DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages Baseline Study Report Commissioned by September 7, 2016 Written by Utama P. Sandjaja & Hadi Prayitno 1
Daftar Isi Daftar Isi... 2 Sekilas Perjalanan Pembangunan Desa... 3 Sekilas tentang Program DESA: Menuju Penganggaran Publik yang Inklusif dan Partisipatif... 3 Kegiatan Baseline Assessment... 3 Partisipasi Masyarakat dalam Proses Perencanaan Anggaran Publik... 4 Penganggaran Desa yang Responsif Gender dan Penyandang Disabilitas... 5 Kerjasama antara Pemerintah Daerah dan CSO... 6 Kesimpulan... 8 2
Sekilas Perjalanan Pembangunan Desa Desa sering menjadi arena yang diperebutkan dalam pembangunan Indonesia. Sebelum berlakunya UU desa no. 6/2014, desa diletakkan di bagian paling bawah dari hirarki pemerintah Indonesia dan diperlakukan sebagai objek dalam program pembangunan baik oleh Pemerintah Daerah maupun Pusat. Namun, dengan UU Desa yang baru diberlakukan, paradigma baru dalam pembangunan desa telah lahir dengan mottonya: "Desa Membangun Dan Membangun Desa". UU Desa yang baru telah memperkenalkan dua prinsip utama dalam paradigma baru ini pembangunan desa: i) pengakuan dan ii) subsidiaritas. Meskipun di bawah UU baru, desa telah diberi ruang yang lebih besar untuk partisipasi masyarakat dan menentukan nasibnya sendiri, hal ini tidak secara otomatis mengubah dan mentransformasi pembangunan desa dari penguasaan kaum elit di desa dan rendahnya partisipasi dalam keterlibatan semua warga secara lebih luas tanpa kecuali dalam pembangunan di desa. Upaya harus dibuat untuk bekerja ke arah pemenuhan tujuan ideal pembangunan desa secara demokratis dan inklusif sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sekilas tentang Program DESA: Menuju Penganggaran Publik yang Inklusif dan Partisipatif Dalam menjawab tantangan ini, dengan didukung oleh European Commission, Search for Common Ground (SFCG) Indonesia bekerja sama dengan Perkumpulan IDEA Yogyakarta sedang melaksanakan program selama 36 bulan yang berjudul 'DESA: Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Desa-desa di Indonesia', yang akan dilaksanakan di desa-desa terpilih di tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Bogor di Jawa Barat, Kabupaten Tabanan di Bali, dan Kabupaten Lombok Barat di Nusa Tenggara Barat. Secara khusus, proyek ini bertujuan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh perempuan Indonesia dan masyarakat yang kurang beruntung seperti penyandang disabilitas dan orang miskin, yang kebutuhan dan suara sering tidak didengar dan lebih jauh lagi dirampas dalam perencanaan kegiatan pembangunan. Kegiatan Baseline Assessment Antara bulan Juni-Agustus 2016, Search melakukan studi baseline yang bertujuan untuk menangkap tingkat partisipasi perempuan dan penyandang disabilitas dalam proses penganggaran di desa, dan tingkat respon dari anggaran desa dalam menangani kebutuhan perempuan, kelompok penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal lainnya. Studi baseline dilakukan di 12 desa di tiga kabupaten terpilih. Studi ini menggunakan pendekatan metode yang menggabungkan survei di masyarakat, wawancara dengan informan kunci (KII), FGD dan analisis anggaran. Jumlah responden dalam survei komunitas adalah 629 orang, dilengkapi dengan tiga FGD dengan perwakilan CSO dan 18 wawancara dengan aparat desa, anggota BPD, pejabat kecamatan, pejabat unit kerja pemerintah daerah ini dan organisasi perempuan, kelompok penyandang disabilitas serta organisasi etnis minoritas. 3
