IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini yaitu catatan kadar lemak susu sapi perah FH laktasi 1

III MATERI DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitan ini menggunakan catatan produksi susu 305 hari dari

Ripitabilitas dan MPPA Sapi Perah FH di BBPTU HPT Baturraden...Deriany Novienara

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. laktasi 2 sebanyak 100 ekor, laktasi 3 sebanyak 50 ekor, dan laktasi 4 sebanyak 40

TATALAKSANA PEMELIHARAAN PEDET DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU HPT) BATURRADEN, JAWA TENGAH TUGAS AKHIR

UJI PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIEN HOLSTEIN KETURUNAN PEJANTAN IMPOR DI BBPTU-HPT BATURRADEN

MANAJEMEN USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

KATA PENGANTAR. kelancaran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul. Ripitabilitas dan MPPA Produksi Susu 305 Hari Sapi Perah Friesian

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI PRODUKSI SUSU BULANAN SAPI PERAH FRIES HOLLAND DAN KORELASINYA DENGAN PRODUKSI TOTAL SELAMA 305 HARI DI BBPTU-HPT BATURRADEN

PENDAHULUAN. dari sapi betina yang telah melahirkan. Produksi susu merupakan salah satu aspek

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan yaitu Domba Garut betina umur 9-10 bulan sebanyak

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

KEADAAN UMUM LOKASI Peternakan Kambing Perah Cordero

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang hubungan antara paritas, lingkar dada dan umur

PENDUGAAN NILAI RIPITABILITAS DAN DAYA PRODUKSI SUSU 305 HARI SAPI PERAH FRIES HOLLAND DI PT. ULTRA PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (UPBS)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah FH berasal dari Belanda bagian utara, tepatnya di Provinsi Friesland,

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

MATERI DAN METODE. Metode

RENCANA KERJA TAHUNAN BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG TAHUN 2018

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

BAB III MATERI DAN METODE. pada Ransum Sapi FH dilakukan pada tanggal 4 Juli - 21 Agustus Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009 tentang Ornagisasi dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan 24 ekor Domba Garut jantan muda umur 8 bulan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

TINJAUAN PUSTAKA. dan dikenal sebagai Holstein di Amerika dan di Eropa terkenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Statistik peternakan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa populasi

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1.

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tahun 2011 sebanyak ekor yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota.

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian berlangsung mulai tanggal 23 Juli 2011 sampai dengan 23 Agustus

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dede Upit, 2013

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan

SISTEM PEMBERIAN PAKAN DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRODUKSI SUSU SAN PERAH

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipelihara dengan tujuan menghasilkan susu. Ciri-ciri sapi FH yang baik antara

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

PENGARUH BINDER MOLASES DALAM COMPLETE CALF STARTER BENTUK PELLET TERHADAP KONSENTRASI VOLATILE FATTY ACID DARAH DAN GLUKOSA DARAH PEDET PRASAPIH

HASIL DAN PEMBAHASAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian pengaruh penambahan kolin klorida pada pakan terhadap kadar

I. PENDAHULUAN. tumbuhan tersebut. Suatu komunitas tumbuhan dikatakan mempunyai

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat populer, mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, dan mampu beradaptasi

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH LAKTASI MENGGUNAKAN STANDAR NRC 2001: STUDI KASUS PETERNAKAN DI SUKABUMI

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN Sistem Pemeliharaan Domba di UPTD BPPTD Margawati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada 4 Juli sampai dengan 21 Agustus 2016.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 03 Pebruari :23 - Update Terakhir Selasa, 17 Pebruari :58

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

MATERI DAN METODE P1U4 P1U1 P1U2 P1U3 P2U1 P2U2 P2U3 P2U4. Gambar 1. Kambing Peranaka n Etawah yang Diguna ka n dalam Penelitian

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

METODE PENELITIAN. Bahan dan Alat

METODE. Materi. Metode

MATERI DAN METODE. Materi

Transkripsi:

