Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Berdasarkan laporan Statistik Kriminal 2014, jumlah kejadian kejahatan (total crime) di Indonesia pada tahun 2013 adalah 342.084 kasus sehingga dapat ditetapkan bahwa setiap 1 menit 32 detik terjadi satu tindakan kejahatan. Kartono (2014) mengemukakan bahwa kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma sosial. Secara sosiologis, kejahatan adalah segala bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, sosial, dan psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma, dan mengancam keselamatan masyarakat. Kartono (2014) juga menyatakan bahwa kejahatan kejahatan bisa dilakukan oleh siapa saja, baik pria maupun wanita, anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Jenis tindak kejahatan yang dilakukan diantaranya pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, pencabulan, penculikan, pencurian, narkotika dan psikotropika, korupsi, penipuan, dan melanggar ketertiban umum. Menurut hukum pelaku kejahatan akan diadili dan diberi hukuman, bentuk hukuman berbeda-beda sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan. Korah (2004, dalam Nurkamala, 2009) menyebutkan bahwa hukuman tersebut dapat berupa denda, dan ada juga yang dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan. Ketika individu sedang menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan, statusnya berubah menjadi narapidana. Menurut UU R.I Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 6 narapidana adalah individu yang menjalani pidana dan hilang kemerdekaannya dalam waktu tertentu dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Wilson (2005, dalam Handayani & Fitri, 2014), narapidana adalah orang bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat untuk dibina agar menjadi lebih baik. Data terakhir jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dari Sistem Database Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham pada April 2017 yaitu 214.261 orang yang terdiri dari narapidana 1
2 dewasa laki-laki, narapidana anak laki-laki, narapidana dewasa perempuan, dan narapidana anak perempuan. Menurut Harsono (1995) ada 4 penderitaan yang dialami oleh narapidana ketika berada di lembaga pemasyarakatan, yaitu (1) loss of freedom: dimana tingkah laku narapidana menjadi terbatas, banyak aturan yang harus dipenuhi, tidak boleh keluar sel kecuali waktuwaktu tertentu, (2) loss of heterosexuality: dalam satu sel terdiri atas satu jenis kelamin, hal ini memungkinkan terjadinya penyimpangan sebagai penyalur kebutuhan biologis, (3) loss of autonomy: banyak peraturan yang harus ditaati, (4) loss of good and service: tidak bebas memiliki barang yang disukainya. Doelhadi (1997, dalam Siswati & Abdurrohim, 2009), selama berada di Lembaga Pemasyarakatan ruang gerak narapidana dibatasi dan mereka dipisahkan dari masyarakat, keadaan seperti ini dapat menjadi stresor yang menyebabkan stres pada narapidana. Menurut Lazarus (1984), stres adalah hubungan yang spesifik antara individu dan lingkungan yang dinilai berat dan melebihi sumber dayanya serta mengancam kesejahteraannya, sedangkan kejadian yang menimbulkan stres disebut stressor. Nasir & Munith (2011) menyebutkan bahwa stres terbagi menjadi dua, yaitu eustres dan distres. Eustres merupakan stres yang bersifat positif, dikatakan demikian karena stres yang dialami dapat memberikan dampak positif pada seseorang, yang memberikan pelajaran bagi kita dan bukan sebuah tekanan. Sedangkan distres adalah stres yang bersifat negatif. Distres terjadi karena individu memaknai kejadian sebagai sesuatu yang buruk, dimana respon yang diberikan selalu negatif dan dianggap mengganggu kehidupan individu sehingga diartikan sebagai sebuah ancaman. Distres ini adalah stres yang mungkin dialami oleh narapidana. Jumlah narapidana di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Bandung sebanyak 767 orang yang semuanya terdiri dari narapidana laki-laki dengan kasus terbanyak adalah kasus narkoba (pengguna) dengan jumlah 211 orang. Berdasarkan data awal yang didapat dari hasil
3 wawancara pada tanggal 31 Maret 2017 dengan seorang petugas di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Bandung (Staf administrasi), mengungkapkan bahwa narapidana di Rutan tersebut kemungkinan besar mengalami stres, hal yang membuat mereka stres diantaranya ketika awal masuk ke rutan, sulit menyesuaikan diri dengan keadaan di rutan, merasa tertekan, malu, tidak nyaman, tidak bisa melakukan hubungan seksual dengan istri bagi yang sudah menikah, dan memikirkan nasib keluarga. Sholichatun (2011) menyebutkan bahwa masalah-masalah yang dapat memunculkan stres atau menjadi stresor bagi narapidana adalah kerinduan pada anggota keluarga, jenuh dan bosan karena kegiatan yang terjadwal, bosan dengan makanan yang disediakan, masalah dengan teman satu sel, dan merasa bingung ketika memikirkan masa depan nanti setelah keluar dari lapas. Siswati & Abdurrohim (2009), semakin lama masa hukuman yang harus dijalani oleh narapidana maka semakin tinggi kondisi stres yang dialami, dan sebaliknya semakin pendek masa hukuman yang dijalani oleh narapidana, maka semakin ringan kondisi stresnya. Menurut Holmes dan Rahe, dihukum di penjara merupakan tingkat stres tertinggi ketiga setelah kematian pasangan dan perceraian. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pada tanggal 16 April 2017, bentuk perilaku yang ditunjukkan oleh narapidana ketika mendapatkan stresor diantaranya melamun, mudah marah, berkelahi, menarik diri, membuat keributan, namun ada juga yang tetap mengikuti kegiatan yang diadakan di Rutan, mematuhi peraturan Rutan, dan berusaha berbuat baik. Siswati & Abdurrohim (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa adanya respon fisiologis yang dialami para narapidana ketika mendapatkan stresor antara lain merasa sering pusing atau sakit kepala, batuk, terkena penyakit kulit karena kondisi lingkungan penjara yang serba terbatas, dan berbagai penyakit lain. Dengan kondisi lingkungan lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan yang serba terbatas, baik sarana maupun prasarana, ditambah dengan pergaulan dengan sesama narapidana dari berbagai macam tindak
4 kejahatan, dan juga narapidana merasa kehilangan kebebasannya dalam waktu yang relatif lama maka wajar apabila narapidana mengalami stres. Ketika dibagikan kuesioner kepada 40 orang narapidana kasus narkoba menunjukkan bahwa 90% memikirkan keluarga di rumah, 85% mudah marah, 72,5% banyak melamun, 67,5% menghindar dari orang lain, 62,5% kesehatan menurun, dan 57,5% takut ketika keluar dari rutan nanti. Selain stresor tersebut, 10% narapidana mengisi stresor lain berupa bosan, sulit menyesuaikan diri, malu, sel yang sempit karena tidak sesuai dengan kapasitas, dan hubungan kurang baik dengan teman satu sel. Di Rutan Kelas I Bandung beberapa narapidana menunjukkan perilaku positif. Di Rutan ini ada yang disebut dengan tamping, tamping atau petugas pendamping adalah narapidana yang sudah menjalani 1/3 masa tahanannya yang memiliki catatan baik dari petugas Rutan sehingga para narapidana ini dipekerjakan di Rutan untuk membantu pekerjaan petugas Rutan. Pekerjaan yang dilakukan diantaranya seperti bersih-bersih, mengarahkan tamu yang datang ke Rutan, mengoperasikan komputer, dan pekerjaanpekerjaan lain dalam hal membantu petugas Rutan. Perilaku yang ditunjukkan narapidana untuk merespon stresor itu berbeda-beda. Menurut Cooke (1990, dalam Juniartha, Ruspawan & Sipahutar (2012) untuk mengatasi stres, seseorang harus memiliki coping. Atkinson (1993, dalam Santi, 2015) coping adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk mengatasi dan mengelola tuntutan yang menekan dirinya. Coping menunjuk pada hal yang dilakukan individu ketika menghadapi tekanan atau stres (Hakim & Rahmawati, 2015). Ketika diwawancarai mengenai bagaimana cara narapidana menghadapi stresor, mereka menyebutkan bahwa diantaranya dengan dengan tidur, diam, lebih banyak berinteraksi dengan narapidana lain, berusaha menerima kenyataan, mematuhi peraturan Rutan, dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan pihak Rutan seperti olahraga,
5 pramuka, kajian kerohanian. Mereka juga mengatakan bahwa mereka lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, berserah diri, banyak berdoa, dan yakin bahwa sudah ada yang mengatur semuanya, pernyataan ini sesuai dengan bentuk religious coping menurut Pargament (1997). Pargament (1997) membagi religious coping ke dalam 3 bentuk, yaitu: (1) Self-directing, dimana individu berperan aktif untuk menyelesaikan masalahnya karena ia merasa sudah diberi kebebasan dan kemampuan oleh Tuhan untuk mengatur sendiri kehidupannya. Individu tidak melibatkan Tuhan secara langsung dalam penyelesaian masalah, misalnya saya melewati masa-masa sulit tanpa bergantung kepada Tuhan, (2) Deferring, individu menyerahkan sepenuhnya pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi kepada Tuhan. Daripada mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan, individu lebih memilih berserah diri kepada Tuhan dan biarlah Tuhan yang memutuskan bagaimana cara mengatasinya, (3) Collaborative, individu melibatkan Tuhan dan bekerja sama dengan Tuhan, keduanya berperan aktif menyelesaikan setiap persoalan. Ketika dibagikan kuesioner kepada 40 orang narapidana menunjukkan bahwa 77,5% banyak berdoa, 52,5% yakin Tuhan memberikan kekuatan, 50% berserah diri kepada Tuhan, dan 47,5% yakin dengan takdir Tuhan. Peneliti berpendapat bahwa yang membedakan narapidana yang satu dengan narapidana yang lain adalah cara pandang mereka terhadap masalah dan cara yang mereka gunakan ketika menghadapi situasi yang menekan tersebut, sehingga ketika keluar dari Rutan/Lapas ada narapidana yang menjadi lebih baik dan ada narapidana yang menjadi semakin buruk. Individu yang memiliki keyakinan pada Tuhan apabila dihadapkan pada situasi yang menekan (stresor) maka individu tersebut akan melibatkan Tuhan dan unsurunsur keagamaan lainnya dalam mengatasi permasalahannya back to religion (Anggraini, 2015).
