4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.3 Metode Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak mengkudu terhadap daya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas. Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram

BAB III METODE PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Porphyridium cruentum

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin

3. METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

SINTESIS METIL ESTER DARI LIPID Bacillus stearothermophilus DENGAN METODE TRANSESTERIFIKASI MENGGUNAKAN BF 3. Dessy Dian Carolina NRP

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Januari di Balai Besar Pengembangan Budidaya

PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Bacillus subtilis dan Bacillus cereus yang diperoleh di Laboratorium

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI KUALITATIF ETANOL YANG DIPRODUKSI SECARA ENZAMATIS MENGGUNAKAN Z. MOBILIS PERMEABEL

I. PENDAHULUAN. mikroalga dikenal sebagai organisme mikroskopik yang hidup dari nutrien

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

5 AKTIVITAS DAN STABILITAS SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis

3 METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06

EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIBAKTERI DARI KULTUR MIKROALGA Spirulina platensis

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Identifikasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana)

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Komposisi (g/l) 1.5 0,

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

I. PENDAHULUAN. kimia yang diproduksi oleh mikroorganisme yang dapat membunuh atau

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

SNTMUT ISBN:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol)

BAB I PENDAHULUAN. dan Nigeria sering menggunakan kombinasi obat herbal karena dipercaya

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Metabolit sekunder Alkaloid Terpenoid Steroid Fenolik Flavonoid Saponin

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi

Dari uji kompetisi, persentase penghambatan dengan rasio inokulum 1:1 sudah cukup bagi Bacillus sp. Lts 40 untuk menghambat pertumbuhan V.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

BAB III METODE PENELITIAN. D. Alat dan bahan Daftar alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Tanin Analisis Statistik Uji Minyak Atsiri Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN A.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. S.Thypi. Diperkirakan angka kejadian ini adalah kasus per

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil).

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus

Kultivasi, reproduksi dan pertumbuhan Bakteri

BAB I PENDAHULUAN. Bahan-bahan dari alam tersebut dapat berupa komponen-komponen biotik seperti

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Pembuatan Media Pertumbuhan. Untuk membuat larutan f/2-si Guillard, sebelumnya terlebih dahulu disiapkan

Rumusan masalah Apakah ada efek antibakteri Aloe vera terhadap Enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen saluran akar?

POSTER (Kode : H-05)

BAB III METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini sudah dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Juli 2013 di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT

I. PENDAHULUAN. Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan kontribusinya terhadap ekspor non migas nasional cukup besar.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN

Transkripsi:

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum Salah satu faktor lingkungan yang penting dalam kultivasi mikroalga adalah cahaya. Cahaya merupakan faktor utama dalam fotosintesis (Arad dan Richmond 2004). Kultivasi P. cruentum pada penelitian ini menggunakan intensitas cahaya 1900-2400 lux. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap pertumbuhan sel yang dihasilkan. Pertumbuhan yang optimum akan menghasilkan jumlah sel yang optimum pula dan hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah biomassa P. cruentum yang dihasilkan. Intensitas cahaya pada rentang 1900-2400 lux mendekati intensitas cahaya yang optimal bagi pertumbuhan P. cruentum. Kusumawarni (1998) melaporkan bahwa pertumbuhan sel P. cruentum tertinggi dengan warna merah terbaik pada kultivasi diperoleh pada pemberian intensitas cahaya 2000 lux. Kultivasi P. cruentum disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 Kultivasi Porphyridium cruentum skala laboratorium. Suhu yang digunakan saat proses kultivasi berkisar antara 25-27 o C dan kelembaban udara 65-75 %. Suhu saat kultivasi berada pada kisaran suhu pertumbuhan bagi P. cruentum. Vonshak (1988) menyatakan bahwa sel Porphyridium dapat tumbuh pada kisaran suhu 10-35 C dan aktivitas optimum fotosintesis dari kultur P. cruentum terjadi pada suhu 25 C. Media kultivasi yang digunakan ada 2 jenis, yaitu modifikasi media Becker (Becker 1994) dan media pupuk (Larastri 2006). Media Becker yang digunakan terdiri dari berbagai asupan nutrien, yaitu MgSO 4, MgCl 2, CaCl 2,

