BAB IV KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI PEMBENTUK MODAL SOSIAL. diidentifikasi bahwa karakter sosio-teologis mewarnai dasar dan proses Pembentukan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN

BAB II STRUKTURAL FUNGSIONAL TALCOTT PARSONT. Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural fungsional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Papua Barat. Daerahnya belum banyak dirambah aktivitas manusia dan kaya akan sumber

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB II PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung selain di kenal sebagai kota Fashion, tapi di kenal juga sebagai

BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL. juga tata letak teori dalam pembahasan dengan judul Industri Rumah

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons

BAB I PENDAHULUAN. mahluk biologis merupakan individu yang mempunyai potensi-potensi diri yang

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang

BAB I PENDAHULUAN. didirikannya karena kemajuan pembangunan yang sangat pesat di Kota ini. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. spiritual, dan etika di berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat. Berbicara soal mistik,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial

LAMPIRAN. Pedoman Wawancara Penelitian

BAB II PERUBAHAN SOSIAL TALCOT PARSONS. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

Negosiasi Bisnis. Minggu-11: Hubungan Dalam Negosiasi. By: Dra. Ai Lili Yuliati, MM, Mobail: ,

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS

BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR. tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. disekelilingnya. Ini merupakan salah satu pertanda bahwa manusia itu

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

IMPLEMENTASI PROGRAM ALOKASI DANA DESA DALAM PENGEMBANGAN MODAL SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. 1 William Chang, Berkaitan Dengan Konflik Etnis-Agama dalam Konflik Komunal Di Indonesia Saat Ini, Jakarta, INIS, 2002, hlm 27.

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. beberapa tujuan, kebutuhan dan cita-cita yang ingin dicapai, dimana masing-masing

BAB.I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II FUNGSIONALISME STRUKTURAL TALCOTT PARSON. paham atau prespektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. menentukan. Strategi utama yang harus dilakukan oleh pedagang waralaba Tela-Tela

BAB IV KOMUNITAS DIBO-DIBO: Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

BAB II. Kajian Pustaka. Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. juga dengan komunitas. Komunitas merupakan sekumpulan individu yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

MODUL PERKULIAHAN Kapita Selekta Ilmu Sosial Sistem Sosial

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II TEORI AGIL PERUBAHAN SOSIAL TALCOTT PARSONS. kepada pemenuhan suatu kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan sistem itu.

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB VI PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP TAHAPAN PEROLEHAN KREDIT MIKRO. 6.1 Pengaruh Modal Sosial terhadap Perolehan Kredit Mikro

BAB II TEORI SOLIDARITAS EMILE DURKHEIM. ataupun kelompok sosial karena pada dasarnya setiap masyarakat membutuhkan

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama.

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. bergiat dalam melakukan pembangunan di segala bidang. Pembangunan dilakukan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999 T E S I S

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang

Sosiologi. Kelompok & Organisasi Sosial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 07

Inisiasi 2 LANDASAN MORAL, SOSIO-KULTURAL, RELIGI HAK AZASI MANUSIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sosial, pranata sosial dan hubungan antara individu dengan struktur sosial serta antar

BAB VI KESIMPULAN. Rumah kost tidak sebatas rumah tinggal yang hanya melindungi

Refleksi dan Kesimpulan

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan

BAB II TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Komunitas dapat diartikan sebagai masyarakat community atau masyarakat

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN

REKONTRUKSI IDENTITAS PEREMPUAN DALAM 1 KORINTUS 14 : DARI PERSPEKTIF POSKOLONIAL PEREMPUAN KRISTEN JAWA

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Konteks Masalah

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

Tujuan Instruksional Khusus

STUDI MASYARAKAT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB VI PENUTUP. ditemukannya teknologi pencitraan tiga dimensi. Video game memiliki efek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

Transkripsi:

BAB IV KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI PEMBENTUK MODAL SOSIAL Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa karakter sosio-teologis mewarnai dasar dan proses Pembentukan Modal Sosial Mahasiswa penghuni Asrama Mansinam. Karakter sosio-teologis ini tampak dalam aktivitas harian mereka selama menjadi penghuni Asrama Mansinam. Dengan ciri khas diatas, jika dikaitkan dengan motivasi mereka, baik itu motivasi teologis yaitu kebutuhan akan pencapaian nilai-nilai ideal yang telah dirumuskan oleh pihak Sinode GKI Papua selama mereka menjadi penghuni Asrama Mansinam, maupun kebutuhan hubungan sosial, dapat dijelaskan bahwa motivasi tersebut keluar sebagai persamaan tujuan yang hendak dicapai oleh sesama anggota, khususnya dalam lingkup jaringan diantara sesama mereka sebagai penghuni Asrama Mansinam. Persamaan tujuan seperti itu dapat dikategorikan sebagai persamaan kepentingan, yang kemudian tipe mereka ini adalah community of interest.mereka ini disebut sebagai community of interest karena tidak datang dari tempat yang sama, namun hidup dalam tempat yang sama, sekaligus memiliki kepentingan yang sama. Dengan dasar kepentingan yang sama inilah yang mendasari seluruh aktivitas mereka sehari-hari. 1 Dalam konteks kepentingan ini, Tonnies, mendefinisikan sebagaikemauan rasional yang bermuara pada pilihan rasional. Motivasi para penghuni Asrama Mansinam dalam komunitas ini, yang digerakkan oleh persamaan tujuan semua anggota, akan menggiring setiap orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang rasional untuk mencapai 1 Ngarbingan, A. A, Komunitas Dibo-Dibo di Sahu Halmahera Barat, Tesis. (Program Pasca Sarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2010), 85. 58

tujuan bersama itu. Kemauan yang melandasi tindakan individu adalah dasar utama dalam konteks kehidupan berasrama. Demikian juga dengan komunitas penghuni Asrama Mansinam, persamaan tujuan merupakan kemauan bersama yang melandasi keberadaan komunitas penghuni Asrama Mansinam. 2 Dengan ciri khas yang berlandaskan kepentingan, telah membuat mereka sebagai penghuni Asrama Mansinam, mampu keluar dan melampaui identitas primordial kultural maupun etnik mereka walaupun mereka semua semua berasal dari Papua, namun mereka datang dari suku dan juga kota asal yang berbeda-beda. Akibatnya mereka mampu membangun hubungan interpersonal yang sangat kuat diantara mereka, dimana dalam aktivitas harian mereka, mereka dapat menjalankan peran mereka sesuai dengan tuntutan kehidupan berasrama yang telah mereka rumuskan. 3 Persamaan kepentingan ini, juga mengkondisikan solidaritas yang kuat di antara sesama jaringan. Sebagaimana dalam bahasa Emile Durkheim bahwa solidaritas, khususnya solidaritas sosial yang dimaknai sebagai kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Yang mana kesetiakawanan tersebut muncul sebagai bagian dari kesadaran kolektif. Bentuk dari kesetiakawanan tersebut merupakan kesetiakawanan yang didasarkan pada pembagian porsi peran dalam menopang sebuah sistem. 4 2 Ngarbingan, A. A, Komunitas Dibo-Dibo di Sahu Halmahera Barat, Tesis. (Program Pasca Sarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2010), 87 3 Suranto, Aw, Komunikasi Interpersonal, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2011), 38. 4 Ngarbingan, Komunitas, 86 59

