BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

III. METODE PENELITIAN. penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

III. METODE PENELITIAN. Dalam analisa penelitian ini, penulis memilih jenis penelitian normatif, 47 yaitu

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

. METODE PENELITIAN. yang digunakan sebagai dasar ketentuan hukum untuk menganalisis tentang apakah

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. hanya menimbulkan dampak positif, tetapi ada beberapa kebiasaan yang dinilai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan ini adalah penelitian hukum normatif empiris.penelitian hukum

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda atau disparitas

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

I. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang mengatur proses pelaksanaannya, sekaligus melindungi para

III. METODE PENELITIAN

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

METODE PENELITIAN. dengan seksama dan lengkap, terhadap semua bukti-bukti yang dapat diperoleh

BAB III METODE PENELITIAN. membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan. 1

BAB I PENDAHULUAN. berjalan, tolok ukurnya dapat dilihat dari kemandirian badan-badan peradilan dalam

I.PENDAHULUAN. Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

terhadap penelitian normatif (penelitian yuridis normatif), maka penting sekali

BAB III METODE PENELITIAN. beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. 19 Jenis penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi terhadap aturan yang bersifat positif. Hukum juga menjadi tolak ukur segala

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

III. METODE PENELITIAN. yang digunakan dalam kerangka penulisan ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

III. METODE PENELITIAN. Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada metode,

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

III. METODE PENELITIAN

III.METODE PENELITIAN. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasari pada metode

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

METODE PENELITIAN. penelitian guna dapat mengolah dan menyimpulkan data serta memecahkan suatu

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 1

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang dirumuskan oleh Saparinah Sadli sebagai tingkah laku yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan. sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). yaitu Negara Indonesia

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. 1

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

tertolong setelah di rawat RSU dr. Wahidin Sudiro Husodo, kota Mojokerto. 1

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

I. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan akta pemberian hak tanggungan atas tanah. 3 Dalam pengelolaan bidang

III. METODE PENELITIAN. Upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan peraturan perundang-undangan (statutory approach) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya. 55

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup berkembang di kalangan masyarakat. Konsumen minuman keras tidak hanya orang dewasa melainkan juga remaja. Belakangan ini minuman keras yang beredar tidak hanya minuman keras yang legal, tetapi juga banyak minuman keras illegal termasuk minuman keras oplosan. Parahnya, dalam minuman keras oplosan kerap ditemukan kandungan methanol (spritus) atau metyl alkohol yang beresiko menyebabkan kematian. Padahal methanol merupakan bahan industri yang banyak digunakan sebagai pelarut, pembersih dan penghapus cat. Selain itu, ada pula tambahan bahan lain yang belum diketahui jenis dan kadar pastinya ke dalam minuman keras oplosan. 1 Banyaknya peraturan perundang-undangan yang menjerat pelaku penjual minuman keras oplosan dengan pidana yang berat. Tetapi hal itu tidak menjadikan penjual minuman keras oplosan jera. Pada kenyataannya juga banyak pelaku penjual minuman keras oplosan hanya dijatuhi pidana ringan dan jauh dari ancaman Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Peraturan perundang-undangan lainnya. 1 Retno, Bahaya Mengkonsumsi minuman keras oplosan, dalam http://panduanhidup sehat.com, diakses 6 September 2016.

