Tulisan ini disarikan dari Bab II, Tesis S2 berjudul ASEAN: Konstruksi Regionalisme Asia Tenggara

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya

BAB IV KESIMPULAN. -Peter M. Haas. Council on Foreign Relations, < >, diakses pada , 1993, p.78.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN.

Adapun penulis menyadari beberapa kekurangan dari penelitian ini yang diharapkan dapat disempurnakan pada penelitian mendatang :

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

: Institute Of Southeast Asian Studies

PENDAHULUAN. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

SIAPA YANG DIUNTUNGKAN DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS?

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

GLOBALISASI, KAPITALISME DAN PERLAWANAN ERIC HIARIEJ

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia

BENTUK KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

1 BAB V: PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena terkini menunjukkan bahwa bentuk kerjasama regional menjadi

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Efektivitas ASEAN Economic Community Terhadap Optimalisasi Kualitas Industri Kerajinan Keramik Dinoyo Malang

I. PENDAHULUAN. bagaimana keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, sementara itu

PEMASARAN INTERNASIONAL

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Dhiani Dyahjatmatmayanti, S.TP., M.B.A.

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan

BAB I. A. Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Wealth of Nation (Halwani & Tjiptoherijanto, 1993). Dengan adanya

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan

KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015

2 masing-masing negara masih berhak untuk menentukan sendiri hambatan bagi negara non anggota. 1 Sebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara tentunya p

WHAT IS GLOBALIZATION?

BAB I PENDAHULUAN. yaitu yang mencakup banyak bidang atau multidimensi yang melewati batas-batas

ANALISIS PELUANG DI PASAR GLOBAL. Pokok Bahasan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Liberalisasi perdagangan telah menjadi fenomena dunia yang tidak bisa

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

MODEL KEPEMIMPINAN DAN PROFIL PEMIMPIN AGRIBISNIS

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL. Bab 3

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

Bab I PENDAHULUAN. A. Dinamika Strategi Perdagangan Australia

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendiri.

: Determinan Intra-Industry Trade Komoditi Kosmetik Indonesia dengan Mitra Dagang Negara ASEAN-5 : I Putu Kurniawan

Signifikasi Kawasan Asia Pasifik. Yesi Marince, S.Ip., M.Si

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 dan kesepakatan WTO dalam General

1 Plurilateral adalah bentuk perjanjian kerja sama perdagangan bebas (FTA) antara beberapa negara pada

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

ASEAN YANG BERDAYA SAING, INOVATIF, DAN DINAMIS. DR. Mhd. Saeri, M.Hum. (PSA Universitas Riau) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN

Memahami Politik Luar Negeri Indonesia Era Susilo Bambang Yudhoyono secara Komprehensif: Resensi Buku

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini

BAB IV KESIMPULAN. dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan-tantangan yang dapat mengancam

Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO

STRUKTUR PEKERJAAN DAN STRUKTUR SOSIAL

perdagangan, industri, pertania

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto

Transkripsi:

Contents Teori dan Politik Regionalisme:... 2 Konstruksi Regionalisme Ekonomi Asia Tenggara... 2 Globalisasi dan New Regionalism: Regionalisme sebagai Proyek Politik... 2 Politik Regional Trading Arrangements (RTAs): The Domestic-Global Nexus... 4 Dari Liberalisasi-Multilateral menuju Regionalisasi:... 6 Perubahan Orientasi Politik... 6 Konstruksi Regionalisme Ekonomi di Asia Tenggara... 8 Politik Regional Governance:... 10 Respon Negara-negara Asia Tenggara... 10 Catatan Kaki... 12

Lukman-Nul Hakim, Dosen Fisipol UGM, 2011 Tulisan ini disarikan dari Bab II, Tesis S2 berjudul ASEAN: Konstruksi Regionalisme Asia Tenggara Teori dan Politik Regionalisme: Konstruksi Regionalisme Ekonomi Asia Tenggara Regionalisme adalah ihwal perubahan dalam penggunaan juga pemahaman ruang-ruang sosial: bagaimana negara, pasar, dan penduduk mengubah ulang hubungan-hubungan, batas-batas, dan terutama identitas-identitas bersama untuk mencapai kepentingannya. David Kerr Globalisasi dan New Regionalism: Regionalisme sebagai Proyek Politik Dalam peta ekonomi global kontemporer, tulis Kenichi Ohmae dengan sangat sugestif, yang dipersoalkan sekarang adalah garis-garis yang membentuk apa yang mungkin kelak disebut sebagai negara kawasan (Ohmae, 1993: 78). Maklumat kebangkitan negara kawasan yang diusung Ohmae ini, seorang yang kerap dianggap sebagai proponen avant-garde hiperglobalis, dianggap semakin menegaskan kembali akan terbatasnya negara sebagai satuan referensi ekonomi, politik, dan budaya dalam politik global kontemporer (Bdk. Ravenhill, 2006; Gilpin, 2001; Clark, 1999; Strange, 1996). Menyikapi perkembangan regionalisasi ekonomi yang semakin meluas di belahan dunia pada 1990an, John Naisbitt, seorang proponen lain hiperglobalis, dengan sangat optimistik berkomentar bahwa apa yang berkembang di pelbagai kawasan dunia bukanlah kebangkitan blokblok perdagangan yang dirancang untuk mengisolasikan kawasan-kawasan itu dari aktor-aktor internasional yang lain, melainkan aliansi-aliansi ekonomi yang ditujukan untuk memajukan pembangunan dalam kawasan-kawasan itu, yang membuat batas-batas kedaulatan kian memudar (1994: 234). Pandangan-pandangan hiperglobalis yang sangat optimis akan proses regionalisasi ini tentu saja tidak lahir tanpa pendahulu. Empat tahun sebelumnya, Robert Keohane dan Joseph Nye (1989) mempublikasikan Power and Interdependence: World Politics in Transitions, salah satu buku paling penting tentang konstelasi politik global pasca-perang Dingin. Menurutnya, hancurnya dindingdinding ideologis dalam orientasi hubungan internasional setelah Perang Dingin dan masifnya industrialisasi semakin membuka ruang-ruang baru juga pendefinisian kepentingan-kepentingan baru bagi negara-negara di seluruh belahan dunia. Mode interaksi yang semakin terbuka ini membuat hubungan-hubungan kekuasaan semakin terdispersi, semakin ditentukan oleh jejaring aktor yang lebih kompleks. Oleh karenanya, bagi Keohane dan Nye, upaya untuk memahami tatanan politik internasional kontemporer ini: [A]dalah ikhtiar untuk memahami matriks hubungan-hubungan kekuasaan yang lebih kompleks, yang tidak hanya ditentukan oleh mekanisasi kekuasaan negara-negara berdaulat, tetapi juga oleh aktor-aktor selain negara lainnya dan hubungan-hubungan politik ekonomi di antara mereka, baik dalam ranah mikro ataupun makro (dikutip melalui George, 1994: 112).