24 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah Direktorat Jenderal Peternakan yang bergerak di bidang pemuliaan, pemeliharaan, produksi dan pemasaran bibit sapi perah unggul dan hijauan pakan ternak. Balai ini telah mengalami perubahan nama, yaitu pada tahun 1953 awal didirikan dengan nama Induk Taman Ternak Baturraden, lalu berubah menjadi Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPTHMT) pada tahun 1978. Balai ini mengalami perubahan nama kembali pada tahun 2002 menjadi Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BPTU Sapi Perah), dan pada tahun 2003 berubah kembali menjadi Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BBPTU) Sapi Perah, dan terakhir pada tahun 2013 sesuai SK Mentan RI No. 55/- Permentan/OT.140/5/2013, BBPTU Sapi Perah berubah menjadi Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak Baturraden (BBPTU-HPT Baturraden). BBPTU-HPT Baturraden berada di sebelah utara kota Purwokerto- Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Daerah balai ini mempunyai curah hujan 7.000 8.000 mm/tahun, dengan kelembaban berkisar 60-80%. Suhu pada daerah balai yaitu 18-22 0 C. Hal ini sesuai dengan menurut pendapat Ensminger (1980), suhu lingkungan optimum untuk sapi perah yaitu berkisar 5-21 0 C dengan kelembaban yang baik untuk pemeliharaan sapi perah yaitu sebesar 60%. Hal ini

25 menunjukkan lingkungan sekitar BBPTU-HPT Baturraden merupakan lingkungan yang baik untuk pemeliharaan sapi perah. BBPTU-HPT Baturraden secara keseluruhan memiliki lahan seluas ±241,06 ha yang terdiri dari 4 area yaitu area farm Tegalsari (±34,18 ha) terletak di wilayah desa Kemutug Lor kecamatan Baturraden. Farm Tegalsari memiliki lahan Hijauan Pakan Ternak (HPT) seluas 15 ha. Farm ini juga digunakan untuk perkantoran, perumahan, kandang ternak, lahan penggembalaan, kebun rumput, pusat administrasi, dan farm produksi ternak sapi perah. Kemudian, area farm Limpakuwus terletak di wilayah desa Limpakuwus Kecamatan Sumbang (±96,79 ha). Area farm Limpakuwus memiliki lahan hijauan pakan ternak seluas 66 ha. Farm ini merupakan area farm untuk pemeliharaan sapi perah dan kambing perah PE dan saanen. Area farm Manggala terletak di wilayah desa Karangtengah kecamatan Cilongok kecamatan Pekuncen (100 ha). Area ini memiliki lahan HPT seluas 16 ha. Farm Manggala digunakan untuk pengembangan pemeliharaan ternak dengan Rearing System yang merupakan konsep dari animal welfare. Terakhir, area farm Munggangsari terletak di desa Karangsalam kecamatan Baturraden (±10,09 ha) yang digunakan untuk perumahan dinas, dan pusat pelatihan. Populasi sapi perah di seluruh farm yaitu sebanyak 1.400 ekor, namun penelitian dilakukan hanya pada farm Tegalsari, yang mempunyai total populasi sapi perah sebanyak 439 ekor. Farm Tegalsari mempunyai beberapa kandang yang mempunyai populasi ternak yang berbeda-beda. Populasi ternak sapi perah per kandang di farm Tegalsari dapat dilihat pada Tabel 3. Populasi sapi perah di BBPTU-HPT Baturraden yaitu terdiri dari sapi impor yang berasal dari Australia dan New Zealand. Balai ini melakukan impor sapi perah dengan tujuan untuk menghasilkan bibit sapi perah unggul, sesuai dengan visi dari

