BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

dokumen-dokumen yang mirip
Studi Deskriptif mengenai Coping Stress pada Ibu yang Memiliki Anak dengan Autism Sebuah Penelitian di Sekolah X Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Stres merupakan kata yang sering muncul dalam pembicaraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas tinggi. Perkembangan masyarakat dengan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang untuk dapat beraktivitas dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan. pembangunan pada berbagai bidang. Dalam melaksanakan pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB I. Indonesia terdiri dari beberapa pulau yang tersebar begitu luas dimana

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit yang mematikan dan

BAB I PENDAHULUAN. pada pembangunan di sektor ekonomi. Agar dapat bersaing antar bangsa, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. maupun eksternal. Secara internal, kedaulatan NKRI dinyatakan dengan keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi seperti sekarang ini, kedaulatan Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia yang memiliki luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan. Penyakit-penyakit kronis tersebut, di antaranya: kanker,

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia saat ini telah memasuki era reformasi yang

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil. Usia anak pada saat didiagnosis memiliki epilepsi berbeda-beda.

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB III METODE PENELITIAN. Bab ini berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan penelitian. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal yang umumnya

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. alam dan memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Oleh karena itu penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kebahagiaan seperti misalnya dalam keluarga tersebut terjadi

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

STRATEGI KOPING PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI

Abstrak. Kata kunci:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. mempertaruhkan waktu dan tenaganya untuk mengumpulkan pundi-pundi uang.

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

L1. Aktivis Gereja. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Kata Kunci:, problem focused coping, emotional focused coping, SECAPA-AD. i Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya perusahaan yang terancam mengalami kebangkrutan karena tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA (IPD)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipilih oleh calon mahasiswa dengan berbagai pertimbangan, misalnya dari

Lampiran 1 : Data Penunjang dan Kuesioner Strategi Penanggulangan Stres. Kuesioner Strategi Penanggulangan Stres

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu di dunia ini melewati fase-fase perkembangan dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB III METODE PENELITIAN. dihimpun hanya berdasarkan stres dan strategi penanggulangan stres pada

BAB I PENDAHULUAN. kalanya masalah tersebut berbuntut pada stress. Dalam kamus psikologi (Chaplin,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

GAMBARAN COPING STRESS PADA WANITA MADYA DALAM MENGHADAPI PRAMENOPAUSE SKRIPSI HILMAYANI NASUTION

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. gunakan dalam menghadapi situasi stressfull (dalam Smet, 1994).

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN PENGGUNAAN STRATEGI COPING PADA MAHASISWA YANG SEDANG MENYUSUN SKRIPSI DI JURUSAN BK ANGKATAN 2008 FIP UNJ

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu

BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

Peran Psikolog Dalam Meningkatkan Coping Strategy dan Adaptational Outcomes Pada Ibu Yang Memiliki Anak Autis

BAB I PENDAHULUAN. masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi AS adalah yang terbesar di dunia. Dampak bagi Indonesia, untuk beberapa

COPING STRESS PADA WANITA YANG MENGALAMI KEMATIAN PASANGAN HIDUP. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB IV LAPORAN PENELITIAN

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress/Coping Stress MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus dihadapi

STRATEGI COPING ORANG TUA MENGHADAPI ANAK AUTIS

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB II KAJIAN TEORI. Mahasiswa adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Prestasi Akademik dalam Layanan Bimbingan Belajar. Pengertian bimbingan menurut Crow dan Crow (Prayitno, 2004) adalah

ABSTRAK Lazarus Folkman

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menunjukkan hardiness dan sesuai dengan aspek-aspek yang ada pada hardiness.

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan, sehingga menjadi orang yang terdidik. dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Di negara kita ini pendidikan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

STRATEGI KOPING PADA ORANG YANG MEMILIKI INDERA KEENAM (COPING STRATEGIES OF PEOPLE WHO HAVE SIXTH SENSE)

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BABI PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

STUDI KASUS GAMBARAN COPING STRES PADA MAHASISWI PEKERJA SEKS KOMERSIAL

BAB I PENDAHULUAN. dengan keluarga utuh serta mendapatkan kasih sayang serta bimbingan dari orang tua.