Model pendekatan interdependensi ini menjadi penjelasan paling dominan dalam teorisasi hubungan antara globalisasi dan regionalisme ekonomi yang marak di negara-negara berkembang pada 1990an (Ravenhill, 2006; Farrel, et.al, 2005). Regionalisme ekonomi di negara-negara berkembang, yang kerap disebut sebagai new regionalism atau regionalisme gelombang kedua untuk membedakan dengan gelombang regionalisasi di Eropa pada era 1950-60an, dipandang sebagai tahapan baru atas semakin kompleksnya jejaring interdependensi negara-negara berkembang dalam sistem ekonomi global (Mansfield dan Milner, 1999). Dengan demikian, menurut perspektif ini, regionalisasi ekonomi tidak lain merupakan konsekuensi logis dari semakin intensnya derajat kesalingtergantungan antar-aktor di pelbagai kawasan. Berbeda dengan perspektif interdependensi, model-model pendekatan yang lebih kontemporer justru memandang fenomena regionalisme ekonomi yang ekstensif itu sebagai respon politik dari negara-negara berkembang terhadap desakan-desakan globalisasi (Farrell, et.al., 2005; Jayasuriya, ed. 2004; Nesadurai, 2003, 2005; Gamble dan Payne, 1996). Kendati intensitas interdependensi ekonomi tetap diakui sebagai karakter yang utama dalam konstelasi politik kontemporer, bagaimana pun, globalisasi ekonomi merupakan fenomena yang kompleks. Globalisasi ekonomi, sebagaimana saran Richard Higgott, harus dipandang sebagai fenomena struktural multirupa yang melahirkan tekanan-tekanan juga peluang-peluang melalui pertautan antara dimensi material, kelembagaan, maupun kognitif (Higgott, 2000: 70). Dalam pendekatan ini globalisasi ekonomi juga dipahami bukan sebagai sesuatu yang berlangsung secara alamiah, sebagai konsekuensi dari semakin majunya piranti-piranti teknologi dan meningkatnya hubungan dagang misalnya. Bagi kelompok ini globalisasi dipandang sebagai proyek besar yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan ideologi dominan, yang makna hegemoniknya oleh Manfred B. Stager dalam Globalism: The New Market Ideology diandaikan seperti martil pemukul yang menghantam berbagai rintangan yang menghadang jalan menuju kapital global (2002: 19). Kalau kita lacak lebih jauh, elemen-elemen utama dalam perspektif interdependensi itu sebenarnya berakar pada teorisasi regionalisme yang berkembang pada awal dekade 1970an di Eropa, yang pada masa itu perspektif ekonomi politik baru saja mulai diperkenalkan. Sebelumnya, hampir semua proyek teorisasi regionalisme di Eropa bersumbu pada perspektif-perspektif keamanan yakni terkait dengan pelbagai gagasan untuk meredam terjadinya perang dan mengatasi dilema keamanan, security dilemma (Bdk. Wunderlich, 2007: 7-28; Haas, 1958; Lindberg, 1963). Fritz Machlup (1976) melalui karyanya, Economic Integration: Worldwide, Regional and Sectoral, adalah penstudi awal yang memperkenalkan pendekatan institusionalisme dalam proses-proses integrasi ekonomi. Ia mengadaikan bahwa lembaga-lembaga internasional, termasuk juga lembaga-lembaga regional, dibentuk sebagai struktur insentif untuk menyelesaikan kegagalan-kegagalan pasar, kurangnya koordinasi, dan untuk mengeliminasi hambatan-hambatan kerjasama ekonomi. Sebelumnya, seorang ekonom Marxis dari Belgia, Ernest Mendel (1970) dalam Europe versus America: Contradiction of Imperialism, menjelaskan hubungan basis-basis material dan pembentukan integrasi ekonomi kawasan. Tesis utamanya adalah bahwa perkembangan akumulasi kapital, dengan kemajuan mode produksinya, akan selalu menuntut entitas ekonomi dan politik yang lebih besar, yang melintasi batas-batas negara-bangsa (via Gilpin, 2001: 345). Meskipun kedua pemikir ini jelas memiliki pijakan teoretik berbeda, namun mereka memiliki asumsi yang sama dalam memandang fenomena regionalisme ekonomi. Mendel mengandaikan bahwa regionalisme itu berkembang sebagai tuntutan fungsional dan alamiah dari proses-proses produksi yang ekternal sifatnya. Sementara itu, regionalisme ekonomi bagi Machlup juga dianggap sebagai entitas abstrak yang memiliki tingkat kekuasaan tertentu untuk mempengaruhi atau mengubah kepentingan-kepentingan nasional negara-negara pembentuknya. Keduanya, sebagaimana juga perspektif interdependensi yang berkembang kemudian, mengandaikan ada hubungan yang linear dan fungsional antara berkembangnya regionalisme ekonomi dengan masifnya globalisasi