26 BBPTU-HPT Baturraden yaitu menghasilkan bibit ternak yang berkualitas, berdaya saing, dan berkelanjutan. Tabel 3. Populasi Sapi Perah di farm Tegalsari No Kandang Jumlah (ekor) 1 A 37 2 B 40 3 C 28 4 D 26 5 E 25 6 E1 42 7 E2 33 8 F 19 9 G 10 10 Freestall Utara 50 11 Freestall Selatan 41 12 I 21 13 J 42 14 Isolasi 3 15 Penggembalaan 19 16 Edu 3 Total 439 Sumber: BBPTU-HPT Baturraden (2018) Pemberian pakan yang diberikan pada sapi perah di BBPTU-HPT Baturraden yaitu dengan memberikan hijauan segar, legume, dan hijauan fermentasi (silase), dengan pemberian yang dilakukan pada pagi dan sore hari. Hijauan segar yang digunakan sebagai bahan pakan di farm ini yaitu rumput raja (Pennisetum purpuphoides), rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang dilayukan terlebih dahulu semalaman dengan tujuan untuk mengurangi kadar air yang terkandung pada hijauan. Jenis-jenis legume yang digunakan sebagai bahan pakan di farm ini yaitu indigofera, gamal (Gliricidia sepium), dan kaliandra (Calliandra haematocephala). Pemberian pakan juga dilengkapi dengan pemberian konsentrat. Konsentrat merupakan pakan penguat yang mengandung serat kasar relatif rendah dan mudah

27 dicerna. Bahan pakan ini biasanya didapatkan dari pencampuran beberapa macam bahan baku, seperti pada farm Tegalsari konsentrat didapatkan dari pencampuran bungkil kelapa, bungkil kedelai, pollard, onggok, tepung jagung, mineral, CGF dan CGM. Farm Tegalsari memiliki beberapa kandang yang dibedakan atas status fisiologis ternak, yang terdiri dari kandang A, B, C, D, E, E1, E2, F, G, Freestall Utara, Freestall Selatan, I,,J. Pemberian pakan setiap kandang berbeda, tergantung populasi, dan tergantung status ternak tersebut. Sapi betina laktasi ditempatkan pada kandang A dan B. Pemberian pakan antar kandangnya pun berbeda, sesuai dengan populasi dan produksi susu. Kandang A dengan produksi susu rata-rata 25 kilogram, sedangkan kandang B dengan produksi susu rata-rata 15 kilogram. Formulasi pakan tiap kandang tidak tetap, selalu berubah-ubah setiap minggu disesuaikan dengan perubahan jumlah populasi ternak tiap kandang dan pada kandang sapi laktasi disesuaikan dengan perubahan produksi susunya. Formulasi pakan yang diberikan di farm Tegalsari dapat dilihat di Lampiran 1. 4.2 Deskripsi Data Kadar Lemak Data kadar lemak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kadar lemak susu sapi perah FH laktasi 1 dan 2 tahun 2016-2017. Jumlah catatan yang diperoleh yaitu sebanyak 568 dan 591 catatan yang berasal dari 97 dan 95 ekor sapi perah pada laktasi 1 dan 2. Data yang telah didapatkan kemudian ditabulasi. Hasil tabulasi data kemudian dianalisis untuk memperoleh deskripsi data per periode laktasi. Deskripsi data kadar lemak periode laktasi 1 dan 2 pemerahan pagi dan sore disajikan pada Tabel 4 dan 5.

