1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini perkembangan sistem pengantaran obat pada bidang farmasi telah sangat berkembang, salah satunya adalah sediaan transdermal. Dimana sediaan transdermal merupakan salah satu bentuk sistem penghantaran obat dengan cara ditempel pada kulit dan memberikan efek terapeutik yang diharapkan (Barhate et al., 2009). Sediaan transdermal dapat dibuat dalam bentuk patch. Sediaan patch terdiri dari berbagai komponen yaitu liner adalah bagian dari matriks patch yang harus dilepaskan terlebih dahulu sebelum digunakan sehingga patch dapat ditempelkan pada kulit. adhesive sebagai perekat, backing layer sebagai lapisan penahan patch, matriks sebagai pengontrol pelepasan dan plasticizer sebagai pengatur viskositas (Williams, 2004). Patch transdermal umumnya diaplikasikan pada kulit untuk melepaskan zat aktif dalam dosis tertentu. Namun, ada juga sistem patch yang diaplikasikan dengan rute transmukosa bukal. Patch transmukosa adalah sistem penghantaran obat yang diletakan diantara gusi dan membran pipi bagian dalam. Penggunaan obat melalui membran mukosa di dalam mulut, dapat dibagi menjadi area non keratin dan area keratin, non keratin meliputi di bawah lidah (sublingual) dan antara pipi dan gusi (mukosa bukal). Sedangkan area keratin meliputi di sekitar gusi (gingiva), di sekitar langit-langit mulut bagian atas (palatal mukosa) dan di dekat bibir. Membran mukosa 1
2 mempunyai luas area 100 cm 2 dan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, meliputi ketebalan dan aliran darah tergantung dari lokasi serta aktivitas yang dilakukan (Crick, 2005). Penghantaran obat melalui rute transmukosa dapat menggunakan sediaan patch mukoadhesif. Patch mukoadhesif memiliki berbagai macam keunggulan dibandingkan dengan bentuk sediaan obat konvensional lainnya seperti tidak invasif, efek samping minimal, mampu menjaga bioavabilitas obat, daya rekat pada saat pemakaian kuat, tidak perlu mengalami first-pass metabolism, mudah untuk menghentikan pemberian obat jika terjadi kesalahan dalam pemberian obat sehingga dapat mencegah terjadinya toksisitas, mencegah rusaknya obat-obat yang tidak tahan terhadap ph saluran pencernaan, dan juga mencegah terjadinya iritasi saluran cerna oleh obat yang bersifat iritatif. Patch yang bersifat mukoadhesif juga lebih banyak dipilih pada pengobatan luka pada mukosa mulut karena fleksibilitas, kenyamanan, waktu tinggal yang lama, dan mampu melindungi atau menutup luka di mukosa, sehingga mengurangi rasa sakit dan pengobatan menjadi lebih efektif memudahkan pasien untuk melakukan pengobatan sendiri, dapat dengan mudah digunakan serta dilepaskan dari tempat aplikasi (Patel et al., 2009). Kebanyakan patch transmukosa ditujukan sebagai sediaan penghantaran obat yang bersifat sebagai anti-bakteri (Patel et al., 2009). Salah satu penyakit yang dapat diterapi dengan patch mukoadhesif adalah gingivitis (Clarkson et al., 2013). Salah satu bakteri patogen penyebab gingivitis adalah bakteri yang gram positif yaitu bakteri Streptococcus mutans (Manjusha et al., 2011).