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seorang wanita dalam kehidupan berkeluarga memiliki peran sebagai seorang istri dan sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang mempunyai banyak peran, peran sebagai seorang istri dari suaminya, sebagai ibu dari anak anaknya, dan sebagai seorang yang melahirkan menyusui dan merawat anak anaknya, menyediakan makanan untuk anggota keluarganya dan terkadang bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. (Santoso, 2009). Beban tantangan dalam mengurus dan mendidik anak akan bertambah ketika anak memiliki gangguan dalam perkembangannya, atau memiliki kebutuhan khusus. Salah satu bentuk dari gangguan perkembangan pada anak adalah autism. Hingga saat ini, para ilmuwan masih memperdebatkan apa penyebab dari autism. Ada berbagai pandangan mengenai penyebab autism, di antaranya adalah faktor keturunan atau genetik dan faktor gizi ibu saat hamil. Pengetahuan mengenai penyebab autism ini menjadi salah satu hal yang menjadi tekanan bagi ibu, karena ibu merasa bersalah dan bertanggung jawab telah melahirkan anak dengan gangguan perkembangan. Ibu juga dihadapkan pada beberapa permasalahan seperti besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk biaya pengobatan dan terapi anak, lamanya proses pengobatan dan terapi, dan pandangan sosial terhadap anak dengan autism yang masih cenderung negatif atau dipandang abnormal (Sari et. al. 2010). Anak dengan autism mengalami hambatan dalam kemampuan komunikasi dan perkembangan emosinya, sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda dari anak yang tidak mengalami gangguan perkembangan. Anak dengan autism tidak mampu mengkomunikasikan kebutuhannya kepada ibu sehingga sering mengamuk atau tantrum. 1

2 Hasil penelitian kepada sekelompok ibu yang memiliki anak dengan autism menunjukkan level stress yang lebih tinggi daripada kelompok ibu yang memiliki anak dengan gangguan yang lain (Bouma and Schweitzer 1990; Dabrowska and Pisula 2010; Eisenhower et al. 2005; Estes et al. 2009; Montes and Halterman 2007, dalam Seymour, et. al. 2012), seperti ganggungan perkembangan bahasa dan gangguan perkembangan motorik. Sebagai contoh, Estes et al. (2009, dalam Seymour, et. al. 2012) menemukan bahwa ibu yang memiliki anak dengan autism memiliki derajat stress yang lebih tinggi secara signifikan daripada ibu yang memiliki anak dengan keterlambatan perkembangan. Penjelasan yang memungkinkan bagi penemuan penemuan ini terkait dengan lebih tingginya derajat perilaku bermasalah (seperti hiperaktifitas dan agresi) yang terlihat pada anak dengan autism dibandingkan dengan anak dengan atau tanpa gangguan perkembangan lain (Eisenhower et al. 2005; Estes et al. 2009, dalam Seymour, et. al. 2012). Masalah perilaku pada anak dengan autism telah diasosiasikan dengan derajat maternal stress yang tinggi (Davis dan Carter 2008; Hastings dan Johnson 2001; Lecavalier et al. 2006; Rao dan Beidel 2009; Tomanik et al. 2004, dalam Seymour, et. al. 2012). Tehee et al. (2009) dalam Pisula (2011) menemukan bahwa ibu secara signifikan lebih stress daripada ayah. Seperti yang dipaparkan Moes et al. (1992) dalam Pisula (2011), ibu lebih stress dalam empat area: masalah parenting, kemandirian anak, perilaku, dan perkembangan fisik. Penemuan lain menyatakan bahwa stress pada ibu saling berhubungan dengan kemampuan sosial anak, sedangkan hubungan tersebut tidak ditemukan pada ayah (Baker-ericzen et al., 2005 dalam Pisula, 2011). Hastings (2003) dalam Pisula (2011) menunjukkan bahwa derajat stress pada ibu berhubungan dengan masalah perilaku anak dan kondisi kesehatan mental ayah, sedangkan stress pada ayah tidak berhubungan baik dengan perilaku anak maupun kondisi kesehatan mental ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu memiliki derajat stress lebih tinggi dan lebih luas daripada ayah (Pisula, 2011).