Dalam perspektif sebagai sebuah komunitas yang utuh, kesetiakawanan ini ditampakkan oleh penghuni Asrama Mansinam dalam bentuk kerelaan tiap-tiap mahasiswa penghuni Asrama Mansinam untuk mengutamakan keputusan komunitas, oleh Fukuyama, hal ini disebutkan sebagai penerimaan sekumpulan nilai-nilai moral, demi menciptakan pengharapan umum. Lebih lanjut bagi Fukuyama, inilah disebut sebagai kepercayaan. 5 meskipun trust yang digambarkan Fukuyama memiliki konteks yang berbeda dengan penelitian ini, namun begitu, penggambaran trust yang dilakukan olehnya, pada konteks penelitiannya, juga tampak dalam komunitas penghuni Asrama Mansinam ini. Dari titik ini, kesetiakawanan yang melandasi aktivitas Mahasiswa penghuni Asrama Mansinam dalam jaringan mereka merupakan bentuk ideal, dalam pandangan Durkheim 6 sebagai solidaritas organik. Fungsi masing-masing penghuni Asrama Mansinam dalam jaringan mereka menggambarkan fungsi masing-masing unsur dalam menopang sebuah sistem, yakni alur tata kelola kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas. Keberadaan seseorang dengan peran dan fungsinya tidak akan bermakna jika fungsi tersebut tidak didukung oleh peran dan fungsi penghuni lain. kesatuan dari fungsi tersebut berdasarkan kedudukan, merupakan kesatuan fungsi dalam sistem yang utuh. Dalam konteks semacam ini, dapat diasumsikan bahwa yang utuh berarti harus fungsional. Parsons, sebagai pencetus pemikiran struktural-fungsional, menggambarkan kondisi ini sebagai sebuah kondisi ideal dari struktural-fungsional dimana komunitas terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai tertentu, dimana Press, 1995), 122 5 Fukuyama, Francis, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, (New York: Free 60

nilai-nilai ini mampu meleburkan dan mengatasi perbedaan-perbedaan 7. Kondisi ini disebut ideal karena dalam gambaran Parsons, inilah kondisi suatu keseimbangan yang diharapkan ada dalam komunitas. Pada komunitas penghuni Asrama Mansinam, struktur itu tampak dari pembentukan Badan Formatur Pelaksana Harian oleh mereka sendiri, dimana struktur itu sekaligus mengekspresikan peran yang harus dilakukan oleh setiap penghuni Asrama Mansinam, tanpa terkecuali. Dalam logika hubungan interpersonal, tuntutan peranan adalah desakan sosial yang memposisikan individu untuk memenuhi peranan yang telah dibebankan kepadanya.desakan sosial dapat berwujud sebagai sanksi sosial dan dikenakan bila individu menyimpang dari peranannnya. Dalam hubungan interpersonal, desakan halus atau kasar dikenakan pada orang lain agar ia melaksanakan peranannya 8. Desakan-desakan ini lebih banyak berbentuk pada sanksi-sanksi yang telah mereka sepakati bersama pada awal mereka menjadi penghuni Asrama Mansinam, misalnya, teguran lisan maupun tertulis oleh pihak pengurus, dan yang paling terakhir adalah dicabut haknya dan dikeluarkan dari Asrama Mansinam, maupun dalam aturan-aturan lain yang dibuat oleh mereka sendiri, saat telah menjadi penghuni Asrama Mansinam dalam rangka tujuan bersama, yaitu kepentingan untuk keberlangsungan memiliki tempat untuk mondok sekaligus kepentingan keberlangsungan keberadaan Asrama Mansinam itu. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa Modal Sosial akan berkaitan dengan aliran norma timbal balik. Keberadaan norma timbal balik tersebut kemudian dikonstruksikan menjadi sanksi-sanksi sosial yang berlaku antar setiap pribadi dalam 7 Richard, Grathoff, 2000. Kesesuaian antara Alfred Schutz dan Talcot Parsons: Teori Aksi Sosial, (Jakarta, Kencana, 2000), 67-87. 8 Jalaludin Rakhmat, Psikologi, 122 61

