BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit parasit tropis yang penting didunia dan masih merupakan masalah utama didunia. Malaria adalah penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah infeksi pernapasan, HIV/AIDS dan diare. Sampai saat ini, WHO (World Health Organisation) memperkirakan 3,3 miliar manusia di dunia tinggal atau hidup di wilayah-wilayah endemis malaria. Berdasarkan laporan WHO dalam World Malaria Report tahun 2014 bahwa terjadi 198 juta kasus malaria yang tersebar pada 97 negara yang ada di dunia, dimana pada setiap tahunnya 584.000 kasus dengan kematian (WHO, 2014) Situasi malaria di Indonesia tidak jauh berbeda dengan situasi di negaranegara lain. Kondisi iklim tropis serta proses pembangunan yang terus-menerus mengakibatkan perubahan-perubahan pada lingkungan sehingga menciptakan situasi yang sangat menguntungkan bagi keberadaan nyamuk Anopheles. Indonesia yang beriklim tropis basah mempunyai potensi besar terhadap penyebaran penyakit malaria. Penyakit ini ditemukan tersebar hampir di seluruh kepulauan di Indonesia dengan derajat dan infeksi yang bervariasi. Penduduk yang tinggal di wilayah berisiko terkena malaria diperkirakan 113 juta dari 214 juta penduduk Indonesia. Sebanyak 424 kabupaten dari 576 kabupaten di Indonesia ditetapkan sebagai daerah endemis malaria, sehingga perlu dilakukan penanganan serius untuk memberantas penyakit tersebut. Pada umumnya lokasi endemis malaria terdapat di desa-desa yang terpencil dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, sarana transportasi dan komunikasi yang sulit, akses pelayanan kesehatan kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang rendah serta perilaku hidup sehat yang kurang baik (Kemenkes RI, 2010). Persebaran prevalensi malaria di Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa prevalensi malaria wilayah timur Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia. Lima provinsi dengan prevalensi malaria tertinggi adalah Papua 28.6%, NusaTenggara Timur 23.3%, 1
2 Papua Barat 19.4%, Sulawesi Tengah 12.5%, dan Maluku Utara 11.3%. Dari 33 provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria di atas angka nasional, sebagian besar berada di Indonesia Timur (Kemenkes RI, 2013). Sebaran prevalensi kejadian malaria tersebut dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini. Gambar 1. Peta sebaran prevalensi malaria Tahun 2013 Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2014) Kabupaten Buol adalah salah satu kabupaten yang terdapat di wilayah provinsi Sulawesi Tengah yang termasuk dalam wilayah kejadian malaria. Berdasarkan data laporan bulanan penemuan dan pengobatan malaria di Kabupaten Buol menunjukkan bahwa kasus malaria dalam 3 tahun (2009 s.d 2011) yaitu pada tahun 2009 terdapat 1 kecamatan dengan kejadian API tertinggi (HCI = > 5/1000 penduduk), 2 kecamatan dengan kejadian API sedang (MCI = 1-5/1000 penduduk) dan 8 kecamatan dengan API rendah (LCI = <1/1000 penduduk). Tahun 2010 terdapat 2 kecamatan dengan kejadian API tertinggi, 7 kecamatan dengan kejadian API sedang dan 3 kecamatan dengan API rendah. Sementara di tahun 2011 terdapat 1 kecamatan dengan kejadian API tertinggi, 9 kecamatan dengan kejadian API sedang dan 1 kecamatan dengan API rendah (Dinas Kesehatan Kabupaten Buol, 2012). Data tersebut tersaji dalam gambar 2 berikut ini :
Annual Parasite Incidence 3 29.68 26.87 7.94 8.45 0.83 4.37 00.49 2.73 0 1.36 0.93 2.61 3.12 1.47 1.55 0 0 0.24 0 4.11 3.74 4.56 1.27 2.05 2.37 1.29 0.89 0.97 0 0 0 Kecamatan Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Gambar 2. Grafik angka kesakitan malaria berdasarkan API di Kabupaten Buol Tahun 2009 s.d 2011 Penyebaran malaria dipengaruhi karakteristik lokal wilayah, termasuk adanya perbedaan ekologis wilayah. Penyebaran kasus malaria yang tidak merata menunjukkan bahwa banyak faktor yang berpengaruh. Keberagaman faktor risiko pada masing masing lokasi yang meliputi lingkungan dari waktu ke waktu, perbedaan sosial budaya, perbedaan kerentanan terhadap penyakit dan perbedaan pola kehidupan nyamuk sebagai vektor mengakibatkan terjadinya perbedaan dan penularan penyakit malaria (Yunianto dkk, 2002). Pola hubungan antara vektor nyamuk malaria dan habitatnya demikian nyata. Setiap spesies vektor malaria memerlukan habitat yang spesifik, seperti kondisi lahan dengan temperatur, kelembaban, ketersediaan air, kegelapan, asosiasi dengan jenis tumbuhan tertentu serta bentang budaya tertentu (Takken dan Knols, 2006). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mentargetkan Indonesia akan bebas malaria pada tahun 2030. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain melakukan beberapa tahapan eliminasi malaria dan pengawasan. Kebijakan eliminasi malaria bertujuan untuk melakukan upaya pengendalian malaria secara