28 Tabel 4. Deskripsi Data Kadar Lemak Susu Periode Laktasi 1 No. Deskripsi data Kadar Lemak Susu Pagi Sore 97 4,09 1. 2. Jumlah Sapi (ekor) Rata-rata (%) 97 3,69 3. Minimum (%) 1,65 2,05 4. Maksimum (%) 5,81 6,29 5. Standar Deviasi 0,70 0,77 6. Koefisien Variasi (%) 19,03 18,82 Tabel 5. Deskripsi Data Kadar Lemak Susu Periode Laktasi 2 No. Deskripsi data Kadar Lemak Susu Pagi Sore 95 4,18 1. 2. Jumlah sapi (ekor) Rata-rata (%) 95 3,66 3. Minimum (%) 1,29 2,17 4. Maksimum (%) 5,97 6,21 5. Standar Deviasi 0,82 0,78 6. Koefisien Variasi (%) 22,25 18,61 Deskripsi data kadar lemak laktasi 1 pada Tabel 4 menunjukkan rata-rata kadar lemak pada pemerahan pagi dan sore yaitu sebesar 3,69% dan 4,09%, sedangkan kadar lemak pada pemerahan pagi dan sore laktasi 2 pada Tabel 5. menunjukkan rata-rata 3,66 dan 4,18 pada pemerahan pagi dan sore. Hal ini menunjukkan nilai kadar lemak laktasi 1 dan 2 pada BBPTU-HPT Baturraden sesuai dengan menurut pendapat Makin (2011), bahwa kadar lemak susu sapi FH mempunyai rata-rata 3,5% dengan kisaran 2,5% - 4,3%. Jika ditinjau dari nilai ratarata kadar lemak pada Tabel 4 dan Tabel 5, rata-rata kadar lemak pada pemerahan sore lebih besar dari pemerahan pagi. Hal ini sesuai dengan menurut pendapat Muchtadi dan Sugiono (1992), salah satu faktor yang mempengaruhi kadar lemak susu yaitu waktu pemerahan, kadar lemak susu pada pemerahan sore lebih besar dari pemerahan pagi. Hal tersebut juga dimungkinkan menurut pendapat Soeharsono (2008) karena lemak merupakan simpanan energi, sehingga rendahnya

29 kadar lemak hasil pemerahan pada pagi hari digunakan untuk biosintesis susu pada sore hari. Selanjutnya, nilai minimum dan maksimum yang didapatkan dari hasil analisis deskriptif pada laktasi 1 dan 2 dapat dilihat di Tabel 4 dan 5. Kadar lemak laktasi 1 pemerahan pagi pada Tabel 4 mempunyai rentang 1,65% 5,81%, sedangkan pemerahan sore mempunyai rentang 2,05% 6,29%. Kadar lemak laktasi 2 pemerahan pagi pada Tabel 5 mempunyai rentang 1,29% 5,97%, sedangkan pemerahan sore mempunyai rentang 2,17% 6,21%. Jika ditinjau dari nilai minimum kadar lemak laktasi 1 dan 2 di BBPTU-HPT Baturraden, kadar lemak susu mempunyai nilai yang lebih rendah dari pendapat Makin (2011) yang menyatakan bahwa nilai minimum kadar lemak susu sapi FH yaitu sebesar 2,5%. Selanjutnya, jika ditinjau dari nilai maksimum kadar lemak laktasi 1 dan 2 di BBPTU-HPT Baturraden, tergolong lebih tinggi dari nilai maksimal kadar lemak yang dinyatakan oleh Makin (2011) yaitu sebesar 4,3%. Hal ini dapat disebabkan karena faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang erat dengan kandungan lemak pada susu sapi, yaitu pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Muchtadi dan Sugiono (1992), salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai kadar lemak susu yaitu pakan. Pakan yang mengandung serat kasar tinggi dapat meningkatkan kadar lemak susu yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Tanuwiria dkk. (2008), bahwa kadar lemak susu dipengaruhi oleh serat kasar dan hasil metabolismenya yaitu berupa asam asetat. Bahan pakan yang mengandung serat kasar tinggi akan menghasilkan asam asetat yang merupakan prekursor sintesis lemak susu di ambing. Salah satu bahan pakan yang mengandung serat kasar tinggi yaitu hijauan. Imbangan antara pemberian hijauan dan konsentrat pada sapi perah laktasi mempengaruhi kadar

