BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan, dari, dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. antar profesi kesehatan (IPE) pada bulan September 2013 setelah melalui

BAB I PENDAHULUAN. bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masingmasing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Kesiapan (readiness) terhadapinteprofesional Education (IPE)

BAB 1 PENDAHULUAN. medical error antara % dari jumlah pasien dengan %. Medical

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan melibatkan sekelompok mahasiswa atau profesi kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. kerawanan terjadi kesalahan medik (medical error). Kasus kematian akibat

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan, di Amerika Serikat penyebab kematian nomer tiga pada

BAB 1 PENDAHULUAN. tradisional yang berbasis silo dimana setiap tenaga kesehatan tidak mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem pelayanan kesehatan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. menunjang kinerja setelah lepas dari institusi pendidikan (Barr, 2010)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dan tujuan atau akhir daripada gerakan atau perbuatan. Motivasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbahaya, salah satunya medical error atau kesalahnan medis. Di satu sisi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan di era global. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. serta kualitas pelayanan kesehatan (Majumdar, et al., 1998; Steinert, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terfragmentasi dan kebutuhan kesehatan masyarakat tidak terpenuhi. Tenaga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendekatan Interprofessional Collaborative Practice dalam Perawatan Pasien Katastropik

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mereka untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sejak dua dekade yang lalu (Wynia et al., 1999). Banyak hal yang

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan yang bermutu

BAB V PEMBAHASAN. A. Pembahasan keterkaitan antara kategori attachment, patient-centered

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pharmaceutical care menggeser paradigma praktik kefarmasian dari drug

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

STANDAR PRAKTIK KEPERAWATAN INDONESIA. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah aspek penting dan merupakan ujung tombak dalam

Emiliana Tarigan Staf Pengajar STIK Sint Carolus Jakarta

Kerangka Kompetensi Kepemimpinan Klinik

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA STANDAR PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dimana terjadi interaksi antara guru dengan siswa. Didalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memegang tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam kerangka

II. KAJIAN PUSTAKA. Salah satu unsur penting yang paling menentukan dalam meningkatkan kualitas

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pembelajaran IPE berbasis komunitas memberikan dampak positif dengan

PERSEPSI DOSEN STIKES AISYIYAH SURAKARTA TERHADAP INTER PROFESIONAL EDUCATION (IPE)

BAB 1 PENDAHULUAN. karakteristik tersendiri dan dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individu yang telah lama bekerja. Mereka yang telah lama bekerja akan

PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2018 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN KEDOKTERAN

BAB I PENDAHULUAN. diberikan kepada klien oleh suatu tim multi disiplin. Tim pelayanan kesehatan

2013, No Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-U

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN. 1. Telah dikembangkan model 6 langkah pembelajaran reflektif klinik yang

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN KESIAPAN MAHASISWA FKIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA MENGHADAPI INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kesimpulan hasil studi dan pengembangan model konseling aktualisasi diri

BAB 1 PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan tatanan pemberi jasa layanan kesehatan

BAB I DEFINISI BAB II A. DEFINISI

Interprofessional Education: Sebuah Ulasan Singkat. Zakka Zayd Zhullatullah Jayadisastra. Staff Kajian Medical Education and Profession (MEP) ISMKI

BAB I PENDAHULUAN. segala sesuatu yang terjadi di rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam pasal. 46 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

INTERPROFESIONAL EDUCATION DALAM PANDANGAN DOKTER GIGI. Oleh : drg Laelia Dwi Anggraini, SpKGA

BAB I PENDAHULUAN. Nasional pada pasal 1 ayat 6 yang menyatakan bahwa guru pembimbing sebagai

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN PROFESI BIDAN

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena yang terjadi saat ini menunjukan bahwa peran masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa, pada masa tersebut mahasiswa memiliki tanggung jawab terhadap masa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Yogyakarta (UMY). Semua responden adalah mahasiswa tahap klinik (coass)

BAB I PENDAHULUAN. yang memproses penyembuhan pasien agar menjadi sehat seperti sediakala.