Studi baseline ini terdapat 3 temuan utama yang menjadi sorotan. Pertama, tentang tingkat partisipasi anggota masyarakat terutama perempuan dan kelompok disabilitas. Kedua, tentang sejauh mana anggaran dana publik di desa responsif terhadap kebutuhan perempuan dan kaum marjinal lainnya. Ketiga, tentang tingkat kerjasama antara pemerintahan lokal dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Partisipasi Masyarakat dalam Proses Perencanaan Anggaran Publik Partisipasi aktif masyarakat merupakan hal yang penting dan krusial dalam memastikan bahwa upaya pembangunan desa bertujuan untuk mencapai kesejahteraan warga di desa. Selain itu, partisipasi masyarakat dapat mengurangi potensi masalah dan penyalahgunaan pemanfaatan dana desa dan APBDesa. UU No 6/2016 tentang Desa telah menjamin partisipasi aktif warga negara yang menyatakan bahwa pemerintahan desa harus berdasarkan pada prinsip-prinsip partisipasi. Partisipasi dalam penelitian ini dipahami tidak hanya terbatas pada kehadiran, tetapi yang lebih penting akses warga masyarakat dalam pengambilan keputusan pada proses perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring. Partisipasi substantif ini penting untuk mendorong kinerja pemerintahan desa yang demokratis. Hasil dari studi baseline menunjukkan rendahnya partisipasi di antara warga masyarakat dalam proses perencanaan anggaran -dimulai dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa untuk menyusun RPJMDesa sebagai salah satu dokumen dalam penyusunan APBDes. Dalam studi ini ditemukan bahwa hanya 17 persen dari anggota masyarakat yang disurvei di dua belas desa telah berpartisipasi dalam rapat desa untuk membahas RPJMDesa. Salah satu hambatan dalam partisipasi masyarakat adalah kurangnya informasi mengenai perencanaan anggaran desa, termasuk informasi tentang sumbersumber dana tahunan yang diterima oleh desa. Warga tidak tahu kapan jadwal pertemuan pembahasan perencanaan dan keputusan ABPDesa diatur dan dilakukan. Hanya sekitar 5 persen dari total responden menyatakan bahwa mereka tahu tentang rencana kerja desa dan dokumen pendapatan desa dan anggaran belanja, terutama untuk tahun 2016. Rendahnya tingkat pengetahuan warga lebih disebabkan karena kepasifan pemerintah desa untuk menyediakan sistem informasi yang mudah diakses oleh publik dan tidak pro-aktif dalam memberikan dan menyebarkan informasi kepada publik secara rutin. Informasi tersebut hanya secara terbatas diedarkan kepada mereka yang memiliki status dan posisi khusus di desa, seperti masyarakat dan tokoh adat, dan tokoh organisasi berbasis masyarakat. 4
28% Di sisi lain, inisiatif warga di desa 24% untuk terlibat secara terbuka 19% dengan mekanisme formal yang 5.3% RPJM Desa 5.5% RKP Desa 6.5% APB Desa ada partisipasi juga tidak terlalu tinggi. Hanya 11% dari anggota masyarakat di 12 desa menyatakan bahwa mereka sendiri menghadiri pertemuan pada RPJM Desa meskipun mereka tidak %anggotakomunitasyangdisurveiyangmenerimainformasiterkaitdokumentersebut %anggotakomunitasyangdisurveiyangmenerimaundanganuntukmenghadiridiskusi diundang. Mayoritas warga menyatakan bahwa mereka tidak memiliki keberanian, kepercayaan diri dan merasa malu jika mereka tiba-tiba muncul di rapat perencanaan anggaran desa tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah desa tanpa diundang. Penganggaran Desa yang Responsif Gender dan Penyandang Disabilitas Pada umumnya, warga bersedia untuk berpartisipasi dalam perencanaan anggaran desa untuk pembangunan desa mereka. Namun pemahaman mereka tentang pembangunan umumnya berarti pembangunan infrastruktur desa, seperti jalan, jembatan, dan pipa irigasi. Sementara, program-program yang menjawab kebutuhan perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok marjinal lainnya hanya mencakup rata-rata 4,9 persen dari total anggaran desa yang didanai oleh APBDesa di 3 kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa warga pada umumnya tidak memiliki sensitivitas yang cukup dalam memahami dan merespon kebutuhan kaum perempuan, penyandang disabilitas dan kebutuhan kelompok marjinal. Berdasarkan kondisi ini, keterlibatan langsung kaum perempuan dan kelompok marjinal menjadi sangat penting dalam proses diskusi dalam rangka untuk mempromosikan kebijakan anggaran desa yang lebih inklusif dan responsive gender. Grafik 1. Gambaran alokasi APBDesa di salah satu desa dari 12 desa yang disurvey. 5% 9% Pemberdayaan komunitas Pengembangan kapasitas 50% Pembangunan infrastruktur 35% Operasional pemerintahan 5