3 Pada penelitian ini, peneliti melakukan survey di sekolah X. Sekolah X merupakan sekolah yang khusus menerima anak anak dengan autism. Sekolah X menerima murid dari jenjang TK hingga SMA. Siswa di sekolah X berkisar antara 6 17 tahun. Di sekolah ini ada tahap persiapan sebelum anak mengikuti kegiatan belajar secara rutin, yang berlangsung selama 1 2 tahun. Selama tahap persiapan, anak dengan autism mendapat terapi yang membantu anak untuk mampu mengikuti kegiatan belajar kelak. Terapi yang diberikan disesuaikan dengan usia dan kebutuhan anak. Sebagai contoh, anak masuk sekolah tersebut pada usia 3 tahun. Dalam waktu yang ditentukan selama pemberian terapi menunjukkan hasil yang positif, maka dari itu, anak tersebut dapat disarankan untuk masuk kelas sesuai jenjangnya. Terapi yang dilakukan diberi batasan waktu sekitar 1 2 tahun. Apabila lewat dari waktu yang telah ditentukan dan anak belum mampu untuk beradaptasi, bersama orang tua, guru menentukan apakah anak diberi pendampingan khusus selama sekolah atau orang tua fokus pada terapi anak. Visi dan misi sekolah X adalah untuk membimbing anak anak dengan autism sehingga mereka mampu terjun ke masyarakat sebagai individu yang lebih mandiri dengan menggali bakat dan minat anak. Peneliti melakukan wawancara terhadap empat orang ibu yang memiliki anak autism di sekolah X. Keempat ibu mengatakan kaget ketika mengetahui bahwa anak mereka mengalami gangguan perkembangan autism. Mereka kebingungan menghadapi anak mereka jika sedang tantrum, karena tidak dapat memahami apa yang diinginkan anak saat itu. Mereka juga mengatakan kesulitan berkomunikasi dengan anak. Dua orang ibu jadi lebih sering menangis karena bingung menghadapi anak dan khawatir dengan masa depan anak. Dua ibu yang lain mengatakan jadi jarang keluar rumah karena malu dan sedih menghadapi omongan tetangga mengenai anaknya. Dari hasil wawancara ke empat orang ibu tersebut, terlihat bahwa ibu yang memiliki anak dengan autism mengalami stress. Menurut Lazarus dan Folkman, stress terjadi ketika

4 terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dan tuntutan dalam diri dengan sumber daya yang dimiliki individu. Hastings (2002 dalam Seymour, et. al. 2012) meneliti hubungan antara perilaku bermasalah anak yang memiliki gangguan perkembangan dengan derajat stress pada ibu. Perilaku bermasalah anak berhubungan dengan meningkatnya derajat stress ibu. Untuk mengatasi stress, ibu menggunakan coping stress. Coping stress dapat diartikan sebagai usaha untuk mengubah tingkah laku dan kognitif secara konstan untuk mengatur tuntutan tuntutan internal atau eksternal yang spesifik yang dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya yang dimiliki individu (Lazarus & Folkman, 1984). Terdapat dua bentuk coping stress yang dikemukakan Lazarus. Bentuk coping yang pertama adalah problem focused coping, individu menggunakan strategi kognitif dalam mengatasi stress dan mencoba untuk menyelesaikannya. Problem focused coping terdiri dari planful problem solving dan confrontative coping. Bentuk coping yang kedua adalah emotional focused coping, di mana individu berespon terhadap stress secara emosional, terutama menggunakan penilaian defensive (pertahanan) Emotional focused coping terdiri dari distancing, escape avoidance, self control, seeking social support, accepting responsilibity, dan positive reappraisal. Dari wawancara peneliti, diperoleh hasil bahwa tiga ibu secara aktif mencari informasi kepada pihak sekolah mengenai kondisi anak mereka. Mereka berusaha mengenali kebiasaan perilaku anak, apa yang membuat anak mengamuk dan apa yang membuat anak senang. Pada anak yang mengamuk, ibu memeluk anak hingga anak tenang. Pada anak yang senang mendengarkan lagu dangdut, ibu memasangkan lagu dangdut di rumah untuk membantu anak menjadi lebih rileks. Hal ini menunjukkan usaha ibu untuk mencari cara yang tepat untuk mengasuh anaknya yang mengalami autism. (confrontative coping). Mereka mengawasi anak di sekolah dan di rumah sehingga mengetahui kegiatan yang dilakukan anaknya. Mereka