(produksi). Perspektif ini pada umumnya memang cukup berhasil untuk menjelaskan kekuatankekuatan formatif-struktural yang mendorong terjadinya proses-proses integrasi ekonomi. Namun perspektif ini gagal untuk menentukan perbedaan kualitatif antara regionalisme dan multilateralisme, atau antara regionalisasi dan globalisasi. Tabel 2.1 Perspektif regionalisasi ekonomi dalam new regionalism Perspektif Interdependensi Proyek politik Hubungan Regionalisasi-Globalisasi Regionalisasi sebagai konsekuensi globalisasi ekonomi Regionalisasi sebagai respon terhadap globalisasi ekonomi Sifat Regionalisasi Apolitis dan fungsional Politis dan strategis Pespektif-perspektif yang memandang regionalisme ekonomi sebagai proyek politik negara-negara berkembang dalam menghadapi desakan globalisasi dengan keras menolak sifat-sifat fungsional dan linier yang terkandung dalam gagasan-gagasan interdependensi. Mereka menampik asumsi umum bahwa tuntutan-tuntutan (demands) untuk melakukan regionalisme ekonomi itu disebabkan oleh adanya pendalaman integrasi ekonomi atau perluasan pasar yang dengan sendirinya akan menuntut tersedianya (supply) lembaga-lembaga regional yang memadai (Millner, 1997: 79). Menganggap fenomena regionalisme ekonomi semata-mata melalui kerangka transaksional semacam itu akan menghasilkan pemahaman yang statis, dan bahkan tautologis: regionalisme ekonomi ditentukan oleh perluasan pasar dan produksi atau sebaliknya. Di samping itu, kekeliruan paling mendasar dalam model-model transaksional ini adalah bahwa model ini telah mengabaikan kenyataan bahwa regionalisme itu sendiri sebenarnya berakar dalam konteks struktural yang lebih luas, yang melibatkan faktor-faktor seperti koalisi domestik, serangkaian strategi pembangunan, dan kondisikondisi internasional (Jayasuriya, 2004: 3). Dengan menempatkan regionalisme ekonomi sebagai proyek politik negara-negara berkembang, saya kira, dinamika konstruksi regionalisme dalam suatu kawasan dapat diperiksa dengan lebih seksama. Dinamika yang dimaksud ini meliputi pelbagai perubahan-perubahan dalam aras wacana, strategi pembangunan, peluang dan hambatan struktural yang menentukan dinamika regionalisme ekonomi baik berakar pada ranah nasional maupun global dalam bentangan waktu tertentu. Politik Regional Trading Arrangements (RTAs): The Domestic-Global Nexus Selain perdebatan tentang perspektif politik regionalisme di atas, hubungan antara globalisasi ekonomi dan regionalisasi dalam periode new regionalism, yang menggunakan liberaliasasi perdagangan sebagai instrumen utamanya, juga memunculkan perdebatan panjang baik di ranah teoretik maupun orientasi kebijakan. Perdebatan yang mengemuka adalah apakah liberalisasi melalui skema regionalisme, atau dikenal dengan PTAs (Prefferential Trade Arrangements), itu akan mendorong atau malah bertentangan dengan liberalisasi global? Sebelum mengulas perdebatan ini, ada baiknya kita menengok latar belakang berkembangnya new regionalism ini lebih dahulu. Harus dicatat bahwa regionalisasi periode baru ini lahir sebagai respon terhadap lambannya liberalisasi yang dilakukan melalui rejim multilateral GATT (Munakata, 2006). Kebuntuan-kebuntuan negosiasi liberalisasi perdagangan dalam Uruguay Round pada akhir 1980an memberikan pesan kuat bahwa liberalisasi melalui rejim multilateral sudah tidak efektif lagi: anggota GATT yang

semakin meluas, kepentingan yang semakin bervariasi, dan perlawanan negara-negara berkembang terhadap dominasi negara-negara maju membuat upaya-upaya liberalisasi multilateral mengalami deadlock. Pembentukan Uni Eropa pada 1992 melalui Perjanjian Maastricht dan upaya untuk memperluas keanggotaannya dapat dipandang sebagai respon negara-negara Eropa terhadap kekecewaan liberalisasi global ini. Respon pragmatis Uni Eropa ini dipandang sebagai ancaman bagi lahirnya blok proteksionisme baru (Wunderlich, 2007: 112). Tak pelak lagi, regionalisasi ekonomi Uni Eropa ini kemudian memicu lahirnya regionalisasi-regionalisasi di belahan dunia lain, termasuk NAFTA di Amerika Utara, MERCOSUR di Amerika Latin, APEC di Asia Pasifik, SADC di Afrika, AFTA di Asia Tenggara, dan lainnya. Di tengah-tengah kebuntuan perundingan liberalisasi multilateral GATT, masifnya integrasi ekonomi kawasan itu memunculkan perdebatan baru tentang hubungan regionalisme ekonomi dan masa depan liberalisasi perdagangan di level global. Jagdish Bhagwati, seorang profesor ekonomi Universitas Princeton dan pendukung utama gagasan liberalisasi multilateral, menerbitkan sebuah buku yang memicu perdebatan panjang, The World Trading System at Risk (1991). Dia mempertanyakan apakah regionalisme ekonomi yang berkembang masif itu akan menopang atau justru meruntuhkan program-program liberalisasi multilateral yang berjalan sejak usainya Perang Dunia II, atau dalam metafornya yang sekarang terkenal stepping stones or stumbling blocks. Hal ini karena bagaimanapun regionalisme ekonomi sejak kemunculannya kerap dipandang sebagai fenomena berwajah ganda: pada satu sisi ia dianggap sebagai jembatan pintas menuju liberalisasi ekonomi global, sementara pada sisi yang lain regionalisme ekonomi dikeluhkan sebagai batu sandungan bagi proyek-proyek liberalisasi multilateral (Ravenhill, 2006: 141-146; Oatley, 2006: 17-41). Kita akan memeriksa perdebatan hubungan regionalisasi dan liberalisasi multilateral ini dalam dua ranah penyelidikan. Pertama, dalam ranah perdebatan teoretik ekonomi regionalisme di mana hubungan paradoksal kedua proses itu juga masih diperdebatkan secara paradigmatik hingga sekarang. Kedua, dalam ranah politik kebijakan di mana terdapat perubahan pandangan negaranegara maju dan rejim-rejim proponen liberalisasi multilateral terhadap masifnya regionalisasi ekonomi yang berkembang di hampir seluruh belahan dunia ini. Trade Creating dan Trade Diverting Dalam ranah teorisasi ekonomi regionalisme, perdebatan tentang efek regionalisasi terhadap sistem perdagangan dunia sebenarnya sudah berlangsung lama, yakni sejak gelombang regionalisme pertama muncul pada 1950an di Eropa Barat. Saya tidak akan membahas perdebatan ekonomi regionalisme ini dengan mendetail di sini.[1] Saya hanya akan memetakan garis-garis besar perdebatannya. Dalam konteks perdebatan ini, Jacob Vinner (1950) melalui karyanya, The Custom Union Issues, menjadi seorang ekonom yang pertama kali meneroka implikasi regionalisasi perdagangan terhadap kesejahteraan negara-negara di dunia. Menurutnya, regionalisasi perdagangan melalui pembentukan Preferential Trade Arrangements (PTAs) akan memiliki efek ganda.[2] Pada satu sisi, liberalisasi perdagangan melalui PTAs akan menciptakan struktur perdagangan baru antar-negara anggota yang lebih luas, karena PTAs memungkinkan perpindahan barang dan jasa dengan lebih mudah tanpa rintangan berarti. Kecenderungan ini disebutnya sebagai efek trade creating. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan liberalisasi melalui PTAs juga akan membendung tumbuh-kembangnya perdagangan dengan negara-negara pihak ketiga, yakni negaranegara di luar keanggotaan PTAs. Inilah yang disebutnya sebagai efek trade diverting. Meskipun kedua kecenderungan teoretik itu berpotensi terjadi dalam dunia empirik, Vinner tetap percaya bahwa regionalisme ekonomi akan memberikan implikasi positif bagi kesejahteraan dunia selama ia mampu menciptakan dan harus didorong untuk meningkatkan efek trade-creating dan meminimalisir efek trade-diverting-nya (1950: 44).

