BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

dokumen-dokumen yang mirip
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun. Pada masa ini, orang-orang mencari keintiman emosional dan fisik

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah

TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa bayi adalah periode dalam hidup yang dimulai setelah kelahiran dan

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran individu lain tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. penting menuju kedewasaan. Masa kuliah akan menyediakan pengalaman akademis dan

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cinta. kehilangan cinta. Cinta dapat meliputi setiap orang dan dari berbagai tingkatan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan hal yang umumnya akan dilalui dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Katolik, Hindu, dan Budha. Negara menjamin kebebasan bagi setiap umat bergama untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang dalam menjalankan kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan membantu kegiatan sehari-hari, tapi juga guna memenuhi kebutuhan spiritual dan psikisnya yaitu kebutuhan akan kasih sayang, perhatian, rasa dihargai, dan dihormati. Ketika individu memasuki dewasa awal, individu semakin menyadari bahwa dirinya membutuhkan teman hidup untuk berbagi suka dan duka dalam kehidupan. Selain itu, individu juga memerlukan cinta dan keintiman serta adanya keinginan untuk menjadi orangtua dan membangun keluarga yang harmonis. Oleh karenanya, individu mulai mencari pasangan untuk mendampingi hidupnya dan memutuskan untuk menikah. Perkawinan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan, dan kesempatan untuk pengembangan emosional (Gardiner & Myers dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004). Pada masa tahun-tahun pertama perkawinan, pasangan menikah mengalami suatu masa romantis dan sangat menikmati kehidupan baru mereka, namun juga merupakan masa yang sulit karena dua individu yang bersatu memiliki latar belakangkeluarga dengan pola asuh, kebudayaan, serta kebiasaan yang berbeda sehingga individu harus beradaptasi terhadap kebiasaan dan perbedaan-perbedaan tersebut. Kegagalan dalam proses adaptasi seringkali memicu terjadinya perceraian pada tahun-tahun pertama perkawinan. Meskipun demikian, tidak sedikit pula pasangan menikah ini terus berlanjut ke tahun perkawinan berikutnya yang ditandai dengan anak-anak yang sudah beranjak remaja dan memasuki dewasa awal. 1

2 Pada periode tengah perkawinan yakni usia perkawinan 20-30 tahun, individu biasanya sudah memasuki usia paruh baya (middle age) yaitu 45-60 tahun (Papalia, 2007). Kehidupan pernikahan pada tahap ini diwarnai dengan kegiatan membesarkan anak, mengembangkan karir, sampai pada masa ketika anak terakhir meninggalkan rumah (emptynest experience). Kepergian anak yang sudah dewasa ini dapat dijadikan momen bulan madu kedua yakni saat suami istri mendapatkan kembali waktu berdua yang sudah berpuluh tahun tidak didapatkannya. Banyaknya waktu-waktu sulit yang dialami pasangan dapat membuat hubungan keduanya menjadi lebih erat karena dilandasi rasa saling percaya, perasaan nyaman berada dekat dengan pasangan, dan perasaan saling memiliki sehingga mereka dapat menyelesaikan setiap permasalahan dengan cara yang konstruktif. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa pernikahan pada periode ini menunjukkan kehidupan kerjasama, keuangan, seksualitas, dan relasi dengan anak yang lebih baik (Burr dalam Papalia,1986). Sebaliknya lamanya hubungan yang sudah dijalinini juga dapat membuat hubungan keduanya semakin renggang karena perasaan tidak nyaman dekat dengan pasangan, tidak percaya pada pasangan, serta menghindari komunikasi dengan pasangan sehingga mereka sulit menyelesaikan permasalahan yang muncul. Penelitian lainnya dilakukan oleh Pineo (Papalia, 2007) dan menyatakan bahwa pasangan pada masa ini mengalami kekecewaan dimana mereka sudah jarang untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan bersama, kurang dapat bertoleransi terhadap perbedaan kepribadian yang masing-masing individu miliki, dan keintiman yang masing-masing individu rasakan terasa seperti palsu. Tidak jarang pula munculnya tanda-tanda fisik penuaan dan hilangnya dorongan seksual yang terjadi menjadi sumber stres dalam berkomunikasi dengan pasangan. Bila pasangan kesulitan menerima perubahan yang terjadi serta tidak memakai kesempatan untuk mengenal kembali pasangannya, hal ini menimbulkan krisis pernikahan (Papalia, 2007). Ada pula beragam konflik lainnya yang perlu diselesaikan oleh individu menikah ini. Konflik tersebut ada yang

