BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

PENGARUH MODEL DISCOVERY LEARNING TERHADAP PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA KELAS X SMAN 02 BATU

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. metode yang ditujukan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUA N A.

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pusat kajian statistik pendidikan Amerika (National Center for Educational

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

ANALISIS KEMAMPUAN INKUIRI SISWA SMP, SMA DAN SMK DALAM PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN FISIKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMK

METODE DEMONSTRASI INTERAKTIF BERBASIS INKUIRI DALAM PEMBELAJARAN KONSEP METABOLISME PADA SISWA KELAS XII SMA ANGKASA BANDUNG.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PENGARUH LEVELS OF INQUIRY-INTERACTIVE DEMONSTRATION TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA PADA MATA PELAJARAN FISIKA KELAS X

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

I. PENDAHULUAN. diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI KEMAMPUAN AKADEMIK SISWA SMA NEGERI 5 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan dan keterampilan intelektual. Matematika juga merupakan ilmu yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kurikulum sains dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

2015 PENGARUH PENERAPAN STRATEGI COMPETING THEORIES TERHADAP KETERAMPILAN ARGUMENTASI SISWA SMA PADA MATERI ELASTISITAS

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan pribadi semata melainkan guna sebagai akar dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

I. PENDAHULUAN. analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS TERPADU DAN PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA KELAS XI SMAN 2 PROBOLINGGO

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman mengajar, permasalahan seperti siswa jarang

Penelitian dan Kajian Konseptual Mengenai Pembelajaran Sains Berbasis Kemandirian Bangsa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA TEMA PEMANASAN GLOBAL UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Irpan Maulana, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada awalnya, kemampuan dasar yang dikembangkan untuk anak didik

BAB I PENDAHULUAN. pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Menghadapi era globalisasi saat ini diperlukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Matematika telah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini pesatnya kemajuan teknologi informasi

OMEGA Jurnal Fisika dan Pendidikan Fisika Vol 1, No 2 (2015) ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang semakin pesat baik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

PF-05: OPTIMALISASI PERANGKAT PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MODEL LEVEL OF INQUIRY

2016 PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT-BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk pemikir yang jauh lebih baik dari makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

I. PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. menyebabkan arus informasi menjadi cepat dan tanpa batas.

BAB I PENDAHULUAN. siswa, oleh karena itu pembelajaran fisika harus dibuat lebih menarik dan mudah

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. matematika. Matematika dapat membekali siswa untuk memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hayati Dwiguna, 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang signifikan. Beberapa penerapan pola peningkatan kualitas pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu peristiwa yang diamati yang kemudian diuji kebenarannya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad 21 ini, merupakan abad yang penuh dengan persaingan dalam segala bidang termasuk dalam bidang pendidikan. Namun tidak sejalan dengan hal tersebut, prestasi siswa di Indonesia berada dalam kategori rendah terutama prestasi pada bidang sains dan matematika. Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS) yang merupakan studi internasional mengenai prestasi matematika dan sains siswa Sekolah Menengah Pertama, menunjukkan bahwa prestasi sains siswa di Indonesia pada tahun 1999 berada pada urutan ke 32 dari 38 negara, tahun 2003 menduduki urutan ke 37 dari 46 negara, tahun 2007 menduduki urutan ke 35 dari 49 negara, sedangkan pada tahun 2011 prestasi sains Indonesia berada di urutan ke 40 dari 42 negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan sains di Indonesia berada dalam kategori rendah. Wono (dalam Kompas, 2012) menyatakan bahwa rendahnya kemampuan sains siswa tersebut salah satunya disebabkan oleh penalaran (scientific reasoning) siswa Indonesia yang masih rendah.scientific reasoning merupakan suatu kemampuan yang sangat penting dan dibutuhkan oleh siswa karena berkaitan dengan bagaimana cara siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan materi pelajaran yang nantinya akan berdampak pada prestasi siswa, sehingga dibutuhkan suatu solusi untuk memperbaiki kondisi tersebut.faktor yang mungkin menjadi penyebab rendahnya scientific reasoning siswa antara lain (1) proses pembelajaran kurang memfasilitasi siswa untuk dapat melatihkan kemampuan scientific reasoning; (2) siswa Indonesia pada umumnya kurang dilatihkan dalam menyelesaikan soal-soal dengan karakteristik seperti soal scientific reasoning. Dugaan tersebut didukung berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan disalah satu SMP Negeri di kota Bandung. Berdasarkan 1