Analisis Viner ini di kemudian hari menuai banyak kritik, terutama dari para pendukung liberalisasi multilateral (Bhagwati, Greenway, dan Panagariya, 1998:1129-1146). Alasan yang paling mendasar adalah bahwa kajian-kajian empiris mengenai PTAs yang berkembang ternyata lebih banyak menunjukkan trade-diversionnya. Studi Yeats (1996) tentang MERCOSUR serta Wei dan Frankel (1996) tentang integrasi ekonomi Uni Eropa lebih menunjukkan besarnya kecenderungan tradediversion ini. Namun demikian, kajian kelompok studi para ahli ekonomi mengenai perdagangan internasional pada tahun 1997 yang bertajuk Reflection on Regionalism: Report for the Study Group on International Trade tetap menganggap bahwa teorisasi ekonomi Viner mengenai regionalisme dan kesejahteraan tetap valid (Serra, 1997). Akan tetapi, persoalan apakah RTAs itu akan lebih cenderung mengarah pada trade-creation atau trade-diversion dan membahyakan negara-negara non-anggota tidak bisa segera disimpulkan, kecuali dengan melakukan studi-studi yang lebih spesifik. Dari Liberalisasi-Multilateral menuju Regionalisasi: Perubahan Orientasi Politik Hingga dekade akhir 1980an, regionalisasi ekonomi secara efektif hanya berlangsung di Eropa Barat. Pada saat itu regionalisasi belum dianggap sebagai ancaman yang membahayakan bagi proses-proses liberalisasi multilateral dan arsitekural perdagangan dunia (Panagariya, 1999: 480). Pada masa itu, dengan terbentuknya suara tunggal (single voice) negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam beberapa hal justru memudahkan Amerika Serikat sebagai negara pembela liberalisasi multilateral dalam negosiasi perdagangan di GATT hingga tujuh putaran. Sikap Amerika Serikat mengenai berkembangnya regionalisasi ekonomi di dunia sangat penting untuk dipertimbangkan, mengingat negara ini pernah menjadi korban dari sistem perdagangan diskriminatif selama Depresi Besar, yang membuatnya penjadi pembela garda depan sistem perdagangan global yang didasarkan pada prinsip-prinsip GATT sejak selepas Perang Dunia II. Bagi Amerika Serikat, perjanjian-perjanjian dagang bilateral dianggap sebagai hambatan paling berbahaya dalam sistem perdagangan internasional. Konsistensi Amerika Serikat dalam membela liberalisasi multilateral mulai berubah dalam GATT Ministerial Meeting, November 1982, yakni saat mulai memasuki Putaran Kedelapan negosiasi liberalisasi perdagangan melalui Uruguay Round yang berkepanjangan. Karena gagal mengajak Masyarakat Ekonomi Eropa untuk satu suara dalam proses-proses negosiasi, Amerika Serikat akhirnya meninggalkan posisi kerasnya terhadap regionalisasi. William Brock, wakil AS untuk urusan perdagangan, pada saat itu mengumumkan keinginan Washington untuk ikut serta dalam pembentukan perjanjian-perjanjian ekonomi kawasan (Ravenhill, 2006: 130-131). Amerika Serikat pun segera menyepakati PTAs dengan Israel pada 1985 dan Kanada pada 1989 lalu disusul dengan pembentukan NAFTA (North American Free Trade Area) pada 1994. Pendekatan baru kebijakan Amerika terhadap regionalisasi diungkapkan dengan jelas oleh Lawrence Summers, pejabat departemen keuangan pada kabinet pertama Clinton, bahwa Amerika harus menyambut baik segala bentuk kerjasama pengurangan hambatan perdagangan, baik itu melalui jalur multi-, uni-, bi-, atau plurilateral (Frankel, 1997: 5). Dengan kata lain, apapun kebijakan perdagangan yang dijalankan selama ia memang berkontribusi terhadap liberalisasi, maka tidak ada alasan bagi Amerika Serikat untuk menghalanginya. Berkembangnya regionalisme ekonomi ini juga dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah Regional Trading Arrangments (RTAs) di pelbagai kawasan di dunia yang sangat signifikan. Menurut data WTO, sejak tahun 1948-1994 hanya terdapat 124 RTAs dan hanya 65 RTAs saja yang masih