6 Menurut Wong-McDonald & Gorsuch (2000, dalam Utami 2012), religious coping adalah suatu cara individu menggunakan keyakinannya kepada Tuhan dalam mengelola stres dan masalah-masalah kehidupan. Agama mempunyai peran penting dalam mengelola stres, agama dapat memberikan individu pengarahan, dukungan, dan harapan (Pargament, 1997). Rammohan, Rao & Subbakrishna (2002 dalam Utami, 2012) meyebutkan bahwa berdoa, ritual dan keyakinan agama dapat membantu seseorang dalam coping ketika sedang mengalami stres kehidupan. Penelitian yang dilakukan oleh Sipon, Nasrah, Nazli, Abdullah & Othman dengan judul Stress and Religious Coping among Flood Victims pada tahun 2013 menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara stres dan religious coping pada korban banjir (r = -0.29, p < 0,05), dimana angka hasil korelasi penelitian tersebut menunjukkan tanda negatif (-). Studi pendahuluan menunjukkan bahwa terdapat beberapa sikap dan perilaku yang mengindikasikan adanya religious coping dengan prosentase berkisar antara 47,5% sampai dengan 77,5%, diikuti pula dengan yang mengindikasikasikan tingkat stres yang berkisar antara 57,5% sampai dengan 90%. Meskipun kedua variabel terlihat memiliki prosentase yang tinggi, namun angka prosentase tingkat stres tetap lebih tinggi daripada angka prosentase religious coping. Peneliti memilih sampel dengan karakteristik narapidana narkoba (pengguna) karena kasus narkoba merupakan kasus terbanyak di Rutan Kelas I Bandung. Menurut penelitian Ekasari & Susanti (2009) bahwa tingkat stres pada narapidana kasus narkoba ini lebih tinggi karena saat berada di dalam Rutan narapidana tidak dapat mengkonsumsi narkoba lagi sehingga narapidana akan mengalami sakaw, hal ini sesuai dengan pendapat Hawari (Ekasari & Susanti, 2009) orang yang telah tergantung pada narkoba maka hidupnya akan mengalami gangguan jiwa sehingga ia tidak mampu lagi berperilaku secara wajar di dalam masyarakat. Malangvoice.com pada 12 Mei 2016 pernah memuat berita mengenai adanya narapidana
7 kasus narkoba yang tewas gantung diri di Lapas Lowokwaru, yang menurut Krismono (Kepala Lapas) di Lapas banyak yang stress itu dari blok narkoba, narkoba menyerang otak sehingga mereka terlihat seperti sakit jiwa, tidak bisa mengontrol dirinya. Pada 25 Oktober 2016, batam.tribunnews.com pun memuat berita tentang tingkat stres pada narapidana di Rutan kelas II Balerang Batam khususnya kasus narkoba sangat tinggi, menurut David Hasudungan (Karutan Batam) narapidana tidak bisa mengkonsumsi narkoba di dalam rutan, karena di rutan sudah dipastikan tidak ada peredaran barang haram tersebut. Narapidana ini menjadi lebih agresif dan berusaha untuk keluar rutan. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan Religious Coping dengan Tingkat Stres pada Narapidana Kasus Narkoba di Rutan Kelas I Bandung. Rumusan Penelitian 1. Bagaimana religious coping pada narapidana kasus narkoba di rutan kelas I Bandung? 2. Bagaimana tingkat stres pada narapidana kasus narkoba di rutan kelas I Bandung? 3. Apakah terdapat hubungan negatif antara religious coping dengan tingkat stres pada narapidana kasus narkoba di rutan kelas I Bandung? Tujuan Penelitian 1. Mengetahui religious coping pada narapidana kasus narkoba di rutan kelas I Bandung 2. Mengetahui tingkat stres pada narapidana kasus narkoba di rutan kelas I Bandung 3. Mengetahui hubungan negatif antara religious coping dengan tingkat stres pada narapidana kasus narkoba di rutan kelas I Bandung. Kegunaan Penelitian Kegunaan teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai religious coping dan tingkat stres pada narapidana, serta menambah khazanah keilmuan
8 psikologi khususnya bidang Psikologi Klinis, Psikologi Abnormal dan kesehatan mental, terutama yang berkaitan dengan religious coping dan stres. Kegunaan praktis. Penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh berbagai pihak diantaranya oleh subjek terkait dan instansi (lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan) yang berkaitan dengan religious coping dan stres pada narapidana.