INTEGRASI PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM PELAYANAN RUMAH SAKIT (IPKP)

B A B I P E N D A H U L U A N

SKEMA GRAND DESIGN LAM-PTKes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia bukan merupakan tugas yang

BAB II TINJAUAN TEORI

STANDAR PRAKTIK KEBIDANAN. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes

Pendidikan adalah proses pengembangan potensi manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) secara terintagrasi dan berkelanjutan untuk menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hal yang paling mendasar bagi semua orang, terlebih pada saat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pendidikan adalah proses pengembangan potensi manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) secara terintagrasi dan berkelanjutan untuk menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN orang meninggal pertahun akibat medication error. Medication error

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RS (...) NOMOR :002/RSTAB/PER-DIR/VII/2017 TENTANG PANDUAN EVALUASI STAF MEDIS DOKTER BAB I DEFINISI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. membimbing, mengajar, mengobservasi, mendorong dan memperbaiki,

BAB I PENDAHULUAN. yang dianut oleh organisasi. Ketiadaan komitmen ini mengakibatkan pelaksanaan. mempertimbangkan pada aturan yang telah ditetapkan.

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. teknologi serta nilai-nilai budaya dalam bentuk kegiatan pembelajaran, baik. formal di sekolah maupun non formal di masyarakat.

Seorang pelaku profesi harus mempunyai sifat : 1. Menguasai ilmu secara mendalam di bidangnya 2. Mampu mengkonversikan ilmu menjadi keterampilan 3.

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. sekolah dengan keefektifan sekolah di MTs Kabupaten Labuhanbatu Utara.

MENJADI KONSELOR PROFESIONAL : SUATU PENGHARAPAN Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd

BAB II LANDASAN TEORI

KISI-KISI UJI KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH/MADRASAH

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kualitas pelaksanaan pendidikan di sekolah ditentukan oleh berbagai unsur,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengelola, pendidik, dan peneliti (Asmadi, 2008). Perawat sebagai pelaksana layanan keperawatan (care provider) harus

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BLAMBANGAN KABUPATEN BANYUWANGI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu fenomena yang harus di respon oleh perawat. Respon yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebuah rekomendasi dari WHO (2010) yang bertema Framework For Action On

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Dosen 1.1 Definisi Dosen Menurut Undang-undang Nomor 14 (2005 dalam Dikti, 2010) mengenai Guru dan Dosen dijelaskan bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dosen yang profesional adalah dosen yang menjalankan tugasnya. Pada bagian kedua mengenai hak dan kewajiban pasal 60 (c), bahwa dosen berkewajiban untuk meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Hal tersebut menunjukkan bahwa dosen memiliki peran strategis dalam pengembangan pendidikan termasuk untuk mengembangkan model pembelajaran interprofesi. 2. IPE 2.1 Definisi IPE Menurut CAIPE (2002), IPE adalah dua atau lebih profesi belajar dengan, dari, dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan. IPE merupakan pendekatan proses pendidikan dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda berkolaborasi dalam proses belajar-mengajar dengan tujuan untuk membina interdisipliner/interaksi interprofesional yang meningkatkan 6

7 praktik disiplin masing-masing (ACCP, 2009). IPE terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa profesi kesehatan yang berbeda melaksanakan pembelajaran interaktif bersama dengan tujuan untuk meningkatkan kolaborasi interprofesional dan meningkatkan kesehatan atau kesejahteraan pasien. WHO (2010) menyatakan bahwa banyak sistem kesehatan di negara-negara di dunia yang sangat terfragmentasi pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan masalah kesehatan di negara itu sendiri. Hal ini kemudian disadari karena permasalahan kesehatan sebenarnya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan, dan untuk dapat memecahkan satu persatu permasalahan tersebut atau untuk meningkatkan kualitas kesehatan itu sendiri, tidak dapat dilakukan hanya dengan sistem uniprofessional. Kontribusi berbagi disiplin ilmu ternyata memberi dampak positif dalam penyelesaian berbagai masalah kesehatan. 2.2 Tujuan IPE Secara umum IPE bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk lebih mengenal peran profesi kesehatan yang lain, sehingga diharapkan mahasiswa akan mampu untuk berkolaborasi dengan baik saat proses perawatan pasien. Proses perawatan pasien secara interprofessional akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan kepuasan pasien (Tim CFHC-IPE, 2013). Menurut Cooper (2001 dalam Fauziah, 2010) tujuan pelaksanaan IPE antara lain: 1) meningkatkan pemahaman interdisipliner dan meningkatkan kerjasama; 2) membina kerjasama yang kompeten; 3) membuat penggunaan sumberdaya yang efektif dan efisien; 4) meningkatkan kualitas perawatan pasien yang komprehensif. WHO (2010) juga menekankan pentingnya penerapan kurikulum IPE dalam meningkatkan hasil perawatan pasien.