30 lemak yang akan dihasilkan. Rasio pemberian hijauan dan konsentrat pada farm Tegalsari BBPTU-HPT Baturraden yaitu 60:40, sesuai dengan pendapat Mc Cullough (1973) bahwa kadar lemak susu di atas 3,5% dapat diperoleh dengan rasio 60 hijauan: 40 konsentrat, namun di farm Tegalsari imbangan hijauan dengan konsentrat dapat berubah sewaktu-waktu mengikuti produksi susu yang dihasilkan oleh ternak. Nilai maksimum kadar lemak yang dihasilkan pada laktasi 1 dan 2, kadar lemak sangat tinggi mencapai lebih dari 4,3%, yakni nilai maksimum kadar lemak menurut Makin (2011). Hal ini disebabkan karena imbangan pemberian hijauan yang kurang baik, yaitu pemberian hijauan yang terlalu tinggi, sehingga menyebabkan kadar lemak yang terlalu tinggi dan juga dapat berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan rendah, karena korelasi antara produksi susu dengan kadar lemak negatif. Deskripsi data selanjutnya yaitu menghitung standar deviasi atau juga dikenal dengan simpangan baku. Standar deviasi merupakan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur jumlah variasi atau sebaran sejumlah data. Semakin rendah standar deviasi, maka semakin mendekati rata-rata, sedangkan jika nilai standar deviasi semakin tinggi maka semakin lebar rentang variasi datanya. Nilai standar deviasi laktasi 1 pemerahan pagi dan sore yaitu sebesar 0,70 dan 0,77, sedangkan nilai standar deviasi laktasi 2 pemerahan pagi dan sore yaitu sebesar 0,82 dan 0,78. Dilanjutkan dengan perhitungan koefisien variasi yang merupakan perbandingan antara standar deviasi/simpangan baku dengan nilai rata-rata yang dinyatakan dengan persentase. Jika koefisien variasi semakin kecil maka datanya semakin homogen, begitu juga sebaliknya. Nilai koefisien variasi kadar lemak laktasi 1 pemerahan pagi dan sore dapat dilihat pada Tabel 4 yaitu sebesar 19,03%

31 dan 18,82%, sedangkan nilai koefisien variasi kadar lemak laktasi 2 pemerahan pagi dan sore dapat dilihat pada Tabel 5 yaitu sebesar 22,25% dan 18,61%. Hal ini menunjukkan data kadar lemak susu pada laktasi 2 pemerahan pagi lebih heterogen jika dibandingkan dengan laktasi 1 pemerahan pagi. Begitu juga dengan kadar lemak susu pada laktasi 2 pemerahan sore lebih homogen dari laktasi 1 pemerahan sore. Nilai koefisien variasi yang dihasilkan cukup besar, hal ini menandakan bahwa dari 97 dan 95 ekor sapi yang diteliti variasinya cukup tinggi sehingga efektif untuk dilakukan seleksi. Koefisien variasi yang tinggi pada kadar lemak ini disebabkan karena kadar lemak yang dihasilkan pada susu sapi cenderung fluktuatif. Kadar lemak yang cenderung fluktuatif dapat disebabkan karena faktor jenjang laktasi, yang berarti sapi perah yang baru beranak akan mempunyai kadar lemak susu yang tinggi, namun dengan bertambahnya masa laktasi sekitar 6 8 minggu, kadar lemak akan mengalami penurunan dan akan meningkat kembali saat masa akhir laktasi (Basya, 1983). Kadar lemak yang fluktuatif juga dapat disebabkan oleh faktor interval pemerahan, yakni sapi perah yang diperah dua kali sehari dengan interval pemerahan yang sama, dapat merubah kadar lemak susu yang dihasilkan. Menurut Basya (1983), kadar lemak susu akan lebih tinggi pada interval pemerahan yang lebih singkat. Pemerahan yang dilakukan di farm Tegalsari BBPTU-HPT Baturraden, yaitu pukul 05.00 dilakukan pemerahan pagi dan 15.30 dilakukan pemerahan sore, yang artinya kadar lemak susu akan lebih tinggi pada pemerahan sore. 4.3. Pendugaan Nilai Ripitabilitas Ripitabilitas merupakan suatu pengukuran kesamaan suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama selama hidupnya. Ripitabilitas atau angka pengulangan ini dapat didefinisikan sebagai korelasi fenotip antara performan yang