3 memang sudah muncul sejak awal pernikahan namun mereka memilih untuk bertahan karena berbagai alasan normatif seperti takut mengecewakan keluarga atau dicemooh masyarakat serta alasan yang paling klasik adalah anak-anak. Akhirnya, ketika anak-anak sudah cukup dewasa dan mandiri, jalan perceraian pun diambil (Kompas, 2014). Masalah yang tidak terselesaikan sejak awal perkawinan yang mencerminkan kegagalan beradaptasi akibat adanya perbedaan-perbedaan prinsipal dan kebiasaan hingga mengurus anak, akhirnya diekspresikan dalam bentuk kemarahan serta menjaga jarak dengan pasangan pada saat anak-anak sudah dewasa. Individu yang sudah menikah selama 20-30 tahun rentan mengalami perasaan jenuh karena sudah memiliki hubungan yang cukup lama dengan suami atau istrinya. Akibatnya suami atau istri tidak mampu lagi menampilkan keintiman dan kehangatan. Hal ini terjadi karena suami atau istri merasa kurang nyaman dengan pasangannya. Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun 2014 oleh majalah AARP yakni majalah yang berfokus pada masalah penuaan, terjadi peningkatan permintaan perceraian pada individu menikah di usia pernikahan 20 tahun ke atas setiap tahunnya. Konflik dan perceraian yang masih terjadi menunjukkan bahwa menjaga kelangsungan kehidupan perkawinan tidaklah mudah dan lamanya usia pernikahan juga tidak menjamin kelanggengan hubungan pernikahan. Kedekatan emosional sebagai sepasang suami istri dalam kehidupan pernikahan yang telah berlangsung lama memang tetap diperlukan, artinya diantara pasangan suami istri yang sudah menginjak usia pernikahan minimal 20 tahun pun perlu memertahankan hubungan suami istri, keharmonisan, memberikan rasa nyaman, dan saling percaya untuk memerkuat ikatan diantara mereka. Fenomena serupa juga terjadi di Gereja X. Gereja X merupakan tempat ibadah yang cukup besar serta memiliki beberapa cabang yang tersebar di kota Bandung.Gereja ini memiliki kegiatan persekutuan pria dan wanita, dilakukan secara rutin setiap 2 minggu sekali yang 90% didominasi oleh suami istri yang berada pada tahap dewasa madya serta memiliki

4 usia pernikahan 20-30 tahun. Alasan suami/istri mengikuti persekutuan ini, karenamerasa mendapatkan solusi atas persoalan rumah tangganya.solusi ini akan menguatkan perkawinannya dan juga sebagai sarana bagi suami/istri untuksharingmengenai kehidupan perkawinannya. Suami/istri juga merasa mendapatkan jawaban bagi permasalahan dan konflik dalam rumah tangganya. Berdasarkan wawancara kepada suami/istri dengan usia pernikahan 20-30 tahun di Gereja X yangrata-rata sudah memiliki anak remaja atau dewasa didapatkan informasi mengenai kehidupan perkawinannya. Pada masa ini, suami istri lebih mengekspresikan kejenuhan dan kekesalan mereka karena suami atau istri merasa pasangannya sudah mengenal dirinya dan percaya pasangannya akan menerima dirinya apa adanya, namun ada pula yang merasa sudah tidak nyaman lagi pada pasangannya. Di samping itu pula, suami atau istri merasa sudah tidak perlu memberikan contoh kepada anaknya yang sudah besar atau tidak lagi tinggal di rumah. Mereka lebih senang fokus dan menghabiskan waktunya dengan pekerjaannya atau lebih senang bermain dengan temannya atau datang ke acara reuni karena suami atau istri merasa tidak nyaman dengan pasangannya serta merasa lebih nyaman ketika bersama dengan orang lain. Saat menghadapi konflik, suami istri lebih nyaman bercerita pada orang lain daripada menyelesaikan dengan pasangannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Gembala Sidang Gereja X Bandung yakni sekitar 50% individu menikah mengalami konflik dalam usia pernikahan 20-30 tahun. Mereka rutin melakukan konseling dan menceritakan masalah yang sering terjadi, seperti suami atau istri merasa jenuh dan tidak nyaman dengan pasangannya, sehingga mereka merasa tidak cocok serta merasa tidak nyambung berbicara dengan pasangannya, akibatnya suami atau istri mencari orang lain untuk berbagi cerita, dan hal ini memunculkan potensi perceraian di usia perkawinan 20-30 tahun di Gereja X.