17 KNO 3, KH 2 PO 4, NaHCO 3, Tris-HCl, Fe-EDTA, dengan modifikasi tanpa pemberian trace element. Media pupuk yang digunakan terdiri dari NPK, TSP, vitamin, dan Fe-EDTA. Proses kultivasi hanya menggunakan nutrien awal yang diberikan dalam media masing-masing tanpa penambahan nutrien selama kultivasi berlangsung. Kurva pertumbuhan yang dihasilkan dari masing-masing media disajikan pada Gambar 4. (b) (c) (1) Kultivasi dalam modifikasi media Becker (b) (c) (d) (a) (2) Kultivasi dalam media pupuk Gambar 4 Kurva pertumbuhan Porphyridium cruentum. Keterangan: (a) fase lag ; (b) fase logaritmik ; (c) fase stasioner ; (d) fase kematian

18 Kultivasi P. cruentum dalam modifikasi media Becker maupun media pupuk menggunakan inokulum dari media Becker (dilengkapi trace element) berumur 6 hari. Kurva pertumbuhan kultur P. cruentum dalam modifikasi media Becker menunjukkan keberlangsungan hidup yang lebih panjang daripada media pupuk. Gambar 4 menampilkan kurva pertumbuhan P. cruentum dalam media Becker (1) memasuki fase stasioner pada hari ke-6 dengan log kepadatan sel sebesar 6,44-6,47 sel/ml hingga akhir pengamatan hari ke-8, sedangkan dalam media pupuk (2) mengalami fase stasioner (c) pada hari ke-4 kemudian memasuki fase kematian (d) pada hari ke-7 dengan jumlah sel menurun yang ditunjukkan oleh log kepadatan sel sebesar 5,95 sel/ml saat akhir pengamatan pada hari ke-8. Kultur P. cruentum dalam modifikasi media Becker tidak teramati fase adaptasi yang terjadi, namun mengalami fase logaritmik hingga hari ke-6 kemudian memasuki fase stasioner. Kultur mengalami pertumbuhan yang ditunjukkan pada Gambar 4 (1) dengan peningkatan log kepadatan sel dari 5,21-6,44 sel/ml hingga hari ke-6. Hari selanjutnya, sel tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan dimana log kepadatan sel berada pada kisaran 6,44-6,47 sel/ml hingga pengamatan hari ke-8. Kultur P. cruentum dalam media pupuk mengalami fase adaptasi dari awal kultivasi hingga hari ke-1. Fase logaritmik dicapai setelah hari ke-1 hingga hari ke-4. Fase stasioner dicapai setelah hari ke-4 hingga hari ke-7 dan selanjutnya memasuki fase kematian hingga akhir pengamatan pada hari ke-8. Medium inokulum awal (Becker) berbeda dengan medium yang digunakan saat kultivasi (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati ketika tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan baru tersebut. Sel yang mati mengakibatkan jumlah sel menurun yang ditunjukkan pada Gambar 4 (2) log kepadatan sel pada hari ke-1 sebesar 5,72 sel/ml dimana nilai ini menurun dari log kepadatan sel awal kultur sebesar 5,79 sel/ml. Proses adaptasi berlangsung cepat yang ditandai dengan jumlah log sel meningkat secara signifikan hingga hari ke-4 yaitu log kepadatan sel mencapai 6,54 sel/ml. Kultur pada hari ke-4 hingga hari ke-7 menunjukkan sel tidak mengalami pertambahan jumlah yang signifikan, yaitu berada pada kisaran 6,52-6,54 sel/ml. Fase kematian mulai berlangsung pada hari ke-7, yaitu

