BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1997 mendorong pemerintah pusat mendelegasikan sebagian wewenang dalam hal pengelolaan keuangan kepada daerah sehingga diharapkan daerah dapat membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, 2008). Otonomi daerah merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009). Otonomi daerah diberlakukan dengan diterbitkannya UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi melalui UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola sumber daya yang dimilikinya dan melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat (Handra & Maryati, 2009). Pengelolaan pemerintahan yang harus dilakukan sendiri oleh pemerintah daerah menuntut adanya kemandirian daerah dalam menggali potensi lokal dalam meningkatkan kinerja keuangannya. Kemandirian daerah ini dicerminkan dengan kemampuan daerah menghasilkan penerimaan pendapatan yang diperoleh daerah tersebut yang berasal dari potensi-potensi ekonomi daerah. Potensi-potensi ekonomi daerah ini juga disebut dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang 1
2 terdiri dari pajak, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan lainlain dan pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan asli daerah dapat dialokasikan untuk kegiatan pelayanan kepada publik yang merupakan salah satu harapan masyarakat kepada pemerintah di dalam era desentralisasi fiskal ini. Peningkatan pelayanan publik yang dimaksud salah satunya adalah dengan memberikan proporsi belanja modal yang lebih besar (Kawa, 2011). Pengelolaan keuangan daerah sangat besar pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah yang kuat dan berkuasa serta mampu mengembangkan kebesarannya atau menjadi tidak berdaya tergantung pada cara mengelola keuangannya. Pengelolaan daerah yang dilakukan secara ekonomis, efisien, dan efektif atau memenuhi value for money serta partisipasi, transparansi, akuntabilitas dan keadilan akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya mengurangi jumlah pengangguran serta menurunkan tingkat kemiskinan. Untuk pengelolaan daerah tidak hanya dibutuhkan sumber daya manusia, tetapi juga sumber daya ekonomi berupa keuangan yang dituangkan dalam suatu anggaran pemerintah daerah (Sularso & Restianto, 2011). Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas, efisiensi, dan efektifitas pemerintah daerah. Anggaran daerah seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan, pengeluaran, dan pembiayaan, alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, alat otoritas pengeluaran di masa yang akan datang, ukuran standar
3 untuk evaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktivitas di berbagai unit kerja (www.keuda.kemendagri.go.id) Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian melebihi dari apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat bagus. Apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari apa yang direncanakan, maka kinerjanya jelek (Sularso & Restianto, 2011). Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakuan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut (Nugroho & Rohman,2012). Pengertian kinerja keuangan adalah salah satu bentuk penilaian dengan asas manfaat dan efesiensi dalam penggunaan anggaran keuangan. Menurut Halim (2007) analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Dalam organisasi sektor publik, setelah adanya oprasional anggaran, langkah selanjutnya adalah pengukuran kinerja untuk menilai prestasi dan akuntabilitas organisasi dan manajemen dalam menghasilan pelayanan publik yang lebih baik. Akuntabilitas yang merupakan salah satu ciri dari terapan good governance bukan hanya sekedar kemampuan menujukan bagaimana menunjukan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efektif, dan efisien (Mardiasmo 2002).