5 Adanya perbedaan cara dalam menghadapi konflik dikarenakan oleh attachment yang berbeda pula. Konflik yang terjadi dalam kehidupan suami istri ini tentu saja tidak dapat dihindari namun perlu dihadapi oleh suami istri untuk menjaga kelanggengan suatu pernikahan (Shaver & Hazan, 1987). Attachment terdiri atas dua dimensi yaitu avoidance dan anxiety. Avoidance berkaitan dengan perasaan tidak nyaman berada dekat pasangan serta menjaga jarak emosional dengan pasangannya. Anxiety berkaitan dengan keinginan yang kuat untuk perlindungan dan kekhawatiran yang berlebihan terhadap pasangannya. Nilai rendah pada avoidancedan anxiety akan menghasilkan tipe secure yakni suami atau istri merasa nyaman dan percaya pada pasangannya serta mampu menyelesaikan masalah secara konstruktif. Bila avoidance rendah, anxiety tinggi, menghasilkan tipe anxious yakni ketakutan ditinggalkan pasangan dan cemburu tinggi. Bila avoidance tinggi, anxiety rendah, menghasilkan tipe avoidant yakni tidak percaya dan sulit berkomitmen dengan pasangannya. Shaver juga mengungkapkan bahwa tipe attachment yang dimiliki individu dapat mempengaruhi kepuasan dalam suatu hubungan, penyesuaian dalam hubungan, bagaimana pasangan mengatasi konflik dan bentuk komunikasi yang terjalin. Adanya relasi yang timbal balik dimana individu menjadi figur attachment yang memberi dan membutuhkan kedekatan dari pasangannya. Tipe attachment ini menentukan bagaimana cara individu membina hubungan dengan orang lain termasuk pasangannya (Mikulincer & Shaver 2007). Penelitian yang dilakukan Hazan dan Shaver (1987) mengungkapkan bahwa individu dengan tipe secure memberikan kontribusi terhadap hubungan romantis dalam pernikahan. Individu dengan tipe avoidant dan anxious memiliki hubungan yang singkat dan lebih mungkin untuk bercerai. Individu dengan tipe avoidant cenderung mengakhiri hubungan saat menghadapi masalah. Individu dengan tipe anxiousakan bereaksi dengan kuat saat emosi

6 negatif muncul, berpikir adanya pengkhiatan yang dilakukan oleh pasangan karena takut kehilangan pasangan (Mikulincer&Shaver, 2007). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada 10 orang individu yang usia pernikahannya dalam kisaran 20-30 tahun, didapatkan sebanyak empat orang (40%) pada saat usia pernikahan memasuki 20 tahun, jarang terjadi masalah yang rumit diantara mereka. Masalah yang terjadi hanyalah masalah sepele seperti suami yang pelupa namun pasangannya dapat memaklumi sambil mengingatkan. Adanya kepercayaan di antara mereka ketika pasangannya harus pergi bekerja ke luar kota, mereka saling memberi kabar satu dengan yang lain. Mereka merasa dicintai oleh pasangannya. Dampaknya, bila terjadi masalah, mereka merasa pasangannya bisa mempercayai mereka dan mencari jalan keluar tanpa menyalahkan satu sama lain sehingga mereka merasa dihargai dan mendapat dukungan. Meskipun demikian, tidak selalu semua permasalahan dapat ditemukan jalan keluarnya, terkadang mereka merasa khawatir pasangannya tidak dapat mengerti bahkan meninggalkannya bila mereka bercerita mengenai masalah yang sedang dihadapi. Sebanyak empat orang (40%) mereka merasa sulit tidur dan memikirkan pasangannya ketika mereka sedang berselisih paham karena mereka khawatir pasangannya akan meninggalkannya. Ketika pasangannya harus pergi ke luar kota, mereka merasa sedih dan merasa kehilangan sehingga mereka selalu mengecek keberadaan pasangannya dan merasa cemburu hampir setiap hari. Mereka juga menjadi overprotective dengan cara membatasi kegiatan pasangannya karena khawatir pasangannya akan lebih merasa nyaman dengan kegiatannya atau orang lain daripada mereka, misalnya saat pasangannya hendak pergi reuni dengan teman-temannya, mereka merasa cemburu dan tidak percaya serta khawatir. Dampaknya, bila terjadi permasalahan, mereka merasa cemas pasangannya akan meninggalkan dirinya dan tidak lagi mencintai dirinya serta takut pasangannya pergi dan menceraikannya.