8 Gambar berikut menunjukkan bahwa IPE merupakan langkah yang sangat penting untuk dapat menciptakan kolaborasi yang efektif antar tenaga kesehatan profesional sehingga dapat meningkatkan hasil perawatan. Gambar 2.1 Sistem Pendidikan Kesehatan Gambar 2.1 memperlihatkan bagaimana IPE memegang peranan penting yaitu sebagai jembatan agar di suatu negara collaborative practice dapat dilaksanakan. IPE berdampak pada peningkatan pemahaman tentang peran, tanggung jawab, dan untuk mengarahkan siswa agar dapat berpikir kritis dan menumbuhkan sikap profesional (Yuniawan, 2013). WHO (2010) menyajikan hasil penelitian di 42 negara tentang dampak dari penerapan collaborative practice dalam dunia kesehatan. Hasil dari penelitian ternyata sangat menjanjikan bukan hanya bagi negara terkait, namun juga apabila digunakan di negara-negara lain. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa collaborative practice dapat meningkatkan 1) keterjangkauan serta koordinasi layanan kesehatan, 2) penggunaan sumber daya klinis spesifik yang sesuai, 3) outcome kesehatan bagi penyakit kronis, dan 4) pelayanan serta keselamatan

9 pasien. Disamping itu, collaborative practice dapat menurunkan 1) total komplikasi yang dialami pasien, 2) jangka waktu rawat inap, 3) ketegangan dan konflik di antara pemberi layanan (caregivers), 4) biaya rumah sakit, 5) rata-rata clinical error, dan 6) rata-rata jumlah kematian pasien. Thistlethwaite dan Monica (2010 dalam Yuniawan, 2013), proses IPE membentuk proses komunikasi, tukar pikiran, proses belajar, sampai kemudian menemukan sesuatu yang bermanfaat antar para pekerja profesi kesehatan yang berbeda dalam rangka penyelesaian suatu masalah atau untuk peningkatan kualitas kesehatan. IPE harus menjadi bagian dari partisipasi dosen dan mahasiswa terhadap sistem pendidikan tinggi ilmu kesehatan. Dosen dan mahasiswa merupakan elemen penting dalam IPE serta modal awal untuk terjadinya collaborative practice di suatu negara. Oleh karena itu, sebagai sesuatu hal yang baru, IPE haruslah pertama-tama dipahami konsep dan manfaatnya oleh para dosen yang mengajar mahasiswa agar termotivasi untuk mewujudkan IPE dalam proses pendidikannya (Yuniawan, 2013). Secara umum IPE mengandung beberapa elemen berikut, yang setidaknya harus dimiliki agar konsep pembelajaran ini dapat dilaksanakan dalam pendidikan profesi kesehatan di Indonesia yaitu kolaborasi, komunikasi yang saling menghormati, refleksi, penerapan pengetahuan dan keterampilan, dan pengalaman dalam tim interprofesional. Konsep inilah yang seharusnya ditanamkan oleh dosen kepada mahasiswa sejak awal proses pendidikan. Untuk mampu terlibat dalam IPE dalam pendidikan kesehatan di Indonesia, dosen setidaknya memahami elemen-elemen yang diperlukan dalam pelaksanaan IPE sehingga mampu membekali dirinya dengan elemen-elemen tersebut (HPEQ-Project, 2011).