sebuah komunitas. Dalam kaitannya dengan sanksi-sanksi yang berada dalam komunitas penghuni Asrama Mansinam, diketahui bahwa bentuk sanksi yang berlaku di antara sesama anggota jaringan dalam komunitas penghuni Asrama Mansinam merupakan abstraksi dari norma timbal balik antar sesama anggota jaringan dalam komunitas. Ekspresinya, akan sangat nampak dalam apa yang akan terima anggota penghuni Asrama Mansinam apabila tidak menjalankan norma-norma kesepakatan itu, dimulai dari teguran lisan, tertulis, hingga dikeluarkan untuk tidak lagi menjadi penghuni Asrama Mansinam. Dalam kaitan dengan itu, Ngarbingan dalam temuan penelitiannya pada komunitas Dibo-dibo di Sahu, 9 menjelaskan bahwa dalam arus fungsional seperti yang terpapar di atas, terlihat bahwa ada hubungandi antara sesama anggota. Dalam hubungantersebut ada norma timbal balik dalam setiap anggota. Norma timbal balik ini kemudian menjadi dasar dalam konstruksi pola jaringan yang tercipta pada komunitas penghuni Asrama Mansinam yang bisa dilihat sebagai trust dalam komunitas penghuni Asrama Mansinam. Trust sebagai penyokong Modal Sosial, menjadi signifikan dalam kaitannya dengan negosiasi harapan dengan tindakan setiap individu. 10 Kata negosiasi yang dipakai pada pengertian di atas memberikan penekanan bahwa ada posis tawar-menawar pada setiap individu antara tindakan dengan harapan diri sendiri maupun harapan pada orang lain terhadap hasil dari tindakan tersebut. Terjadi tawar-menawar tersebut sebagai akibat dari pengaruh variabel-variabel lain yang bisa saja mengganggu tindakan seseorang. 9 Ngarbingan, Komunitas, 88 10 Möllering, The Nature of Trust 403-420 62

Negosiasi tindakan atau re-aktualisasi dan re-organisasi tindakan akan muncul dengan sendirinya ketika seorang anggota tidak bisa memenuhi perannya dengan maksimal, yang biasanya dilakukan melalui rapat rutin untuk melakukan evaluasi. Pada setiap rapat rutin bulanan, setiap penghuni dalam fungsi dan perannya masing-masing, secara terbuka memberikan laporan-laporan kegiatan terkait dengan fungsi dan perannya, dimana setiap anggota yang lain, secara terbuka untuk memberikan evaluasi berdasarkan pada rujukan gambaran kerja yang telah disepakati sebelumnya. Negosiasi dilakukan dalam upaya untuk menjaga keutuhan keberadaan mereka dalam sebuah sistim yang disebut Asrama Mansinam. Negosiasi juga terjadi sebagai upaya untuk menjaga keberlangsungan keberadaan mereka, dan keberlangsungan sistim yang menaungi keberlangsungan keberadaan mereka. Di samping itu juga, hal ini dilakukan dalam kerangka menjaga keharmonisan dan kestabilan hubungan sosial yang terjalin selama ini. Atau dengan kata lain, keharmonisan tersebut diupayakan dalam menjaga keutuhan sistim. Pola trust semacam di atas dijalin dalam komunikasi tatap muka yang sering dilakukan oleh komunitas penghuni Asrama Mansinam merupakan salah satu kondisi yang sering dilakukan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Dewey, bahwa peran interaksi tatap muka dalam pembentukan komunitas tidak bisa digantikan.terlihat bahwa Dewey menganggap bahwa kekuatan komunitas pada tingkat yang paling dasar terletak pada hubungan interpersonal. 11 Dari titik berangkat komunikasi antar pribadi yang intens, yang sering dilakukan dalam bentuk tatap muka merupakan jaminan atas terjadinya trust pada sesama penghuni Asrama Mansinam. 11 Jalaludin Rakhmat, Psikologi, 122 63

Telah disebutkan terdahulu bahwa kebutuhan pencapaian nilai-nilai, kebutuhan survive, dan kebutuhan keberadaan yang lain merupakan kebutuhan utama penyokong keberadaan mereka di Asrama Mansinam. Thibault dan Kelley, terkait dengan kebutuhan sosial ini, maka untuk memenuhi kebutuhan ini setiap individu akan secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial, selama hubungan tersebut cukup memuaskan dari segi timbal-balik pada apa yang diperolehnya. 12 Mereka yang menjadi penghuni Asrama Mansinam, rupanya menjadi sangat betah menjadi penghuni, dan biasanya mereka baru benar-benar keluar dari Asrama Mansinam, setelah menyelesaikan studinya, karena mereka mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya. Berulang-ulang, kata nyaman tinggal dan juga nyaman dengan penghuni yang lain, digunakan untuk menjelaskan bagaimana kebutuhan mereka terpenuhi saat mondok di Asrama Mansinam. Kenyamanan diantara mereka, juga menghasilkan distrust pada hubungannya dengan jejaring yang lain, di luar sesama penghuni Asrama Mansinam. Kelemahankelemahan dalam keteraturan yang mereka buat, adalah komunitas penghuni Asrama Mansinam kemudian terkesan menjadi eksklusif dan tertutup. Seiring dengan pemikiran Luhman dalam upaya untuk memperbaiki pemikiran Parsons tentang struktural fungsional, bagi Luhman, Parsons dengan teorinya tidak dapat menjawab persoalan kemampuan sistem untuk merujuk pada dirinya sendiri. Pada titik berangkat ini, Luhman walaupun menggunakan autopoetic, tetapi kemampuan merujuk pada dirinya sendiri telah mengkondisikan sistem atau jaringan tersebut akan tertutup. 13 Dalam arti bahwa sistem 12 Thibault, J & Kelley. H. 1959. The Social Psychology of Group, (Newyork, Wiley, 1959), 232 13 Ritzer, G dan Goodman, D. Teori Sosiologi Modern, 88 64