4 Ekonomis terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan yaitu dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif. Efisiensi merupakan perbandingan ouput/ input yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan. Sedangkan efektif merupakan tingkat standar kinerja atau program dengan target yang telah ditetapkan yang merupakan perbandingan-perbandingan outcome dengan output (Mardiasmo, 2002). Belanja modal merupakan belanja yang dipergunakan untuk jangka waktu lebih dari satu tahun (atau disebut jangka panjang) untuk mendapaka aset tetap pemerintah daerah, yakni: peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya dengan cara membeli, yang umumnya dilakukan dengan proses lelang atau tender yang cukup rumit (Abdullah, 2004). Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga digunakan diantaranya untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur di dalam sektor pendidikan kesehatan dan transportasi sehingga masyarakatpun turut menikmati manfaat dari pembangunan daerah. Tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas di berbagai sektor tersebut, produktifitas masyarakat pun menjadi semakin tinggi dan pada akhirnya terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut (Harianto dan Adi, 2007). Seperti yang dikemukakan juga oleh Lin dan Liu (2000) bahwa pemerintah untuk meningkatkan investasi modal guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Layaknya belanja pembangunan, belanja modal dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk pengadaan aset daerah sebagai investasi, dalam rangka membiayai
5 pelaksanaan otonomi daerah yang pada akhirnya bertujuan untu meningkatkan produktivitas perekonomian daerah. Semakin banyak belanja modal maka semakin tinggi pula produktivitas perekonomian karena belanja modal berupa infrastruktur jelas berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja (Media Indonesia, 2008) Otonomi daerah yang saat ini sudah berjalan di tiap kabupaten dan kota di Indonesia tetap menimbulkan persoalan baru, karena ternyata potensi fiskal pemerintah daerah yang satu dengan daerah yang lainnya masih sangat beragam. Hal ini disebabkan oleh kesiapan fiskal dari masing-masing daerah yang berbedabeda dalam pelaksanaan otonomi daerah (Nordiawan, Iswahyudi, & Maulidah, 2007). Perbedaan yang terjadi ini akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang beragam pula. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan PAD maka dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah tersebut akan lebih tinggi sehingga pemerintah daerah akan berinisiatif untuk lebih menggali potensi-potensi daerah dan akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Harianto & Adi, 2007). Pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan memepengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004). Pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan poduksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dan dalam selang waktu tertentu (BPS,2008). Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting pemerintah daerah
6 maupun pemerintah pusat, karena pertumbuhan ekonomi mengindikasikan bahwa suatu daerah tersebut dapat dikatakan maju dan berkembang. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya (Kuncoro,2004). Pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kinerja keuangan pemerintah daerah. Kinerja itu sendiri merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi (Hamzah, 2008). Kabupaten/Kota Regency/City Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat (persen) 2008 2009 2010 2011 1 2 3 4 5 Kab/Reg. 01. Bogor 5,58 4,14 5,09 5,96 02. Sukabumi 3,90 3,65 4,02 4,07 03. Cianjur 4,04 3,93 4,53 4,74 04. Bandung 5,30 4,34 5,88 5,94 05. Garut 4,69 5,57 5,34 5,48 06. Tasikmalaya 4,02 4,15 4,27 4,32 07. Ciamis 4,95 4,92 5,07 5,11 08. Kuningan 4,28 4,39 4,99 5,43 09. Cirebon 4,91 5,08 4,96 5,03 10. Majalengka 4,57 4,73 4,59 4,67 11. Sumedang 4,58 4,76 4,22 4,82 12. Indramayu 4,55 1,87 4,03 4,89 13. Subang 4,33 4,63 4,34 4,45 14. Purwakarta 4,87 5,28 5,77 6,40 15. Karawang 10,82 7,40 9,65 7,39 16. Bekasi 6,07 5,04 6,18 6,26 17. Bandung Barat 6,95 4,64 5,47 5,75 Kota/City 18. Bogor 5,98 6,02 6,14 6,19 19. Sukabumi 5,23 7,03 6,11 6,31 20. Bandung 8,10 8,40 8,45 8,73 21. Cirebon 5,64 5,05 3,81 5,93
7 22. Bekasi 5,94 4,13 5,84 7,08 23. Depok 6,42 6,22 6,36 6,58 24. Cimahi 4,77 4,63 5,30 5,56 25. Tasikmalaya 5,70 5,72 5,73 5,81 26. Banjar 4,82 5,13 5,28 5,35 Jawa Barat 6,21 4,19 6,20 6,48 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Gambar 1.1 Laju pertumbuhan Ekonomi 12 10 8 6 4 2 0 0 1 2 3 4 5 6 7 Tahun Dapat dilihat bahwa Jawa Barat dari tahun 2008-2011 memiliki pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi. Pada tabel 1.1 bisa dilihat menurunnya laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2009 sebesar 4,19, hal ini dipengaruhi anjloknya kinerja sektor industri yang pengolahannya hingga minus 7,99. Kepala Bidang Statistik dan Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, Ahmad Kurjatin mengatakan pertumbuhan sebagian sektor usaha pada triwulan I-2009 tercatat negatif. Secara umum, penurunan kinerja perekonomian Jabar