3 Beberapa tanaman telah dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri. Tanaman tersebut diantaranya adalah sambiloto (Andrographis paniculata (Burm. f.) Nees), ketapang (Terminalia catappa L), kunyit (Curcuma longa L) dan tanaman daun sirih hijau (Piper betle L.) (Sheikh et al.,2012). Daun sirih hijau (Piper betle L.) mengandung berbagai macam kandungan kimia yaitu diantaranya : minyak atsiri, terpenoid, tanin, polifenol serta steroid. Senyawa polifenol pada ekstrak daun sirih bertanggung jawab memiliki aktivitas sebagai anti-bakteri dan anti-inflamasi (Subashkumar et al., 2013 ; Inayanti, 2010). Menurut penelitian Agarwal et al. (2012), eksktrak etanol daun sirih pada konsentrasi 500 mg/ml memiliki aktivitas anti bakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang tergolong dalam bakteri gram positif sebesar 31,0 mm. Ekstrak etil asetat daun sirih dengan konsentrasi yang sama 500 mg/ml memiliki aktivitas anti bakteri Staphylococcus aureus yang lebih tinggi yaitu sebesar 31,5 mm. proses purifikasi pada ekstrak etanol daun sirih dapat memberikan aktivitas yang berbeda dengan ekstrak etanol yang tidak dipurifikasi. Pada uji menggunakan bakteri P. acnes yang merupakan bakteri gram positif, ekstrak terpurifikasi sudah menunjukan aktivitas penghambatan pada kadar 2.5 mg/ml (Widyaningtias Dkk., 2014), sedangkan ekstrak etanol baru menunjukan aktivitasnya pada kadar 5mg/ml (Putra dkk., 2014). Sheikh et al. (2012), mengemukakan bahwa penggunaan ekstrak tumbuhan yang memiliki aktivitas antimikroba sangat membantu dalam penyembuhan. Senyawa dalam tumbuhan daun sirih tidak seluruhnya merupakan senyawa polar tetapi terdapat pula senyawa non polar ataupun semi polar. Pelarut etanol, etil asetat
4 merupakan pelarut organik yang banyak digunakan dalam proses ekstraksi dengan senyawa yang bersifat polar, yang dapat melarutkan senyawa flavonoid, saponin, steroid, fenolik dan lain-lain. Menurut penelitian Nalina dan Rahim (2007), senyawa aktif yang bertanggung jawab sebagai antibakteri pada daun sirih adalah polifenol dengan etanol sebagai pelarut ekstraksi. Menurut penelitian Srijanto dkk, (2012), ekstraksi dengan etil asetat dan metode purifikasi dapat mengikat senyawa aktif pada daun sirih lebih baik daripada ekstraksi dengan etanol saja. Menurut penelitian Sudarmadji, (1997), etanol dipilih sebagai pelarut karena etanol merupakan pelarut yang bersifat polar, sifat yang penting adalah polaritas dan gugus polar suatu senyawa. Pada prinsipnya suatu bahan akan mudah larut dalam pelarut yang sama polaritasnya sehingga akan mempengaruhi sifat fisikokimia ekstrak yang dihasilkan. Senyawa aktif daun sirih lebih larut dalam pelarut etil asetat. Kemudian Purifikasi merupakan suatu proses menghilangkan senyawa yang tidak diinginkan. dengan metode purifikasi senyawa aktif yang diperoleh dari daun sirih lebih murni. Sehingga akan meningkatkan khasiat ekstrak dan memperkecil jumlah dosis pemberian kepada pengguna (Srijanto,dkk., 2012). Telah banyak dilakukan penelitian tentang pengaruh eksipien dalam matriks patch. Salah satunya adalah patch yang mengandung senyawa aktif dari ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) dengan komposisi Pharmacoat 615 10 ml, PEG 400 0,637 ml dan Mentol 1,363 ml yang memberikan hasil optimal (Padmanaba, 2016). Dengan menghasilkan nilai disolusi efisiensi sebesar 10,14 %, kecepatan pelepasan (fluks) diperoleh sebesar 1,412 mg/jam.cm 2 dengan mekanisme pelepasan
5 senyawa polifenol dari patch mukoadhesif ekstrak daun sirih (Piper betle L.). Namun belum ada laporan yang menyebutkan mengenai sifat fisik suatu patch yang mengandung ekstrak daun sirih (Piper betle L.) dari pelarut etanol, etil asetat dan ekstrak terpurifikasi. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai evaluasi sifat fisik sediaan patch mukoadhesif yang mengandung ekstrak etanol, etil asetat dan ekstrak terpurifikasi. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah sifat fisik dari patch yang mengandung ekstrak etanol, etil asetat, dan ekstrak etanol terpurifikasi daun sirih hijau (Piper betle L.) dilihat dari bobot matriks patch, ketebalan matriks patch, susut pengeringan matriks patch, (Parisveshet al., 2010), dan ketahanan lipatan matriks patch. 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui sifat fisik dari patch yang mengandung ekstrak etanol, etil asetat, dan ekstrak etanol terpurifikasi daun sirih hijau (Piper betle L.), dilihat dari bobot matriks patch, ketebalan matriks patch, susut pengeringan matriks patch, dan ketahanan lipatan matriks patch. 1.4 Manfaat Penelitian Dengan dilaksanakannya penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh pengetahuan dan informasi mengenai sifat fisik dari patch yang mengandung ekstrak
6 etanol, etil asetat, dan ekstrak etanol terpurifikasi daun sirih hijau (Piper betle L.) dalam upaya pengembangan patch mukoadhesif, dilihat dari bobot matriks patch, ketebalan matriks patch, susut pengeringan matriks patch, dan ketahanan lipatan matriks patch. Sehingga dapat dijadikan acuan apabila akan dikembangkan sebagai ekstrak daun sirih.