2 hasil wawancara dengan salah satu guru Fisika, beliau mengatakan bahwa pembelajaran Fisika masih belum berbasis inkuiri dimana siswa jarang melakukan kegiatan eksperimen, serta guru masih kesulitan untuk melatihkan scientific reasoning karena tipe soal yang digunakan masih berbentuk hafalan dan hitungan. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan siswa juga didapatkan infomasi bahwa soal yang dilatihkan kurang menuntut siswa untuk berpikir lebih tinggi sehingga menyebabkan siswa kebanyakan cenderung hanya menghafal rumus. Sedangkan berdasarkan hasilobservasi di sekolah yang sama, ditemukan fakta bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan di sekolah belum bisa memfasilitasi siswa untuk mengembangkan scientific reasoning. Hal tersebut terlihat selama pembelajaran masih belum menekankan pada keterampilan siswa dalam berargumen sehingga menyebabkan siswa tidak mampu mengungkapkan gagasan atau ide yang dimilikinya. Selain itu kegiatan pembelajaran hanya sebatas penyampaian materi secara verbal kemudian menuliskan hal-hal yang dianggap penting di papan tulis. Meskipun sesekali guru melontarkan pertanyaan kepada siswa dalam proses pembelajaran, namun hanya beberapa siswa saja yang sering merespon sehingga scientific reasoning siswa dalam pembelajaran berjalan secara tidak menyeluruh. Selain itu, pada saat pembelajaran jarang mengkaitkan materi pembelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka berdasarkan hasil studi pendahuluan, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran masih belum dapat memfasilitasi dalam hal melatihkan dan mengukurscientific reasoning. Belum terfasilitasinya pembelajaran menyebabkan siswa belum mampu mengkonstruksi pengetahuannya secara mandiri, sehingga menyebabkan pengetahuan siswa menjadi kurang bermakna. Padahal seharusnya, ketika siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, maka pembelajaran akan lebih terkesan bermakna sehingga dapat diingat dalam jangka panjang. Selain itu tidak adanya fasilitas dalam melatihkan scientific reasoning menyebabkan

3 ketidakmampuan dalam mengungkap sejauh mana scientific reasoning siswa. Oleh karena itu, diperlukan suatu solusi untuk memecahkan masalah tersebut agar pembelajaran Fisika menjadi lebih bermakna dan agar kemampuan sains siswa Indonesia tidak tertinggal dari bangsa lain. Masalah di atas sesuai dengan yang diungkapkan oleh Cartono dan Nuryani, R (dalam Rizkiana, 2012, hlm.1-2):... Guru kurang melatihkan kemampuan bernalar atau berpikir, khususnya keterampilan tingkat tinggi. Soal-soal yang diberikan oleh guru pada saat ulangan juga kurang menuntut siswa untuk menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi... Selain itu, Bbybee & Fuchs (dalam IIPERC, 2012) juga menyatakan bahwa:... pendidikan harus lebih ditekankan pada kemampuan bernalar sains bukan hanya pada konten sains saja. Sebenarnya pengembangan fasilitas pembelajaran untuk melatihkan scientific reasoning terus dilakukan, salah satu diantaranya adalah pengembangan fasilitas pembelajaran yang dilakukan oleh Shofiyah, dkk (2013). Selain pengembangan fasilitas pembelajaran, pengembangan instrumen untuk mengukur scientific reasoning pun terus dilakukan terbukti dengan adanya tes terstandar yang dibuat oleh Anton.E. Lawson. Namun tes terstandar tersebut bersifat terbatas, artinya belum dapat mengungkapkan scientific reasoning siswa pada pokok bahasan yang berbeda.agar dapat memecahkan masalah tersebut maka pembelajaran perlu melibatkan siswa dalam proses penemuan. Dengan dilibatkannya siswa dalam proses penemuan, berartimemfasilitasi siswa dalam melatihkan scientific reasoning. Sedangkan untuk mengukur sejauh manascientific reasoning pada pokok bahasan yang berbeda, peneliti mencoba membuat suatu instrumen tes yang disesuaikan dengan materi dan kurikulum yang berlaku. Pengembangan instrumen yang dilakukan oleh peneliti ini sejalan dengan apa yang diungkapan oleh Koenig, dkk (2012) yang menyatakan bahwa to assess SR abilities, we opted to modify the LCTSR for use by removing questions that were not relevant to our