bertahan sampai tahun 1994. Sedangkan dari tahun 1995 sampai awal 2003, hanya dalam rentang waktu 8 tahun, terdapat 130 RTAs yang disepakati. Informasi terkini, yakni hingga 30 Juli 2010, tercatat sudah ada 283 perjanjian regionalisme yang berlaku.[3] Volume perdagangan yang berada di bawah RTAs ini juga sangat luar biasa jumlahnya, yakni mencapai 43% pada tahun 2000 dari total perdagangan dunia (Ravenhill, 2006: 117). Berikut adalah tabel pertumbuhan jumlah RTAs di dunia dari 1948, ketika rejim GATT didirikan, hingga awal tahun 2010. Pertumbuhan RTAs terlihat sangat mencolok sejak 1990an (pada masa kebuntuan GATT), 1997 dan 2000an (pasca-krisis Asia). Grafik 2.2 Perkembangan RTAs, 1948-2010 Sumber: diolah dari WTO, 2010. Oleh karena RTAs pada dasarnya merupakan sistem perdagangan yang diskriminatif, perluasan jumlah RTAs yang luar biasa ini memunculkan kekhawatiran dalam tubuh WTO, organisasi yang paling bertanggung jawab untuk liberalisasi perdagangan global. Karena pentingnya isu ini, pada Februari 1996, WTO menyetujui pembentukan Komisi untuk Perjanjian Perdagangan Kawasan (Committee on Regional Trade Agreements, CRTA). Tugas utamanya adalah untuk memeriksa secara mendetail apakah suatu RTA itu kompatibel dengan prinsip-prinsip liberalisasi multilateral atau tidak. Pembentukan CRTA ini sangat menarik karena GATT/WTO sebenarnya memiliki klausul tentang The Most Favoured Nation (MFN) yang melarang negara-negara anggotanya untuk menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan diskriminatif. Keberadaan RTAs ini diakomodasi melalui Pasal XXIV yang memperbolehkan negara-negara anggota untuk membentuk RTAs yang memungkinkan pengurangan hambatan perdagangan atas substantially all trade dan dengan persyaratan yang lain bahwa perjanjian-perjanjian tersebut pada saat yang sama tidak boleh meningkatkan tarif terhadap negara-negara di luar kawasan RTAs. Kemudian Pasal V dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) juga membolehkan adanya PTAs dalam bidang jasa yang paralel dengan Pasal XXIV GATT. Peluang-peluang untuk membentuk RTAs ini diperluas dengan adanya Pasal Kondisional (Enabeling Clause) GATT pada 1979 yang membolehkan pembentukan RTAs melalui dua skema: (1) negara-negara maju dibolehkan untuk memberikan one-way-partial tariff terhadap negara-negara berkembang; dan (2) negara-negara berkembang diberikan hak untuk membuat two-way tariff antar-negara berkembang.[4] Pembentukan AFTA melalui CEPT (Common Effective Preferential Trade) yang disepakati pada akhir 1992 merupakan eksamplar skema kedua ini. Tabel 2.3 Kerangka legal WTO untuk pembentukan RTAs Pasal XXIV GATT Paragraf 4-10 sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan pasal XXIV GATT 1994 Enabling Clause Keputusan tentang Differential and More Favorable Treatment, Reciprocity and Fuller Participation of Developing Countries Memberikan kerangka legal bagi negara-negara anggota WTO untuk pendirian dan pelaksanaan custom unions dan free trade area dalam perdagangan barang. Memberikan kerangka legal bagi negara-negara berkembang anggota WTO untuk membentuk RTAs dalam perdagangan barang.

Pasal V GATS Memberikan kerangka legal bagi pembentukan RTAs dalam bidang perdagangan jasa, baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Sumber: diolah dari WTO, 2011 Namun demikian, CRTA tetap menghadapi kesulitan dalam memastikan apakah suatu RTA bertentangan dengan prinsip-prinsip liberalisasi multilateral. Selain alasan-alasan teknis yang sering multi-tafsir, misalnya tentang klausul substantially all trade. Namun kesulitan-kesulitan yang paling besar kerap kali bersifat politik. Misalnya, ketika Komisi memutuskan bahwa Perjanjian Roma 1957 yang membentuk Masyarakat Ekonomi Eropa itu melanggar pasal XXIV, Komisi tidak bisa berbuat banyak ketika kemudian negara-negara Eropa akan mengancam mundur dari GATT dan tetap melakukan integrasi ekonomi tanpa peduli keputusan Komisi (Ravenhill, 2006: 143). Sementara CRTA masih menghadapi banyak kesulitan dalam verifikasi, jumlah RTAs terus saja meningkat. Hingga 31 Juli 2010, terdapat 351 RTAs yang dibentuk di bawah Pasal XXIV GATT 1947 atau GATT 1994; 31 RTAs di bawah Enabling Clause; dan 92 RTAs yang berada di bawah naungan Pasal V GATS. Meskipun kerja Komisi masih terus berjalan dan banyak menghadapi persoalan, sebuah deklarasi dalam Ministerial Meeting di Singapura yang dihadiri oleh negara-negara anggota WTO pada 16 Desember 1996 justru mengafirmasi dan mendorong pembangunan proyek-proyek regionalisasi ekonomi. Penggalan paragraf deklarasi tersebut yang menyangkut isu regionalisasi ekonomi berbunyi: Kami menyadari bahwa hubungan-hubungan perdagangan antar-anggota WTO semakin dipengaruhi oleh pelbagai perjanjian perdagangan kawasan, yang telah berkembang pesat baik dalam hal jumlah, skup, maupun jangkauan. Inisatif-inisiatif ini dapat memajukan liberalisasi dan mungkin dapat membantu negara-negara dengan tingkat ekonomi yang masih kurang-berkembang, berkembang, ataupun transisi agar lekas terintegrasi ke dalam sistem perdagangan global [5] Selain terjadi perubahan pandangan Amerika Serikat dan WTO yang semakin mengapresiasi prosesproses regionalisasi, pandangan negara-negara yang tergabung dalam OECD juga patut dicermati. Negara-negara OECD memilki sikap yang paradoks terhadap perkembangan RTAs, mereka memandang bahwa RTAs memiliki sisi positif dan negatifnya. Namun ketika RTAs diperkirakan telah menguasai 53% perdagangan dunia, maka mau tidak mau negara-negara OECD pun harus bersikap realistis terhadap perkembangan RTAs ini (OECD, 2003: 2). Baru-baru ini, OECD melakukan studi terhadap 10 sektor perdagangan yang terkandung dalam pelbagai PTAs untuk memeriksa hubungan RTAs dan masa depan sistem perdagangan multilateral. Studi yang bertajuk Regionalism and the Multilateral Trading System (2003) berkesimpulan bahwa: perjanjian-perjanjian perdagangan kawasan memang dapat melengkapi (complementary), namun tidak bisa menggantikan, aturan-aturan dan proses-proses liberalisasi multilateral secara koheren. [6] Dalam beberapa hal regionalisasi memang diakui telah mempercepat proses-proses liberalisasi misalnya dalam hal perdagangan barang dan penurunan tariff. Akan tetapi pada dimensidimensi yang lain jalur multilateral dipandang jauh lebih maju dari RTAs, misalnya liberalisasi keuangan dalam rejim GATS jauh lebih maju dari RTAs manapun (OECD, 2003: 7). Konstruksi Regionalisme Ekonomi di Asia Tenggara Tegangan teoretik dan perubahan orientasi kebijakan negara-negara besar dan WTO dalam memandang hubungan antara regionalisasi versus liberalisasi multilateral di atas sangat berpengaruh terhadap konstruksi regionalisme ekonomi di Asia Tenggara. Bentuk yang paling nyata