32 sekarang dengan performan selanjutnya di masa yang akan datang. Nilai ripitabilitas akan berada di kisaran 0 sampai 1. Jika nilai ripitabilitas mendekati 1 maka kemampuan ternak untuk mengulangi sifat kadar lemak susu pada periode laktasi berikutnya akan tinggi, dan begitu juga sebaliknya. Nilai ripitabilitas pada penelitian ini didapatkan dari pendugaan ragam antara individu dan dalam individu yang dianalisis dengan perhitungan tabel sidik ragam atau ANOVA, dengan menggunakan SPSS. Tabel. 6. Hasil Perhitungan Ripitabilitas dan Standard Error Kadar Lemak Laktasi 1 dan 2 Pemerahan Laktasi 1 Laktasi 2 Pagi 0,196 ± 0,030 0,236 ± 0,029 Sore 0,187 ± 0,030 0,074 ± 0,028 Hasil analisis data diperoleh dugaan nilai ripitabilitas dan standard error dapat dilihat pada Tabel 6, bahwa kadar lemak susu laktasi 1 pemerahan pagi dan sore yang didapat dari 97 ekor sapi yaitu sebesar 0,196 ± 0,030 dan 0,187 ± 0,030. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 19,6% dan 18,7% kadar lemak susu pada laktasi 1 dapat diulang pada periode laktasi berikutnya, sedangkan dugaan nilai ripitabilitas dan standard error kadar lemak susu laktasi 2 pemerahan pagi dan sore yang didapat dari 95 ekor sapi yaitu sebesar 0,236 ± 0,029 dan 0,074 ± 0,028. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 23,6% dan 7,4% kadar lemak susu pada laktasi 2 dapat diulang pada periode laktasi berikutnya. Jika ditinjau dari hasil analisis tersebut, dapat diketahui dugaan nilai ripitabilitas kadar lemak susu pada laktasi 1 pemerahan pagi dan sore termasuk rendah, sedangkan dugaan nilai ripitabilitas kadar lemak susu pada laktasi 2 pemerahan pagi dan sore termasuk sedang dan rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noor (2010), bahwa dugaan nilai ripitabilitas dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah (0,0-0,2), sedang (0,2-0,4), dan tinggi (< 0,4). Nilai ripitabilitas pada penelitian ini cenderung jauh

33 lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai ripitabilitas kadar lemak susu yang merupakan hasil penelitian sebelumnya. Menurut penelitian Dianayanti (2004) di BBPTU-HPT Baturraden, nilai ripitabilitas kadar lemak yaitu sebesar 0,65, yang jika dibandingkan dengan pernyataan Noor (2010) tergolong tinggi. Young, dkk. (1979) mendapatkan nilai dugaan ripitabilitas kadar lemak sebesar 0,44 di Department of Animal Science of Minnesota, St. Paul. Pereira, dkk. (2000) mendapatkan nilai dugaan ripitabilitas kadar lemak sebesar 0,52 di National Livestock Breeding Center Japan. Erfani, dkk. (2015) mendapatkan nilai dugaan ripitabilitas kadar lemak sebesar 0,18 di Irania East-Azerbaijan Holstein Iran. Nilai dugaan ripitabilitas kadar lemak susu pada penelitian ini cenderung lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang sudah dilakukan, kecuali pada penelitian Erfani, dkk. (2015) yang hasil dugaan nilai ripitabilitasnya juga rendah. Terdapatnya perbedaan nilai ripitabilitas yang didapatkan pada kadar lemak susu sapi perah FH dari hasil penelitian ini dengan nilai ripitabilitas hasil penelitian lain disebabkan karena perbedaan jumlah ternak yang dianalisis, perbedaan jumlah catatan, metode pencatatan kadar lemak, kondisi lingkungan peternakan yang berbeda, perbedaan metode perhitungan yang digunakan, serta tempat dan waktu penelitian yang berbeda. Nilai ripitabilitas yang lebih rendah daripada penelitian sebelumnya diduga disebabkan karena rendahnya keragaman genetik dan keragaman lingkungan permanen, sehingga menyebabkan tingginya keragaman lingkungan temporer. Nilai ripitabilitas yang rendah, menunjukkan kemampuan ternak tersebut dalam mengulangi kadar lemak susu di masa yang akan datang lebih rendah. Jika nilai ripitabilitas sedang, kemampuan ternak tersebut dalam mengulangi kadar lemak susu di masa yang akan datang yaitu sedang. Nilai ripitabilitas yang

