9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Belajar Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadaan alam, benda benda, hewan, tumbuh tumbuhan, manusia atau hal hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan belajar tentang suatu hal tersebut tampak sebagai perilaku belajar yang tampak dari luar (Dimyati dan Mudjiono, 2010). Menurut Slameto (2003) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Secara umum belajar adalah perubahan tingkah laku yang mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik melalui latihan atau pengalaman. Perubahan itu berlangsung secara konstan yang berakibat karena terjadi perubahan perubahan dalam lingkungannya. 9
10 2.2 Hasil Belajar Menurut Hamalik (2006), hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Sudjana (2010) mengemukakan secara garis besar membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. a. Ranah kognitif Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) aplikasi, (4) analisis, (5) sintesis, (6) evaluasi. b. Ranah Afektif Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai yang terdiri dari lima aspek. Kelima aspek dimulai dari tingkat dasar atau sederhana sampai tingkat yang kompleks sebagai berikut: (1) reciving/ attending / penerimaan, (2) responding/ jawaban, (3) valuing/ penilaian, (4) organisasi, (5) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai.
11 c. Ranah Psikomotor Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan, yakni: 1) gerakan refleks yaitu keterampilan pada gerakan yang tidak sadar; 2) keterampilan pada gerakan-gerakan dasar; 3) kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris dan lain-lain; 4) kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan dan ketepatan; 5) gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks; 6) kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif. 2.3 Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan pendekatan pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. Usaha kerja sama masing masing anggota kelompok mengakibatkan manfaat timbal balik sedemikian rupa sehingga semua anggota kelompok
12 memperoleh prestasi, kegagalan maupun keberhasilan ditanggung bersama. Siswa mengetahui bahwa prestasi yang dicapai disebabkan oleh dirinya dan anggota kelompoknya, siswa merasakan kebanggaan atas prestasinya bersama anggota kelompoknya (Gunawan, 2010). Pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan ateri belajar; 2) kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang, dan rendah; 3) bila memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang beragam; 4) penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu (Trianto, 2010). Menurut Gunawan (2010) pembelajaran kooperatif memerlukan pendekatan pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar guna mencapai tujuan bersama. Tiap kelompok terdiri dari 4-5 anggota yang heterogen berdasarkan kemampuan akademik, jenis kelamin dan ras. Ada 5 unsur pembelajaran kooperatif yaitu saling ketergantungan, akuntabilitas individu, keterampilan antarpersonal, peningkatan interaksi tatap muka, dan pemrosesan.
13 Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah masalah yang kompleks. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif. Di dalam kelas kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, dan satu sama lain saling membantu. Tujuan dibentuknya kelompok tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan oleh guru, dan saling membantu teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan belajar Manfaat pembelajaran kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa. Dengan belajar kooperatif diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat (Trianto, 2010). 2.4 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Menurut Trianto (2011) pada hakikatnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah.
14 Selain itu, IPA dipandang pula sebagai proses, sebagai produk, dan sebagai prosedur. Sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru. Sebagai produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di luar sekolah ataupun bahan bacaan untuk penyebaran atau dissiminasi pengetahuan. Sebagai prosedur dimaksudkan adalah metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu (riset pada umumnya) yang lazim disebut metode ilmiah (scientific method). Menurut Trianto (2011) mengatakan bahwa IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. Sebagai produk, IPA merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep dan bagan konsep. Sebagai suatu proses, IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk mempelajari objek studi, menemukan dan mengembangkan produk produk sains, dan sebagai aplikasi, teori teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat member kemudahan bagi kehidupan. Secara umum IPA meliputi tiga bidang ilmu dasar, yaitu biologi, fisika, dan kimia. Fisika merupakan salah satu cabang dari IPA, dan merupakan ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep. Dapat dikatakan bahwa hakikat fisika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala gejala melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah
15 yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara universal (Trianto, 2011). Secara khusus fungsi dan tujuan IPA berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi adalah sebagai berikut. 1) Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2) Mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai ilmiah. 3) Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang melek sains dan teknologi. 4) Menguasai konsep sains untuk bekal hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi (Trianto, 2011) Dari fungsi dan tujuan tersebut kiranya semakin jelas bahwa hakikat IPA semata mata tidaklah pada dimensi pengetahuan (keilmuan), tetapi lebih dari itu, IPA lebih menekankan pada dimensi nilai ukhrawi, dimana dengan memerhatikan keteraturan di alam semesta akan semakin meningkatkan keyakinan akan adanya sebuah kekuatan yang Mahadahsyat yang tidak dapat dibantah lagi, yaitu Allah swt. Dengan dimensi ini IPA hakikatnya mentautkan antara aspek logika materiil dengan aspek jiwa spiritual, yang sementara ini dianggap cakrawala kosong, karena suatu anggapan antara IPA dan agama merupakan dua sisi yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan satu sama
16 lain dalam satu bidang kajian. Padahal senyatanya terdapat benang merah ketertautan di antara keduanya. 2.5 Keterampilan Proses 2.5.1 Pengertian Keterampilan Proses Keterampilan proses dapat diartikan sebagai wawasan atau anutan pengembangan keterampilan keterampilan intelektual, sosial, dan fisik yang bersumber dari kemampuan kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri siswa (Dimyati dan Mudjiono, 2010). proses adalah: Menurut Dimyati dan Mudjiono (2010) pendekatan keterampilan 1. Pendekatan keterampilan proses sebagai wahana penemuan dan pengembangan fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan bagi siswa. 2. Fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan siswa berperan pula menunjang pengembangan keterampilan proses pada diri siswa. 3. Interaksi antara pengembangan keterampilan proses dengan fakta, konsep, serta prinsip ilmu pengetahuan, pada akhirnya akan mengembangkan sikap dan nilai ilmuwan pada diri siswa.