5 mempelajari hal yang menjadi minat anak dengan harapan dapat menjadi bekal untuk anak mandiri kelak. Ibu mencarikan guru gambar bagi anak yang senang menggambar, meminjamkan berbagai buku kepada anak yang senang membaca buku. Hal ini menunjukkan para ibu memiliki rencana mengenai kemajuan anak dan apa yang harus dilakukan (planful problem solving). Salah seorang ibu secara aktif mencari informasi dari luar sekolah seperti mengikuti seminar seminar mengenai autism, bertanya kepada terapis dan ahli lain mengenai kondisi anaknya. Selain itu, ibu juga secara terbuka bertukar cerita dengan ibu ibu lain yang memiliki anak dengan autism. Hal ini menunjukkan di mana ibu mencari informasi untuk mendapat dukungan dari orang lain (seeking social support). Dua orang ibu memiliki pekerjaan sampingan, yang mereka lakukan sebagai hobi di sela sela kesibukan mengurus anak. Hobi dilakukan untuk meredakan emosi yang dirasakan ketika mengalami stress, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal yang menyebabkan stress. Hal ini menunjukkan bahwa ibu menjaga jarak dari masalah yang menyebabkan stress (distancing). Keempat ibu menyatakan bahwa hanya bisa berpasrah terhadap keadaan anak anak mereka dan berharap anak anak mereka mampu mengurus diri sendiri saat dewasa nanti. Meskipun berpasrah tetapi ibu tetap memasukan anaknya ke tempat terapi dengan harapan tempat terapi dapat membantu untuk mendidik anak dengan autism agar mampu lebih mandiri. Hal ini menunjukkan keempat ibu cenderung menaruh harapan positif dari keadaan yang menekan (positive reappraisal). Dari hasil pemaparan di atas, ibu ibu di sekolah X tampak menggunakan coping yang bervariasi untuk mengatasi stress. Oleh karena itu, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai coping stress yang digunakan oleh ibu yang memiliki anak dengan autism yang bersekolah di Sekolah X.

6 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui gambaran coping stress yang dilakukan oleh ibu yang memiliki anak dengan autism yang bersekolah di Sekolah X di Kota Bandung 1.3 Maksud dan Tujuan penelitian 1.3.1 Maksud Untuk memperoleh data dan gambaran mengenai coping stress yang dilakukan oleh ibu yang memiliki anak dengan autism yang bersekolah di Sekolah X di Kota Bandung 1.3.2 Tujuan Untuk mengetahui bentuk coping stress apa yang lebih banyak digunakan oleh ibu yang memiliki anak dengan autism yang bersekolah di Sekolah X di Kota Bandung, dan kaitannya dengan derajat stress serta faktor faktor yang mempengaruhi. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan teoritis Sebagai masukan bagi ilmu psikologi, khususnya dalam bidang ilmu psikologi klinis dan psikologi perkembangan mengenai coping stress yang pada umumnya dapat dilakukan oleh ibu yang memiliki anak dengan autism Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan bagi peneliti lain yang ingin meneliti topik yang sama mengenai coping stress pada ibu yang memiliki anak dengan autism