19 terjadi penurunan log kepadatan sel hingga akhir pengamatan hari ke-8 yaitu mencapai 5,95 sel/ml. Perbedaan pola pertumbuhan P. cruentum pada penelitian ini terjadi karena perbedaan media, yaitu modifikasi media Becker dan pupuk. Kultur dalam modifikasi media Becker tidak teramati fase adaptasi melainkan membentuk pola pertumbuhan yang langsung memasuki fase logaritmik, sedangkan kultur dalam media pupuk mengalami adaptasi dari hasil pengamatan dengan rentang waktu satu hari. Fase adaptasi dapat terjadi akibat adanya pergantian media atau kondisi kultivasi (Lee dan Shen 2004). Hal ini terjadi karena inokulum awal yang digunakan, yaitu menggunakan media Becker dimana komposisinya relatif sama dengan modifikasi media Becker yang digunakan pada penelitian ini sehingga adaptasi berlangsung sangat cepat dan tidak teramati saat pengamatan per hari, sedangkan media pupuk hanya terdiri dari 4 nutrien yaitu NPK, TSP, vitamin, dan FeCl 3 -EDTA sehingga mengalami fase adaptasi lebih lama dalam pertumbuhannya. Kusmiyati dan Agustini (2007) menyatakan bahwa stok (inokulum) awal yang digunakan berpengaruh terhadap fase yang dialami kultur saat proses kultivasi. Inokulum pada fase logaritmik menyebabkan kultur cepat melanjutkan perbanyakan sel tanpa adaptasi terlalu lama. Umur kultur dalam modifikasi media Becker lebih panjang daripada media pupuk. Komposisi nutrien dalam media pupuk belum optimal bagi pertumbuhan P. cruentum sehingga kultur dalam media pupuk mengalami siklus hidup lebih pendek. Nutrien berperan dalam pertumbuhan sel sehingga ketika tidak dilakukan penambahan nutrien maka ketersediaan nutrien dalam kultur akan semakin sedikit. Nutrien menjadi faktor pembatas sehingga menyebabkan kompetisi dalam pertumbuhan sel. Fogg dan Thake (1987) menyatakan bahwa jumlah sel yang semakin bertambah menyebabkan kepadatan sel meningkat dan penetrasi cahaya menjadi berkurang, sehingga menyebabkan pertumbuhan sel menjadi terhambat bahkan sel mengalami kematian. Derajat keasaman (ph) dari air laut yang digunakan pada kultivasi P. cruentum, yakni sebesar 7,9. Kultur P. cruentum dalam modifikasi media Becker memiliki ph sebesar 7,5 sedangkan dalam media pupuk memiliki ph sebesar 7,6 dimana ph dalam kedua media ini termasuk dalam kisaran ph

20 pertumbuhan P. cruentum. Borowitzka dan Borowitzka (1988) menyatakan bahwa P. cruentum dapat tumbuh dengan baik pada kisaran ph 5,2-8,3 dengan derajat keasaman (ph) optimum untuk fotosintesis, yaitu 7,5. Salinitas air laut yang digunakan pada kultivasi P. cruentum sebesar 3% yang diukur menggunakan alat refraktometer. Kultur P. cruentum dalam modifikasi media Becker memiliki salinitas sebesar 7,4% sedangkan dalam media pupuk sebesar 4,0%. Salinitas dari media Becker maupun media pupuk ini lebih besar dibandingkan dengan salinitas air laut yang digunakan. Pengaruh penambahan nutrien mengakibatkan terbentuknya garam dalam media sehingga menyebabkan salinitas meningkat. Kultur dengan media Becker memiliki salinitas yang sangat tinggi yakni lebih dari dua kali dari salinitas air laut, namun kultur tetap dapat tumbuh. Borowitzka dan Borowitzka (1988) menyatakan bahwa Porphyridium dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup besar, yaitu 0,5-2 kali konsentrasi air laut (3,5%). Richmond (1988) menjelaskan bahwa salinitas media Becker P. cruentum pada kisaran 3,5-4,5% dapat memacu pertumbuhan yang optimal namun salinitas 4,6% tidak menghambat proses pertumbuhan, sedangkan pada kondisi salinitas kurang dari 3,5%, Porphyridium tidak mampu bersaing hidup dengan mikroalga lainnya jika ditumbuhkan pada kultur terbuka. 4.2 Pemanenan Biomassa Porphyridium cruentum Tahap pemanenan pada penelitian ini diawali dengan tahap pengendapan sebelum dilakukan sentrifugasi untuk mengurangi biaya dalam pemanenan biomassa. Umumnya pemisahan biomassa P. cruentum dilakukan melalui sentrifugasi untuk mendapatkan sejumlah biomassa dari suatu kultur, namun dengan adanya tahapan pengendapan akan mengefisienkan proses pemanenan sehingga biaya pemanenan dapat ditekan. Kapasitas sentrifugasi yang sama akan menghasilkan jumlah biomassa basah yang lebih banyak bila melalui tahap pengendapan terlebih dahulu karena biomassa dalam cairan yang disentrifugasi telah terkonsentrasi dari jumlah kultur yang lebih banyak sehingga proses pemanenan menjadi lebih efisien. Pemanenan biomassa dilakukan dengan cara memisahkan biomassa dan cairan media, melalui pengendapan selama 10 hari di dalam lemari pendingin.

