini ditangkap untuk dijadikan benih budidaya. Dalam kegiatan budidaya ikan baronang sampai saat ini masih mengandalkan benih yang berasal dari hasil tangkapan di alam, benih yang
3 dihasilkan sangat terbatas dan bersifat musiman. Pemanfaatan ikan baronang secara terus menerus dikhawatirkan dapat mempengaruhi penyebaran ikan baronang dan dapat mengakibatkan kepunahan. Data produksi ikan baronang hingga saat ini di Kepulauan Seribu pada umumnya jarang tersedia, sehingga informasi mengenai jenis dan struktur populasi ikan baronang sangat minim. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian yang dapat memberikan informasi terhadap populasi ikan baronang, jenis yang tersedia dan yang tertangkap dan bagaimana struktur populasi ikan baronang di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan komposisi jenis ikan baronang yang tertangkap berdasarkan habitat di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. 2. Menentukan struktur populasi ikan baronang berdasarkan habitat di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. 3. Mengestimasi pola pertumbuhan ikan baronang di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. 1.4 Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengelolaan ikan baronang di alam dari segi ekosistem serta memberikan informasi mengenai perbandingan komposisi ikan baronang yang tertangkap berdasarkan habitat di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, sehingga dapat berguna bagi pengelolaan sumberdaya ikan baronang. 1.5 Pendekatan Masalah Dasar pemikiran dalam melaksanakan penelitian ini adalah secara ekologis adanya potensi ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang merupakan tempat hidupnya beranekaragam biota laut diantaranya ikan baronang.
4 Menurut Supriharyono (2000), tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Apabila terjadi tekanan terhadap terumbu karang maka akan berpengaruh langsung terhadap biota yang berasosiasi dengannya termasuk ikan baronang. Ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi dan manfaat penting, baik dari segi ekonomis maupun ekologis. Terumbu karang menyediakan keanekaragaman bentuk dan ukuran tempat berlindung yang digunakan ikan karang. Terumbu karang adalah lingkungan yang terbagi-bagi kedalam habitat-habitat kecil yang sangat bervariasi yang dimanfaatkan oleh kelompok ikan karang sesuai kesukaannya. Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah. Tingginya keragaman ini disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang dan semua tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang dan biota laut lainnya (Sutton 1983 dalam Emor 1993).Habitat ikan karang bukan hanya terdapat di ekosistem terumbu karang saja tetapi terdapat juga pada ekosistem padang lamun. Padang lamun dalam kehidupan ikan berperan sebagai tempat berbagai ikan, juvenil ikan dan biota lainnya untuk mencari makan (feeding ground), berlindung, bertelur (spawning ground) dan membesarkan anaknya (nursery ground). Menurut Romimohtarto dan Juwana (1999), terjadi penurunan keragaman jenis ikan di Kepulauan Seribu, salah satu penyebab menurunnya keragaman jenis ikan ialah karena menurunnya peranan serta kelestarian padang lamun. Berbagai jenis spesies padang lamun mengalami kerusakan akibat meningkatnya aktivitas manusia di perairan laut dangkal atau daerah pantai dengan adanya kegiatan reklamasi, baik untuk keperluan industri maupun pembangunan pelabuhan, tempat rekreasi, pabrik dengan hasil buangannya, pangkalan perahu motor dan juga pengambilan lamun secara terus menerus tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan dapat mempercepat terjadinya kerusakan komunitas lamun. Menurut Nurhakim (1984) beberapa jenis benih ikan baronang ditemukan di perairan Teluk Banten, yaitu diantaranya Siganus canaliculatus, S. guttatus, S.
5 javus, S. chrysospilos, S. virgatus dan S. vermiculatus. Benih ikan ini dijumpai di sekitar Teluk Grenyang (pantai Barat Teluk Banten), pantai Barat Pulau Panjang dan pantai Barat Pulau Kambing. Komposisi benih ikan baronang yang tertangkap di tiga lokasi di perairan Teluk Banten berbeda satu sama lainnya. Benih S. canaliculatus selalu didapati di ketiga lokasi tersebut dalam kelimpahan yang tertinggi yaitu lebih dari 80%. Tingginya kelimpahan benih S. canaliculatus ini sangat erat hubungannya dengan kelimpahan induk di alam. Menurut Munira (2010) di selat Lonthoir secara spasial kelimpahan ikan baronang antar stasiun tidak berbeda nyata sedangkan secara temporal, kelimpahan ikan antar waktu pengamatan berbeda nyata, sementara stok biomassanya berfluktuasi sesuai dengan bobot hasil tangkapan. Kelimpahan ikan baronang yang tetinggi dijumpai pada tingkat kerapatan lamun yang tinggi serta terlihat adanya kelompok ikan berukuran kecil yang cenderung berasosiasi dengan lamun yang morfologi daunnya berukuran besar seperti Thallasia hemprihii dan Enhalus aoroides. Menurut Kawaroe (2009) ekosistem padang lamun terdapat pencemaran yang berupa tumpahan minyak yang diduga berasal dari salah satu perusahaan minyak yang beroperasi di Kepulauan Seribu pada tahun 2008. Pencemaran ini akan berpengaruh terhadap dampak lingkungan yang luas dan mengakibatkan menurunnya kualitas perairan. Kajian ini mengemukakan bahwa ekosistem padang lamun yang merupakan tempat berbagai ikan dan biota lainnya untuk mencari makan, berlindung, bertelur dan membesarkan anaknya sehingga perlu direhabilitasi dan perlu diketahui keberadaan juvenil ikan yang berasosiasi dengan ekosistem padang lamun, sebagai upaya pengelolaan sumberdaya ikan yang ada di Kepulauan Seribu. Hubungan panjang dan berat (Length-Weight Relationship/LWR) merupakan hal yang penting dalam penelitian ilmiah perikanan, karena hal ini memberi informasi parameter-parameter populasi (Krause et al. 1998; Ovedral et al. 2002; Ecoutin et al. 2005 dalam Samat et al. 2008). Pertama, sebuah panjang dan bobot memperlihatkan umur dan kelas kelompok tahun ikan, hal ini sangat penting dalam perikanan. Kedua, data panjang bobot tersebut dapat digunakan untuk
6 memperkirakan (estimasi) tingkat kematian (mortalitas), dan ketiga data tersebut juga dapat digunakan untuk menaksirkan daya dukung stok perikanan tangkap. Selain itu, data panjang dan berat dapat juga menggambarkan petunjuk penting tentang perubahan iklim dan lingkungan (Pauly 1984 dan Luff et al. 2000 dalam Samat et al. 2008).