PENDAHULUAN Latar Belakang Ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya sehingga dapat dikatakan, ruang sebagai wilayah bagi manusia untuk dapat melakukan aktifitas sosial, ekonomi dan aktifitas lainnya yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya dan sumberdaya yang ada. Oleh sebab itu pengaturan ruang perlu dilakukan secara terencana sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara terkendali. Pengaturan ruang dalam kerangka kebijakan hukum di Indonesia, diatur melalui Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang diimplementasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik nasional, provinsi maupun kabupaten yang masing-masing dibedakan berdasarkan tingkat kedalaman analisis. Hal ini dilakukan dengan tujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan memperhatikan : a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Selain itu, rencana tata ruang juga merupakan sebuah piranti untuk menjamin terpenuhinya bukan hanya hak-hak individu seperti keselamatan, kesehatan, lingkungan, kenyamanan, maupun kemudahan akses, namun juga untuk hak-hak publik (Dardak 2005). Mengacu kepada pernyataan ini dapat dikatakan bahwa pemanfaatan ruang pada suatu wilayah harus sesuai dengan kapasitas lingkungan hidup serta sumber daya yang dimiliki dan pengalokasian pemanfaatan ruang 1
dilakukan dengan memperhatikan kemampuan lahan yang ada, atau dengan kata lain harus memperhatikan aspek daya dukung lingkungan hidup. Pertimbangan aspek daya dukung lingkungan hidup dalam perencanaan pemanfaatan ruang menjadi penting, mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada, khususnya sumberdaya lahan perlu dipertahankan kelestariannya sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi manusia. Pemanfaatan ruang yang tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan hidup dapat menyebabkan terjadinya bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir serta dalam jangka panjang akan mengakibatkan dampak sosial. Berdasarkan pemahaman tersebut diatas, pemerintah melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup, menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah, yang merupakan pedoman untuk menilai daya dukung lingkungan hidup sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam penyusunan RTRW. Konsekuensi hukum penerbitan peraturan tersebut adalah setiap penyusunan RTRW yang dilakukan pada suatu wilayah perlu mempertimbangkan aspek daya dukung lingkungan hidup, termasuk rancangan RTRW Kabupaten Garut sebagai pengganti RTRW sebelumnya yang berakhir pada tahun 2011. Kabupaten Garut, merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, dalam penyusunan rancangan RTRW mengacu kepada RTRW Provinsi Jawa Barat yang telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat. Di dalam rancangan tersebut, alokasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Garut terbagi menjadi dua kawasan utama, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya, dengan proporsi luasan masing-masing 74,2% dan 25,8% dari keseluruhan wilayah. Pengalokasian kawasan lindung yang cukup besar juga merupakan bagian dalam mendukung program Provinsi Jawa Barat sebagai Green Province dimana kawasan lindung di Provinsi Jawa Barat akan mencapai luasan 45% dari luas wilayah Jawa Barat pada akhir tahun perencanaan. Konsekuensi logis dari penetapan ini akan berdampak terhadap aspek ruang serta aktifitas manusia dan berpotensi menimbulkan konflik. 2
Dilihat dari aspek keruangan, penetapan kawasan lindung sebesar 74,2% memerlukan penambahan luasan yang berasal dari peruntukan lain. Sebagai gambaran, pada RTRW Kabupaten Garut yang berlaku sebelumnya, pengalokasian fungsi kawasan ditetapkan sebesar 46,4% bagi peruntukan kawasan lindung dan 53,6% bagi kawasan budidaya sehingga dapat diperkirakan penambahan alokasi peruntukan kawasan lindung sebesar 27,8% akan berasal dari kawasan budidaya. Dampak lanjutan perubahan kebijakan pengalokasian ruang ini akan menyebabkan diberlakukannya pembatasan-pembatasan aktifitas terutama pada wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan kawasan budidaya. Sugandhy (1999) dalam Aliati (2007) mengemukakan bahwa kawasan non budidaya (fungsi lindung) adalah bagian dari suatu wilayah yang mempunyai fungsi non budidaya (dominasi fungsi lindung) terhadap tanah, air, flora, fauna dan budaya) dengan sudah mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup, dimana di dalamnya tidak diperkenankan adanya fungsi budidaya ataupun kalau terpaksa diperkenankannya dalam fungsi terbatas. Pembatasan pemanfaatan ruang sangat bertolak belakang dengan perkembangan yang ada, jika dilihat dari faktor perkembangan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi. Menurut Andriyani (2007) meningkatnya pertambahan penduduk akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk permukiman selain itu dikatakan, dinamika sosial ekonomi menjadi faktor pendorong terjadinya dinamika penggunaan lahan yang berakibat pada perubahan dan pergeseran penggunaan lahan. Data statistik seperti terlihat pada Gambar 1 menunjukkan, jumlah penduduk Kabupaten Garut pada tahun 2009 sebesar 2.380.981 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2,6% atau meningkat 98,4% dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 1971 yang berjumlah 1.200.407 jiwa. Selama empat tahun terakhir, jumlah penduduk Kabupaten Garut cenderung mengalami peningkatan dan akan terus mengalami penambahan mendekati hampir tiga juta jiwa pada tahun 2030. Hal ini akan mendorong peningkatan kebutuhan lahan bagi pemukiman serta untuk mendukung aktiftas dan kebutuhan lainnya. 3