17 2.5.2 Jenis Jenis Keterampilan Dalam Keterampilan Proses Ada beberapa keterampilan dalam keterampilan proses, keterampilan keterampilan tersebut terdiri dari keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilan keterampilan terintegrasi (integrated skills). Pendekatan keterampilan proses pada dasarnya terdiri dari enam keterampilan, yakni : mengamati (mengobservasi), menggolongkan (mengklasifikasikan), memprediksi (menganalisis), mengukur, menyimpulkan (sintesis), dan mengkomunikasikan. Keterampilan proses inilah yang harus dikembangkan di dalam kurikulum (Dimyati dan Mudjiono, 2010). 2.5.3 Keterampilan Menganalisis Kemampuan menganalisis merupakan salah satu aspek penalaran atau kognitif. Menganalisis adalah menjabarkan sesuatu ke dalam unsur unsur, bagian bagian, atau komponen komponen sedemikian rupa sehingga jelas susunannya atau hierarki gagasan yang ada di dalamnya (Dimyati dan Mudjiono, 2010). Dengan adanya kemampuan analisis, seseorang akan mampu menganalisis informasi yang masuk dan membagi bagi atau menstruktur informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit (Ulfa, 2012).
18 2.5.4 Macam macam Kemampuan Menganalisis Secara rinci, Sudrajat (2011) mengemukakan tiga jenis kemampuan analisis yaitu: a. Menganalisis unsur, meliputi: Kemampuan melihat asumsi asumsi yang tidak dinyatakan secara eksplisit pada suatu pernyataan. Kemampuan untuk membedakan fakta dengan hipotesa. Kemampuan untuk membedakan pernyataan faktual dengan pernyataan normatif. Kemampuan untuk mengidentifikasi motif- motif dan membedakan mekanisme perilaku antara individu dan kelompok. Kemampuan untuk memisahkan kesimpulan dari pernyataan yang mendukungnya. b. Menganalisis hubungan, meliputi: Kemampuan untuk melihat secara komprehensif interrelasi antar ide dengan ide. Kemampuan untuk mengenal unsur-unsur khusus yang membenarkan suatu pernyataan.
19 Kemampuan untuk mengenal fakta atau asumsi yang esensial yang mendasari suatu pendapat atau tesis atau argument argumen yang mendukungnya. Kemampuan untuk memastikan konsistensinya hipotesis dengan informasi atau asumsi yang ada. Kemampuan untuk menganalisis hubungan di antara pernyataan dan argumen guna membedakan mana pernyataan yang relevan mana yang tidak. Kemampuan untuk mendeteksi hal hal yang tidak logis di dalam suatu argumen. Kemampuan untuk mengenal hubungan kausal dan unsur-unsur yang penting dan yang tidak penting di dalam perhitungan historis. c. Menganalisis prinsip prinsip organisasi: Kemampuan untuk menguraikan antara bahan dan alat. Kemampuan untuk mengenal bentuk dan pola karya seni dalam rangka memahami maknanya. Kemampuan untuk mengetahui maksud dari pengarang suatu karya tulis, sudut pandang atau ciri berfikirnya dan perasaan yang dapat diperoleh dalam karyanya.
20 Kemampuan untuk melihat teknik yang digunakan dalam menyususun suatu materi yang bersifat persuatif seperti advertensi dan propaganda. 2.6 THINK PAIR SHARE (TPS) Strategi Think Pair Share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Strategi Think Pair Share ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di Universitas Maryland, menyatakan bahwa Think Pair Share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam Think Pair Share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespons dan saling membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau siswa membaca tugas, atau situasi yang menjadi tanda tanya. Sekarang guru menginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan dan dialami. Guru memilih menggunakan Think Pair Share untuk membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan. Guru menggunakan langkah langkah (fase) berikut.
21 a. Langkah 1: Berpikir (Thinking) Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran, dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah. Siswa membutuhkan penjelasan bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian berpikir. b. Langkah 2: Berpasangan (Pairing) Selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. Interaksi selama waktu yang disediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Secara normal guru memberi waktu tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan. c. Langkah 3: Berbagi (Sharing) Pada langkah akhir, guru meminta pasangan pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan (Trianto, 2010). Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS): - meningkatkan harga diri tiap individu; - penerimaan terhadap individu lebih besar;
22 - konflik antar pribadi berkurang; - sikap apatis yang berkurang; - retensi atau penyimpangan lebih lama; - meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi. Kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS): - banyak siswa takut pekerjaan tidak akan terbagi rata atau adil; - perasaan was was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dalam kelompok; - banyak siswa tidak senang bekerja sama, siswa yang tidak pandai minder pada siswa yang pandai (Sundari, 2008).