4 bertahap di Indonesia, yaitu eliminasi di DKI Jakarta, Bali, Barelang Binkar pada tahun 2010. Kemudian eliminasi malaria di Jawa, Nangro Aceh Darussalam dan Kepulauan Riau pada tahun 2015. Selanjutnya tahun 2020 eliminasi malaria di Sumatera, NTB, Kalimantan, Sulawesi. Tahap terakhir, upaya eliminasi malaria di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT pada tahun 2030 (Kementerian Kesehatan, 2011). Kegiatan eliminasi dan pengawasan malaria secara terestial dalam wilayah yang luas membutuhkan banyak biaya, tenaga dan waktu. Pengaruh subjektifitas dalam hasil pengawasan merupakan masalah lain pada aplikasi metode konvensional dari pengawasan vektor dan penyakit yang umumnya bersifat manual. Masalah teknis ini perlu diatasi dengan metode atau alat alternatif yang objektif, efektif dan efisien baik dalam pemetaan, pemantauan maupun prediksi untuk wilayah rawan malaria. Teknologi penginderaan jauh mampu menyajikan kondisi permukaan bumi secara relatif lengkap. Citra yang dihasilkan merupakan model spatial yang lebih bermanfaat untuk menghasilkan berbagai macam informasi turunan melalui proses interpretasi. Hasil interpretasi merupakan model spasial berupa peta dengan sifat informasi yang eksplisit dengan tetap mempertahankan domain spasialnya. SIG dapat membantu dalam mengintegrasikan berbagai macam data yang diperoleh dari berbagai sumber yang berbeda beda melalui pemodelan spasial berbasis komputer, sehingga penurunan informasi yang baru dapat dilakukan dengan lebih mudah, lebih cermat dan efisien (Danoedoro, 2004). Estimasi wilayah rawan penyakit malaria dengan menggunakan sistem informasi geografis mempunyai beberapa nilai strategis, antara lain: dapat digunakan untuk mendeteksi lebih awal tentang wilayah rawan penyakit malaria secara komprehensif dengan wilayah penelitian yang luas; dengan metode ini dapat menghemat biaya operasional dalam mendeteksi, memetakan, memantau/ memonitoring dan memprediksi wilayah rawan penyakit malaria; bahan dan alat yang digunakan untuk estimasi wilayah rawan penyakit malaria mudah didapat, diolah dan dikaji lebih lanjut; tenaga dengan waktu dalam memetakan, memantau dan mengevaluasi wilayah rawan penyakit malaria dapat lebih efisien; updating
5 dan manipulasi data yang lebih cepat dan tepat; meminimalisir peristiwa peristiwa KLB (kejadian luar biasa) penyebaran penyakit malaria dengan analisis data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (Ridwan, 2012). Penggunaan SIG bersama dengan teknik statistik spasial bermanfaat untuk mengukur besarnya risiko kejadian malaria dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap munculnya kembali faktor risiko malaria, sehingga perencanaan kesehatan masyarakat harus difokuskan pada wilayah kluster spasial maksimum (Zhang et al., 2008). Penelitian distribusi spasial dan pemetaan kerawanan malaria di Kabupaten Buol selama ini masih dilakukan secara manual, sehingga informasi yang dihasilkan belum tentu tepat dan akurat sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa sangat perlu mendapat perhatian untuk memetakan daerah rawan penyakit malaria. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah SIG dapat mengetahui gambaran distribusi kasus malaria berdasarkan stratifikasi desa, ketinggian wilayah, curah hujan, kerapatan aliran, penggunaan lahan, dan kepadatan penduduk terhadap kejadian malaria di Kabupaten Buol 2. Apakah SIG dapat menyusun peta tingkat kerawanan malaria di Kabupaten Buol. 3. Apakah SIG dapat menganalisa hubungan spasial tingkat kerawanan malaria dengan kejadian malaria di Kabupaten Buol. C. Tujuan Penelitian Bertolak dari latar belakang dan permasalahan tersebut diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun peta tingkat kerawanan malaria pada skala 1:550.000 dengan pemodelan spasial faktor faktor yang mempengaruhi kejadian malaria di wilayah Kabupaten Buol menggunakan sistem informasi geografis.