adalah berkembangnya skema regionalisasi yang disebut sebagai open regionalism. Prinsip ini menjadi basis kerja dalam forum liberalisasi Asia Pasifik (APEC) yang sangat dominan pada 1990an. Lebih dari itu, skema tersebut juga kompatibel dan bersifat formatif dengan proyek-proyek pembangunan domestik negara-negara Asia Tenggara. Bagian ini akan membahas dua hal utama dalam kaitannya dengan konstruksi politik regionalisasi ekonomi Asia Tenggara. Pertama, bagaimana skema regionalisasi open regionalism atau APEC itu merepresentasikan struktur kekuasaan politik kawasan dan konsolidasi ekonomi-politik pembangunan di negara-negara Asia Tenggara? Kedua, bagaimana krisis ekonomi mentransformasikan proyek-proyek regional governance di Asia Tenggara dan bagaimana implikasinya bagi arsitektur regionalisasi ASEAN? APEC, Embedded Merchantilism dan Krisis Asia Dari segi arsitektural, bentuk integrasi ekonomi paling kompromistis dari dua tegangan itu regionalisasi dan liberalisasi multilateral adalah apa yang berkembang sebagai open regionalism yang menjadi fondasi utama regionalisasi di Asia Pasifik melalui pendirian APEC pada 1989.[7] APEC merupakan instrumen liberalisasi yang pertama dan paling berpengaruh di Asia Tenggara pada 1990an, selain AFTA yang diberlakukan kemudian pada tahun 1993. Ada tiga karakteristik utama dalam skema open regionalism, yakni: (1) keanggotaan bersifat terbuka dan terus mendorong negara-negara non-anggota untuk berpartisipasi; (2) konsisten dengan proyek liberalisasi sebagaimana diatur dalam Pasal XXIV GATT; dan (3) negara-negara anggota bebas melakukan liberalisasi unilateral dengan non-anggota berdasarkan basis resiprositas (Panagariya, 1999: 502). Open regionalism memang secara startegis berorientasi untuk memperluas manfaat perdagangan terbuka dalam sistem ekonomi internasional yang lebih luas, tidak hanya sebatas bagi negara-negara anggota saja. Dengan kata lain, open regionalism merupakan strategi liberalisasi perdagangan yang tujuannya adalah untuk mengurangi hambatan-hambatan perdagangan dalam sistem ekonomi internasional (Jayasuriya, 2004: 22-24). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana APEC dapat menjadi kerangka integrasi ekonomi paling dominan di Asia Tenggara? Atau setidaknya mengapa negara-negara Asia Tenggara mengartikulasikan politik regionalism ekonominya melalui open regionalism? Terkait dengan pendekatan dalam tesis ini, satu hal yang harus dicatat adalah bahwa isu terpenting dalam open regionalism itu bukan hanya soal alasan-alasan teknisnya sebagai serangkaian strategi ekonomi, namun juga bahwa alasan-alasan teknis ini juga mencerminkan seperangkat hubungan politik antara sektor-sektor pasar di negara-negara Asia. Dengan kata lain, memahami open regionalism tidak hanya berhubungan dengan proyek pembentukan pasar regional tetapi, melainkan, dan ini jauh lebih penting, menyangkut strategi-strategi untuk mempertahankan pasarpasar ekspornya. Open regionalism barangkali lebih tepat untuk dilihat sebagai manifestasi proyek-proyek politik integrasi ekonomi kawasan yang dilakukan oleh aktor-aktor domestik yang kuat (Jayasuriya, 2004: 23; Lee, 2002, Rodan et.al., 2007). Di negeri-negeri Asia Timur di mana posisi-posisi elit politik sangat terkait erat dengan struktur ekonominya, proses-proses pembentukan pasar ini berada di luar pengaruh negara sebagai sebuah lembaga yang otonom. Yang terjadi adalah bahwa pembentukan model regionalisasi ini merupakan produk dari karakter-karakter politik ekonomi negara-negara Asia Timur yang tersegmentasi. Argumen utamanya adalah bahwa strategi-strategi multilateral tersebut sangat berkelindan dengan proyek-proyek politik domestik. Pada tahun-tahun ketika negara-negara di Asia Tenggara mengalami

pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, strategi liberalisasi perdagangan APEC itu sangat cocok dengan proyek-proyek politik kapitalisme yang dikendalikan negara state-driven capitalism (Jomo, 2001; Daquila, 2005). Open regionalism merupakan kerangka integrasi ekonomi yang paling sesuai dengan bentuk-bentuk koalisi politik domestik, yang disebut oleh Kanishka Jayasuriya (2003, 2004) sebagai, embedded merchantilism.[8] Perhatian terhadap peranan koalisi-koalisi politik domestik dalam mengubah trajektori-trajektori ekonomi politik sangat penting untuk menjelaskan pembentukan regionalisme ekonomi di Asia Tenggara. Dalam konteks negara-negara ASEAN pada umumnya, koalisi ekonomi politik yang berorientasi internasionalis memang sangat kuat terutama sejak gelombang liberalisasi dan deregulasi 1980an. Namun demikian, tumbuhnya kelompok-kelompok ekonomi internasionalis ini juga berjalan beriringan dengan berkembangnya proteksi-proteksi politik terhadap sektor-sektor ekonomi domestiknya. Inilah yang disebut sebagai embedded merchantilism. Elemen utama dalam model ini adalah adanya pembentukan sebuah struktur ekonomi politik yang tersegmentasi. Pada satu sisi, mereka membangun industri-industri ekspor yang kompetitif secara internasional. Namun pada sisi yang lain, elemen-elemen kunci ekonomi domestiknya dibangun dengan sangat tidak efisien dan secara politik memiliki ikatan erat dengan elit-elit politik dan birokrasi (Jayasuriya, 2004: 26). Bagaimana embedded merchantilism yang menjadi fondasi bagi berlangsungnya open regionalism itu terbentuk? Ada beberapa penjelasan tentang hal ini. Cumings (1987) misalnya merunut pembentukan koalisi politik pembangunan di negara-negara Asia Tenggara ini dari struktur Perang Dingin yang membangkitkan koalisi ekonomi pro-barat di negara-negara ASEAN. Secara spesifik, setidaknya ada dua hal mendasar yang secara khusus berkontribusi terhadap pembentukan koalisi embedded merchantilism. Pertama, perluasan FDI Jepang dan model liberalisasi dalam prosesproses APEC turut membantu dalam konsolidasi proteksi politik sektor-sektor ekonomi yang dikuasai oleh kroni-kroni dalam rejim-rejim pemerintahan di Asia Tenggara. Kedua, prinsip-prinsip Konsensus Washington yang diintroduksi pada 1980an dalam kebijakan-kebijakan liberalisasi dan deregulasi. Alih-alih membatasi perkembangan kartel-kartel domestik yang memiliki ikatan-ikatan politik, kebijakan Konsensus Washington ini justru membantu konsolidasi kartel-kartel ekonomi yang didominasi oleh para penguasa (Munakata, 2006; Robison dan Hadiz, 2004). Dengan demikian, startegi-strategi domestik dan liberalisasi internasional di sini berperan saling menopang terhadap pembentukan koalisi dan aliasi domestik tersebut. Krisis ekonomi yang menimpa negara-negara Asia Timur pada akhir 1997 memang menghancurkan koalisi-koalisi di kawasan, dan model-model embedded marchantilism tersebut sulit dipertahankan lagi. Namun hal ini tidak lekas berarti bahwa sistem tersebut secara otomatis terhapus di negaranegara Asia Tenggara. Kita akan membahas transformasi ekonomi politik pembangunan pasca-krisis pada Bab yang lain. Yang jelas adalah bahwa negara-negara Asia Tenggara kemudian merespon krisis ekonomi tersebut dengan cara yang beragam. Tidak ada kebijakan atau strategi kawasan yang solid untuk merespon krisis. Pada masa-masa booming pertumbuhan ekonomi tahun 1990an, negaranegara Asia Tenggara memiliki kebijakan dan strategi pembangunan yang relatif sama. Perbedaanperbedaan tersebut menjadi salah satu karakter dasar dalam pola-pola regionalisasi ekonomi Asia Tenggara pasca-krisis yang akan dibahas lebih luas pada Bab Kelima tesis ini. Politik Regional Governance: Respon Negara-negara Asia Tenggara Bagi sebagian besar penstudi regionalisme ekonomi, krisis ekonomi sama sekali tidak menyebabkan perdebatan surut. Krisis ekonomi justru menjadi turning point kedua bagi gelombang regionalisme

ekonomi di Asia Tenggara, seperti halnya ketika industrialisasi memacu periode regionalisasi ekonomi pertama pada awal 1990an (Ravenhill, 2008: 35-58). Pelbagai isu dan skema regionalisasi baru mulai diintroduksi yang bahkan melampaui skema-skema ASEAN dan APEC yang seblumnya sangat dominan (Nesadurai, 2005; Chia, 2007). Kita tidak akan berbicara tentang diskontinuitas proyek-proyek regionalisasi, melainkan bagaimana struktur politik ekonomi kawasan pasca-krisis itu menentukan konstruksi baru regionalisme ASEAN. Berbeda dengan regionalisasi ekonomi 1990an yang yang secara ideologis didorong oleh kebijakan-kebijakan Konsensus Washington berupa liberalisasi, privatisasi dan deregulasi untuk menciptakan pasar tunggal, proyek-proyek regionalisme ekonomi pasca-krisis didasari pada hal-hal yang sama sekali berlainan. Pertama, adanya kesadaran bahwa krisis semakin menunjukan tingkat interdependensi yang tinggi dengan ekonomi global, tidak hanya di negara-negara Asia Tenggara tetapi juga meluas ke Asia Timur. Regionalisme ekonomi dalam periode ini ditujukan sebagai respon terhadap ketidakamanan dalam sistem kapitalisme global. Kedua, munculnya kritisisme di kalangan masyarakat terhadap fundamentalisme pasar dalam globalisasi ekonomi. Kesadaran akan dampakdampak liberalisasi perdagangan bagi masyarakat luas membuat format-format regionalisasi ekonomi di Asia Tenggara harus diorientasikan lebih komprehensif, tidak semata-mata ditujukan untuk menurunkan tarif perdagangan dan penciptaan pasar kawasan. Kecenderungan-kecenderungan ini membuat skema regionalisme ekonomi di Asia Tenggara pasca-krisis menjadi sangat beragam dan tumpang tindih (Breslin dan Higgot, 2003; Chia, 2007, Soesastro, 2006). Setidaknya terdapat empat konfigurasi regionalisme berbeda yang sekarang beroperasi di Asia Tenggara, yakni: 1. Forum APEC sebagai manifestasi proyek liberalisasi perdagangan trans-regional yang melemah daya dorongnya sejak krisis ekonomi terjadi; 2. Proyek regionalisme Asia Tenggara yang ditempuh melalui pelbagai proyek-proyek regionalisme ASEAN, terutama AFTA (ASEAN Free Trade Area) sejak 1993, AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services) sejak 1995, AIA (ASEAN Investment Area) sejak 1998, dan AEC (ASEAN Economic Community) sejak 2003; 3. Proyek regionalisme Asia Timur yang terpusat dalam skema ASEAN+3. Beberapa skema regionalisme minilateral yang dibentuk seperti CAFTA dianggap akan berpotensi menguatkan konfigurasi regionalisme Asia Timur dan ASEAN sebagai sentrumnya. 4. Skema regionalisasi ekonomi unilateral yang dilakukan negara-negara anggota ASEAN dengan membentuk ASEAN+1 FTA. Regionalisasi ekonomi pasca-krisis juga ditandai dengan proliferasi bilateralisme FTAs di kalangan negara-negara ASEAN, terutama Singapura. Skema-skema regionalisme ekonomi tersebut sangat beragam dari soal cakupan wilayah, orientasi, mekanisme, dan derajat integratifnya. Dalam beberapa hal, bervariasinya keterlibatan negaranegara ASEAN dalam skema-skema regionalisasi berimplikasi pada beragamnya pengelolaan dan kebijakan ekonomi dan perdagangan kawasan dalam konteks global governance. Helen E.S. Nesadurai (2005) mengidentifikasi tiga kemungkinan bagaimana regionalisme secara teoretik berhubungan dengan global governance. Pertama, regionalisme dipahami sebagai reproduksi global governance di tingkat regional. Kedua, memandang regionalisme sebagai bentuk resistensi terhadap globalisasi dan menjadi situs bagi norma-norma dan praktik-praktik alternatif terhadap dominannya model globalisasi neoliberal. Ketiga, regional governance menjadi instrumen untuk mencapai tujuantujuan negara anggota dalam mengatasi ketimpangan dan memajukan ekonomi nasional melalui regionalisme ekonomi. Bagaimana tipe-tipe proyek regionalisasi ini berkembang akan sangat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan dan motivasi-motovasi para aktor regionalisasi kunci, termasuk para pengambil kebijakan, aktor bisnis, kelompok masyarakat. Dengan kata lain regionalisasi ekonomi