4 course, along with some of the secondary reasoning question. We replaced these question with ones that expanded the questions sets for the ability domains targeted in the course. Adapun salah satu solusi yang memungkinkan untuk memfasilitasi dalam melatihkan scientific reasoning adalah inkuiri. Inkuri sendiri merupakan suatu proses penyelidikan. Namun, untuk membangun scientific reasoning dengan menggunakan inkuiri harus bersifat sistematis dimulai dari kemampuan terendah sampai kemampuan tertinggi yang dikenal sebagai pendekatanlevels of inquiry. Penerapan pendekatanlevels of inquiry untuk melatihkan scientific reasoningsiswa ini juga diungkapkan oleh Dahar (1996, hlm.107) yang menyatakan bahwa belajar dengan penemuan dapat meningkatkan penalaran ilmiah (scientific reasoning) dan kemampuan berpikir siswa secara bebas. Dalam jurnalnya yang berjudul Levels of inquiry: Hierarchies of pedagogical practices and inquiry processesyang diterbitkan pada tahun 2005, Wenning menjelaskan bahwainquiry harus disampaikan secara sistematis agar proses transfer pengetahuan berjalan secara efektif. Adapun tahapan dalam pembelajaran levels of inquiry terdiri dari tahapan discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry laboratory, real-word application, dan hypothetical inquiry. Sementara dalam jurnal pada tahun 2010 yang berjudul Levels of Inquiry: Using Inquiry Spectrum Learning Sequences to teach science, Wenning menjelaskan bahwa kemampuan inkuiri terdiri dari lima tingkatan, yaitu kemampuan paling dasar, kemampuan dasar, kemampuan menengah, kemampuan terpadu, dan kemampuan lanjutan. Selain itu, berdasarkan hasil diskusi dengan peneliti, Wenning berpendapat bahwa levels of inquiry memungkinkan untuk dapat meningkatkan high order thinking skills siswa. Salah satu yang termasuk kedalam high order thinking skills adalah scientific reasoning. Dalam diskusi dengan Anton. E. Lawson juga

5 menyatakan bahwa biasanya untuk melatihkan scientific reasoningmenggunakan inkuiri. Penerapan pendekatanlevels of inquiry tersebut pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah Lawson(dalam Shofiyah dkk,2013) menyatakan bahwa penggunaan pendekatan inkuiri dapat meningkatkan penalaran siswa. Pernyataan yang sama juga diajukan oleh Dolan dan Grady (dalam Feri, 2012) yang menyatakan bahwa pengajaran dengan pendekatan inkuiri berpotensi mendorong siswa untuk bernalar secara ilmiah. Selain itu, Ketut (2010) juga menyatakan bahwa pembelajaran yang berbasis inkuiri cukup dapat meningkatkan penguasaan konten Fisika dan penalaran ilmiah(scientific reasoning). Adapun salah satu pokok bahasan Fisika yang dijadikan objek penelitian adalah optik. Optik merupakan salah satu materi yang cukup penting dalam pembelajaran Fisika. Hal tersebut disebabkan karena bahasan optik sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Namun pada kenyataannya, berdasarkan hasil observasi dan wawancara terdahulu yang pernah dilakukan di salah satu SMP di kota Bandung, siswa sering merasa kesulitan terkait dengan bahasan optik. Hal tersebut mungkin dikarenakan bahasan optik merupakan bahasan yang bersifat abstrak sehingga pemahaman konsep siswa masih kurang baik. Padahal seharusnya menurut teori Piaget (Dahar, 1996, hlm. 155) pada usia SMP, seharusnya siswa sudah mampu mempelajari konsep yang bersifat abstrak. Maka berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian mengenai implementasi pendekatanlevels of inquiry pada pembelajaran Fisika SMP pada materi optik untuk melihat dan mengukur sejauh manascientific reasoningsiswa. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini seluruh tahapan dalam pendekatanlevels of inquiry diterapkan dalam satu kali pertemuan dan dalam penelitian ini selain memfasilitasi siswa juga untuk menyediakan instrumen untuk mengukurscientific reasoning pada pokok bahasan optik. Adapun tahapan-tahapan yang digunakan didasarkan pada

6 tingkat intelektual siswa yang menjadi sampel penelitian.sedangkan tahapan dalam pengembangan instrumen dilakukan dengan memvalidasi soal yang telah dibuat. Sehingga peneliti mengajukan suatu penelitian yang berjudul Analisis Scientific Reasoning Dalam Penerapan Pendekatan Levels of InquiryPada Pokok B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang belum dapat memfasilitasi siswa dalam melatihkan dan mengukur scientific reasoning siswa SMP. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatanlevels of inquiry, sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah scientific reasoning siswa. Sedangkan batasan masalah untuk memperjelas permasalahandalam penelitian ini adalah pendekatanlevels of inquiry dalam penelitian inimerupakan hierarki pembelajaran yang terdiri dari tahapan discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry laboratory, real-word application, dan hypothetical inquiry untuk mengajarkan sains secara sistematis yang berfungsi untuk mendapatkan pemahaman ilmiah dan keterampilan proses melalui penyelidikan ilmiah dan belajar dari pengalaman (Wenning, 2011, hlm.10). Namun dalam penelitian ini tahapan levels of inquiry yang digunakan hanya sampai pada tahapan inquiry laboratory. Hal tersebut disesuaikan dengan objek dalam penelitian ini yang merupakan siswa pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Untuk melihat keterlaksanaan penerapan pendekatanlevels of inquiry dengan mengunakan lembar observasi dan transkrip pembelajaran berupa rekaman pembelajaran selama pendekatanlevels of inquiry diterapkan. Scientific reasoning dalam penelitian ini merupakan suatu proses kemampuan berpikir dan memberikan suatu alasan melalui kegiatan inkuiri, eksperimen, menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta dan argumentasi untuk menyusun dan merubah (memodifikasi) suatu teori