21 Lemari pendingin menjaga kultur agar tidak mengalami pertumbuhan lebih lanjut setelah pemanenan sebab dalam lemari pendingin tercipta kondisi gelap dan dingin selama proses pengendapan berlangsung. Kultur dipanen pada fase stasioner, yaitu dalam modifikasi media Becker dipanen pada umur 7 hari, sedangkan kultur dalam media pupuk dipanen pada umur 4 hari. Proses pengendapan membentuk 2 lapisan, yakni lapisan biomassa di bagian bawah dan lapisan cairan media di bagian atas. Hasil pengendapan kultur P. cruentum ini dapat dilihat pada Gambar 5. (a) (b) Gambar 5 Pemanenan biomassa Porphyridium cruentum (a) kultur awal panen ; (b) kultur setelah pengendapan 10 hari. Hasil pengendapan biomassa ini kemudian dikumpulkan dan langsung disentrifugasi menggunakan sentrifuse dingin dengan suhu 4 o C dan kecepatan 10000 rpm selama 15 menit. Proses sentrifugasi ini menyebabkan biomassa terpadatkan pada dasar tabung sehingga mempermudah dalam pemisahan biomassa P. cruentum. Biomassa yang telah terkumpul kemudian dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air menggunakan freeze dryer selama 6 jam. Biomassa P. cruentum basah dan kering yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 6. (a) (b) Gambar 6 Biomassa Porphyridium cruentum (a) basah ; (b) kering.

22 Aplikasi komersial pertama yang dilakukan melalui freeze drying dalam metode pengeringan adalah bidang industri pharmaceutical (antibiotik, sel, plasma darah) (Berk 2009). Pengeringan dilakukan dengan menggunakan freeze dryer pada suhu rendah dan tekanan terkontrol, sehingga dapat mempertahankan komponen aktif yang ada pada biomassa P. cruentum agar tidak mengalami kerusakan akibat suhu tinggi. Suhu tinggi menyebabkan kerusakan komponen bioaktif dari suatu bahan. Hal ini sesuai dengan Yuan et al. (2011) yang menjelaskan bahwa suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan komponen bioaktif diantaranya terjadi penurunan akumulasi komponen flavonoid baicalin dan baicalein pada Scutellaria baicalensis seiring dengan meningkatnya perlakuan suhu yang digunakan yaitu 25 o C dan 40 o C. Jumlah baicalin dengan perlakuan suhu 40 o C mengalami penurunan hingga 43% pada hari ke-22, sedangkan baicalein pada perlakuan suhu 40 o C tidak terdeteksi pada HPLC. 4.3 Ekstraksi Senyawa Antibakteri Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan komponen yang diinginkan dari suatu bahan (Berk 2009). Metode ekstraksi yang digunakan mengacu pada Kusmiyati dan Agustini (2007) dan Naviner et al. (1999). Komponen antibakteri yang ingin dipisahkan dari mikroalga P. cruentum ini diperoleh melalui ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Pelarut yang berbeda ini digunakan untuk mendapatkan ekstrak yang lebih murni sehingga komponen antibakteri terbebas dari komponen lain yang dapat mengganggu dalam pengujian aktivitasnya. Tahap ekstraksi pertama dilakukan menggunakan pelarut polar organik, yaitu etanol 96%. Pelarut etanol 96% merupakan salah satu pelarut terbaik dalam ekstraksi yang dapat mengekstrak sebagian besar komponen sel mikroalga termasuk komponen gula, asam amino, garam, protein hidrofobik, dan pigmen (Grima et al. 2004). Etanol 96% dicampur dengan 5 gram biomassa P. cruentum kemudian diaduk menggunakan magnetic stirer selama 30 menit sehingga diperoleh larutan ekstrak kasar. Larutan ekstrak kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit untuk memperoleh larutan ekstrak yang terbebas dari komponen pengotor dari biomassa yang terbawa dalam ekstrak. Ekstrak yang masih mengandung etanol kemudian dipisahkan melalui evaporasi.