10 2.3 Aplikasi Konsep Kurikulum IPE Kurikulum IPE tidak dapat dipisahkan dari bagian kolaborasi interprofesional. Interprofessional education dapat meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan terhadap praktik kolaborasi. Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, sklill, attitute dan perilaku terhadap kolaborasi interprofesi. Hal tersebut akan membuat tenaga kesehatan lebih mengutamakan bekerjasama dalam melakukan perawatan pada pasien ditunjukkan oleh gambar berikut: Gambar 2.2 Aplikasi Konsep Kurikulum IPE (ACCP, 2009) 2.4 Kompetensi IPE Proses pembelajaran IPE membutuhkan pengajar (dosen) yang memiliki kompetensi pembelajaran IPE. Freeth et al., (2005) mengungkapkan kompetensi dosen atau fasilitator IPE antara lain adalah 1) sebuah komitmen terhadap pembelajaran dan praktik interprofesional, 2) kepercayaan dalam hubungan pada

11 fokus tertentu dari pembelajaran interprofesional di mana staf pendidik berkontribusi, 3) model peran yang positif, 4) pemahaman yang dalam terhadap metode pembelajaran interaktif dan percaya diri dalam menerapkannya, 5) kepercayaan dan fleksibilitas untuk menggunakan perbedaan profesi secara kreatif dalam kelompok, 6) menghargai perbedaan dan kontribusi unik dari masing-masing anggota kelompok, 7) menyesuaikan kebutuhan individu dengan kebutuhan kelompok, dan 8) meyakinkan dan memiliki selera humor dalam menghadapi kesulitan. Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa dengan metode pembelajaran IPE adalah kemampuan untuk mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk berkolaborasi. Barr (1998) menjelaskan kompetensi kolaborasi yaitu yaitu: 1) memahami peran, tanggung jawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas, 2) bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan perawatan dan pengobatan pasien, 3) bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan, dan memantau perawatan pasien, 4) menoleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain, 5) memfasilitasi pertemuan interprofesional, dan 6) memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain. Kompetensi IPE terdiri atas empat bagian yaitu: Tabel 2.1 Kompetensi IPE (ACCP, 2009) No. Kompetensi IPE Komponen Kompetensi IPE 1. Kompetensi pengetahuan Strategi koordinasi Model berbagi tugas/pengkajian situasi Kebiasaan karakter bekerja dalam tim Pengetahuan terhadap tujuan tim Tanggung jawab tugas spesifik

12 2. Kompetensi keterampilan 3. Kompetensi sikap Pemantauan kinerja secara bersamasama Fleksibilitas/penyesuaian Dukungan/prilaku saling mendukung Kepemimpinan tim Pemecahan konflik Umpan balik Komunikasi/pertukaran informasi Orientasi tim (moral) Kemajuan bersama Berbagi pandangan/tujuan 4. Kompetensi kemampuan tim Kepaduan tim Saling percaya Orientasi bersama Kepentingan bekerja tim 2.5 Hambatan IPE Hambatan-hambatan yang mungkin muncul adalah penanggalan akademik, peraturan akademik, struktur penghargaan akademik, lahan praktek klinik, masalah komunikasi, bagian kedisiplinan, bagian profesional, evaluasi, pengembangan pengajar, sumber keuangan, jarak geografis, kekurangan pengajar interdisipliner, kepemimpinan dan dukungan administrasi, tingkat persiapan peserta didik, logistik, kekuatan pengaturan, promosi, perhatian dan penghargaan, resistensi perubahan, beasiswa, sistem penggajian, dan komitmen terhadap waktu (ACCP, 2009). Sangat penting untuk mengatasi hambatan-hambatan ini sebagai persiapan mahasiswa dan praktisi profesi kesehatan yang lebih baik demi praktik kolaborasi hingga perubahan sistem pelayanan kesehatan.

