17 TINJAUAN PUSTAKA Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera : Ichneumonidae) Famili Ichneumonidae merupakan salah satu famili serangga terbesar yang diperkirakan lebih dari 60.000 spesies di dunia (Noort, 2004). Kebanyakan spesiesnya memiliki antena yang panjang dan ovipositor panjang yang selalu tampak, tetapi ada juga spesies lainnya memiliki ovipositor yang pendek dan tidak tampak (Driesche et al., 2008). Sebagian besar dari famili Ichneumonidae adalah parasitoid larva dan berkembang pada satu inang lalu kemudian akan membunuh inangnya. Pada umumnya Ichneumonidae adalah soliter, satu individu tunggal berkembang dari satu induk. Inang dari famili Ichneumonidae ini antara lain dari ordo Lepidoptera, Hymenoptera, Diptera, Coleoptera, Neuroptera dan Macoptera (Borror et al., 1992). Xanthocampoplex sp. berwarna kuning jingga. Mesoscutum bagian anterior berwarna agak kecoklatan atau terdapat garis gelap pada bagian tengah, scape dan pedicel berwarna jingga dengan garis sempit pada bagian luar, flagellum berwarna coklat kehitaman dan lebih jelas pada bagian ujung, memiliki panjang sayap 5,6-6,2 mm. Opovisitor diselubungi oleh warna coklat gelap (Rousse dan Villemant, 2012). Xanthocampoplex sp. adalah parasitoid larva P. castaneae yang dapat dibiakkan di laboratorium. Parasitoid ini bersifat partenogenesis deuterotoky yaitu betina yg tidak kawin menghasilkan keturunan betina dan jantan sehingga diharapkan mempunyai daya biak yang cukup besar di lapangan. Daur hidup Xanthocampoplex sp. terdiri dari telur, larva, kokon, imago. Periode praoviposisi
18 3,6 hari (3-4 hari), rata rata periode dari telur hingga menjadi larva 20,8 hari (16 28 hari ) (Gambar 1) (Fernandes et al., 2010). Gambar 1. Larva Xanthocampoplex sp. Periode kokon rata-rata 11,8 hari (11-13 hari) dan rata rata masa hidup imago 14,4 (10 24 hari). Kokon berbentuk bola agak lonjong, berukuran diameter 3-5 mm, berwarna coklat bening dengan gelang kuning ditengahnya (Gambar 2). Seekor parasitoid Xanthocampoplex sp. dapat menghasilkan 11 16 ekor kokon. Total masa siklus hidup Xanthocampoplex sp. adalah 37 66 hari (Penteado, 2006). Gambar 2. Kokon Xanthocampoplex sp. Seekor parasitoid Xanthocampoplex sp. betina memiliki panjang sayap 3,5 mm (Gambar 3). Imago yang keluar berukuran 5 8 mm, toraks berwarna hitam, abdomen merah coklat. Dari beberapa kokon parasitoid ini terlihat serangan hiperparasitoid, berupa sejenis tabuhan berwarna hitam, ukuran 5-6 mm. Tabuhan menyerang larva ukuran sedang sampai besar. (Balfas dan Wikardi, 1983).
19 Gambar 3. Imago betina Xanthocampoplex sp. Penggerek Batang Raksasa Phragmatoecia castaneae (Lepidoptera: Cossidae) Biologi Telur penggerek batang tebu raksasa Phragmatoecia castaneae (Lepidoptera: Cossidae) diletakkan secara berkelompok di permukaan bawah daun pucuk yang mati atau pada daun tua dan kering yang masih (Gambar 4) melekat pada batang, telur berbentuk oval dengan panjang 1,8 mm dan lebar 0,8 mm dan berwarna putih.telur yang dihasilkan seekor kupu betina 282-376 butir (Hasibuan dan Panjaitan, 2010). Gambar 4. Telur Phragmatoecia castaneae Telur yang baru menetas mengeluarkan larva berwarna putih, setelah menetas larva bergerombol selama beberapa jam di sekitar kelompok telur. Larva muda menggerek, masuk dan menetap di dalam pelepah daun selama 3-7 hari. Kemudian larva masuk ke dalam batang tebu dan menggerek batang tersebut. Larva jantan dewasa dapat mencapai panjang 3,5 cm, larva betina mencapai 5,5 cm (Gambar 5). Stadia larva 70 hari. Larva masuk ke dalam batang dengan
20 membuat lorong gerekan dari pelepah daun. Panjang larva 35 mm dan pupa 22 mm (Diyasti, 2013). Gambar 5. Larva Phragmatoecia castaneae Sebelum menjadi pupa, larva melewati fase pra pupa selama 2-3 hari Stadia pupa berlangsung selama 14-19 hari di dalam batang tebu (Gambar 6). Beberapa jam sebelum muncul menjadi imago, pupa bergerak dan berpindah ke ujung lubang gerekan. Pupa menetas dan menjadi imago, sedangkan kulit pupa tertinggal dan menonjol keluar dari lubang gerekan. Imago keluar dari pupa pada sore hari (Hasibuan dan Panjaitan, 2010). Gambar 6. Pupa Phragmatoecia castaneae Lebar sayap imago (ngengat) sekitar 27-50 mm, betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan jantan. Sayap berwarna abu kekuning kuningan dengan bercak gelap (Gambar 7). Betina memiliki abdomen yang sangat panjang, yang membentang jauh melampaui ujung sayap saat fase istirahat. Ngengat mulai berterbangan sekitar bulan Mei-Juli (Diyasti, 2013).