23 Rendemen ekstrak etanol dari biomassa yang dikultivasi dalam media Becker adalah 18,2%, yakni sebanyak 0,91 gram, sedangkan biomassa dari kultur dalam media pupuk hanya menghasilkan rendemen sebesar 2,8%, yakni sebanyak 0,14 gram. Hasil ekstrak dari kultur dalam media pupuk tidak dilanjutkan ekstraksi dan pengujian aktivitas antibakteri karena jumlah rendemen yang terlalu kecil sehingga tidak memungkinkan untuk diteruskan menuju tahapan selanjutnya. Rendemen ekstrak kasar dari kultur dalam media pupuk jauh lebih sedikit dibandingkan rendemen kultur dengan modifikasi Becker. Hal ini diduga karena adanya tepung pengisi (filler) dalam pupuk sehingga kebutuhan nutrien belum terpenuhi. Sifat pupuk mudah larut dalam air terkait dengan fungsinya sebagai pelengkap unsur hara yang dibutuhkan tanaman menyebabkan nutrien dalam pupuk lebih cepat terlarut dan dimanfaatkan dalam pertumbuhan P. cruentum. Rosmarkam dan Yuwono (2002) menyatakan bahwa pemberian pengisi (filler) pada pupuk bertujuan agar pupuk dengan kadar tinggi memiliki ratio fertilizer tepat sesuai dengan keinginan dan mempermudah penggunaannya agar lebih merata sebagai pupuk pada tanaman terestrial. Komponen pengisi ini juga dapat menghambat pertumbuhan dalam proses kultivasi karena tepung pengisi akan meningkatkan kepadatan partikel dalam kultur sehingga menyebabkan umur kultur dalam media pupuk lebih singkat. Kematian sel lebih cepat terjadi karena terhalangnya penetrasi cahaya sebagai faktor penting dalam pertumbuhan sel. Fogg dan Thake (1987) menyatakan bahwa kepadatan sel yang meningkat akan mengakibatkan terhambatnya penetrasi cahaya sehingga menghambat pertumbuhan sel bahkan lama-kelamaan akan mengakibatkan kematian sel. Tahap ekstraksi selanjutnya menggunakan pelarut non-polar yaitu diklorometan. Ekstrak kasar hasil ekstraksi etanol yang telah dievaporasi, ditambah diklorometan dan akuades dengan perbandingan 1:1 kemudian dilakukan homogenisasi melalui pengocokan. Hasil pengocokan membentuk dua lapisan, yaitu lapisan akuades di bagian atas dan lapisan diklorometan di bagian bawah. Lapisan diklorometan disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama

24 15 menit sehingga diperoleh ekstrak P. cruentum dalam larutan diklorometan. Ekstrak dalam campuran diklorometan ini kemudian dipisahkan melalui proses evaporasi. Rendemen hasil ekstraksi diklorometan dan air adalah 3,4%, yakni sebanyak 0,17 gram. Tahap ekstraksi akhir menggunakan pelarut diklorometan dengan penambahan NaOH 0,5N. Pelarut NaOH bersifat alkali dimana pelarut alkali digunakan untuk mengekstrak secara langsung komponen lipid dari biomassa mikroalga (Grima et al. 2004). Larutan NaOH dipisahkan dan dilakukan penetralan menggunakan HCl 8N agar NaOH habis bereaksi dengan HCl membentuk garam. Larutan ini kemudian dilakukan penambahan diklorometan sehingga lipid terlarut dalam pelarut diklorometan, dan ekstrak dipisahkan dari pelarut diklorometan melalui proses evaporasi. Rendemen hasil ekstraksi akhir yang diperoleh adalah 1% dari 5 gram biomassa yang diekstraksi, yakni sebesar 0,05 gram ekstrak. Hasil ekstrak akhir P. cruentum sebelum evaporasi dan setelah evaporasi disajikan pada Gambar 7. (a) Gambar 7 Ekstrak akhir Porphyridium cruentum (a) sebelum evaporasi ; (b) setelah evaporasi. 4.4 Aktivitas Antibakteri Pengujian aktivitas antibakteri dari P. cruentum dilakukan terhadap bakteri Gram-positif S. aureus, S. epidermidis, B. subtilis, B. cereus, dan bakteri Gram-negatif yakni E. coli. Hasil zona hambat ekstrak P. cruentum disajikan pada Gambar 8 dan diameter zona hambat terhadap bakteri uji pada Tabel 1. Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan bahwa ekstrak P. cruentum memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram-positif (S. subtilis dan S. aureus) dengan rentang zona hambat sebesar 6,50 mm hingga 11,10 mm, (b)