7 Kemudian, dua orang (20%) lainnya mengungkapkan kesulitan untuk berkomitmen dengan pasangannya, individu bersikap acuh ketika pasangan harus pergi ke luar kota, istri tidak lagi memiliki rasa cemburu dan tidak membatasi kegiatan suaminya. Individu tidak memiliki ketakutan dan khawatir akan perpisahan. Mereka jarang bercerita dan meminta saran pada pasangannya karena merasa tidak nyaman dengan pasangannya. Dampaknya, ketika menghadapi permasalahan, individu tidak memiliki keinginan untuk bertukar pikiran dan tidak mencari jalan keluar bersama. Hasil survey menunjukkan, terlihat bahwa rata-rata individu yang usia pernikahannya diantara 20-30 tahun sebanyak empat orang (40%) memiliki kepercayaan, saling terbuka dan saling memberikan dukungan emosional serta mampu berempati terhadap pasangannya, sebanyak empat orang (40%) memiliki perasaan tertekan akan keterpisahan, khawatir yang berlebihan, overprotective, cemburu berlebihan terhadap pasangannya dan dua orang (20%) memiliki sifat yang acuh, tidak percaya, dan sulit berkomitmen dengan pasangannya. Berdasarkan fenomena serta pemaparan di atas terkait dengan beragamnya gambaran tipe attachment, peneliti tertarik untuk melihat tipe attachment yang dimiliki oleh suami dan istri yang usia pernikahannya diantara 20-30 tahun. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan yang ingin diteliti adalah seperti apa tipe attachment pada individu yang usia pernikahannya diantara 20-30 tahun di Gereja X

8 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Untuk memeroleh gambaran dimensi-dimensi attachment pada individu menikah dengan usia pernikahan 20-30 tahun di Gereja X. 1.3.2 Tujuan Penelitian Ingin mengetahui gambaran mengenai tipe attachment pada individu menikah yang usia pernikahannya diantara 20-30 tahun di Gereja X. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis 1. Memberikan pengembangan informasi pada ilmu pengetahuan psikologi perkembangan, keluarga, dan sosial mengenai tipe attachment pada individu yang usia pernikahannya diantara 20-30 tahun di Gereja X. 2. Memberi informasi kepada peneliti lain untuk mengembangkan penelitian selanjutnya di bidang tipe attachment pada individu menikah yang usia pernikahannya 20-30 tahun. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1.Memberi informasi secara umum kepada para suami dan istri yang usia pernikahannya diantara 20-30 tahun mengenai tipe attachment sehingga mereka lebih memahami tipe attachment yang dimiliki dan membangun relasi yang mendalam serta berkualitas dengan pasangannya, dengan demikian mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dengan pasangannya berdasarkan tipe attachment yang dimiliki.