tersebut tidak bersangkut paut dengan lingkungan. Keterhubungan antara lingkungan dengan sistem hanyalah relasi pengganggu untuk membentuk sistem yang lebih mapan. Hal ini sangat nampak dalam situasi yang diperlihatkan di Asrama Mansinam.Lingkungan sekitar tampak dianggap sebagai ancaman dalam keteraturan yang telah dibuat secara interal oleh mereka sendiri.tembok yang tinggi dan juga pagar yang tinggi dan selalu tertutup baik siang maupun malam, dan lebih lagi setelah malam, adalah jejak fisik yang tidak bisa dinafikan sikap ketertutupan mereka terhadap lingkungan di luarnya. Meskipun begitu, kekuatan penghuni Asrama Mansinam terletak pada pola dalam jaringan mereka sendiri sebagai komunitas. Menariknya, meskipun mereka terkesan tertutup terhadap lingkungan di luar dirinya, tetapi kesadaran tiap individu tentang tanggungjawab terhadap komunitas sangat tinggi. Berangkat dari pola tanggung jawab dalam jaringan tersebut di atas, menurut Maturana dan Varella, bahwa dalam komunitas, selalu ada dimensi kesadaran dalam diri setiap anggotanya 14. Kesadaran individu ini akan terus memberikan jaminan alur tanggung jawab berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh sesama anggota komunitas. Kesadaran tersebut menurut Maturana dan Varella muncul karena setiap individu terlibat dalam jaringan makna (mereka meminjam istilah Geertz), yang mana masing-masing merasa bermakna ketika dirinya ditemukan berelasi dengan orang lain. Dan relasi tersebut juga dibangun sebagai bagian dari tanggung jawab individu dalam jaringan sosial. Pada titik ini, penulis menemukan titik yang sama dengan kedua peneliti (Maturana dan Varella) tersebut. Kesadaran akan kebermakaan dirinya benar-benar sebuah 14 Ngarbingan, Komunitas, 2010. 65

kesadaran intensionalitas menggunakan istilah Husserl, 15 sebuah kesadaran akan makna kehadiran dirinya, sebagai bermakna, ketika kehadiran dirinya benar-benar memiliki manfaat bagi orang lain. Pada mahasisa penghuni Asrama Mansinam, kesadaran intensionalitas ini benar-benar terwujudkan, diantara mereka sebagai sesama penghuni. Hal ini menarik terutama dalam konteks kebebasan, dimana mereka bisa saja memilih indekos untuk menemukan kebebasan dari segala aturan yang mengikatnya. Hal ini tentu sangat menantang apa yang paling hakiki dalam kemanusiaan manusia yaitu soal eksistensinya. Pemikir eksistensialisme semisal Sartre mengungkapkan aku dikutuk bebas, ini berarti bahwa tidak ada batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau kita tidak bebas untuk berhenti bebas 16 Kebebasan yang dimiliki oleh para penghuni Asrama Mansinam untuk boleh saja dapat indekos dan tidak mondok di Asrama Mansinam, namun dalam kebebasan yang sama mereka tetap memilih untuk menjadi penghuni Asrama Mansinam. Kebebasan juga menjadi dasar bagi keteraturan yang mereka sepakati bersama, ketika menjadi penghuni Asrama Mansinam. Kebebasan ini juga menjadi modal bagi trust yang mereka bangun diantara mereka sendiri sebagai sesama penghuni Asrama Mansinam. Modal Sosial sering dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi. Pada pembahasan teoritik sebelumnya, baik Coleman, Putnam, Bourdieu, dan Fukuyama, sama-sama melihat bahwa hasil akhir dari bentukan Modal Sosial adalah akumulasi ekonomi. Pada skala komunitas penghuni Asrama Mansinam, tesis ini terpatahkan. Modal Sosial yang dibentuk oleh tiap individu, tidak selalu memiliki kaitan dengan aspek ekonomi. Ada kebutuhan lain, 15 Firdaus, M. Yunus Kebebasan dan Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre 267-282. 16 T.Z Lavine 2002. Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre.Alih Bahasa Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama, (Yogyakarta, Jendela, 2002), 350. 66