8 berdasarkan produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan pada triwulan I-2009 disebabkan kinerja beberapa sektor yang tercatat negatif. Dengan melihat fenomena yang terjadi, pengalokasian untuk belanja modal lebih rendah bila dibandingkan dengan belanja pegawai yang rata-rata mencapai 70% dari dana transfer (Putra, 2012). Belanja pegawai yang terlalu besar akan mempersempit ruang fiskal untuk belanja barang/jasa dan barang modal. Berdasarkan data Keputusan Menteri Dalam Negeri selama 5 tahun terakhir 40%-45% belanja APBD didominasi oleh belanja pegawai, sedangkan belanja modal hanya 22%-29% (Gamawan, 2012). Padahal semakin tinggi belanja modal maka akan semakin tinggi pula produktivitas perekonomian karena belanja modal yang mana berupa infrastruktur jelas berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan terciptanya lapangan kerja. Lambatnya penyerapan belanja modal berdampak pada penyediaan infrastruktur sarana prasarana pelayanan publik yang berarti juga akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah (www.jabarprov.go.id). Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2013 diharapkan alokasi belanja modal dalam hal pembangunan infrastruktur dapat memperlebar kesempatan kerja untuk menekan angka pengangguran dan kemiskinan yang ditargetkan pada 2013 (Firmansyah,2013) Beberapa penelitian terdahulu tentang Pertumbuhan Ekonomi, diantaranya: Darwanto dan Yustikasari (2007) melakukan penelitian tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum
9 terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Daerah se Jawa-Bali baik Kabupaten dan Kota dari tahun 2004-2005. Hasilnya menunjukkan bahwa PAD dan DAU mempunyai efek terhadap pengeluaran modal, sedangkan pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai pengaruh terhadap pengeluaran modal. Penelitian mengenai kinerja keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya pernah dilakukan, dan hasil pengujian secara langsung antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian, dan rasio efesiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektifitas tidak berpengaruh secara siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (Hamzah, 2008). Berdasarkan fenomena yang diteliti maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang "Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2008-2011". 1.2 Identifikasi Masalah Setelah meneliti apa yang diuraikan pada latar belakang penelitian, maka masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan pada latar belakang penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Apakah pengaruh kinerja keuangan terhadap alokasi belanja modal? 2. Apakah pengaruh alokasi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi? 3. Apakah pengaruh kinerja keuangan dan alokasi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi?
10 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menguji secara langsung pengaruh kinerja keuangan terhadap alokasi belanja modal. 2. Menguji secara langsung alokasi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi. 3. Menguji secara tidak langsung pengaruh kinerja keuangan terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi penulis a. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis tentang pengaruh kinerja keuangan terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. b. Untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian Strata-Fakultas Ekonomi (Program Studi Akuntansi) di Universitas Widyatama. 2. Bagi Pihak Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan dan dapat menjadi bahan referensi khususnya untuk mengkaji topik-topik yang berkaitan tentang pengaruh kinerja keuangan terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. 3. Bagi Pengembangan Ilmu
11 Hasil penelitian ini diharapkan dijadikan referensi dan sebagai bahan acuan atau sumber untuk observasi lebih lanjut dalam bidang akuntansi sektor publik tentang kinerja keuangan, alokasi biaya modal dan pertumbuhan ekonomi. 4. Bagi Pemerintah Daerah Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan tentang kinerja keuangan daerah, belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dan pengumpulan data ini dilakukan dengan mengambil seluruh populasi dari 17 kabupaten dan 9 kotamadya di Jawa Barat. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan dari bulan September 2013 sampai dengan bulan Februari 2014.