2 Penjual minuman keras oplosan yang mengakibatkan matinya orang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan peraturan perundangundangan lainnya mengenai ketentuan pidana bagi penjual minuman keras oplosan. Dalam ketentuan Pasal 204 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, mengancam barangsiapa menjual barang yang bersifat membahayakan dan mengakibatkan kematian dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun. 2 Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan juga mengatur yaitu Pasal 136 yang berbunyi: Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan yang dengan sengaja menggunakan: a. bahan tambahan Pangan melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; atau b. bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan Pangan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 3 Hal tersebut juga diatur dalam ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga mengancam pelaku usaha yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan pidana paling lama lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). 4 2 Lihat Pasal 1 ayat 1 dan 2 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum pidana). 3 Lihat Pasal 163 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. 4 Lihat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 Dalam menjatuhkan pidana Majelis Hakim berpatokan pada dakwaan penuntut umum. Ada putusan yang menjatuhkan pidana pada dakwaan pertama atau kedua, sedangkan tingkat keseriusan tindak pidana tersebut sama. Berikut beberapa putusan yang dipilih oleh penulis untuk dianalisis: No Nomor Putusan Dakwaan Amar Putusan 1 2 3 Putusan Nomor: 77/Pid. B/2012/PN. Pwi Putusan Nomor: 300/Pid. B/2014/PN. Gpr Putusan Nomor: 150/Pid. B/2014/PN. Kdi Dakwaan Pertama: Primair: Pasal 204 ayat (2) KUHP Subsidair: Pasal 204 ayat (1) KUHP Dakwaan Kedua: Pasal 55 huruf d KUHP jo Pasal 57 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan Kesatu: Pasal 204 ayat (2) KUHP Kedua: Pasal 146 huruf b jo Pasal 137 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Ketiga: Pasal 62 ayat (1) huruf b jo Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Kesatu: Pasal 204 ayat (2) KUHP Kedua: Pasal 146 huruf a jo Pasal 137 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Ketiga: Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Tabel 1. Dakwaan dan Amar Putusan Pasal 204 ayat (2) KUHP Pidana penjara selama 3 (tiga) tahun Pasal 62 ayat (1) huruf b jo Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan Pasal 146 huruf a jo Pasal 137 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Pidana penjara selama 5 (bulan) dan 15 (lima belas hari

4 Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda merupakan bentuk dari diskresi Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Disparitas terjadi pada porsi tindak pidana yang sama, tetapi dalam penjatuhan pidananya berbeda. Hal tersebut menjadikan ketidakadilan yang dilakukan Majelis Hakim kepada para pencari keadilan. Sedangkan Negara Indonesia adalah negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Salah satu ciri negara hukum adalah menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia. Perlindungan hak asasi manusia salah satunya diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa. 5 Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, 6 tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai Kekuasaan Kehakiman yang bebas dan merdeka. Tetapi dalam memutuskan suatu 5 Lihat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. 6 Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

5 kasus Majelis Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. 7 Adanya disparitas pidana dalam penegakan hukum ini juga mendapat tanggapan dari Harkristuti Harkrisnowo yang dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa: Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik mempertanyakan apakah Majelis Hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya, secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen keadilan pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim. 8 Dari tulisan Harkristuti Harkrisnowo tersebut dapat dipahami bahwa pendapatnya tersebut adalah salah satu pembenaran bahwa disparitas pidana telah membawa hukum kita kepada keadaan yang tidak lagi sesuai dengan tujuan penegakan hukum. Hukum yang semula dimaksudkan untuk menjadi penjaga keadilan, kemanfaatan sosial, dan kepastian hukum tidak lagi dapat dipenuhi secara utuh, karena dalam hal ini unsur keadilanlah yang oleh masyarakat dirasa tidak lagi dipenuhi atau diberikan oleh Majelis Hakim dalam menegakkan hukum. Disparitas pidana terjadi pada semua tindak pidana, baik itu tindak pidana korupsi, pencurian, pembunuhan, dan lain-lain. Penulis dalam hal ini mengambil disparitas pidana terhadap terdakwa penjual minuman keras oplosan yang 7 Denny Agung Prakoso, 2011, Tinjauan Yuridis Disparitas dalam Penjatuhan Pidana pada Kasus Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Korupsi (Skripsi), Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, hal 35. 8 Harkristuti Harkrsnowo, 2003, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003, Jakarta: KHN, hal 28.

6 mengakibatkan matinya orang karena minuman keras oplosan sangat membahayakan jiwa setiap orang. Apabila mengkonsumsi mimuman keras oplosan bisa terkena berbagai macam penyakit bahkan menyebabkan kematian. Tetapi sejauh ini masih banyak penjual yang dengan leluasa berjualan minuman keras oplosan, dikarenakan pidana yang diberikan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga masih banyak penjual yang tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan tersebut. Selain KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya, seharusnya setiap daerah mempunyai Peraturan Daerah Tentang Miras. Tetapi hasil penelusuran Genam hingga 2012 lalu, dari 505 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, hanya sekitar 15 wilayah yang memiliki perda antimiras. 9 Hal tersebut bertujuan untuk memimalisir peredaran minuman keras. Dari uraian di atas penulis mengambil judul Analisis Yuridis Pertimbangan Hukum oleh Hakim dalam Pemidanaan terhadap Penjual Minuman Keras Oplosan Yang Mengakibatkan Matinya Orang (Studi Beberapa Putusan Majelis Hakim Terpilih). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah, sebagai berikut: 1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana, sehingga terjadi disparitas putusan dalam 9 Fahira Idris, Tiap Tahun 18.000 Orang Tewas Karena Miras, dalam http://sp.beritasatu. com, diakses 6 September 2016.