7 tentang alam maupun social (Bao et al, 2009). Scientific reasoning yang digunakan berdasarkan pada kerangka yang dirumuskan oleh Jing Han yang merupakan hasil pengembangan dari Lawson. Adapun aspek yang digunakan dalam penelitian ini hanya terdiri dari enam aspek yang diantaranya adalah: proportional reasoning (kemampuan dalam menentukan dan membandingkan rasio), correlational reasoning(kemampuan dalam menentukan apakah dua variabel atau dua kejadian saling berhubungan atau tidak), control of variables (pemisahan dan pengontrolan variabel),causal reasoning (kemampuan untuk menentukan sebab dan akibat terjadinya sesuatu kejadian atau peristiwa), deductive reasoning (kemampuan untuk menarik kesimpulan), dan hypothetical-deductive reasoning (kemampuan untuk menguji teori hipotesis). Untuk mengukur scientific reasoning siswa, peneliti membuat suatu instrumen tes scientific reasoning yang sebelumnya sudah divalidasi dan dibandingkan dengan tes terstandar. Adapun pemilihan aspek tersebut disesuai dengan materi Fisika yang diteliti. C. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut Bagaimana analisis scientific reasoning pada pokok bahasan optik setelah diterapkan pendekatan levels of inquiry? Rumusan masalah ini dapat dijabarkan menjadi pertanyaanpertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana hasil analisis tesscientific reasoning pada pokok bahasan optik? 2. Bagaimana peningkatanscientific reasoning siswa setelah diterapkan pendekatanlevels of inquiry? 3. Bagaimana peningkatan scientific reasoning siswa setelah diterapkan pendekatanlevels of inquiry pada setiap aspek?

8 4. Bagaimana peningkatan scientific reasoning siswa setelah diterapkan pendekatanlevels of inquirypada setiap sub konsep optik? 5. Bagaimana keterlaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatanlevels of inquiry? D. Tujuan Penelitian Dari latar belakang serta rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui hasil analisistes scientific reasoning pada pokok bahasan optik 2. Mengetahui seberapa besarpeningkatan scientific reasoning siswa setelah diterapkan pendekatanlevels of inquiry. 3. Mengetahui seberapa besar peningkatan scientific reasoning siswa setelah diterapkan pendekatanlevels of inquiry pada setiap aspek. 4. Mengetahui seberapa besar peningkatan scientific reasoning siswa setelah diterapkan pendekatanlevels of inquirypada sub konsep optik. 5. Mengetahui keterlaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatanlevels of inquiry. E. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empirik tentang potensi penggunaan pendekatanlevels of inquiry dalam memberikan suatu alternatif solusi terkait dengan masalah yang terjadi dan menyediakan instrumen tes untuk mengukur scientific reasoning pada pokok bahasan optik, serta untuk mengetahui sejauh mana peningkatan scientific reasoning siswa agar dapat tercapai keberhasilan proses pembelajaran yang telah ditetapkan serta nantinya dapat digunakan oleh

9 berbagai pihak yang berkepentingan seperti guru, praktisi pendidikan, peneliti, dan lain-lain sebagai pendukung, pembanding, atau bahkan dapat menjadi rujukan penelitian sejenis. F. Struktur Organisasi Penelitian Struktur organisasi skripsi ini terdiri dari: Bab I berisi mengenai uraian tentang pendahuluan dari skripsi yang berisi latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian dan manfaat atau signifikasi penelitian, serta struktur organisasi penelitian. Bab II berisi kajian pustaka mengenai kajian pustaka tentang inkuiri, levels of inquiry,scientific reasoning), dan hubungan antara pendekatanlevels of inquiry terhadap peningkatan scientific reasoning. Bab III berisi penjabaran yang rinci mengenai pendekatan penelitian termasuk beberapa komponen lainnya, yaitu lokasi dan subjek populasi atau sampel penelitian, desain penelitian, pendekatan penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, proses pengembangan instrument, teknik pengumpulan data hingga analisis data. Bab IV penjabaran hasil penelitian dan pembahasan terdiri berisi dua hal utama yaitu hasil pengolahan atau analisis data dan pembahasan atau analisis temuan. Bab V merupakan simpulan dan saran yang menyajikan penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil analisis temuan penelitian.