34 didapatkan dapat digunakan untuk menduga perfoman ternak pada periode laktasi berikutnya, dan pemilihan ternak atau dikenal dengan seleksi setelah diperoleh hasil pendugaan kemampuan produksi pada periode sebelumnya (Kurnianto, 2009). 4.4 Pendugaan Nilai MPPA Kadar Lemak Susu Pendugaan kemampuan ternak dalam menghasilkan kadar lemak atau MPPA yaitu suatu pendugaan secara maksimum dari kemampuan berproduksinya, yang diduga dari performa yang telah ada. Pendugaan nilai MPPA ternak dilakukan setelah didapat nilai ripitabilitas. Perhitungan MPPA dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel. MPPA didapatkan setelah diketahui ripitabilitas, rata-rata kadar lemak yang dihasilkan tiap ternak, dan rata-rata kadar lemak seluruh ternak hasil screening. Hasil pendugaan nilai MPPA dapat dilihat di Lampiran 11, 12, 13 dan 14. Hasil analisis perhitungan MPPA laktasi 1 pada pemerahan pagi dan sore berkisar -0,75% - 0,74% dan -0,61% - 0,90%. Nilai positif dan negatif yang dihasilkan dari perhitungan menunjukkan bahwa nilai positif menandakan ternak tersebut memiliki nilai MPPA di atas rata-rata, sedangkan nilai negatif menandakan ternak tersebut memiliki nilai MPPA di bawah rata-rata. Nilai positif dan negatif yang dihasilkan dari perhitungan dapat memudahkan proses seleksi. Selanjutnya, hasil analisis perhitungan MPPA laktasi 2 pada pemerahan pagi dan sore yaitu berkisar -0,83% - 0,59% dan -0,37% - 0,48%. Hasil yang didapatkan serupa dengan hasil yang didapatkan dari perhitungan MPPA pada laktasi 1, nilai positif dan negatif yang dihasilkan dari perhitungan menunjukkan bahwa nilai positif menandakan ternak tersebut memiliki nilai MPPA di atas rata-rata, sedangkan nilai negatif menandakan ternak tersebut memiliki nilai MPPA di bawah rata-rata.