13 3. Persepsi 3.1 Definisi Persepsi Ben (2009 dalam Yuniawan, 2013) berpendapat bahwa presepsi merupakan suatu proses atau pandangan dimana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan-kesan sensorisnya dalam usahanya memberikan suatu makna tertentu dalam lingkungannya. Persepsi adalah suatu proses mengorganisasi dan menginterpretasi informasi yang diterima oleh panca indra sensori, tidak hanya melihat dan mendengar secara fisik saja namun juga terhadap maksud dari pola sebuah informasi yang didapatkan. Persepsi juga merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima pancaindra, kemudian stimulus diantar ke otak di mana ia didekode serta diartikan dan selanjutnya mengakibatkan pengalaman yang disadari (Maramis, 2006). 3.2 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Siagian (1999 dalam Tobing, 2007), secara umum terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu: 1. Diri sendiri Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual seperti sikap, motif, minat, pengalaman, dan harapan. 2. Sasaran Sasaran dapat berupa orang, benda atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran tersebut berpengaruh terhadap presepsi seseorang yang melihatnya. Hal-hal yang menentukan presepsi seseorang terhadap sasaran adalah gerakan, suara, ukuran, dan ciri-ciri seseorang.

14 3. Situasi Faktor situasi menjadi faktor ketiga yang dapat mempengaruhi seseorang terhadap persepsinya. Dalam hal ini, tinjauan terhadap persepsi dapat dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi tertentu, apabila persepsi muncul maka akan mendapat perhatian secara langsung oleh seseorang. 3.3 Persepsi pada IPE Persepsi dosen pada IPE adalah hal yang sangat berpengaruh dalam pencapaian IPE ke depan karena merupakan suatu pendekatan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan kurikulum IPE (HPEQ-Project, 2011). ACCP (2009) menyebutkan bahwa komponen persepsi pada IPE terdiri dari: 1. Pandangan: Proses individu menginterpretasikan IPE sebagai sebuah makna yang berarti. 2. Kebutuhan: Segala sesuatu yang harus dipenuhi dengan cara bekerja sama secara profesional. 3. Pemahaman: Kemampuan untuk memahami tugas antarprofesi. 4. Motivasi 4.1 Definisi Motivasi Menurut Manullang (1982 dalam Dahlia, 2010) motivasi adalah pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan. Motivasi dapat pula diartikan faktor yang mendorong orang untuk bertindak, dimana setiap perasaan atau keinginan yang sangat mempengaruhi orang, sehingga individu

15 didorong untuk bertindak. Motivasi adalah pengaruh, kekuatan yang menimbulkan kelakuan. Dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan merupakan suatu proses yang dapat menimbulkan prilaku dalam bentuk kesiapan untuk mencapai tujuan dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu. 4.2 Teori Motivasi Beberapa teori tentang motivasi yaitu: 4.2.1 Teori Kebutuhan Teori kebutuhan Maslow menurut Swansburg (2001 dalam Dahlia, 2010) terdiri dari kebutuhan fisiologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri dan aktualisasi diri. Teori ini didasari oleh asumsi bahwa manusia tidak pernah puas, artinya jika kebutuhan fisiologis terpenuhi maka individu termotivasi untuk memenuhi kebutuhan berikutnya. Begitu pula dengan kebutuhan dosen akan meningkatkan motivasinya dalam bekerja. Sehingga motivasi harus terus menerus digerakkan secara bebas, melalui rangsangan dan respon yang tidak berhenti pada satu titik pencapaian. Melalui IPE diharapkan dapat meningkatkan motivasi dosen yang lebih dinamis dan berkelanjutan. 4.2.2 Teori Harapan Teori harapan (ekspektasi) yang dikembangkan oleh Vroom (1964 dalam Erwina, 2007) menyatakan bahwa kuatnya kecendrungan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu. Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan dapat