yaitu kebutuhan kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial tersebut berbentuk dalam wujud kebutuhan untuk memenuhi harapan orang tua agar dapat menyelesaikan studi, kebutuhan akan kenyamanan dalam berelasi dan keteraturan, juga kebutuhan akan keberlangsungan keberadaan demi memenui harapan orangtua tentang keberhasilan dalam studi menjadi dasar bagi pembentukan Modal Sosial. Karena itu, dalam kebebasan mereka, mereka memilih menggunakan kebebasan tersebut untuk memilih menjadi penghuni Asrama Mansinam daripada indekos. Kenyamanan, keteraturan dan perasaan diterima sebagai bagian dari yang lain, membuat mereka terus memilih untuk tinggal dan mondok hingga mereka menyelesaikan perkuliahannya di UKSW. Dengan begitu, maka dapat dikatakan bahwa pada level komunitas, pembentukan Modal Sosial diantara para anggota komunitas, tidak serta-merta didorong oleh faktor akumulasi ekonomi, tetapi lebih kepada faktor-faktor sosiologis. Hal ini juga dapat dimengerti, karena konteks penelitian ini adalah mahasiswa dalam sebuah komunitas, dimana mereka ditempatkan untuk tinggal pada satu tempat yang telah merumuskan berbagai nilai-nilai yang harus diwujudkan, dengan harapan-harapan yang diberikan orangtua kepada mereka, tetapi dalam kondisi tekanan perkuliahan yang tinggi, membuat kebutuhan-kebutuhan menjadi sangat tinggi ada pada mereka untuk dipenuhi. Menengok catatan-catatan teoritik yang sudah terpaparkan pada bab sebelumnya, modal sosial dalam hasil penelitian ini lebih mengarah pada apa yang disampaikan oleh Fukuyama. Fukuyama melihat modal sosial sebagai kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam komunitas, dimana unsur trust (rasa percaya) yang diberikan terhadap masing-masing individu, lebih diutamakan dalam rangka pencapaian tujuan yang lebih besar. Meskipun, dalam bahasannya, Fukuyama lebih banyak 67