25 namun tidak menunjukkan aktivitas antibakteri pada bakteri Gram-negatif (E.coli) pada ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut etanol, dan pelarut diklorometan dalam berbagai kondisi, yakni diklorometan/akuades dan diklorometan/naoh. Respon yang berbeda dari dua golongan bakteri terhadap hasil ekstraksi ini disebabkan karena adanya perbedaan kepekaan pada bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif terhadap senyawa ekstrak tersebut. Bakteri Gram-positif cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri karena struktur dinding sel bakteri Gram-positif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja menghambat pertumbuhan sel bahkan menyebabkan kematian sel. Jumlah ekstrak P. cruentum yang digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri tiap sumur yaitu 400 μg, 600 μg, dan 800 μg. Bakteri yang digunakan memiliki OD (optical density) pada rentang 0,6 sampai 0,8. Kontrol positif yang digunakan, yaitu kloramfenikol (10 μg), sedangkan kontrol negatif, yaitu diklorometan (20 μl) yang digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi. Tabel 1 Diameter zona hambat ekstrak P. cruentum terhadap bakteri uji Bahan uji Diameter zona hambat (mm) S. aureus S. epidermidis B. subtilis B. cereus E. coli Ekstrak P. cruentum 400 μg/sumur 1,00 2,53 2,20 1,58 0 Ekstrak P. cruentum 600 μg/sumur 1,43 3,10 2,88 2,00 - Ekstrak P. cruentum 800 μg/sumur 2,28 4,00 3,33 2,10 - Kloramfenikol 10 μg/sumur 25,10 23,50 24,40 23,20 28,45 Diklorometan 20 μl/sumur 0 0 0 0 0 Keterangan : (-) : Tidak dilakukan pengujian Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak yang diberikan maka semakin besar zona hambat yang dihasilkan pada seluruh bakteri Gram-positif yang diuji. Bakteri S. epidermidis memiliki diameter zona hambat paling besar dibandingkan dengan jenis bakteri lain dari setiap konsentrasi, yaitu 2,53 mm pada konsentrasi ekstrak P. cruentum 400 μg/sumur, 3,10 mm pada konsentrasi 600 μg/sumur, dan meningkat menjadi 4,00 mm pada konsentrasi ekstrak P. cruentum 800 μg/sumur.