7 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberi informasi kepada orang tua yang memiliki anak dengan autism. Informasi ini dapat digunakan bagi orang tua untuk mengatasi stress yang dihadapi Memberikan informasi kepada guru guru sekolah yang mengajar anak anak dengan autism mengenai bentuk coping stress pada ibu yang memiliki anak dengan autism. Informasi ini dapat digunakan oleh para guru untuk membantu orang tua murid dalam mengatasi stress yang dihadapi 1.5 Kerangka Pikir Ibu di sekolah X berusia 27 55 tahun, termasuk dalam tahapan perkembangan dewasa awal dan dewasa menengah (Santrock, 2011). Tahap perkembangan dewasa awal memiliki rentang usia 18 40 tahun, di mana ibu sedang menyesuaikan diri dengan kehidupan dan ekspektasi sosial yang baru. Pada tahap dewasa awal, ibu mulai menjalani perannya sebagai istri dan sebagai ibu. Ibu mulai menjalani kehidupan sebagai wanita karier atau ibu rumah tangga. Ibu belum memiliki banyak pengalaman dalam mengasuh dan mendidik anak, sehingga masih banyak mengalami kebingungan. Ibu juga masih memiliki energi yang cukup tinggi, yang membantu ketika ibu menghadapi anak yang membenrontak atau tantrum. Tahap perkembangan dewasa menengah merupakan periode perkembangan yang dimulai pada usia kurang lebih 40 tahun hingga 60 65 tahun (Santrock, 2011). Pada tahap perkembangan dewasa menengah ini, ibu mulai mengalami penurunan kemampuan fisik yang dibutuhkan untuk mengasuh dan mendidik anak dengan autism, namun memiliki pengalaman yang lebih banyak, disertai dengan kemampuan pemecahan masalah yang lebih matang dalam usahanya mengasuh dan mendidik anak dengan autism. Ibu lebih sabar dalam menangani perilaku anak dan menghadapi anak yang emosional.

8 Berdasarkan Lazarus dan Folkman (1984), stress pada ibu yang memiliki anak dengan autism terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dan tuntutan dalam diri dengan sumber daya yang dimiliki ibu. Ketika ibu menghadapi anak dengan autism, ibu menemukan bahwa anak dengan autism berbeda dari anak normal. Mereka membutuhkan cara yang berbeda dalam pendidikan dan pengasuhannya. Kondisi anak dengan autism ini diolah dalam primary appraisal oleh ibu, untuk menentukan apakah kondisi ini mengancam sehingga menjadi stress. Ibu jadi merasa stress ketika ibu sumber daya yang dimiliki ibu kurang memenuhi kebutuhan anak dengan autism, seperti kurangnya pengetahuan mengenai cara menangani anak dengan autism. Kurangnya pengetahuan mempengaruhi keterampilan ibu dalam menghadapi perilaku anak yang bermasalah seperti mengamuk atau tantrum, dan dalam mengatasi kurangnya kemampuan berkomunikasi anak dengan autism. Ibu juga bisa merasa stress ketika ada tuntutan dari lingkungan yang tidak mampu diseimbangkan dengan kemampuan dalam diri ibu, seperti pandangan masyarakat yang minim mengenai autism membuat orang orang menuding bahwa perilaku anak disebabkan oleh kelalaian pengasuhan oleh ibu. Derajat stress ibu mempengaruhi coping stress pada ibu yang memiliki anak dengan autism. Jika mengasuh dan mendidik anak dengan autism dinilai sebagai stress oleh ibu, berikutnya ibu akan mencari cara coping apa yang bisa digunakan oleh ibu untuk meredakan stress yang dirasakan. Proses evaluasi ini terjadi pada tahap secondary appraisal. Coping stress dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan ibu yang memiliki anak dengan autism untuk mengubah tingkah laku dan kognitif secara konstan untuk mengatur tuntutan tuntutan internal atau eksternal yang spesifik yang dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya yang dimiliki ibu. Tuntutan tuntutan tersebut berupa tanggung jawab dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang mengalami autism. Ibu yang memiliki anak dengan autism

