BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Transkripsi

1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia terletak pada tiga kawasan biogeografi yaitu Sundaland, Wallacea dan Papua, Indonesia juga terletak di antara 2 benua, yaitu Australia dan Asia, sehingga keadaan flora dan faunanya merupakan peralihan dari kedua benua tersebut. Selain itu Indonesia terletak pada garis khatulistiwa menjadikan Indonesia merupakan kawasan tropika. Artinya, tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia dapat disebabkan oleh lokasi, iklim dan keadaan eksositem yang terbentang pada iklim tropika (Supriatna, 2008). Terkait dengan beragamnya puspa, satwa dan pohon, maka sepantasnya Indonesia mendapat julukan negara megabiodiversitas (Kementrian Lingkungan Hidup, 2012). Obat dalam bidang tanaman herbal, Indonesia dikenal sebagai salah satu dari 7 negara yang memiliki megabiodiversitas kedua setelah Brazil yang memiliki potensi besar untuk pengembangan obat herbal berbasis keanekaragaman hayati lokal dan didapatan bahwa 1000 spesies tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat (Radji, 2005). Tetapi Wahyuningsih (2011), mengatakan bahwa saat ini baru sekitar 960 spesies di antaranya telah tercatat sebagai tumbuhan berkhasiat dan 283 jenis di antaranya merupakan tumbuhan yang penting serta dimanfaatkan secara intensif bagi industri obat tradisional. Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah mendarah daging sejak ribuan tahun yang lalu, sebelum maraknya obat modern diperjualbelikan (Pringgoutomo, 2007). Obat tradisional adalah ramuan atau bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Depkes RI, 2006). Di Indonesia obat tradisional yang paling dikenali oleh masyarakatnya adalah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, bagian tanaman yang dapat digunakan dapat berasal dari akar, batang, daun, umbi atau seluruh dari bagian tanaman. Obat tradisional yang berasal dari tanaman dapat disebut dengan fitofarmaka. Fitofarmaka sendiri adalah obat yang berasal dari bahan alam, 1

2 2 terutama alam nabati yang telah memenuhi persyaratan minimal sehingga terjamin keamanan dan kegunaannya. Penggunaan tanaman sebagai obat tradisional sangat diminati oleh masyarakat, hal ini karena disamping murah, mudah didapat dan mempunyai efek samping yang relatif sedikit (Wijaya, 1995; Andi, 2000). Hal ini juga dipaparkan oleh Mursito (2001) bahwa penggunaan bahan alam lebih disenangi karena diyakini oleh masyarakat mempunya efek samping yang lebih sedikit dibandingkan pengobatan modern yang menggunakan bahan sintetis. Tanaman sirih merah telah tersebar luas di seluruh Indonesia. Manfaat yang terkandung dalam sirih merah membuat masyarakat berantusias untuk ikut serta mengembangkan tanaman sirih merah ini (Sudewo, 2012). Secara empiris, sirih merah telah banyak digunakan untuk mengobati beragam penyakit, terutama penyakit infeksi karena senyawa utama yang dikandungnya, seperti flavonoid, tanin, alkaloid dan lain-lainnya (Utami & Puspaningtyas, 2013). Penyakit infeksi merupakan penyebab utama mortalitas manusia di seluruh dunia dibandingkan penyebab tunggal lainnya (Dye, 2014). Kejadian penyakit infeksi merupakan hal yang perlu dipertimbangkan bagi masalah kesehatan dunia sampai awal abad ke-20 ketika penyakit degeneratif mulai mendominasi (Barreto et al., 2006). Sedangkan epidemiologi penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan yang tinggi baik negara maju maupun negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Perkembangan penyakit infeksi di Indonesia kurang mendapatkan perhatian jika dibandingkan dengan perkembangan penyakit kronis, hal ini dimungkinkan karena kejadian luar biasa terkait penyakit infeksi sangat jarang terjadi sehingga tidak banyak dibahas di Indonesia. Padahal penyakit infeksi dapat menjadi ancaman kesehatan di masa depan. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasite (Kemenkes RI, 2015). Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme tersering penyebab kejadian infeksi. Dua per tiga kematian karena penyakit infeksi pada tahun 2010 disebabkan oleh sekitar 20 spesies bakteri dan viral (Dye, 2014). Bakteri yang paling sering menyebabkan penyakit infeksi di rumah sakit dan masyarakat pada umumnya adalah bakteri Staphylococcus aureus. Bakteri ini dapat menyebabkan berbagai macam penyakit sistem organ (Naimi et al., 2003).