9 2.Memberi masukan bagi Gembala Sidang Gereja X Bandung mengenai tipe attachment pada individu menikah yang usia pernikahannya 20-30 tahun sehingga dapat mengenali tipe attachment setiap individu menikah yang usia pernikahannya 20-30 tahun. Informasi dapat digunakan untuk konseling pada individu menikah dengan usia pernikahan 20-30 tahun. 3. Memberikan masukkan kepada koordinator persekutuan pria dan wanita di gereja X Bandung untuk membahas tipe attachment secure dalam kegiatan sharing group. 1.5 Kerangka Pikir Suami istri yang berstatus menikah selama 20-30 tahun dan bagian dari jemaat Gereja X serta berada pada fase perkembangan dewasa madya menjadi bagian dalam penelitian ini. Dewasa madya memiliki rentang usia yang berkisar antara 40-65 tahun (Papalia, 2007). Masa dewasa madya ditandai dengan penurunan kemampuan fisik dan seksual, juga masa ketika anak-anak sudah dewasa dan mandiri.tahap ini merupakan masa transisi bagi paruh baya sehingga perlu beradaptasi dan menyadari peran mereka sebagai suami dan istri. Salah satu tugas perkembangan dewasa madya adalah membangun kembali komunikasi, ekspresi perasaan (cinta, sex, marah, kekecewaaan, kesuksesan) suami istri yang memungkinkan untuk kepuasan pernikahannya (Duvall & Miller, 1985). Dalam menjalani tugas perkembangan tersebut, suami/istri yang berada pada fase dewasa madya ini menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah dalam hubungan mereka dengan cara yang berbeda-beda, hal ini dikarenakan suami/istri memiliki tipe attachment yang berbeda-beda terhadap pasangannya. Menurut Ainsworth (dalam Mikulincer & Shaver, 2007), attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk individu dengan pasangannya yang

10 bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu ikatan emosionalyang bersifat kekal sepanjang waktu. Ainsworth (dalam Mikulincer & Shaver, 2007), menyatakan attachment memiliki dua dimensi, yaitu avoidancedan anxiety. Dimensi yang pertama yaitu avoidance, berkaitan dengan ketidaknyamanan dengan pasangan, bergantung pada pasangan, menjaga jarak emosional dan kemandirian, serta menonaktifkan strategi untuk menghadapi ketidakamanan dan bahaya. Dalam hal ini, suami/istri merasa tidak nyaman akan kedekatan, tidak percaya dan tidak ada kesediaan untuk terbuka pada pasangannya. Dimensi yang kedua adalah anxiety, berkaitan dengan keinginan yang kuat dari individu untuk merasakan kedekatan dengan pasangannya dan perlindungan dari pasangannya. Individu juga merasa adanya kekhawatiran yang intens mengenai kehadiran pasangannya dan khawatir pasangannya tidak mencintai dan akan meninggalkannya. Suami/istri memiliki keinginan yang kuat untuk kedekatan namun merasa khawatir dengan kehadiran pasangannya serta adanya perasaan khawatir bila pasangannya akan meninggalkannya. Dari dua dimensi tersebut, muncul tiga tipe dasar attachment yaitu secure, anxious, dan avoidant. Individu dengan tipe secure memiliki dimensi avoidance rendah dan dimensi anxiety rendah. Menurut Ainsworth (dalam Mikulincer & Shaver, 2007), tipe secure dideskripsikan dengan adanya kedekatan dan kepercayaan. Tipe secure memiliki ciri-ciri sebagai berikut : suami/istri memiliki rasa percaya bahwa pasangannya akan hadir saat dibutuhkan. Selain adanya kepercayaan, suami/istri juga bersikap ramah terhadap pasangannya. Suami/istri dengan tipe secure merupakan pribadi yang percaya diri, memiliki hubungan yang romantis, penuh kasih sayang dan mampu berkomitmen sehingga menghasilkan kepuasan yang paling besar dibandingkan tipe attachment yang lainnya (Amir et al, dalam buku Mikulincer & Shaver, 2007). Suami/istri dapat mentolerir perpisahan, misalnya saat suami harus pergi keluar kota, istri memberikan kepercayaan pada suaminya.