bicara pada aspek pengembangan bisnis, namun begitu, catatan Fukuyama memberikan pandangan bahwa dengan demikian, rasa percaya (trust) merupakan unsur yang universal pada dasar dan proses pembentukan modal sosial. Meskipun Putnam juga berbicara tentang tiga unsur modal sosial, dan terutama trust, sebagai jembatan, pengikat sekaligus penghubung antar jaringan, namun begitu, Putnam bicara dalam konteks asosiasi politik. Karenanya, rasa percaya itu sendiri di antara jejaring, sangat bergantung pada kepentingan yang sama dalam asosiasi politik ini. Artinya, para individu sebagai jejaring membangun rasa percaya mereka apabila ada kepentingan yang sama. Disini, terdapat titik temu antara yang disampaikan Putnam dengan hasil penelitian ini. Tampak bahwa kepentingan bersama untuk bisa tinggal dan mondok di Asrama Mansinam dalam rangka menyelesaikan studi, juga kepentingan untuk menyelamatkan Asrama Mansinam, menjadi dasar pengikat bersama untuk membangun trust, juga jejaring di antara mereka. Namun begitu, terdapat perbedaan signifikan antara hasil kajian ini dengan yang disampaikan Putnam. Putnam membahas asosiasi kepentingan. Karena itu, rasa percaya itu bersifat longgar. Sementara komunitas ini berbicara tentang keberlangsungan studi mereka. Asosiasi dapat saja berganti jejaring, apabila sudah tidak ada titik temu atau kompromi politik terkait kepentingan. Namun tidak dengan komunitas yang bertahan untuk survive. Ada sebuah desakan untuk saling membutuhkan. Situasinya adalah mereka dikondisikan untuk harus saling percaya. Tidak ada pilihan asosiasi lain. Meskipun mereka sendiri memiliki pilihan untuk bergabung dengan asosiasi lain yang lebih longgar juga, misalnya keluar dari Asrama Mansinam dan menjadi penghuni kos-kosan. Di sini, juga letak perbedaan signifikan hasil temuan ini dengan kajian Putnam. Kebebasan dan kesetaraan untuk boleh memilih asosiasi yang lain saat kepentingan atau 68

tujuan yang dicapai jejaring sudah berbeda, namun tidak dengan komunitas penghuni Asrama Mansinam ini. Kebebasan mereka tidak digunakan untuk membentuk atau bergabung dengan asosiasi yang lain, tetapi kebebasan itu di arahkan untuk menjadi bermakna bagi yang lain. Di sini, para penghuni menyadari apa yang dikatakan Husserl, tentang kesadaran intensionalitas. Kesadaran bukan saja terkait dengan kepentingan diri, tetapi kesadaran akan kepentingan yang lebih besar; dan terutama menyadari kebermaknaan kehadirannya bagi sesama. Coleman membicarakan Modal Sosial sebagai jembatan penolong bagi mereka yang lemah secara ekonomi. Coleman adalah salah satu tokoh yang optimis dalam memandang kekuatan modal sosial. Coleman melihat modal sosial sebagai akses yang dimiliki individu untuk memperoleh akses dan jejaring dalam pencapaian tujuan-tujuan pribadi. Terinspirasi dari ide sosiologi pilihan rasional, Coleman berpendapat bahwa modal sosial tidak lain daripada kalkulasi rasional individu dalam rangka pencapaian tujuan pribadi. Jika menengok pada motivasi yang menggerakan para individu penghuni Asrama Mansinam ini, Coleman ada benarnya. Ada tujuan-tujuan pribadi menjadi dasar dalam membentuk modal sosial di antara mereka sebagai sesama penghuni. Namun begitu, tujuan pribadi ini tidak terkait dengan akses modal ekonomi dan jejaring yang lebih berpengaruh seperti demi pencapaian tujuan individu seperti yang diceritakan Coleman. Setelah diteliti, para individu yang membentuk komunitas penghuni Asrama Mansinam ini, tidak didorong oleh sebuah kalkulasi rasional tentang kemudahan memperoleh modal ekonomi serta jejaring yang lebih berpengaruh terkait pencapaian tujuan pribadi mereka masing-masing. Motif awalnya murni karena kepentingan untuk memperoleh pemondokan. Tidak ada 69