9 melakukan berbagai upaya seperti berdiskusi dengan guru mengenai kondisi anak dan mencari informasi mengenai autism sebagai bentuk tindakan untuk mengurangi beban yang dirasakan. Terdapat dua bentuk coping stress yang dikemukakan Lazarus. Pertama adalah problem focused coping, yaitu ibu yang memiliki anak dengan autism menggunakan strategi kognitif dalam usahanya mengurus dan mendidik anak dengan autism. Ibu mencari informasi mengenai autism, mengikuti seminar mengenai autism, dan berdiskusi dengan guru di sekolah. Ibu mencoba menerapkan pengetahuan yang didapat dalam mengasuh anak. Bentuk yang kedua adalah emotional focused coping, ketika ibu berusaha menghilangkan stress yang dialaminya dengan tidak menyelesaikan masalah yang menyebabkan stress, namun dengan usaha untuk meregulasi emosi yang dirasakan ketika mengalami stress. Emotional focused coping memiliki beberapa komponen. Pertama adalah distancing, adalah usaha ibu menjaga jarak dari masalah yang dihadapi ketika mengasuh dan mendidik anak dengan autism. Ibu melakukan kegiatan lain yang disukai untuk meregulasi stress yang dirasakan. Misalnya ibu mengikuti kelas senam, secara rutin untuk mengalihkan perhatian sejenak dari stress mengasuh anak dengan autism. Kedua adalah escape avoidance, ketika ibu yang memiliki anak dengan autism berusaha menghindari masalah yang ada dan berharap masalah selesai dengan sendirinya, misalnya ketika ibu yang merasa stress dengan perilaku anak yang mengamuk, ibu pergi tidur sementara anak ditangani oleh pengasuh lain, dengan harapan ketika ibu bangun, anak sudah tidak mengamuk lagi. Ketiga adalah self control, ibu berusaha untuk meregulasi perasaan maupun tindakan tanpa melebih lebihkan sesuatu terhadap masalah yang dihadapi dalam mengurus anaknya. Misalnya ibu yang berusaha tenang ketika anak mengamuk atau tantrum, tidak membentak anak. Keempat adalah seeking social support, ibu mencari informasi, dukungan nyata, dan

10 nasehat dari lingkungan seperti tempat terapi, sekolah, dan mengikuti seminar yang berhubungan dengan autism. Kelima adalah accepting responsibility, ibu bertanggung jawab terhadap situasi yang sedang dihadapinya. Ibu menerima kenyataan bahwa anaknya berbeda dan membutuhkan cara pengasuhan dan pendidikan yang berbeda daripada anak lain. Ibu juga belajar menerima bahwa anak dengan autism akan membutuhkan pendampingan yang lebih intens dan lebih lama daripada anak anak lain yang tidak mengalami autism. Ibu tidak menutupi keadaan bahwa anaknya mengalami autism. Keenam adalah positive reappraisal, ibu mencari harapan positif dari keadaan yang menekan. Ibu yang memiliki anak dengan autism merasa anaknya adalah berkat dan bukan beban, membuat ibu menjadi orang yang lebih kuat dan sabar. Ibu jadi lebih bersemangat dan dengan pandangan yang lebih positif, mengasuh anak dengan autism, ketika perkembangan dan perubahan perilaku yang ditunjukkan anak juga dterima sebagai bentuk kemampuan dan kesabaran ibu. Problem focused coping memiliki dua komponen. Pertama yaitu planful problem solving, ibu membuat rencana dibantu oleh guru di sekolah dan para ahli yang ditemui, dalam mengasuh dan mendidik anaknya dan berusaha menjalankan rencana tersebut. Misalnya, ibu mengikuti program terapi bersama guru dan ahli, d rumah dan di sekolah, secara bertahap, hingga tampak perubahan yang positif pada anak. Kedua adalah confrontative coping, ibu mencari cara untuk mengatasi keadaan yang menyebabkan stress. Ibu berusaha untuk memahami dan mendampingi anak dengan autism secara langsung untuk memahami cara mengurus dan membimbing anak mereka dengan tepat. Ibu berusaha menggunakan cara komunikasi yang sesuai dengan anak, dan berusaha berespon sesuai dengan emosi anak. Ibu juga menggunakan strategi mengajar yang disesuaikan dengan kondisi anak. Berdasarkan penelitian Anderson (1977 dalam Lazarus & Folkman 1984), individu yang mengalami stress dengan derajat yang rendah biasanya akan menggunakan kedua