26 Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak P. cruentum menunjukkan zona hambat yang semakin besar terhadap bakteri S. aureus, B. subtilis, dan E. coli. Wesierska et al. (2005) melaporkan zona hambat semakin besar seiring dengan meningkatnya konsentrasi cystatin ayam yang digunakan pada berbagai bakteri dan salah satu bakteri uji yang digunakan adalah S. aureus. Konsentrasi (IC 50 ) sebesar 150-200 μg cystatin/ml menghambat sebagian pertumbuhan bakteri, sedangkan konsentrasi 300-1000 μg cystatin/ml dapat menghambat seluruh pertumbuhan bakteri uji. Kontrol negatif dan kontrol positif digunakan sebagai pembanding dalam menentukan aktivitas antibakteri dari ekstrak P. cruentum. Kontrol negatif berupa diklorometan digunakan sebagai pembanding untuk melihat pengaruh pelarut yang digunakan pada tahap ekstraksi terhadap zona hambat yang dihasilkan ekstrak. Tabel 1 menunjukkan bahwa diklorometan tidak menghasilkan zona hambat sehingga pelarut diklorometan tidak mempengaruhi hasil dari zona hambat ekstrak terhadap bakteri uji. Kontrol positif kloramfenikol memiliki zona hambat lebih besar daripada ekstrak P. cruentum. Kloramfenikol sebagai antibiotik dengan spektrum luas yang aktif terhadap banyak bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Kloramfenikol relatif tidak beracun bagi mamalia bila digunakan secara terapeutik, antibiotik ini dapat menyebabkan beberapa kelainan yang gawat di dalam darah beberapa pasien. Hal ini menyebabkan anjuran pemakaiannya hanya pada kasus-kasus yang tidak dapat diobati secara efektif dengan antibiotik lain (Pelczar dan Chan 2005). Hal ini menyebabkan diameter zona hambat yang terbentuk sangat besar terhadap seluruh bakteri uji, yaitu pada kisaran 23,20-28,45 mm. Zona hambat ekstrak P. cruentum terhadap bakteri uji pada Gambar 8 menunjukkan hasil terbesar hingga terkecil berturut-turut adalah S. epidermidis, B. subtilis, B. cereus, dan S. aureus. Perbedaan besarnya zona hambat terjadi akibat adanya berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas komponen antibakteri. Vigil et al. (2005) menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas komponen antimikroba (antibakteri) antara lain yaitu fisiologi sel bakteri, jenis komponen antibakteri, interaksi antara komponen uji dengan medium yang digunakan, serta suhu inkubasi yang digunakan.

27 Ekstrak P. cruentum Staphylococcus aureus Staphylococcus epidermidis Kontrol (+) Kontrol (-) Ekstrak P. cruentum Bacillus subtilis Kontrol (+) Bacillus cereus Kontrol (-) Ekstrak P. cruentum Kontrol (+) Kontrol (-) Escherichia coli Gambar 8 Zona hambatan ekstrak Porphyridium cruentum pada bakteri uji. Ekstrak P. cruentum dengan konsentrasi 400 μg, 600 μg, dan 800 μg yang digunakan menunjukkan daya hambat yang cukup baik terhadap bakteri Gram-positif namun tidak menghasilkan zona hambat pada bakteri Gram-negatif.

28 Diameter zona hambat yang diperoleh dari seluruh bakteri Gram-positif memiliki rentang nilai 1-4 mm, sehingga termasuk kategori zat yang memiliki daya hambat lemah sebagai antibakteri. Nazri et al. (2011) menyatakan bahwa senyawa antibakteri termasuk kategori lemah bila memiliki zona hambat 0-9 mm. Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan bahwa ekstrak P. cruentum tidak menghasilkan aktivitas antibakteri pada bakteri Gram-negatif (E. coli) terkait dengan struktur sel Gram-negatif lebih kompleks daripada bakteri Gram-positif sehingga resisten terhadap komponen antibakteri dari ekstrak P. cruentum yang diekstrak secara bertingkat menggunakan pelarut etanol, diklorometan/akuades, dan diklorometan/naoh. Bakteri Gram-negatif (contoh: E. coli) memiliki struktur dinding sel berlapis dan kompleks. Dinding sel hanya memiliki 10% peptidoglikan dan sebagian besar dinding sel tersusun oleh membran luar. Lapisan membran luar terdir atas fosfolipid, protein, dan polisakarida. Lipid dan polisakarida terhubung dan membentuk struktur kompleks pada lapisan membran luar sel. Struktur dinding sel bakteri Gram-positif lebih sederhana, yaitu memiliki lapisan tunggal terdiri atas 90% peptidoglikan dan substansi lain berupa asam teikoat (Madigan et al. 2009). P. cruentum merupakan salah satu sumber mikroalga yang kaya AA (arachidonic acid) sekitar 36% dari total asam lemak pada suhu kultivasi 25 C dan termasuk salah satu asam lemak tak jenuh yang penting dalam bidang pharmaceutical (Becker 2004). Komponen antibakteri P. cruentum diduga berasal dari komponen lipid. Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan hasil identifikasi senyawa antibakteri dari P. cruentum dengan Kromatografi Gas Spektrometri Massa menunjukkan senyawa dominan yaitu asam lemak metil heksadekanoat (asam palmitat) sebanyak 41,15%.