21 Gambar 7. Imago betina Phragmatoecia castaneae Sumber: http://ditjenbun.deptan.go.id Gejala Serangan Serangan penggerek batang tebu terjadi pada tanaman tebu berumur 2 3 bulan dan serangan akan meningkat pada umur 5 bulan. Biasanya menyebabkan kematian karena rusaknya titik tumbuh tanaman tersebut. Penggerek batang raksasa (PBR) menyebabkan terjadi penurunan bobot tebu atau rendemen karena kerusakan pada ruas batang, bahkan batang tebu bisa mati dan tidak dapat diolah di pabrik (Gambar 8). Kerugian gula akibat serangan hama ini ditentukan oleh jarak waktu antara saat penyerangan dan saat tebang. Kehilangan rendemen dapat mencapai 50 % jika menyerang tanaman tebu umur 4-5 bulan dan 4-15 % pada tebu yang berumur 10 bulan. Pada serangan berat, bagian dalam batang tebu hancur dimakan oleh larva PBR (Diyasti, 2013). Gambar 8. Gejala serangan Phragmatoecia castaneae
22 Pengendalian Penyebaran hama PBR dapat dicegah agar tidak semakin meluas dengan melakukan eradikasi tanaman dengan cara memanen tebu lebih awal yaitu sekitar umur 7-8 bulan. Tindakan ini dilakukan untuk memutus siklus hidup hama dan tidak terjadi kehilangan hasil yang lebih besar, karena tebu yang terserang masih dapat digiling meskipun kualitas rendemennya turun. Pengendalian bisa juga dilakukan secara hayati dengan melepas musuh alami hama PBR yaitu parasitoid telur Tumidiclava sp. dan parasitoid larva Xanthocampoplex sp. serta Sturmiopsis inferens. Selain itu, penggunaan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana dan Metarrhizium anisopliae juga cukup efektif dalam mengendalikan hama PBR. Sanitasi kebun juga perlu dilakukan dengan memusnahkan sumber inokulum berupa serasah daun kering, sisa batang dan pucuk tebu pasca tebangan, serta memusnahkan gelagah (Saccharum spontaneum) yang merupakan inang hama PBR (Diyasti, 2013). Penggerek Batang Bergaris Chillo sacchariphagus (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Telur yang baru diletakkan berbaris di atas permukaan daun (9 12 butir/cm) (Prabowo et al., 2013). Telur berbentuk oval, datar, mengkilap, berwarna putih dan berwarna hitam setelah menetas (Gambar 9). Telur berukuran 0,75 1,25 mm dengan rata rata 0,95 mm. Masa inkubasi berkisar antara 4 6 hari (Yalawar et al., 2010).
