IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Breeding Center Puyuh Penelitian ini dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaranyang terletak di lingkungan Kampus Universitas Padjadjaran, Jalan raya Bandung-Sumedang Km 21 Jatinangor 45363, Jawa Barat, Indonesia. Jatinangor merupakan daerah pegunungan sehingga suhunya cenderung sejuk dengan kelembaban relative tinggi. Suhu dilokasi tersebut berkisar antara 22-28 C dengan kelembaban relative atau RH (Relative Humadity) berkisar pada angka 60-95% dan kecepatan angin sebesar 1-15 km per jam (BMKG, 2016). Pusat pembibitan puyuh merupakan tempat pembibitan puyuh yang terdiri dari kandang dewasa, kandang puyuh dara, kandang DOQ, gudang pakan, gudang peralatan, ruang penetasan, dan mess karyawan. Jumlah populasi puyuh turunan hasil persilangan yang diamati berjumlah 123 ekor dimana puyuh ini merupakan hasil turunan dari persilangan puyuh (coturnix-coturnix japonica ) galur warna bulu coklat dan hitam. Puyuh turunan hasil persilangan yang dipelihara saat ini sudah berumur 11 minggu yang sudah mulai berproduksi pada umur 45 hari. Puyuh dipelihara dalam kandang berbentuk cage dengan 5 tingkat kandang yang berukuran 100 x 60 x 40 cm tiap tingkatnya dan dapat menampung sekitar 30 ekor per cage. Suhu optimum dalam kandang adalah 28 C dengan kelembaban relatif (Relative Humadity) 80%. System pemeliharaan puyuh ini menggunakan system intensif, ransum diberikan sebanyak 1 kali sehari yang dilakukan pada pagi hari yaitu sekitar pukul 09.00-10.00 WIB, sedangkan pemberian air minum diberikan secara add libitum. Ransum yang diberikan adalah ransum pabrikan khusus untuk puyuh fase layer.
23 Kandungan zat makanan yang diberikan pada puyuh turunan hasil persilangan pada saat penelitian beserta standar kebutuhan zat-zat makanan dalam ransum puyuh disajikan pada Tabel 3. Perbandingan kandungan ransum yang diberikan pada saat penelitian dengan ransum yang dibutuhkan oleh puyuh petelur telah memenuhi kebutuhan pokok fase layer, karena sudah sesuai dengan standar SNI yang sudah di tetapkan. Selain itu, air minum yang diberikan juga mempunyai peranan yang penting dalam pemeliharaan puyuh ini. Gallon air minum yang digunakan adalah berkapasitas 3 liter yang ditempatkan dibagian pinggir kandang supaya air minum tidak dapat membasahi bagian dalam kandang dan puyuh membutuhkan air minum sebanyak dua liter per hari untuk 30 ekor. 4.2 Bobot Telur Bobot telur rata-rata yang dihasilkan oleh puyuh turunan hasil silangan dan hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 4, dengan rincian bobot telur secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 1. Tabel 1. Bobot Telur Puyuh Turunan Hasil Penelitian Rataan Analisis Data Turunan Hasil Silangan Coklat* Hitam* Bobot (gram) 11,18 10,88 10,74 Simpangan Baku 0,79 1,21 1,06 Koefisien Variasi (%) 7,10 - - Sumber (*) : Sujana, 2014 Berdasarkan Tabel 4 diperoleh rata-rata telur 11,18 gram dengan koefisien variasi 7,10 %. Rataan bobot telur sudah seragam karena koefisien variasinya kurang dari 10% (Sudjana, 2005). Bobot telur hasil penelitian ini berada pada kisaran normal sesuai dengan pendapat Woodard dkk (1973) bahwa telur puyuh