7 kasus penjualan minuman keras oplosan yang mengakibatkan matinya orang? 2. Bagaimana implikasi hukum terjadinya disparitas penetapan saksi pidana terhadap penjual minuman keras oplosan yang mengakibatkan matinya orang terhadap keadilan, kepastian dan kemanfaatan? C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana, sehingga terjadi disparitas putusan dalam kasus penjualan minuman keras oplosan yang mengakibatkan matinya orang. 2. Untuk mengetahui implikasi hukum terjadinya disparitas penetapan sanksi pidana tehadap penjual minuman keras oplosan yang mengakibatkan matinya orang terhadap keadilan, kepastian dan kemanfaatan. D. Manfaat Dengan tercapainya tujuan dari penelitian ini, maka penulis berharap penelitian ini bisa memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Mampu menjadi salah satu sumbangan wacana pengetahuan mengenai halhal minuman keras oplosan, terutama urgensi penegakan hukum pidana terhadap korban yang mengkonsumsi minuman keras oplosan.

8 Hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat menjadi pengetahuan mengenai regulasi yang digunakan apabila tidak ada regulasi khusus yang mengatur mengenai tindak pidana penjualan minuman keras oplosan. Hasil penelitian ini menjadi referensi bagi peneliti yang lain di masa yang akan datang sebagai langkah pengembangan ilmu hukum. 2. Manfaat Praktis Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu referensi bagi masyarakat mengenai bahaya minuman keras oplosan. Diharapkan mampu menjadi salah satu referensi bagi aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti masalah tindak pidana penjualan minuman keras oplosan dan juga bagi pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk membuat regulasi (Peraturan Daerah) lebih khusus untuk menyikapi agar tindak pidana penjualan minuman keras oplosan tidak marak. 3. Manfaat Akademik Untuk menunjang mendapatkan gelar kesarjanaan ilmu hukum. Untuk meningkatkan minat terhadap ilmu hukum dalam konsentrasi praktisi. E. Metode Penulisan 1. Metode Pendekatan Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan

9 penelitian atau penulisan. 10 Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan dengan tindak pidana penjualan minuman keras oplosan yang mengakibatkan matinya orang. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari jurnal-jurnal, buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini. 11 2. Jenis Bahan Hukum Bahan Hukum yang digunakan di dalam Tugas Akhir ini meliputi: a. Bahan Hukum Primer 12 Bahan hukum primer yang dipakai penulis adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana penjualan minuman keras oplosan yang mengakibatkan matinya orang. 10 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal 112. 11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1985, Penelitian Hukum Normatif SuatuTinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, hal 52. 12 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Mulia, hal 41. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang Autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah di dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan Majelis Hakim.

10 b. Bahan Hukum Sekunder Data yang diperoleh dari studi pustaka berupa jurnal-jurnal, buku-buku, makalah, rancangan undang-undang atau sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penulisan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. c. Bahan Hukum Tersier Bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bahanbahan hukum primer dan sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, kamus Hukum, ensiklopedia, dan lain-lain mengenai tindak pidana penjualan minuman keras oplosan yang mengakibatkan matinya orang. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan di penelitian ini adalah model studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan merupakan pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif, 13 kemudian dikaji dan disusun secara komperehansif sistematis. 4. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam undang-undang. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar 13 Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, hal 392.

11 jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya atau teorinya dan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud. F. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam 4 bab dan masing-masing bab terdiri atas sub yang bertujuan agar mempermudah pemahamannya. Adapaun sistematika penulisannya sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Merupakan bab yang memuat pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang kajian-kajian teoritik yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat, antara lain: Disparitas, Pertimbangan Hukum, Sanksi Pidana, Terdakwa, Putusan, Minuman Keras dan Kematian. BAB III PEMBAHASAN Dalam bab ini berisi mengenai uraian pembahasan yang diangkat oleh penulis, mengkaji dan menganalisis kesesuaian atau keselarasan berdasarkan kenyataan yang ada (yang terjadi) didukung dengan teori-teori yang relevan dengan permasalahan dalam penulisan ini.

12 BAB IV PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini di mana berisi kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisikan saran penulis dalam menanggapi permasalahan yang menjadi fokus kajian analisis.