Pemanfaatan APBDesa yang sangat rendah untuk penyediaan layanan kepada perempuan, kelompok penyandang disabilitas dan etnis minoritas lainnya dikarenakan kurangnya pengalaman dari aparat desa dalam merumuskan program yang relevan dengan pemenuhan kebutuhan perempuan dan masyarakat marjinal. Selain itu, tingkat partisipasi perempuan dan kelompok penyandang disabilitas relatif rendah. Hasil survey menunjukkan hanya 17% dari anggota masyarakat yang disurvei merasa bahwa perempuan dan kelompok penyandang disabilitas harus dilibatkan dalam meninjau RKPDesa 2016. "Hasil data baseline juga menunjukan tingkat partisipasi perempuan yang masih perlu ditingkatkan dalam berbagai proses penganggaran dana desa. Hanya sekitar 22% perempuan yang pernah hadir dalam RPJMDES, terlebih lagi, tingkat kehadiran tersebut terus menurun seiring bergulirnya proses perencanaan anggaran desa. Pada proses penyusunan APBDes, akhirnya hanya sekitar 17% perempuan yang ikut di dalamnya. Fakta ini menunjukan adanya tantangan bagi keterlibatan perempuan yang konsisten dan menyeluruh, juga menunjukan betapa pentingnya dukungan dan pengawalan dalam mewujudkan anggaran desa yang responsif gender." Secara umum, sebagian besar pemerintah desa dalam penelitian ini tidak memberikan sesi khusus dalam forum untuk perempuan dan kelompok penyandang disabilitas dalam merumuskan Rencana Kerja Desa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja. Musyawarah Khusus Perempuan (MKP) di desa hanya diselenggarakan di Kabupaten Lombok Barat karena adanya Peraturan Bupati No. 10/2014. 32.50% 37.20% 14.60% 10.50% 4.00% 2.70% West Lombok Tabanan Bogor % masyarakat yang merasa perempuan dan kelompok difabel terlibat dalam diskusi Kerjasama antara Pemerintah Daerah dan CSO Dalam bekerja menuju penganggaran desa yang lebih inklusif dan partisipatif, sangat penting untuk bersinergi dengan organisasi local serta mengapresiasi 6
upaya dan kehadiran mereka di tingkat lokal. Secara historis, organisasi masyarakat sipil tingkat lokal, regional dan nasional memiliki peran penting dalam diberlakukannya Undang-Undang Desa. Mereka telah bekerja sejak 2009 ketika draft pertama yang diprakarsai oleh DPR muncul dengan judul RUU Pembangunan Desa. Berbagai upaya secara independen diselenggarakan termasuk konsultasi publik, serangkaian diskusi di tingkat regional dan bahkan mencari dukungan dari organisasi massa besar dan faksi di DPR. Mengingat posisi dan peran strategis mereka, oleh karena itu penting bagi organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal untuk memiliki kemampuan dalam bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk mempromosikan dan memfasilitasi proses menuju penganggaran desa yang inklusif. Namun, dalam survey ini, ditemukan bahwa CSO di tiga lokasi program ini belum punya program berskala besar yang bertujuan meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat, terutama pada perempuan dan masyarakat marjinal lainnya dalam proses perencanaan anggaran desa. Berdasarkan wawancara dan FGD, kinerja CSO di Kabupaten Lombok Barat dalam mempromosikan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam perencanaan anggaran desa tampaknya lebih maju jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Sementara itu di Kabupaten Tabanan dan Bogor, CSO tampaknya kurang memiliki pengalaman dalam melakukan advokasi pada perencanaan anggaran desa. Bahkan untuk dua tahun terakhir, mereka tidak punya interaksi dengan para pemangku kepentingan utama di desa dalam upaya untuk menjaga pelaksanaan UU Desa. Tingkat keterlibatan antara CSO dan pemerintah daerah mungkin terkait erat dengan keterbukaan pemerintah daerah dan penerimaan dalam bekerjasama dengan CSO. Faktor ini sangat dipengaruhi dengan pengalaman masa lalu mereka dalam bekerjasama