24 memiliki bobot sekitar 10 g (sekitar 8% dari bobot badan induk) hingga sebesar 11,91 g (Parizadian dkk, 2011). Puyuh berumur 8-9 minggu yang dipelihara pada temperatur lingkungan 22,5-32 o C dan pemberian ransum mengandung protein 22%, menghasilkan telur dengan bobot 9,2 g (Eishu dkk, 2005). Bobot telur hasil penelitian ini cukup tinggi karena tingkat protein ransum yang diberikan pada penelitian ini adalah 22-24 %, sudah sesuai dengan standar yang dibutuhkan oleh puyuh petelur dan suhu yang dibutuhkan untuk berproduksi sudah sesuai. Bobot telur dapat dipengaruhi oleh genetik yang diwariskan oleh induk (Easminger, 1992). Jenis puyuh juga tentu dapat mempengaruhi rataan bobot telur (Santos dkk, 2011). Selain itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bobot telur yang dihasilkan diantarannya adalah jenis pakan, jumlah pakan, lingkungan kandang dan kualitas pakan (Listyowati dan Roospitasari, 2005). Temperatur lingkungan dan konsumsi pakan juga dapat mempengaruhi bobot telur. Peningkatan temperatur lingkungan dapat menurunkan ukuran telur dan kualitas kerabang telur (North dan Bell, 1992). Rataan bobot telur puyuh turunan hasil persilangan berbeda dengan tetuanya, yaitu pada penelitian Sujana (2014) bahwa bobot telur puyuh galur warna coklat (populasi dasar) memiliki rata-rata 10,88 gram dan rata-rata bobot telur puyuh galur warna hitam sebesar 10,74. Bila dibandingkan ternyata bobot telur puyuh turunan hasil persilangan (11,18 gram) lebih besar dari bobot telur puyuh tetuanya walaupun perbedaannya hanya sedikit. Persilangan ini meningkatkan produktifitas puyuh yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan pendapat Prasetyo (2007) bahwa perkawinan antar kelompok genotip yang berbeda misalnya antar galur, rumpun maupun bangsa, biasa dilakukan sebagai
25 strategi produksi untuk memanfaatkan keunggulan hibrida yang disebut heterosis, dalam meningkatkan produktifitas ternak yang bersangkutan. 4.3 Shape index (SI) Hasil penelitian bentuk (shape index) telur puyuh turunan hasil persilangan di Pusat pembibitan puyuh dapat dilihat pada Tabel 5, dengan rincian Shape index secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 1. Tabel 2. Shape Index Telur Puyuh Turunan Hasil Penelitian Rataan Analisi Data Turunan Hasil Silangan Coklat* Hitam* Shape index (SI) 80,29 81,93 82,38 Simpangan Baku 2,91 3,16 3,14 Koefisien Variasi (%) 3,62 - - Sumber (*) : Sujana, 2014 Berdasarkan data dari Tabel 5 diperoleh rata-rata Shape index telur puyuh turunan hasil persilangan adalah 80,29 dengan koefisen variasinya 3,62. Rata-rata Shape index telur tersebut sudah seragam karena koefisien variasinya kurang dari 10%. Menurut sudjana (2005), bila koefisien variasi suatu pengamatan dibawah 10% maka data tersebut dapat dikatakan seragam. Rata-rata Shape index telur puyuh turunan hasil persilangan pada penelitian ini adalah 80,29, jadi memiliki bentuk telur yang bulat. Menurut Sharma (1970),telur puyuh memiliki bentuk telur yang bulat bila memilki nilai Shape index diatas 77, sedangkan telur yang berbentuk ovoid (normal) memiliki nilai Shape index 69-77. Pada penelitian ini Shape index telur yang diperoleh lebih rendah dibanding Shape index puyuh tetuanya pada penelitian Sujana dkk(2014) yaitu Shape index puyuh galur warna hitam (populasi dasar) adalah 82,38 dan galur puyuh warna coklat adalah 83,93.