11 Suami/istri tidak menghindari kedekatan, mereka dapat menerima dan mendukung pasangannya meskipun pasangannya memiliki kekurangan dan kesalahan. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab suami/istri dapat menyelesaikan masalahnya secara konstruktif. Suami/istri juga dapat memberikan dukungan emosional saat pasangan membutuhkan (Hazan & Shaver, 2007). Individu dengan tipe anxious memiliki dimensi anxiety tinggi dan avoidance rendah. Menurut Ainsworth (dalam Mikulincer & Shaver, 2007), tipe anxious dideskripsikan sebagai kelekatan yang ditandai dengan kurangnya kepercayaan bahwa pasangan hadir saat ia membutuhkan dukungan, adanya ketidakpuasan dan kecemasan bahwa pasangannya tidak mencintai sebesar ia mencintai pasangannya. Tipe anxious memiliki ciri-ciri sebagai berikut : suami/istri merasa pasangannya tidak dekat seperti yang diinginkan, ingin selalu bersamasama dengan pasangannya, merasa cemburu, terobsesi dan memiliki keinginan untuk menguasai pasangannya. Suami/istri takut akan kehilangan dan tertekan dengan perpisahan sehingga bersikap overprotective terhadap pasangannya. Suami/istri percaya bahwa jatuh cinta adalah hal yang mudah dan tidak akan bertahan lama, juga memiliki emosi yang negatif terhadap pasangannya. (Magai et al dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Individu dengan tipe avoidant memiliki dimensi avoidance tinggi dan dimensi anxiety rendah. Menurut Ainsworth (dalam Mikulincer & Shaver, 2007), tipe avoidant dideskripsikan sebagai gaya kelekatan yang ditandai kurangnya kepercayaan dan kecenderungan untuk menjaga jarak emosional. Tipe avoidant memiliki ciri-ciri sebagai berikut : suami/istri tidak memilikikedekatan atau tidak percaya pada pasangannya, dengan kata lain suami/istri tidak nyaman dengan pasangannya. Suami/istri takut untuk bergantung dengan pasangannya dan lebih memilih untuk mandiri. Suami/istri percaya bahwa pasangannya akan meninggalkannya, mereka cenderung takut akan keintiman dan sulit berkomitmen secara emosional (Mikulincer & Erev, dalam buku Mikulincer & Shaver, 2007). Suami/istri tidak dapat memberikan

12 dukungan emosional yang tinggi pada pasangan. Selain itu, suami/istri juga bersikap cemburu berlebihan dan memiliki suasana hati yang berubah secara ekstrim (Hazan & Shaver, dalam buku Mikulincer & Shaver 2007). Individu yang termasuk ke dalam fearfully avoidant memiliki dimensi avoidance tinggi dan dimensi anxiety tinggi. Individu dengan tipe attachment fearfully avoidant relatif menjadi orang yang tidak asertif, dan kemungkinan mereka mempunyai pengalaman dengan kekerasan fisik atau seksual atau trauma lain yang berkaitan dengan attachment. Selain itu, ada bukti yang menunjukkan bahwa individu dengan fearfully avoidant adalah individu yang paling merasa tidak aman, paling sulit untuk mempercayai orang lain, dan yang paling bermasalah pada saat remaja dan dewasa (Shaver & Clark, 1994 dalam Mikuliner & Shaver, 2007). Individu dengan fearfully avoidant memiliki representasi negatif terhadap pasangan romantis mereka. Selain itu juga terdapat kemungkinan bahwa mereka terlibat dalam hubungan romantis yang penuh dengan tekanan atau kekerasan, secara kognitif juga tertutup dan kaku, menunjukkan sedikit empati, dan memiliki gangguan kepribadian atau kesehatan mental yang terganggu. Hazan dan Shaver tertarik pada populasi dengan subjek yang normal. Selain itu, mereka juga lebih memilih langkah-langkah kuesioner sederhana, studi sampel relatif besar, dan fokus pada hubungan sosial dewasa, termasuk persahabatan, hubungan kencan, dan pernikahan. Menurut Ainsworth (dalam Mikunlincer & Shaver, 2007), tipe attachment pada suami/istri ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pengalaman dengan figur attachment yakni parental caregiving dan parental attachment serta pengalaman secure dan insecure selama masa anak-anak, remaja, dan dewasa. Parental caregivingadalah perilaku yang ditunjukkan orangtua terhadap tangisan bayinya, ketepatan waktu dalam memberi makan, mengerti akan sinyal dan kebutuhan bayi, dapat memberikan kenyamanan pada bayi, serta dapat menerima bayi apa adanya. Bila suami/istri menghayati perasaan bahwa orangtua mereka sensitif dan