3 3 Staphylococcus aureus adalah organisme komensal yang kolonisasi primernya terletak pada hidung individu sehat. Staphylococcus aureus merupakan penyebab spektrum penyakit infeksi terutama infeksi kulit, infeksi jaringan lunak, sampai ke infeksi penyakit invasif yang fatal (Gopal et al., 2015). Tingkat epidemiologi Staphylococcus aureus yang cukup tinggi dalam menimbulkan penyakit infeksi dan tingginya minat masyarakat terhadap kekhasiatan daun sirih merah saat ini maka tidak heran banyak peneliti yang sedang gemar melakukan penelitian mengenai ekstrak bahan alami tersebut. Sebelumnya telah dilakukan penelitian tentang ekstrak etanol daun sirih merah, namun penelitian tersebut menggunakan pelarut akuades. Beragam pelarut diklasifikasikan sesuai dengan tingkat kelarutan masingmasing atau kepolarannya, diantaranya adalah PEG, CMC Na, tween, DMSO, span, gliseril, propilen glikol, kloroform, n-heksan, dan etil asetat. Tween 80 memiliki aktivitas antibakteri bila dikombinasikan dengan antibiotik golongan tertentu, tetapi bila berdiri sendiri tween 80 tidak memiliki aktivitas antibakteri (Sabah et al., 2010). Selain karena proses ekstraksi, kualitas ekstrak bahan alami juga dipegaruhi oleh jenis pelarut yang dipilih, namun tidak selalu pelarut dengan tingkat kepolaran yang rendah tidak dapat melarutkan ekstrak bahan alami tersebut. Dengan peneliti yang sama pada penelitian sebelumnya, ternyata urutan pelarut dari yang terbaik (paling dapat melarutkan) sampai dengan yang kurang dapat melarutkan adalah DMSO 10%, PEG 10%, Tween 1%, alkohol 10%, aquades dan NaCMC 0,5% (Rachmawaty, 2014). Sementara itu peneliti tersebut juga meneliti bahwa ternyata esktrak etanol daun sirih merah dengan pelarut aquades ternyata memiliki aktivitas antibakterial (Rachmawaty, 2009). Dengan dasar tersebut peneliti ingin membandingkan aktivitas antibakterial ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) dengan menggunakan pelarut tween 80 dan aquades, sehingga didapatkan pelarut yang baik untuk aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun sirih merah.

4 Perumusan masalah a. Bagaimana perbandingan aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) dengan pelarut tween dan aquades terhadap b. Bagaimana perbandingan Kadar Hambat Minimal (KHM) ekstrak etanol daun sirih merah dengan pelarut tween dan aquades terhadap c. Bagaimana perbandingan Kadar Bunuh Minimal (KBM) ekstrak etanol daun sirih merah dengan pelarut tween dan aquades terhadap 1.3. Tujuan penelitian a. Untuk mengetahui perbandingan aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) dengan pelarut tween dan aquades terhadap perkembangbiakan bakteri Staphylococcus aureus. b. Untuk mengetahui perbandingan Kadar Hambat Minimal (KHM) ekstrak etanol daun sirih merah dengan pelarut tween dan aquades terhadap perkembangbiakan bakteri Staphylococcus aureus. c. Untuk mengetahui perbandingan Kadar Bunuh Minimal (KBM) ekstrak etanol daun sirih merah dengan pelarut tween dan aquades terhadap perkembangbiakan bakteri Staphylococcus aureus Manfaat penelitian a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemampuan ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) dengan pelarut tween dibandingkan dengan pelarut aquades dalam menghambat perkembangbiakan atau membunuh bakteri Staphylococcus aureus b. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengembangan khasanah ilmu pengetahuan terutama di bidang kedokteran mikrobiologi. c. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai studi lanjut penelitian-penelitian selanjutnya.

5 Keaslian penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian dengan judul perbandingan uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) dengan pelarut tween terhadap Staphylococcus aureus secara in vitro menggunakan metode dilusi cair belum pernah dilakukan. Namun sebelumnya telah dilakukan penelitian ekstrak etanol yang diuji menggunakan pelarut aquades pada bakteri gram positif (Staphylococcus aureus) dan negatif (E. coli) oleh Rachmawaty et al, (2009) dengan judul Manfaat Sirih Merah (Piper crocatum) sebagai agen Antibakterial terhadap Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif dengan hasil ekstrak etanol daun sirih merah memiliki nilai KHM dan KBM 25% untuk Staphylococcus aureus dan 6,25% untuk Escherichia coli. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya adalah pada penelitian ini ekstrak etanol daun sirih merah menggunakan pelarut tween saat dilusi serial kemudian dibandingkan aktivitas antibakterialnya dengan ekstrak etanol daun sirih merah yang menggunakan pelarut aquades. Selain itu juga terdapat penelitian Marliyana et al, (2013) dengan judul Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) dengan hasil ekstrak minyak atsiri daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) menggunakan analisis Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GC- MS) didapatkan KHM untuk bakteri gram positif yaitu Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, secara berurutan sebesar 1%, 0,25%, 0,5%, sedangkan untuk bakteri gram negatif Shigella flexneri, Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa secara berurutan mempunyai KHM sebesar 0,25%, 1% dan 0,075%.