26 Indeks telur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain otot saluran oviduk, volume albumen dan ukuran isthmus, periode awal bertelur dan fase produksi telur (Ensminger, 1992). Jull (1977) menambahkan, bahwa faktor yang berperan dalam memberikan bentuk telur adalah jumlah albumen yang disekresikan dalam oviduk, ukuran isthmus, aktivitas serta kekuatan otot dinding isthmus dan bagian-bagian lain yang dilalui telur, Shape index merupakan karakteristik telur yang diwariskan dari tetuanya, sehingga telur setiap jenis unggas memilki Shape index yang khas sesuai dengan bentuk dan besar alat reproduksinya, dan akan berpengaruh pula terhadap panjang dan lebar telur yang dihasilkan (Jull, 1977). Semakin lebar diameter isthmus, maka bentuk telur yang dihasilkan cenderung bulat dan apabila diameter isthmus sempit, maka bentuk yang dihasilkan cenderung lonjong. Semakin tinggi nilai index telur, maka telur tersebut akan semakin bulat. Bentuk oval atau bulat pada telur dipengaruhi oleh dinding saluran telur selama pembentukan (Ensminger, 1992). 4.4 Specific gravity (SG) Hasil penelitian specific gravity telur puyuh turunan hasil persilangan dapat dilihat pada Tabel 6, dengan rincian specific gravity secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 1. Tabel 3.Hasil Analisis Specific Gravity Telur Puyuh Turunan Hasil Penelitian Rataan Analisi Data Turunan Hasil Silangan Coklat* Hitam* Specific gravity (SG) 1,065 1,058 1,056 Simpangan Baku 0,006 0,01 0,01 Koefisien Variasi (%) 0,52 - - Sumber (*) : Sujana, 2014
27 Specific gravity dikenal sebagai salah satu cara pada penetapan ketebalan kerabang, melalui nilai indeks yang diperoleh atas pengambangan telur dalam larutan garam pada konsentrasi tertentu. Rataan nilai specific gravity telur puyuh turunan hasil persilangan adalah 1,065 dengan koefisen variasinya adalah 0,52 yang artinya specific gravity tersebut sudah seragam. Semakin tinggi nilai specific grafity menunjukkan kondisi kerabang yang semakin tebal. Nilai specific gravity yang tinggi menggambarkan kandungan kalsium karbonat (C a C o 3) yang tinggi, sehingga kualitas kerabang telur juga tinggi (Milles dan Harms, 1982). Telur puyuh dengan ketebalan kerabang lebih kecil sekitar 0,197 mm memiliki nilai specific gravity lebih rendah dari telur ayam, karena kerabangnya lebih tipis dibandingkan dengan kerabang telur ayam. Menurut Nordstrom dan Ousterhout (1981) bobot telur berpengaruh nyata terhadap kekuatan kerabang dan menimbulkan variasi terhadap nilai specific gravity. Perbedaan nilai specific gravity disebabkan bobot telur yang berbeda, sedangkan antara ketebalan kerabang sendiri memilki hubungan yang erat dengan specific gravity sebesar 0,77 (Stadelman dan Cotteril, 1977). Nilai specific grafity telur puyuh turunan hasil persilangan 1,065 ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai specific grafity telur puyuh tetuanya pada penelitian Sujana dkk (2014) yaitu pada puyuh galur warna coklat adalah 1,0586 dan galur warna hitam adalah 1,0567. Dengan hasil ini jelas persilangan ini memberikan efek yang baik pada nilai specific grafity. Hal tersebut terjadi karena efek heterosis dari persilangan yaitu terjadi keunggulan dibandingkan dengan rataan tetuanya. Menurut Prasetyo (1997), efek heterosis terjadi akibat perbedaan frekuensi gen diantara tetuanya dan adanya efek dominan dan epistasis. Dengan meningkatnya nilai specific grafity pada telur puyuh persilangan, maka puyuh
28 persilangan ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai bibit karena dengan nilai specific gravity yang tinggi akan meningkatkan daya tetasnya. Sesuai pendapat Wibowo dkk (1994), bahwa semakin tinggi nilai specific gravity, maka daya tetas semakin tinggi. Nilai specific gravity yang tinggi dapat menunjukkan pori-pori kerabang yang belum terbuka lebar yangakan mempengaruhi kualitas putih telur dan berakibat terhadap penyusutan berat telur. Penyusutan disebabkan terjadi penguapan air karena lamanya penyimpanan telur dan terjadinya pelepasan gas CO 2 dari dalam telur melalui pori-pori kerabang telur. Penguapan dan pelepasan gas ini terjadi secara terus menerus selama penyimpanan sehingga semakin lama telur disimpan berat telur akan semakin berkurang. Menurut Sudaryani (2000) penguapan air dan pelepasan gas seperti CO 2, NH 3, N 2, dan sedikit H 2 S sebagai hasil degradasi bahan- bahan organik telur terjadi sejak telur keluar dari tubuh puyuh melalui pori-pori kerabang telur dan berlangsung secara terus menerus sehingga menyebabkan penurunan kualitas putih telur, terbentuknya rongga udara, dan menurunkan berat telur. Specific gravity ini dipengaruhi oleh konsumsi kalsium didalam ransum, dimana komposisi mineral tertinggi pada kerabang telur adalah mineral kalsium. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Soeparno dkk (2001) dalam Mozin (2006) bahwa komposisi kerabang terdiri atas 98,2% kalsium, 0,9% magnesium dan 0,9% fosfor (pada kerabang dalam bentuk fosfat). Selanjutnya Suprijatna dkk (2008) menyatakan bahwa kalsium berperan dalam pembentukan kerabang telur sehingga akan berpengaruh terhadap ketebalan kerabang telur.