dengan CSO. Stakeholder kunci di Pemerintahan Kabupaten Lombok Barat lebih terbuka dalam membangun kerjasama dengan mitra pelaksana program sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil yang reputasi dan pekerjaan mereka telah diakui sebelumnya. Hubungan mereka terjalin dengan baik dalam bekerja sama sebelumnya dengan CSO. Mereka juga beranggapan bahwa CSO memiliki kapasitas yang cukup untuk membantu meningkatkan kinerja pemerintahan desa dan memberdayakan masyarakat. Sementara itu di Tabanan dan Kabupaten Bogor, Pemerintah Desa belum terlalu akrab dan mengakui pekerjaan serrta reputasi CSO dalam perencanaan anggaran desa. Selain itu, pejabat pemerintah yang diwawancarai memiliki stigma negatif tertentu terhadap CSO. Dengan demikian, mereka merasa bahwa mereka tidak memiliki cukup referensi CSO yang baik dan benar-benar bersedia bekerja dengan mereka. Beberapa stakeholder kunci di pemerintah daerah menyatakan sebaliknya. Mereka bersedia bekerjasama dengan CSO dengan beberapa syarat, misalnya CSO harus memiliki badan hukum, tidak menjual modul pelatihan, dan tidak memaksakan agenda CSO dan/atau mengganggu proses di desa. 7
Kesimpulan Inklusif, partisipatif, dan pemerintahan desa yang responsif gender memang masih jauh dari apa yang diharapkan, meskipun prinsip-prinsip tata kelola di UU Desa No 6/2014 telah dilaksanakan selama dua tahun terakhir. Masalah yang paling mendasar adalah bahwa kesadaran kritis warga masyarakat belum terbentuk, terutama pada hak-hak mereka untuk terlibat dalam proses perencanaan anggaran desa. Masalah mendasar yang kedua adalah partisipasi. Pemerintah desa belum mengatur forum konsultasi warga di tingkat RT, RW, dan Dusun/Banjar untuk mencari masukan dari warga masyarakat yang komprehensif dalam proses perumusan RPJM Desa, RKP Desa 2016, dan APBDesa 2016 -khususnya untuk perempuan dan kelompok penyandang disabilitas. Dokumen-dokumen APBDesa saat ini di tiga kabupaten tersebut juga masih mengindikasikan respon yang rendah terhadap kebutuhan perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Perumusan kegiatan dalam dokumen APB Desa tidak dimulai dengan analisis gender untuk mengidentifikasi kebutuhan perempuan, penyandang disabilitas, atau kelompok marjinal lainnya. Rencana untuk melibatkan CSO dalam upaya untuk memfasilitasi percepatan perubahan di desa tidak secara otomatis mendapatkan tanggapan positif dari para stakeholder kunci, terutama dari pemerintah di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. Pemangku kepentingan desa di Kabupaten Bogor dan Tabanan menetapkan banyak ketentuan untuk memungkinkan partisipasi CSO dalam proses pemberdayaan warga dan perencanaan anggaran desa karena stigma negatif yang ada saat ini terhadap CSO. Pemangku kepentingan kunci di Lombok Barat jauh lebih terbuka dengan partisipasi CSO karena mereka telah berpengalaman dan menerima manfaat dari kerja kolaboratif dengan CSO. Ada beberapa kesempatan untuk memperbaiki kondisi untuk mencapai anggaran desa inklusif yang memenuhi kebutuhan berbagai kelompok yang terpinggirkan. Studi baseline ini mengidentifikasi bahwa pengetahuan CSO di beberapa daerah tentang UU Desa dan proses penganggaran yang responsive gender masih relatif rendah oleh karena itu sangat penting untuk memberikan pengembangan kapasitas untuk CSO lokal di tingkat kabupaten tentang berbagai isu, termasuk perempuan, pengetahuan dan keterampilan mengadvokasi perencanaan anggaran publik. Dengan melihat bahwa keterlibatan pemerintah kabupaten dan desa cukup rendah serta adanya persepsi negatif terhadap CSO, sangat penting bahwa pendekatan umum yang bersifat adversarial dalam membuat perubahan sosial harus ditinjau kembali, serta pendekatan yang lebih kolaboratif harus lebih dikedepankan. Sebagai awalan, akan lebih baik jika terdapat forum prakerjasama dengan CSO, BPMPD Kabupaten dengan keterlibatan dari Pemerintah Kecamatan, BPD, dan Aparat Desa di tingkat. 8