23 Gambar 9. Telur C. sacchariphagus Larva yang baru menetas panjangnya ± 2,5 mm dan berwarna kelabu (Gambar 10).(Prabowo et al., 2013). Periode larva berlangsung selama 35 54 hari. Larva terdiri dari 6 instar (Yalawar et al., 2010). Gambar 10. Larva C. sacchariphagus Pupa penggerek batang bergaris agak keras dan berwarna coklat kehitaman (Gambar 11) (Prabowo et al., 2013). Pupa terletak di dekat lobang atau pintu keluar pada tebu bekas gerekan. Periode pupa selama 8 10 hari (Yalawar et al., 2010). Gambar 11. Pupa C. sacchariphagus
24 Imago (ngengat) bersifat nokturnal, terdapat titik berwarna gelap pada masing masing sayap depan (Gambar 12). Ngengat betina lebih besar dari ngengat jantan. Umur ngengat jantan dan betina adalah 4 8 hari dan 4 9 hari dengan rata rata 6 7 hari (Yalawar et al., 2010). Gambar 12. Imago C. sacchariphagus Gejala Serangan Serangan penggerek batang pada tanaman tebu muda berumur 3-5 bulan atau kurang dapat menyebabkan kematian tanaman karena titik tumbuhnya mati. Sedang serangan pada tanaman tua menyebabkan kerusakan ruas-ruas batang dan pertumbuhan ruas diatasnya terganggu, sehingga batang menjadi pendek, berat batang turun dan rendemen gula menjadi turun pula. Tingkat serangan hama ini dapat mencapai 25% (Indrawanto et al., 2010). Larva muda yang baru menetas hidup dan menggerek jaringan dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lubang gerekan yang tidak teratur pada permukaan daun. Setelah beberapa hari hidup dalam batang tebu gejala serangan ditandai dengan adanya lubang gerek pada permukaan batang (Gambar 13). Apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat lorong-lorong gerek yang memanjang. Gerekan ini kadang - kadang menyebabkan
25 titik tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat lebih dari satu ulat penggerek. Setiap ada 1% kerusakan ruas yang diakibatkan penggerek batang bergaris artinya mampu menurunkan 0,5% bobot tebu (Prabowo et al., 2013). Gambar 13. Gejala serangan C. saccariphagus Pengendalian Beberapa cara pengendalian yang dilakukan yaitu secara hayati dengan menggunakan parasitoid telur Trichogramma sp. dan lalat jatiroto (Diatraeophaga striatalis) (Goebel et al., 2001). Secara mekanis dengan rogesan. Kultur teknis dengan menggunakan varietas tahan yaitu PS 46, 56,57 dan M442-51. Secara kimia yaitu dengan penyemprotaan insektisida atau secara terpadu dengan memadukan 2 atau lebih cara-cara pengendalian tersebut (Indrawanto et al., 2010). Selain itu pengendalian penggerek batang bergaris dapat dilakukan dengan cara menggunakan perangkap feromon (Way et al., 2004) Pengaruh Jenis Inang terhadap Perkembangan Parasitoid Salah satu tumpuan keberhasilan pengendalian hayati menggunakan parasitoid sangat tergantung pada reproduksi imago betina parasitoid. Terkadang selama beberapa waktu inang tidak tersedia bagi parasitoid. Berdasarkan beberapa
26 studi awal, ketidaktersediaan inang tersebut dapat mempengaruhi perilaku peletakan telur parasitoid (Akbar dan Buchori, 2012). Perilaku pemilihan inang di antaranya dipengaruhi oleh biologi dan fase inang yang diserang, faktor fisik, dan morfologi inang yang spesifik. Selain itu, keberhasilan hubungan inang dengan parasitoid dipengaruhi berbagai hal, yaitu lokasi habitat inang, lokasi inang, penerimaan inang, dan kesesuaian inang (Ratna, 2008)..Hasil penelitian Purnomo (2006) diperoleh bahwa bahwa tingkat parasitisasi Cotesia flavipes dipengaruhi oleh jenis inang. Tingkat parasitisasi C. flavipes tertinggi ditemukan pada inang C. sacchariphagus. Kapasitas reproduksi parasitoid C. flavipes tertinggi juga terdapat pada inang C. sacchariphagus, diikuti pada C. auricilius. Selain jenis inang, instar inang juga mempengaruhi perkembangan parasitoid. Ratna (2008) dan Nelly et al. (2011) menyatakan bahwa laju perkembangan parasitoid Snellenius manilae dan Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) lebih cepat terjadi pada larva inang Spodoptera litura instar 3 karena semakin tinggi tingkatan instar larva inang waktu yang tersedia bagi parasitoid lebih pendek untuk menyelesaikan siklus hidup. Jenis Pakan Parasitoid Madu Madu adalah cairan kental yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai sumber nektar. Senyawa senyawa yang terkandung dalam madu bunga berasal dari nektar berbagai jenis bunga (Adji, 2004). Selain bunga atau sekresi bagian tanaman selain bunga yang diisap oleh serangga, yang dikumpulkan lebah,