35 Perhitungan MPPA yang dilakukan pada 97 ekor sapi perah laktasi 1 pada pemerahan pagi dan sore, terdapat 45 dan 47 ekor sapi perah yang mempunyai nilai MPPA di atas rata-rata, sedangkan 52 dan 50 ekor sapi perah yang memiliki nilai MPPA di bawah rata-rata. Sementara, hasil perhitungan MPPA yang dilakukan pada 95 ekor sapi perah laktasi 2 pada pemerahan pagi dan sore terdapat 46 dan 67 ekor sapi perah yang mempunyai nilai MPPA di atas rata-rata, sedangkan 49 dan 28 ekor sapi perah yang memiliki nilai MPPA di bawah rata-rata. Penelitian yang dilakukan oleh Dianayanti (2004) di BBPTU-HPT Baturraden, terdapat 50 ekor yang memilki nilai MPPA diatas rata-rata dan sebanyak 57 ekor memiliki nilai MPPA di bawah rata-rata. Jika dibandingkan dengan hasil analisis pada penelitian ini, jumlah ternak yang memiliki nilai MPPA di atas rata-rata lebih rendah dari hasil penelitian Dianayanti (2004), kecuali pada hasil analisis MPPA pada laktasi 2 pemerahan sore, ternak yang memiliki nilai MPPA di atas rata-rata lebih besar dari hasil penelitian Dianayanti (2004) yakni sebanyak 67 ekor. Berikut 10 ekor sapi perah yang memiliki peringkat nilai MPPA tertinggi per laktasi dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Tabel 7. Nilai MPPA Kadar Lemak Susu 10 Ekor Tertinggi Laktasi 1 ID MPPA (Pemerahan Pagi)...%... ID 5105-13 1963-11 5099-13 0947-13 0991-13 5114-13 5113-13 2080-12 0907-13 2110-13 0,74 0,63 0,57 0,55 0,51 0,50 0,49 0,47 0,46 0,45 5128-13 0991-13 2108-13 1963-11 2080-12 5408-14 0907-13 5142-13 0873-13 5113-13 MPPA (Pemerahan Sore)...%... 0,90 0,78 0,71 0,58 0,53 0,50 0,49 0,47 0,44 0,42

36 Tabel 8. Nilai MPPA Kadar Lemak Susu 10 Ekor Tertinggi Laktasi 2 ID MPPA (Pemerahan Pagi)...%... ID 0818-12 2053-12 0900-13 1992-11 1993-11 0772-12 5039-13 5027-13 5105-13 0804-12 0,59 0,54 0,51 0,49 0,47 0,45 0,45 0,42 0,39 0,35 2050-12 3641-10 0804-12 1992-11 0900-13 2169-13 5139-13 1993-11 2073-12 2053-12 MPPA (Pemerahan Sore)...%... 0,48 0,33 0,32 0,32 0,31 0,28 0,27 0,27 0,27 0,26 Berdasarkan hasil pada Tabel 7, sapi dengan ID 5105-13 dan 5128-13 berada pada peringkat pertama nilai MPPA pemerahan pagi dan sore pada laktasi 1, artinya ternak tersebut memiliki performa yang paling baik jika dibandingkan dengan ternak yang lain. Sementara, berdasarkan hasil pada Tabel 8, sapi dengan ID 0818-12 dan 2050-12 berada pada peringkat pertama nilai MPPA pemerahan pagi dan sore pada laktasi 2, artinya ternak tersebut memiliki performa yang paling baik jika dibandingkan dengan ternak yang lain. Dilakukan pengurutan sapi berdasarkan nilai MPPA sangat bermanfaat sesuai dengan pendapat Mc Dowell (1987) yang menyatakan pengurutan nilai MPPA sapi dapat mengefektifkan dalam penentuan pilihan sapi perah yang akan terus dijadikan bibit dan dikeluarkan dari suatu peternakan. Jika ditinjau dari 4 hasil perhitungan MPPA, nilai ripitabilitas tertinggi berada pada laktasi 2 pemerahan pagi yakni sebesar 0,236 ± 0,029 yang artinya diduga 23,6% kemampuan ternak dalam memproduksi kadar lemak pada saat itu dapat diulang di periode laktasi berikutnya, sehingga hasil analisis MPPA kadar lemak laktasi 2 pemerahan pagi paling baik untuk dipertimbangkan dalam kegiatan seleksi. Nilai MPPA bersifat relatif dan hanya berlaku di lingkungan tempat ternak tersebut berada yaitu di BBPTU-HPT Baturraden.