11 bentuk coping stress dalam kadar yang sama. Ibu yang mengalami stress dengan derajat rendah mampu menemukan cara untuk meredakan stress yang dirasakan secara emosi dan juga menemukan cara untuk menyelesaikan masalah yang menyebabkan stress. Pada derajat stress sedang, problem focused coping yang lebih dominan digunakan. Ibu yang mengalami stress pada derajat sedang, fokus mencari cara, membuat perencanaan, dan melakukan tindakan nyata yang membuat masalah terselesaikan, namun secara emosional, ibu masih merasa stress. Sedangkan pada stress dengan derajat tinggi, emotional focused coping lebih dominan digunakan. Ibu mencari cara untuk meredakan stress yang dirasakan secara emosional seperti beralih ke hobi yang digemari, tidur, atau hal lain yang membuat ibu terhindari dari masalah yang membuat stress. Namun karena masalah yang menjadi sumber stress tidak diselesaikan, maka ketika ibu berhenti melakukan coping, stress akan kembali muncul. Menurut Lazarus & Folkman (1984) terdapat sumber sumber coping yang sebagian besar berasal dari dalam diri individu. Pertama adalah kesehatan dan energi, yang merupakan sumber fisik yang sering dapat mempengaruhi upaya menangani atau menanggulangi masalah. Dalam keadaan sehat, ibu lebih prima untuk mengasuh anak, menghadapi kemampuan komunikasi anak dengan autism yang terbatas, menghadapi emosi anak yang kurang terkontrol. Ibu dapat menggunakan coping secara efektif. Dalam keadaan kurang sehat, kondisi badan yang lemas dan sakit mengurangi kapasitas ibu untuk fokus terhadap kebutuhan anak dengan autism. Usia ibu juga berpengaruh terhadap energi yang dimiliki ibu. Ibu pada tahap perkembangan dewasa awal masih dalam usia yang tergolong muda dan prima, memiliki energi yang lebih banyak daripada ibu pada tahap perkembangan dewasa madya, yang pada usianya mulai mengalami penurunan energi dan kesehatan. Pada tahap perkembangan dewasa madya, kondisi fisik mulai melemah dan penyakit semakin mudah mempengaruhi kemampuan ibu untuk melakukan aktifitas.

12 Kedua adalah keterampilan untuk memecahkan masalah. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah sebagai upaya mencari alternatif tindakan, mempertimbangkannya, memilih dan menerapkan rencana tepat dalam bertindak untuk menanggulangi masalah. Keterampilan untuk memecahkan masalah diperoleh melalui pengalaman luas, pengetahuan yang dimiliki, kemampuan intelektual atau kognitif untuk menggunakan pengetahuan tersebut serta kapasitas untuk mengendalikan diri. Tingkat pendidikan ibu turut berperan pada kemampuan dan keterampilan dalam mengolah masalah dan memecahkannya. Ibu dengan tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki kapasitas berpikir dan analisis yang berbeda dengan ibu dengan tingkat pendidikan terakhir sarjana. Ibu dengan kemampuan pemecahan masalah yang tinggi mampu mengolah informasi informasi yang didapat untuk diterapkan dalam usaha mengasuh anak dengan autism, misalnya setelah ibu berdiskusi dengan ahli, ibu mencoba menerapkan cara berkomunikasi dengan anak. Ketiga adalah keyakinan untuk positif. Sikap optimis, pandangan positif terhadap kemampuan diri merupakan sumber daya psikologis yang sangat penting dalam upaya menanggulangi masalah. Ibu yang memiliki keyakinan untuk positif lebih aktif dan termotivasi untuk terus mencari cara yang tepat dalam mengasuh dan mendidik anak dengan autism. Ibu lebih bersemangat untuk mendampingi anak hingga anak mampu mandiri. Ibu yang kurang memiliki keyakinan untuk positif, kurang memiliki motivasi untuk mencari informasi dan cara yang tepat dalam mengasuh dan mendidik anak dengan autism. Ibu cenderung pesimis, berpikir bahwa anaknyas tidak akan mampu hidup mandiri seperti anak lainnya. Keempat adalah keterampilan sosial yang adekuat dan efektif. Keterampilan sosial memudahkan pemecahan masalah bersama dengan orang lain, memberikan kemungkinan untuk bekerja sama, dan memperoleh dukungan. Ibu yang terbuka untuk mencari dan