16 memotivasi seseorang untuk menjalankan tingkat upaya yang lebih tinggi bila ia mayakini upaya untuk kinerja yang lebih baik seperti kenaikan gaji, promosi jenjang kerja, dan lain-lain. 4.2.3 Teori Keadilan Teori keadilan yang dikembangkan oleh Adam (1965 dalam Erwina, 2007) menyatakan bahwa yang menentukan kinerja seoran pegawai adalah rasa adil atau tidaknya keadaan di lingkungan kerjanya. Tingkat keadilan itu dapat diukur dengan rasio antara kerja dan upah yang diterima seorang pegawai lain dalam satu lingkungan kerja yang sama. Komponen utama teori ini terdiri dari: 1) masukan (input) yaitu sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah kerja, dan peralatan pribadi yang digunakan untuk pekerjaannya. 2) hasil (outcome), sesuatu yang dianggap bernilaioleh pegawai yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti gaji, keuntungan sampingan, simbol status, fasilitas, penghargaan, serta kemampuan untuk berhasil. 3) perbandingan antara masukan dan hasil, seseorang akan membandingkan masukan dan hasilnya dengan orang lain (Erwina, 2007). 4.3 Motivasi pada IPE Menurut Manulang (1982 dalam Dahlia, 2010), teori motivasi dibagi atas 3 bagian; teori kebutuhan, teori keadilan, dan teori harapan (ekspektasi). Berdasarkan penjelasan mengenai teori motivasi di atas, maka teori harapan (ekspektasi) baik digunakan untuk mengukur motivasi pada IPE.

17 Pada dasarnya teori harapan (ekspektasi) menyatakan bahwa kekuatan dan kecendrungan untuk bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil tertentu serta pada daya tarik hasil tersebut bagi individu. Oleh karena itu, teori ini mengemukakan tiga variabel berikut ini: 1. Daya tarik: Pentingnya individu mengharapkan outcome dan penghargaan yang mungkin dapat dicapai dalam bekerja. Variabel ini mempertimbangkan kebutuhan individu yang tidak terpuaskan. 2. Harapan: Keyakinan individu bahwa dengan menunjukkan kinerja pada tingkat tertentu aka mencapai outcome yang diinginkan. 3. Kemauan: Dorongan dari dalam diri individu untuk menggunakan sejumlah upaya tertentu akan menghasilkan kinerja (Erwina, 2007). Motivasi dosen berdasarkan teori harapan (ekpektasi) sangat diperlukan untuk kesiapan pencapaian kompetensi IPE. 5. Kesiapan 5.1 Definisi Kesiapan Kesiapan (readiness) merupakan keseluruhan sifat atau kemauan yang membuat seseorang beraksi dengan cara tertentu. Kesiapan juga diartikan sebagai keseluruhan kondisi seseorang atau individu untuk menanggapi atau mempraktekkan suatu kegiatan yang mana sikap tersebut membuat mental, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki dan dipersiapkan selama melakukan kegiatan tertentu (Yuniawan, 2013).

18 5.2 Kesiapan pada IPE Menurut Parsell dan Bligh (2009 dalam Yuniawan, 2013), kesiapan dapat dilihat dari antusiasme dosen dan keinginan dosen terhadap penerimaan sesuatu yang baru. Kesiapan dosen sangat mempengaruhi pelaksanaan IPE. Dosen yang siap dan mampu untuk menerapkan IPE adalah syarat mutlak dari penerapan IPE. Kesiapan IPE dapat dilihat dengan dua domain umum yaitu: 1) Kolaborasi, 2) peran dan tanggung jawab. Kedua domain ini saling berhubungan dalam membangun kesiapan untuk penerapan IPE. Peran dan tanggung jawab merupakan suatu hal yang penting karena hal ini menjadi ciri khas profesi yang akan membedakan dengan profesi lain. Pullon (2008 dalam Fauziah, 2010) menjelaskan peran dan tanggung jawab adalah komponen kunci dari sebuah profesionalisme yang merupakan bagian integral dari filosofi pelayanan kesehatan. Peran dan tanggung jawab harus dikembangkan seiring perkembangan zaman. Ini dapat dilakukan melalui interaksi dengan profesi lain untuk membentuk dasar pemahaman mengenai interprofesional antar tenaga kesehatan. Kerja sama dalam kolaborasi merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki mahasiswa dalam IPE. Kompetensi kolaborasi meliputi: 1) kekompakan tim, yaitu kekuatan tim yang membuat anggotanya untuk tetap setia menjadi bagian sebuah tim yang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi sebuah tim, 2) saling percaya, yaitu sebuah sikap positif dari anggota tim terhadap anggota yang lainnya, meliputi perasaan, mood dan lingkungan internal kelompok, 3) berorientasi kolektif, maksudnya sebuah keyakinan bahwa pendekatan secara tim merupakan cara yang lebih kondusif dari pendekatan secara