27 diubah dan dicampur dengan zat-zat tertentu dari tubuh lebah sendiri, disimpan dan dibiarkan dalam sisiran madu hingga matang. Madu adalah bahan yang rasanya manis yang dihasilkan oleh lebah madu (Apis mellifera) dan berasal dari sari bunga atau dari cairan yang berasal dari bagian-bagian tanaman hidup yang dikumpulkan, diubah dan diikat dengan senyawa - senyawa tertentu oleh lebah dan disimpan dalam sarangnya (Saputro, 2009). Madu paling sedikit mengandung 181 substansi yang terdiri dari gula, umumnya tersusun oleh fruktosa (38%) dan glukosa (31%). Madu juga mengandung mineral, protein, asam lemak bebas, enzim dan vitamin (Suarez et al., 2009). Sukrosa pada madu hanya 1%. Total disakarida seperti maltosa, isomaltosa dan maltulosa terdiri dari 7 % dari komposisi madu dengan komponen utama yaitu air (Food and Health Inovation, 2012). Menurut Adji (2004) madu mengandung banyak mineral seperti natrium, kalsium, magnesium, alumunium, besi, fosfor, dan kalium. Vitamin vitamin yang terdapat dalam madu adalah thiamin (B1), riboflavin (B2), asam askorbat (C), piridoksin (B6), niasin, asam pantotenat, biotin, asam folat, dan vitamin K. Sedangkan enzim yang penting dalam madu adalah enzim diastase, invertase, glukosa oksidase, peroksidase, dan lipase. Selain itu unsur kandungan lain madu adalah memiliki zat antibiotik atau antibakteri. Hasil penelitian Nelly dan Damayanti (2008) menunjukkan bahwa pakan berpengaruh terhadap keperidian dan lama hidup imago Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae). Pemberian madu 10% menyebabkan lama hidup imago 9,0 hari, lebih lama dibandingkan imago dengan pakan yeast 10% dan aquades yaitu 5,7 hari dan hanya 5,2 hari bila diberi akuades. Demikian
28 juga dengan keperidian, imago yang diberi pakan madu jumlah total telur yang dihasilkan adalah 257,8 butir, lebih tinggi dibandingkan bila diberi yeast (112,2 butir) dan diberi aquades (116,9 butir). Gula Gula pasir atau sukrosa adalah jenis gula terbanyak di alam, diperoleh dari ekstraksi batang tebu, umbi bit, nira palem dan nira pohon maple. Sukrosa lebih dikenal sebagai gula pasir. Sebuah molekul sukrosa terdiri dari 2 molekul gula yaitu satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Oleh pemberian zat kimia (asam) molekul sukrosa pecah menjadi dua molekul tersebut. Bila sukrosa atau gula pasir dinilai memiliki kemanisan 1, maka glukosa hanya memiliki kemanisan 0,74, laktosa 0,16, maltosa 0,32, galaktosa 0,32 dan fruktosa 1,73 serta gula invert (glukosa dan fruktosa perbandingannya 1 : 1) 1,30. Sedangkan bila dibandingkan dengan pemanis buatan maka perbandingan kemanisannya adalah sebagai berikut :xilitol 1, sukralosa 600, siklamat 30, acesulfame-k 150, dulcin 250, thaumatin 3.500, steviosida 300, suosan 350, aspartam 200, P-4000 4.000, D-triptofan 35 dan asam sukrolonik 200.000 (Koswara, 2007). Berbagai macam spesies parasitoid dapat meningkatkan reproduksi mereka dengan mengkonsumsi gula sebagai sumber nutrisi. Gula sebagai pakan biasanya dapat memperpanjang lama hidup parasitoid yang berkorelasi dengan kesuburan yang tinggi. Gula sebagai pakan merupakan faktor yang mempengaruhi reproduksi parasitoid di lapangan. Pada banyak habitat, makanan dan inang dari parasitoid terpisah atau tidak tersedia dalam waktu yang bersamaan, sehingga jarang ditemukan makanan (Siekmann et al., 2001). Parasitoid yang
29 mengkonsumsi gula secara signifikan hidupnya akan lebih lama daripada parasitoid yang hanya mengkonsumsi air (Lightle et al., 2010). Hasil penelitian Salmah et al. (2012) menyatakan bahwa pemberian madu dan sukrosa dengan konsentrasi yang berbeda memiliki pengaruh terhadap umur dan kesuburan imago parasitoid Apanteles metesae (Nixon). Penelitian ini menunjukkan bahwa larutan sukrosa dengan konsentrasi 20 % merupakan pakan yang lebih baik dari pada larutan madu dengan konsentrasi 50 % terhadap penambahan umur dan kesuburan parasitoid.