jejaring di antara mereka yang memiliki pengaruh atau akses yang lebih luas kepada kekuasaan dalam rangka memuluskan kepentingan pribadi yang lain. Di sini, maka modal sosial yang dibentuk oleh komunitas penghuni Asrama Mansinam, lebih dekat dengan apa yang digagas oleh penggagas modal sosial pertama kali yaitu Hanifan. Hanifan memberikan catatan penting tentang dasar modal sosial yaitu perasaan saling empati, kemauan untuk saling menolong, dan kesadaran intensionalitas atau kesadaran sebagai individu yang bermakna saat menjadi bermakna bagi orang lain. Pada titik ini, trust yang terbentuk di antara mereka, lebih dekat pada apa yang digagas oleh Rousseau bahwa rasa percaya terjadi karena kesediaan seseorang untuk bertumpu dan memiliki perasaan yakin yang kemudian diberikan kepada orang lain dan dasarnya adalah ketidakpaksaan dan perasaan menerima apa adanya. Rasa percaya ini lebih didorong oleh semangat persaudaraan, oleh kehendak untuk dapat maju bersama, oleh hasrat individuindividu yang sama, yaitu sama-sama berhasil dalam mencapai harapan orangtua yaitu menyelesaikan studi mereka di UKSW. Agar semangat persaudaraan dan perasaan menjadi bagian yang utuh dari komunitas ini boleh terjadi, maka rasa percaya itu diekspresikan dengan memberikan fungsi dan peran kepada setiap penghuni, sehingga semua merasa menjadi bagian dari satu komunitas. Pada titik ini, Bourdieu boleh menjadi benar, bahwa modal sosial diproduksi melalui sebuah kultur tertentu. Meskipun, Bourdieu berbicara dalam rangka kepentingan kelas. Artinya, produksi kultural itu dimaksudkan untuk melanggengkan kelas tertentu. Di sini, produksi kultur tertentu lewat aktivitas-aktivitas yang menjadi rutinitas harian komunitas penghuni tampak lebih dekat dengan pemahaman struktural fungsional yang dimaksdukan Parsons. Artinya bahwa, produksi kultur tertentu, tidak saja selalu bermakna 70

untuk melangggengkan struktur kekuasaan dalam kelas, tetapi produksi kultural bisa juga terjadi karena ada kepentingan demi berlangsungnya sebuah sistim sosial. Disebut lebih dekat dengan skema teoritik Parsons dibandingkan dengan skema produksi kultural Bourdieu demi menguatkan Modal Sosial kelas tertentu karena produksi kultur melalui pembiasaan mirip dengan skema AGIL ala Parsons. Ada kesadaran untuk mengadaptasikan sebuah model ideal yaitu model pembinaan yang diinginkan oleh Sinode GKI Papua melalui aktivitas harian, dimana adaptasi itu dilakukan dengan memberikan fungsi dan peran terkait dengan rutinitas harian yang dilakukan oleh komunitas penghuni Asrama Mansinam. Proses saling dan memberikan rasa percaya (trust) terjadi pada tahapan ini. Dikatakan demikian karena dua hal: pertama bahwa fungsi dan peran dari masing-masing individu penghuni komunitas Asrama Mansinam berbeda-beda. Dibutuhkan rasa saling dan memberikan kepercayaan kepada tiap individu untuk menjalankan peran dan fungsi yang berbeda itu, mengingat masing-masing memiliki kapasitas dan kapabilitas yang juga berbeda. Kedua, meskipun masing-masing individu memiliki kapasitas dan kapabilitas yang berbeda-beda, mempercayakan peran dan fungsi kepada tiap-tiap individu dilakukan karena terkait dengan pencapaian tujuan yang lebih besar. Adaptasi ini terkait dengan goal achievement (pencapaian tujuan) yang terumuskan secara mendetail dalam job description terkait fungsi dan peran setiap individu penghuni Asrama Mansinam. Lewat pembiasaan fungsi dan peran itu, diharapkan dapat mengintergrasikan setiap komponen dalam hal ini para penghuni Asrama Mansinam terkait dengan Asrama Mansinam sebagai sebuah sistim pembinaan. Pada akhirnya, fungsi dan 71

peran ini menjadi latensi (pemeliharan pola), yang terwariskan secara turun temurun pada saat ada penghuni baru masuk menjadi bagian dari komunitas ini. Bourdieu mungkin saja sehati dengan Parsons saat membahas tentang proses produksi model kultur terkait dengan membentuk modal sosial dalam komunitas maupun masyarakat. Skema AGIL tentu saja dapat menjelaskan proses produksi kultur yang dimaksudkan Bourdieu ini. Namun begitu, muara terakhir yang diharapkan Bourdie dengan produksi kultur ini adalah menjaga posisi kelas tertentu. Sementara, hasil penelitian ini dikatakan lebih dekat dengan pemahaman struktural fungsional ala Parsons karena produksi kultur dalam arena Asrama Mansinam lebih tertuju pada kepentingan sistim yaitu Asrama sebagai arena pembinaan karakter mahasiswa asal Papua. 72