6 2. Tujuan khusus a. Mengetahui gambaran kejadian malaria di Kabupaten Buol b. Menyusun peta distribusi kasus penyakit malaria berdasarkan stratifikasi desa malaria c. Menyusun peta distribusi kasus malaria berdasarkan ketinggian wilayah d. Menyusun peta distribusi kasus malaria berdasarkan curah hujan e. Menyusun peta distribusi kasus malaria berdasarkan kerapatan aliran f. Menyusun peta distribusi kasus malaria berdasarkan penggunaan lahan g. Menyusun peta distribusi kasus malaria berdasarkan kepadatan penduduk h. Menyusun peta tingkat kerawanan malaria melalui pemodelan spasial di Kabupaten Buol i. Mengetahui hubungan spasial tingkat kerawanan malaria dengan kejadian malaria di Kabupaten Buol D. Manfaat Penelitian 1. Tersedianya informasi yang dapat menggambarkan kondisi wilayah rawan malaria secara periodik melalui analisis data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis di Kabupaten Buol sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan program pengendalian dan pemberantasan malaria dengan efektif. 2. Sebagai bahan masukan kepada para pengambil keputusan dan kebijakan dalam menyusun strategi dan intervensi masalah kesehatan terkait estimasi dan memantau wilayah rawan penyakit malaria di Kabupaten Buol 3. Sebagai media belajar serta untuk meningkatkan ilmu, wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman dalam bidang sistem informasi kesehatan khususnya sistem informasi geografis.
7 E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian penelitian Nama Judul Variabel Yang Diteliti Bhatt dan Joshi (2014) Penggunaan Analytic Hierarchi Process (AHP) untuk Menentukan Wilayah Risiko Malaria 1. Hidro geomorfologi 2. Kerapatan Aliran 3. Ketinggian 4. Curah Hujan 5. Penggunaan Desain Eksploratif Tempat Distrik Vadodara, Gujarat, India Ridwan (2012) Kajian Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Wilayah Rawan Malaria 1. Permeabilitas Tanah 2. Tekstur 3. Kerapatan Vegetasi 4. Kontinuitas Aliran 5. Lereng 6. Curah Hujan 7. Ketinggian Tempat 8. Temperatur 9. Tata Guna Survei Kabupaten Purworejo Sulistyawati (2012) Spasial Cluster Pada Kejadian Luar Biasa Malaria di Kabupaten Purworejo 1. Kondisi lingkungan 2. Bentuk dan tipe rumah 3. Perilaku dan sosial budaya Case Control Kabupaten Purworejo Hanapi dkk (2011) Analisis spasial dan Pemetaan Risiko Malaria di Wilayah Endemik 1. Temperatur Udara 2. Kelembaban 3. Lereng 4. Tataguna 5. Kepadatan Penduduk 6. Mobilitas Penduduk Cross Sectional Iran Selatan
8 Nama Judul Variabel Yang Diteliti Purnomo (2011) Marpaung (2006) Holani (2003) Faktor Risiko dan Distribusi Spasial Kejadian Malaria di Kota Singkawang Penyusunan Model Spasial Untuk Memprediksi Model Spasial Malaria Estimasi Tingkat Intensitas Penularan Malaria dengan Dukungan Penginderaan Jauh 1. Pekerjaan 2. Pendapatan 3. Riwayat Bepergian 4. Penggunaan kelambu berinsektisida 5. Penggunaan obat nyamuk 6. Kebiasaab aktifitas dimalam hari 7. Keberadaan hutan 8. Keberadaan semak-semak 9. Keberadaan rawa 10. Keberadaan air tergenang 1. Penggunaan 2. Ketinggian 3. Curah Hujan 1. Suhu Udara 2. Kepadatan Nyamuk Vektor 3. Kelembaban Udara 4. Tata Guna Desain Observasional Studi Kasus Deskriktif Analitik Tempat Kota Singkawang Jawa Barat Pegunungan Menoreh Wilayah Perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta Gunawan (2003) Analisa Spasial Kejadian Malaria 1. Kondisi Iklim 2. Ketinggian 3. Tata Guna 4. Kepadatan Penduduk Eksploratif Kabupaten Banjarnegara
9 Persamaan dengan penelitian diatas adalah seluruh rujukan yang diambil adalah terfokus pada kajian penyakit malaria baik menggunakan analisis spasial keruangan dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) maupun kajian tentang faktor risiko epidemiologi untuk menganalisis kejadian malaria. Perbedaan dari rujukan penelitian diatas dengan rencana penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian sejenis ini belum pernah dilakukan di wilayah kabupaten Buol dalam hal memetakan wilayah kerawanan malaria dan perbedaan lainnya terkait dengan design method yang akan digunakan serta menganalisis faktor lingkungan sebelum dilanjutkan dengan membuat dan menganalisis peta-peta tematik yang berhubungan dengan faktor risiko kerawanan malaria di Kabupaten Buol dengan cara tumpangsusun (overlay).