BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya pemerintah dalam menanggulangi penyakit diare terutama diare pada anak sudah dilakukan melalui peningkatan kondisi lingkungan baik melalui program proyek desa tertinggal maupun proyek lainnya, namun sampai saat ini belum memberikan hasil yang diharapkan. Penanggulangan penyakit diare bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja tetapi masayarakat pun diharapkan dapat ikut serta dalam membantu menanggulangi dan mencegah terjadinya diare akut pada anak. Diare menurut WHO tahun 2103 secara klinis didefinisikan bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya, lebih dari tiga kali sehari, diare biasanya merupakan gejala infeksi pada saluran intestinal. Secara klinik dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten. Sedangkan menurut Depkes RI tahun 2011, diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari. Menurut data Depkes di Indonesia terdapat 100.000 balita setiap tahunnya meninggal dunia karena diare, berarti setiap hari ada 273 balita yang meninggal dunia dengan sia-sia, sama dengan 11 jiwa meninggal setiap jamnya atau 1 jiwa meninggal setiap 5,5 menit akibat diare (Depkes, 2007). 1
Diare dapat disebabkan oleh virus, protozoa dan bakteri (Tortora dkk. 2007). Salah satu bakteri penyebab diare dan bakteri patogen kedua yang paling sering dideteksi pada penderita diare adalah Shigella (Eppy 2009; Tjaniadi dkk, 2003). Lebih dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar, Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2001 penyebab terbanyak adalah Vibrio cholerae, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp, V. Parahaemoliticus, Escherichia coli (E. coli), Campylobacter Jejuni, V. dan Cholera non-01 (Tjaniadi dkk, 2003). Data Dinas Kesehatan kota Semarang pada tahun 2011 menyebutkan jumlah penderita diare yang berkunjung sarana pelayanan kesehatan sebanyak 48.051 orang. Beberapa isolat dari E. coli memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit. E. coli yang bersifat phatogen dapat dibagi menjadi tiga sub kelompok utama tergantung pada sifat patogen mereka: commensals atau nonpathogenic, infeksi usus yang menyebabkan patogen, dan ekstraintestinal patogen E. coli (ExPEC). E. coli pada usus yang bersifat phatogen mencakup banyak pathotype seperti enterotoxigenic (ETEC), enteropathogenic (EPEC), enterohemorrhagic (EHEC), semua jenis strain ini menyebabkan infesi pada usus manusia. (Moriel dkk, 2009). Antibiotik merupakan masalah utama kesehatan masyarakat global, terutama di negara berkembang hal ini disebabkan kurangnya ketersediaan atau keterjangkauan pengobatan (Gootz, 2010). Antibiotika merupakan pilihan utama
untuk pengobatan penyakit infeksi bakterial dan merupakan obat yang sering diresepkan dalam pengobatan modern. Namun, Menurut Millar tahun 2001, pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dengan aturan pemakaian dan lama pemakaian dapat menyebabkan terpaparnya flora normal, mengakibatkan flora normal yang terpapar akan mengalami resisten. Perkembangan resistensi kuman terhadap antibiotika sangat dipengaruhi oleh intensitas pemaparan antibiotika di suatu wilayah, tidak terkendalinya penggunaan antibiotika cenderung akan meningkatkan resistensi kuman yang semula sensitif (Refdanita dkk, 2004). Penggunaan antibiotika yang sering diresepkan di Indonesia adalah turunan dari tetrasiklin, penisilin, kloramfenikol, eritromisin dan streptomisin. Seperti juga terjadi di negara lain, pola penggunaan antibiotika tersebut telah mencapai tingkat yang berlebihan dan banyak diantaranya digunakan secara tidak tepat. Perkembangan resistensi bakteri terhadap antibiotika sangat dipengaruhi oleh intensitas pemaparan antibiotika di suatu wilayah, tidak terkendalinya penggunaan antibiotika cenderung akan meningkatkan resistensi bakteri yang semula sensitif. Beberapa survai resep di dalam dan luar negeri menemukan bahwa antibiotika betalaktam masih merupakan antibiotika yang paling banyak diresepkan sehingga bakteri telah resisten terhadap antibiotika tersebut (Refdanita dkk, 2004). Resistensi E. coli terhadap berbagai antibiotika telah banyak dilaporkan, seperti halnya Enterobacteriaceae, E. coli telah banyak yang mengalami resisten terhadap golongan ß-laktam, fosfomisin dan golongan kuinolon. Saat ini
fosfomisin dan golongan kuinolon justru paling sering digunakan untuk pengobatan kasus UTI (Urinary tract infection) (Nilsson dkk, 2003). Penelitian tentang resistensi strain bakteri E. coli dari pasien diare di kota Semarang pada anak belum pernah dilakukan, oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk resistensi bakteri E. coli pada pasien diare pada anak di RSUD kota Semarang dan untuk mengetahui resistensi bakteri E. coli terhadap Antibiotik. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut Bagaimana gambaran pola resistensi E. coli dari feses pasien diare pada anak yang mengalami diare di RSUD kota Semarang? C. Tujuan Penelitian 1. Mengindentifiakasi bakteri E. coli pada pasien anak yang mengalami diare di RSUD kota Semarang. 2. Menganalisis profil resistensi bakteri E. coli pada anak di RSUD kota Semarang terhadap antibiotik tetrasiklin, kloramfenikol, asam nalidiksat, gentamisin dan siprofloksasin. 3. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan tenaga medis tentang bagaimana penyebab penyakit Diare dan
gambaran pola resistensi bakteri E. coli terhadap antibiotik pada pasien yang mengalami diare dan bahaya yang dapat ditimbulkannya.