13 menerima informasi dari lingkungan sekitarnya, serta mampu saling berbagi dengan orang tua lain yang memiliki anak dengan autism, merasa mendapat dukungan dan tidak sendirian dalam mengalami kesulitan mengasuh anak dengan autism. Hal ini membantu ibu dalam mengatasi masalah ketika mengasuh dan mendidik anak dengan autism. Ibu yang jarang bertukar informasi dengan orang tua lain dan kurang terbuka untuk mencari dan menerima informasi dari lingkungan sekitarnya merasa tidak ada yang mendukung dan harus mengalami masalah itu sendirian. Hal ini menimbulkan stress bagi ibu. Kelima adalah dukungan sosial. Melalui orang lain, ibu yang memiliki anak dengan autism dapat memperoleh informasi, bantuan atau dukungan emosional yang dapat membantu ibu menanggulangi masalah. Ibu yang mendapat dukungan dari sekolah, dari sesama orang tua, dan dari keluarga dalam mengasuh dan mendidik anak dengan autism lebih mampu mengatasi masalah dalam mengasuh dan mendidik anaknya, dibandingkan dengan ibu yang kurang mendapat dukungan. Keenam adalah sumber sumber material, dapat berupa uang, barang, fasilitas lain yang dapat mendukung terlaksananya penanggulangan secara efektif. Kondisi ekonomi dalam keluarga ibu mempengaruhi kemampuan ibu untuk mengasuh dan mendidik anak dengan autism, karena untuk menyekolahkan anak dan membawa anak untuk mengikuti terapi memerlukan biaya yang tidak murah. Selain keterbatasan biaya, kurangnya pengetahuan mengenai autism juga menghambat kemampuan ibu untuk memberikan pengasuhan dan mendidikan yang optimal kepada anak dengan autism. Di luar hal hal di atas, penggunaan coping stress dipengaruhi oleh hambatan yang menghalangi sumber sumber yang dimiliki individu. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan personal dan hambatan lingkungan. Hambatan personal meliputi nilai budaya yang diinternalisasi serta keyakinan yang dimiliki untuk mengatasi kekurangan dalam diri ibu yang memiliki anak autism. Rasa bersalah yang muncul dalam diri ibu karena merasa bertanggung

14 jawab telah melahirkan anak yang berbeda dari anak lain, merupakan salah satu hambatan yang muncul dari dalam diri pada ibu yang memiliki anak dengan autism. Hambatan dari lingkungan adalah adanya tuntutan yang bertentangan untuk menggunakan sumber daya individu atau institusi yang mengancam penggunaan coping stress. Tingkat ancaman yang tinggi dapat menghalangi ibu untuk menggunakan sumber daya untuk menanggulangi masalah secara efektif. Biaya sekolah dan terapi yang cukup tinggi merupakan contoh hambatan dari lingkungan yang mengancam penggunaan coping stress pada ibu. 1.6. Asumsi Penelitian Ibu yang memiliki anak dengan autism mengalami stress Bentuk coping stress yang dilakukan ibu yang memiliki anak dengan autism dapat berupa problem focused coping, emotion focused coping, atau keduanya secara seimbang

15 Sumber - sumber coping: Emotion focused coping: Bagan 1.1 - Kesehatan dan energi - distancing - Keterampilan untuk - Self control memecahkan masalah - Seeking social Sumber stress: - Keyakinan untuk positif - Accepting - Frustrasi - Konflik - Ancaman - tekanan - Keterampilan sosial yang adekuat dan efektif - Dukungan sosial - Sumber sumber material responsibility - Positive reappraisal - Escape avoidance Ibu yang memiliki anak autis di Sekolah X Kota Bandung Primary Appraisal Stress Secondary Appraisal Coping stress Faktor faktor yang menghambat sumber coping : - Hambatan dari dalam diri - Hambatan dari lingkungan Problem focused coping: - Planful - Confrontative coping