harus dipandang sebagai proyek restrukturasi ekonomi sebuah kawasan. Namun demikian, krisis ekonomi 1997 semakin menunjukan bahwa ekonomi dunia kontemporer sangat tidak pasti karakternya. Dalam konteks ketidakpastian inilah pelbagai konfigurasi regionalisme ekonomi Asia Tenggara harus dibaca. Kita tidak cukup tahu apakah skema-skema tersebut akan efektif menopang proyek-proyek restrukturisasi ekonomi di masa mendatang. Untuk itulah peringatan Breslin dan Higgot (2000: 339) menjadi penting diperhatikan: saat ini kita harus memperhatikan praktik-praktik regionalisme yang semakin multi-dimensi dan multi-rupa daripada masa-masa sebelumnya. Negara-negara sekarang ini semakin terlibat dalam banyak sekali upaya-upaya regionalisasi tanpa menyadari kontradiksi-kontradiksi yang mungkin ditimbulkannya. Catatan Kaki [1] Penjelasan lebih lanjut tentang perdebatan ekonomi regionalisme bisa dilihat dalam Lihat juga Arvind Panagariya (2000), Preferential Trade Liberalization: The Traditional Theory and New Developments, Journal of Economic Literature, Vol. 38, No. 2. (Jun., 2000), pp. 287-331. Bhagwati J., D. Greenway, and A. Panagariya (1998), Trading Preferentially: Theory and Policy, Economic Journal, 108, 1128-1148. Bhagwati J. and A. Panagariya eds. (1996), The Economic of Prefferential Trade Agreements, Washington: AEI Press. de Melo, J and A. Panagariya eds. (1993), New Dimensions in Regional Integration, Cambridge: Cambridge University Press. [2] Regionalisme secara inheren sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip liberalisasi global, karena ia menciptakan batasan-batasan bagi negara-negara pihak ketiga, non-partners. Arvind Panagariya mendefinsikan Prefferential Trade Arrangements (PTAs) sebagai sebuah pengelompokkan antara dua negara atau lebih dalam mana barang-barang yang diproduksi dalam kelompok negara itu dikenakan hambatan-hambatan [perdagangan] yang lebih rendah dibandingkan dengan barang-barang yang diproduksi negara-negara di luar kawasan itu. Lihat Arvind Panagariya (1999), The Regionalism Debate: An Overview, The World Economy, Vol.22 (4), pp. 478. [3] Untuk melihat perkembangan RTAs di pelbagai kawasan dunia yang dipantau oleh WTO dapat diupdate melalui <http://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/region_e.htm> [diakses 14 Februari 2011]. [4] Mengenai tata aturan legal WTO untuk memverifikasi apakah suatu PTA itu bertentangan dengan prinsip liberalisasi multilateral WTO dapat dilihat pada <http://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/regrul_e.htm> [diakses 17 Februari 2011]. [5] Lihat Singapore WTO Ministerial 1996: Ministerial Decalaration WT/MIN(96)/DEC. Diakses melalui <http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/min96_e/wtodec_e.htm> [diakses 16 Februari 2011]. [6] Sepuluh dimensi dalam inisatif perdagangan regional yang dikaji OECD adalah: jasa, perpindahan buruh, investasi, kompetisi, fasilitasi perdagangan, anggaran pemerintah, HAKI, proteksi sementara (termasuk kebijakan anti-dumping), lingkungan, dan rules of origin. Lihat, OECD (2003), Regionalism and the Multilateral Trading System, Policy Brief, hal. 2 [7] Proponen utama gagasan open regionalism adalah, misalnya, Fred Bergstein, ketua Eminent Persons Group (EPG) APEC. Lihat Fred Bergstein (1997), Open Regionalism, Institute for International Economics. Ada banyak pihak yang skeptik dan mengkritik model open regionalism ini, di antaranya T.N. Srinivasan yang mengatakan bahwa proyek open regionalism hanyalah sebuah oksimoron: suatu perjanjian perdagangan yang terbuka tidak bisa diisolasi dalam kawasan tertentu,

begitu pula bahwa perjanjian yang memang diberlakukan untuk satu kawasan tidak bisa dipaksakan terbuka untuk yang lain. Lihat T.N. Srinivasan (1995), APEC and Open Regionalism, New Haven: Yale University Press. [8] Jayasuriya meminjam istilah embedded merchantilism dari T.J Pempel yang menjelaskan dinamika perubahan rejim di Jepang dengan menggunakan kerangka pendekatan koalisional. Pempel berargumen bahwa perubahan-perubahan rejim itu berlangsung melalui fase-fase transisi di mana rejim lama usang dan rejim-rejim baru berlomba membangun tambatan-tambatan koalisional dan kelembagaannya. Bagi Pempel, setiap rejim itu dibentuk melalui tiga elemen yang saling menopang: (1) aliansi sosio-ekonomi; (2) lembaga-lembaga ekonomi politik; dan (3) startegi-strategi kebijakan publik. Lihat Kanishka Jayasuriya (2004), Embedded Merchantilism and Open Regionalism: The Crisis of a Regional Political Project dalam Kanishka Jayasuriya, ed. (2004), Asian Regional Governance: Crisis and Change, London: Routledge, hal. 25.