2.400.000 2.380.981 2.350.000 2.345.108 2.309.776 2.300.000 2.274.973 2.250.000 2.253.253 2.239.091 2.200.000 2.150.000 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber : diolah dari berbagai sumber Penduduk (jiwa) Gambar 1 Jumlah penduduk Kabupaten Garut 2004 2009. Disamping itu perkembangan aktifitas masyarakat di Kabupaten Garut, selama beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup intensif. Salah satu indikator untuk melihat perkembangan aktifitas yang terjadi adalah dengan melihat perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara keseluruhan pencapaian kinerja PDRB atas harga berlaku relatif mengalami peningkatan dari 11.323,8 miliar rupiah pada tahun 2004 menjadi 22.271,4 miliar rupiah pada tahun 2009. Peningkatan ini juga terlihat dalam perkembangan PDRB yang dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000, dimana pada tahun 2009 nilainya mencapai 10.568,7 milyar rupiah dibandingkan tahun 2004 yang nilainya mencapai 8.418,4 milyar rupiah. Perbedaan nilai PDRB yang cukup besar menunjukkan tingginya inflasi yang terjadi di wilayah ini. Namun demikian secara umum, berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan, dinamika ekonomi yang terjadi di wilayah ini menunjukkan perkembangan perkenomian aktifitas masyarakat. Secara multi waktu, gambaran peningkatan aktifitas perekonomian masyarakat Kabupaten Garut dapat dilihat pada Gambar 2. 4
25,0 22,3 20,0 17,7 20,4 15,9 15,0 13,7 10,0 8,4 11,3 8,8 9,1 9,6 10,0 10,6 5,0-2004 2005 2006 2007 2008 2009 PDRB Harga Konstan (trilyun rupiah) PDRB Harga Berlaku (trilyun rupiah) Sumber : diolah dari berbagai sumber Gambar 2 Perkembangan PDRB Garut tahun 2004 2009. Pertumbuhan dan perkembangan aktifitas perekonomian secara umum yang dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan nilai PDRB, berdampak terhadap pendapatan perkapita masyarakat. Pendapatan perkapita merupakan gambaran daya beli masyarakat dan dalam analisis sering digunakan sebagai gambaran indikator kesejahteraan masyarakat secara makro sehingga dapat dikatakan semakin tinggi pendapatan yang diterima penduduk maka tingkat kesejahteraannya semakin baik, demikian pula sebaliknya. Gambar 3 menunjukkan bahwa dilihat dari pendapatan perkapita masyarakat yang dihitung berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan terdapat peningkatan yang cukup tinggi. Secara agregat pendapatan perkapita riil yang diterima oleh masyarakat pada tahun 2009 mencapai 4,5 juta rupiah perkapita dibandingkan tahun 2004 yang mencapai 3,7 juta rupiah perkapita. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dilihat adanya permasalahan, yang berpangkal pada dua kepentingan yang saling bertolakbelakang namun memiliki aspek keruangan, yaitu kepentingan konservasi dan produksi. Pada satu sisi, kebijakan penetapan kawasan lindung yang cukup besar akan meredam 5
penggunaan lahan yang bersifat intensif sedangkan perkembangan sosial ekonomi yang terjadi saat ini, di lain pihak memerlukan ruang yang cukup untuk dimanfaatkan sebagai media aktifitas manusia. Sehingga perlu dikaji bagaimana pemanfaatan ruang yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan produksi maupun konservasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup di wilayah tersebut. 10,0 9,0 8,7 9,4 8,0 7,7 7,0 6,0 5,0 4,0 3,7 5,0 6,1 3,9 4,0 7,0 4,2 4,3 4,5 3,0 2,0 1,0-2004 2005 2006 2007 2008 2009 PDRB per Kapita a.d.k (juta rupiah) PDRB per Kapita a.d.b (juta rupiah) Sumber : diolah dari berbagai sumber Gambar 3 Pendapatan perkapita masyarakat Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, terlihat adanya permasalahan konflik pemanfaatan ruang yang penting untuk dikaji sehingga untuk dapat memberikan alternatif pemecahannya, penting untuk memahami beberapa hal yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi pemanfaatan lahan yang ada saat ini? 2. Bagaimana potensi sumberdaya lahan yang ada jika dilihat berdasarkan aspek kemampuan lahannya? 6
3. Apakah pemanfaatan lahan yang ada saat ini sudah sesuai dengan potensi yang dimiliki dan apakah perencanaan yang dibuat telah memperhitungkan potensi yang ada serta apakah perencanaan tersebut telah melihat kondisi pemanfaatan lahan yang ada saat ini? 4. Bagaimana status daya dukung lingkungan hidup wilayah pada saat ini? Apakah mengalami surplus atau defisit? 5. Bagaimana pemanfaatan ruang yang optimal dengan mempertimbangkan aspek daya dukung lingkungan hidup di wilayah tersebut? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut. 2. Mengidentifikasi kelas kemampuan lahan di Kabupaten Garut. 3. Mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan. 4. Mengidentifikasi status daya dukung lingkungan hidup di Kabupaten Garut. 5. Merumuskan arahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Garut berbasis daya dukung lingkungan hidup. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai masukan kebijakan pemerintah daerah dalam merumuskan arahan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan daya dukung lingkungan hidupnya. 7