19 personal dalam menyelesaikan persoalan, 4) mementingkan kerja sama, yaitu sikap positif yang ditunjukkan anggota tim dengan mengacu pada bekerja sebagai tim (ACCP, 2009). Peran dosen dalam IPE diharapkan mampu membentuk peserta didik yang dapat memahami tugas dan kewenangan masing-masing profesi sehingga akan muncul tanggung jawab yang sesuai dalam penyelesaian suatu masalah. Peran dan tanggung jawab sebagai tenaga kesehatan sangat diperlukan untuk kesiapan dan pencapaian kompetensi IPE. 6. IPE dalam Konsep Berubah Pengembangan IPE di institusi pendidikan kesehatan tidak terlepas dari konsep berubah. Perubahan merupakan suatu proses di mana terjadinya peralihan atau perpindahan dari status tetap (statis) menjadi status yang bersifat dinamis. Perubahan dapat mencakup keseimbangan personal, sosial maupun organisasi untuk dapat menerapkan ide atau konsep terbaru dalam mencapai tujuan tertentu. Hidayat (2008 dalam Yuniawan, 2013) mengungkapkan bahwa seseorang yang akan berubah harus memiliki konsep tentang perubahan yang tercantum dalam tahap proses perubahan agar perubahan tersebut menjadi terarah dan mencapai tujuan yang ada. Tahapan tersebut meliputi unfreezing, moving dan refreezing. Tahap Pencairan (unfreezing) merupakan tahap awal. Pada kondisi ini mulai muncul persepsi terhadap hal yang baru. Persepsi mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus dan penterjemahan atau penafsiran stimulus yang telah terorganisir yang akhirnya mempengaruhi pembentukan sikap. Persepsi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

20 internal terdiri dari karakteristik individu, pengalaman dan pengetahuan. Sedangkan faktor eksternal yaitu stimulus dan lingkungan sosial. Sikap dapat diartikan sebagai kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon (Tobing, 2007). Sikap dosen yang positif pada IPE mendorong untuk berperilaku mendukung sistem IPE yang baru. Berikutnya merupakan tahap bergerak (moving). Pada tahap ini sudah dimulai adanya suatu pergerakan ke arah sesuatu yang baru. Tahap ini dapat terjadi apabila seseorang telah memiliki informasi yang cukup serta kesiapan untuk berubah, juga memiliki kemampuan dalam memahami masalah serta mengetahui langkah-langkah dalam menyesuaikan masalah atau hambatan dalam penerapan IPE. Akhirnya, tahap pembekuan (freezing), yaitu ketika telah tercapai tingkat atau tahapan yang baru. Proses pencapaian yang baru perlu dipertahankan dan selalu terdapat upaya mempertahankan perubahan yang telah dicapai. Tahap ini merupakan tahap terakhir dari perubahan yaitu proses penerimaan terhadap model pembelajaran terintegrasi setelah dilakukan pergerakan dan merasakan adanya manfaat dari pembelajaran IPE ini. 7. Kerangka Teori Pengembangan IPE di institusi pendidikan kesehatan tidak terlepas dari konsep berubah. Sebagai gambaran dalam mengubah sistem pendidikan yang terfragmentasi ke arah yang terintegrasi berikut ini merupakan tahap perubahan menurut Hidayat (2008 dalam Yuniawan, 2013):

21 Langkah 1 Pencairan (Unfreezing) Sistem Pembelajaran yang Terfragmentasi Presepsi Motivasi Kesiapan Langkah 2 Bergerak (Moving) Integrasi Sistem Pembelajaran Langkah 3 Pembekuan (Refreezing) Interprofessional Education 1. Memiliki informasi 2. Memiliki kemampuan 3. Mengetahui langkah menyelesaikan hambatan 1. Kompetensi dalam IPE 2. Manfaat IPE 3. Pendekatan pembelajaran IPE Gambar 2.3 Kerangka Teori