13 responsif terhadap kebutuhan mereka sepertidiperhatikan, dipedulikan, dicintai, serta diterima apa adanya oleh orang tuanya, maka suami/istri akan mudah bergaul dan merasa percaya diri. Suami/istri akan memiliki kemungkinan besar mengembangkan tipe attachment secure. Sedangkan bila suami/istri menghayati perasaan bahwa mereka tidak dirawat dengan baik, tidak mendapat kenyamanan, tidak dicintai, tidak dipedulikan, dan tidak diterima oleh orangtuanya, maka suami/istri akan mengembangkan tipe attachment insecure. (Juffer dalam buku Mikulincer & Shaver, 2007). Parental attachment adalah working model yang sudah dimiliki oleh orangtua yang dapat memengaruhi tipe attachment anak melalui pengajaran atau nasihat yang diberikan orangtua terhadap anak mengenai suatu hubungan (Mikulincer & Shaver, 2007). Bila suami/istri menghayati orang tuanya memiliki tipe securedan mendapatkan pengajaran mengenai hubungan yangsecure, maka suami/istri di masa dewasa kemungkinan besar akan mengembangkan tipe attachment secure pada pasangannya seperti percaya, menghargai, penuh kasih sayang dan memiliki hubungan yang romantis dengan pasangannya (Main et al, dalam buku Mikulincer & Shaver, 2007). Selain itu, suami/istri juga memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan pengendalian emosi yang baik sehingga suami/istri dapat menyelesaikan konflik rumah tangganya dengan cara yang konstruktif (Steele & Steele dalam buku Mikulincer & Shaver, 2007). Sedangkan, suami/istri yang menghayati orangtuanya memiliki tipe insecure dan menghayati orang tua sebagai orangtua yang menakutkan, merasa disiksa, dan merasa tidak diperhatikan, maka suami/istri akan sulit bergaul serta mengembangkan tipe attachment insecure seperti tidak percaya dan perasaan khawatir berlebihan terhadap pasangannya serta tidak memiliki hubungan yang romantis.(mikulincer and Shaver, 2007). Faktor yang kedua adalah pengalaman secure dan insecure selama anak, remaja, dan dewasa seperti suami/istri yang memiliki pengalaman terpisah dengan orangtua seperti

14 perceraian (Shaver & Mikulincer, 2007) atau kematian orang tua (Brennan & Shaver, dalam buku Mikulincer dan Shaver, 2007).Suami/istri yang memiliki pengalaman tersebut dengan orangtuanya kemungkinan besar akan lebih mengembangkan tipe attachment insecuredibandingkan dengan suami/istri yang tidak memiliki pengalaman tersebut dengan orangtuanya. Adapula kejadian traumatik seperti physical atau sexual abuse saat kanak-kanak atau remaja diasosiasikan dengan tipe insecure suami/istri di masa mendatang (Merril et al dalam buku Mikulincer & Shaver, 2007). Adapun penjelasan mengenai kerangka pemikiran di atas dapat dilihat dalam bentuk skema pada bagian berikut : Faktor yang memengaruhi : 1. Pengalaman dengan figure attachment (parental caregiving dan parental attachment). 2. Pengalaman secure dan insecure selama anak, remaja, dan dewasa. Individu menikah dengan usia pernikahan 20-35 TipeAttachment Secure Avoidant Anxious Dimensi : 1. Avoidance 2. Anxiety Bagan 1.1 Kerangka Pikir

15 1.6. Asumsi berikut: Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka peneliti memiliki asumsi penelitian sebagai Suami/istri dengan usia perkawinan 20-30 tahun di Gereja X Bandung memiliki attachment dengan pasangannya. Tipe attachment suami/istri dengan usia perkawinan 20-30 tahun di Gereja X Bandung bervariasi karena dipengaruhi oleh pengalaman dengan figur attachmentdan pengalaman secure dan insecure selama anak, remaja, dan dewasa. Suami/ istri dengan usia perkawinan 20-30 tahun di Gereja X Bandung memiliki tipe attachment tertentu yaitu secure attachment,anxious attachment, atau avoidant attachment.